Save Me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Save Me
By KimVvhe

"Kenapa ruangan ini sangat gelap?"

Itu yang terpikir dalam benak Bae Jieun saat ini. Tak ada yang bisa ia lihat karena keadaan begitu gelap. Hanya ada suara raungan seseorang, menjerit dan memohon ampunan. Jieun mencoba berjalan, mencari sumber suara itu. Dan sebuah ruangan bercahayakan lampu pijar dengan pintu tertutup terpampang di depan mata. Entah karena angin atau mungkin sengaja, pintu itu terbuka dan memperlihatkan seorang gadis yang sedang disiksa oleh seorang pria tegap dan berparas tampan. Jieun menutup mulutnya saat ia melihat jika itu adalah dirinya. Dirinya yang sedang menerima siksaan dari kakak tirinya, Kang Seokjin.

Bae Jieun kerap kali disiksa jika ia tak bisa memuaskan hasrat si kakak tiri. Pria tampan bermarga Kang. Namun, bersikap iblis itu. Sudah kesekian kalinya Jieun disiksa karena menolak untuk disetubuhi. Jieun lebih memilih disiksa daripada merasakan dirinya dilecehkan oleh kakak tirinya sendiri. Terlebih kehidupan keluarga yang hancur, Jieun bisa dibilang broken home. Sang ayah yang pergi begitu saja meninggalkan sang ibu yang kini sibuk mengurus suami baru, yakni ayah Kang Seokjin..

Dengan kaki lemas, Jieun mencoba berlari. Menjauhi pertunjukkan yang sedang berjalan. Ia tak sanggup melihat dirinya tersakiti. Tapi kenapa? Kenapa harus dia yang mengalami semua ini? Kenapa tidak orang lain saja? Ketika ia sibuk bertanya-tanya, tiba-tiba saja sebuah jalan dengan penerangan yang sangat terang ada di depan mata.

Jieun tersadar dari mimpi buruknya. Lagi-lagi, hampir setiap malam ia mimpi buruk. Nafasnya terengah, pandangannya meliar, ia merasakan sesak yang tak terkira. Anxiety-nya kambuh. Mencoba menggapai gelas di atas nakas, sebagai tanda jika ia sedang tidak baik-baik saja. Baru saja ia meraih gelas dan menjatuhkannya dengan sengaja, seseorang datang dari balik pintu kamar dengan wajah khawatir yang kentara.

"Ji, sadarlah, ini aku," ucap pria itu dengan memakai seragam sekolah.

"Aku takut," kata Jieun dengan terbata. Ia masih meraup oksigennya dengan rakus.

Pria yang menghampirinya adalah Kang Taehyung, kekasih Bae Jieun. Taehyung segera mengambil sebuah inhealer dari dalam nakas. Lalu mengarahkannya pada Jieun, membantu agar nafas Jieun kembali normal. Setelah lima menit, Jieun sedikit membaik. Dia bisa melepas alat bantu pernafasan itu dan bernafas seperti biasa. Hanya saja masih terengah.

"Kau mimpi buruk lagi?" tanya Taehyung.

"Eung," jawab Jieun seraya mengangguk.

Kang Taehyung mengusap keringat yang membasahi kening sang kekasih. Ia lalu memberikan segelas air pada Jieun.

"Jangan pergi sekolah dulu, ya. Kau terlihat kurang baik," kata Taehyung seraya melihat arlojinya yang sudah menunjukkan pukul enam pagi hari.

"Tidak, hari ini ada ulangan bahasa Inggris. Aku harus hadir dan tak mau mengulangnya seorang diri," jawab Jieun menyibak selimutnya dan kemudian bangkit untuk menuju kamar mandi.

Taehyung hanya mengembuskan nafasnya pelan. Kekasihnya itu sangat keras kepala. Seraya menunggu, Taehyung kembali keluar untuk membawakan Jieun sarapan. Mereka sudah bersama sejak kelas sembilan. Dan Jieun memutuskan untuk hidup bersama Taehyung saat sang ibu sudah tidak mempedulikannya lagi. Kini mereka duduk di bangku tiga SMA, sebentar lagi keluar dan menjadi anak kuliahan. Tapi rasanya itu tak mungkin bagi Jieun, meski kini hidupnya ditanggung oleh orang tua Taehyung. Tapi Jieun tak ingin merepotkan mereka. Cukup untuk tempat tinggal saja, tidak dengan kerepotan-kerepotan yang lainnya.

Bagaimana bisa Jieun hidup di rumah Taehyung? Mungkin kebetulan, orang tua Taehyung adalah sahabat baik orang tua Jieun sewaktu dulu. Jieun dan Taehyung juga berkenalan karena kedua orang tua masing-masing. Hingga saat berita perceraian itu terdengar oleh keluarga Kang, mereka berinisiatif untuk mengurus Jieun karena keegoisan dari kedua orang tuanya. Tapi, perihal disiksa oleh Seokjin, Jieun tak bicara pada siapapun. Cukup ia dan Taehyung yang mengetahuinya.

Setelah berkemas, Jieun segera keluar dari kamar. Ia berpapasan dengan Taehyung yang membawa sebuah nampan berisi sarapan. Jieun tersenyum dan meminta Taehyung berbalik arah, karena ia akan makan di meja makan kali ini.

"Selamat pagi, wah sudah rapi," sapa Nyonya Kang yang adalah ibu Taehyung.

"Selamat pagi, Bibi," jawab Jieun tersenyum manis dan duduk di samping Taehyung.

"Kenapa selalu mengenakan hoodie? Ini musim panas, Ji," tanya Tuan Kang membuat Jieun terdiam. Namun, setelahnya gadis itu tersenyum.

"Aku hanya ingin," jawabnya.

"Semenjak kau datang ke sini hingga sekarang, kau tak pernah membuka hoodie-mu itu. Ada apa?" tanya Tuan Kang lagi.

"Tidak, Paman. Aku baik-baik saja," jawab Jieun tersenyum manis. Dan perbincangan pun terhenti saat Taehyung meminta untuk mulai makan. Ia sengaja, agar sang ayah tak menanyakan hal aneh lagi pada Jieun.

Tentunya Taehyung tahu, kenapa Jieun selalu memakai pakaian tertutup terus? Karena di tubuhnya terdapat banyak luka. Entah itu luka sayatan di kedua lengannya. Cambukan diseluruh tubuhnya. Sayatan sengaja Jieun lakukan memakai benda tajam seperti silet. Semata untuk menghilangkan rasa jijik pada dirinya sendiri setelah dipakai Seokjin. Dan luka cambukan itu adalah luka yang dibuat Seokjin jika Jieun menolak ajakannya.

Secara diam-diam, Jieun dan Taehyung mendatangi psikiater. Karena hampir setiap malam Jieun tak bisa tidur. Ia terganggu dengan kejadian-kejadian yang menimpanya. Hingga psikiater mendiagnosa jika Jieun mengalami gangguan mental. Yaitu Anxiety Disorder, yang adalah gangguan kecemasan tingkat tinggi.

Kini hari-hari Jieun hanya dilalui bersama Taehyung. Ia menutup diri untuk para temannya yang dulu bahkan dekat. Ia menutup diri dari acara sosial. Kini, Jieun menjadi gadis tertutup dan banyak yang bilang jika ia adalah antisosial. Tak mengapa, selagi dirinya nyaman dan tak terusik, Jieun tak akan menggubris.

Pun dengan Taehyung. Pria itu mencintai Jieun apa adanya. Tak peduli Jieun itu barang bekas atau mungkin tak berharga sekalipun. Taehyung masih tetap cinta padanya, karena Jieun-lah cinta pertama Taehyung.

Sarapan selesai, Jieun dan Taehyung pamit pergi sekolah. Mereka menggunakan supir untuk mengantar jemput. Selain karena praktis, Taehyung belum memiliki izin mengemudi. Mereka cari aman saja. Sampai di sekolah, tak ada yang namanya perpisahan. Karena Jieun dan Taehyung satu kelas. Sengaja memilih kelas dan jurusan yang sama agar Taehyung bisa menjaga Jieun, setidaknya saat iblis itu tak muncul.

Namun, takdir berkata lain. Guru piket mendatangi kelas Jieun, dan ia mengumumkan jika Jieun sudah ditunggu sang kakak di lobby sekolah. Jieun diperbolehkan pulang dengan alasan ada kepentingan keluarga. Baru mendengarnya saja, Jieun sudah gemetar. Ia tahu jika yang menjemputnya adalah Kang Seokjin, kakak tirinya. Taehyung menguatkan Jieun, ia tak bisa berbuat apa-apa. Pernah ia melawan dan menghadapi Seokjin. Bukan ia yang disakiti, tapi Jieun lagilah yang kena. Maka dari itu, Taehyung hanya bisa berdoa semoga kekasihnya itu baik-baik saja. Sempat mengancam jika Seokjin akan dilaporkan pada pihak berwajib. Tapi ternyata pria dewasa itu sangat licik, dia membiarkan ibu Jieun menjadi umpan. Jieun tak mau terjadi sesuatu dengan sang ibu, maka dari itu ia mengalah dan pasrah. Yang ia inginkan hanya satu. Mati saat disiksa oleh Seokjin, agar semua berhenti dan ia tenang.

Jieun membuka pintu lobby, hal pertama yang ia jumpa adalah senyuman tampan dari seorang Kang Seokjin. Jujur saja, Jieun jatuh hati pada Seokjin untuk pertama kalinya. Kekaguman darinya membuncah saat tahu jika Seokjin ramah, murah senyum, selalu membuatkannya makanan. Tapi semua itu hilang saat Seokjin ditinggalkan oleh kekasihnya. Jieun menjadi pelarian sekaligus kepuasan bagi pria itu. Hingga saat itu, Jieun ptah hati yang kedua kalinya setelah oleh sang ayah. Jieun tak menyangka, di dalam wajah tampan bak Dewa Yunani itu terselip sifat dan sikap iblis dari seorang Kang Seokjin.

"Hai, Adik. Apa kabar? Siap untuk jalan-jalan?" tanya Seokjin, bangkit dan membenarkan jas yang membalut tubuhnya.

Jieun tak menjawab, gadis itu hanya menunduk takut. Seokjin mendekat pada Jieun. Saat jarak mereka tinggal sedikit, Seokjin dengan tak acuhnya langsung membelai pipi Jieun. Pria itu menggigit bibirnya sendiri, sepertinya ada sesuatu yang tak bisa ia tahan.

"Ikut aku sekarang. Dan jangan berisik," katanya pelan. Hanya terdengar oleh mereka berdua.

Jieun mengangguk. Dengan tangan meremat satu sama lain, Jieun berdoa agar ia mati saja kali ini. Berjalan meninggalkan lobby di samping Seokjin yang tebar senyum keramahan pada warga sekolah. Termasuk pada para siswi yang membuat siswi-siswi itu menjerit. Jieun tak peduli, yang ia rapalkan dalam hati hanya 'biarkan kali ini aku mati, Tuhan.'

Mobil membawa mereka menjauh dari area sekolah. Jieun terlihat tidak nyaman dalam duduknya. Sementara Seokjin berkali-kali melirik ke arah Jieun dengan senyuman remeh terpatri di bibirnya.

"Beruntunglah kau. Hari ini eomma mengajak kita bertemu. Jika tidak, akan aku pastikan kau mengerang di bawahku," kata Seokjin.

Sedikit ada kelegaan di hati Jieun. Kali ini ia selamat. Bukan menjadi bahan kepuasan Seokjin. Tapi dia diundang sang ibu untuk menghadapnya. Tapi satu pertanyaan dalam benak Jieun. Ada apa? Tumben sekali.

Sampai di sebuah retoran China. Keduanya turun dari mobil. Jieun membuntuti langkah Seokjin yang terbilang cepat memasuki area restoran. Setelah bertanya pada pelayan, keduanya diantarkan menuju sebuah ruangan. Sepertinya ruangan khusus. Di sana sudah ada sang ibu dan juga sang ayah dengan senyuman menyambut mereka.

"Jieun-ah, apa kabar? Kau tampak kurus," sapa sang ayah. Meski ayah tiri, sebenarnya Tuan Kang sangat baik pada Jieun, berbeda dengan Seokjin, anaknya.

"Baik, Appa. Bagaimana kabar Appa?" tanya Jieun pula setelah duduk manis di depan sang ibu.

"Tentu aku dan ibumu sangat baik," jawab Tuan Kang. "Dan kami membawakan kabar baik juga untuk kalian," lanjutnya.

Sang ibu meraih tangan Jieun, menggenggamnya erat seraya tersenyum hangat. Rasanya Jieun ingin berlari ke pelukan sang ibu yang kini sudah tak pernah ia rasakan. Ia ingin menangis seraya mengadu jika dirinya tersiksa hidup di dunia.

"Jieun, mulai sekarang, kau tinggal bersama kakakmu. Kami sudah membelikan kalian apartemen mewah. Aku juga sudah memindahkan barang-barang kau dari rumah Kang Taehyung," kata sang ayah membuat Jieun membulatkan matanya tak percaya.

"Kenapa?" tanyanya reflek.

"Hah? Kenapa?" tanya sang ayah pula, tak mengerti dengan keterkejutan sang anak.

"Maksud Jieun, kenapa tidak sejak dulu, Appa?" kata Seokjin mencoba mengalihkan pembicaraan yang berujung penolakan dari si gadis.

"Ya, dulu kami sedang sibuk-sibuknya. Maafkan kami, kali ini, kami berjanji akan pulang dua minggu sekali," jawab sang ayah dengan bangga.

Sementara sang ibu masih memegang tangan Jieun, ada sebuah hal yang tak terbaca di dalam matanya. Seperti tatapan sendu.

"Baiklah, setelah makan, kalian bisa pulang. Ini kunci apartemennya, kalian harus akur, ya," kata sang ayah lalu menyerahkan kunci pada Seokjin.

Pria itu hanya tersenyum manis seraya mengangguk. Berbeda dengan Jieun, yang ingin saja ia pergi dari sana. Menabrakan diri pada bus yang melaju cepat, atau menjatuhkan diri dari lantai teratas sebuah gedung. Ia tak ingin hidup dengan Kang Seokhin setiap hari.

Alhasil, kini Jieun tinggal bersama Seokjin. Meninggalkan kediaman Taehyung tanpa pamit pada si mpunya dan juga kekasih hatinya. Malam ini, adalah malam pertama yang membuat Jieun berdegup kencang. Bukan malam pertama yang dijanjikan seperti pengantin, tapi malam ini adalah malam di mana Jieun tidur satu ranjang dengan Seokjin. Pria itu sengaja membereskan kamar hanya satu ruangan, dan dua kamar lainnya dibiarkan terkunci begitu saja. Jieun sudah pasrah akan takdir yang akan menjemputnya sebentar lagi.

Setelah mandi dan makan malam, Jieun segera merangkak ke tempat tidur, menyelimuti dirinya sendiri dan memejamkan mata. Berharap ia akan tertidur dengan pulas. Pintu terbuka, Seokjin datang dan menyimpan jasnya di sofa. Ia berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu, ia naik ke tempat tidur dan menyamankan posisinya dengan Jieun.

"Malam ini kau aman, tapi malam selanjutnya, jangan harap kau bisa berjalan keesokan paginya," kata Seokjin, mengecup leher belakang Jieun lalu memejamkan matanya. Tak tahu saja jika jantung Jieun sudah berdebar tak karuan mendengar ucapan itu.

[]

Terbilang sudah satu minggu Jieun satu rumah dengan Seokjin. Dan selama itu pula, Jieun menjadi santapan Seokjin setiap malam. Hari ini, Jieun datang ke sekolah dengan wajah membiru di sudut bibir, dan ia terlihat sedikit menggigil. Ia ke kelas, dan di sana bertemu dengan Taehyung yang sepertinya sedang menunggu kehadirannya.

"Ji, kau tidak apa-apa?" tanya Taehyung.

"Aku baik-baik saja," jawab Jieun dengan senyuman terukir di bibir yang terluka.

"Tapi, bibirmu ...," kata Taehyung ingin menyentuh lukanya tapi Jieun segera memalingkan wajah.

"Aku baik-baik saja."

"Ji."

"Tae, bisakah kita membolos? Aku ingin pergi ke suatu tempat," tanya Jieun.

"Tentu, ayo kita pergi!" jawab Taehyung tanpa berpikir panjang. Mereka meraih tas masing-masing lalu berjalan keluar lingkungan sekolah menuju halte bus. Jieun meminta Taehyung menghentikan di sebuah pemakaman.

Taehyung heran dengan perlakuan Jieun. Namun, pria itu masih mengikuti langkah sang kekasih hingga mereka sampai di sebuah nisan yang bertuliskan Bae Jieun dan tanggal kematian ditulis 'setiap hari'. Taehyung terkejut, terlebih saat Jieun langsung ambruk dan menangis sekencangnya. Seperti ia sedang sangat berduka. Menangis pilu dan sangat menyedihkan. Taehyung memegang pundak bergetar milik Jieun. Pria itu ikut jongkok di samping Jieun.

"Ji, kau ..., sejak kapan melakukan hal gila seperti ini?" tanya Taehyung, tak percaya dengan yang ia lihat.

"Sudah lama, dan aku sangat menginginkan tubuhku ada di bawah sana," jawab Jieun.

"Kau gila?" seru Taehyung dengan keterkejutannya.

"Aku lelah, Tae," lirih Jieun. "Terlebih saat aku mendapatkan pesan dari eomma," lanjutnya.

"Pesan apa?"

"Eomma tersiksa, ia sama sepertiku dan ia meninggal saat terakhir kali kami bertemu," jawab Jieun dengan tangisan pilu membuat Taehyung terperangah.

Sosok ibu yang selama ini Jieun benci ternyata sudah tiada. Sehari setelah makan siang bersama itu, sang ibu meninggal dunia dengan cara meminum racun tikus. Sang ibu sudah tidak sanggup lagi hidup bersama dengan ayah Seokjin. Ternyata, selama ini ibunya mendapatkan hal yang sama seperti Jieun, disiksa dan hanya dipakai untuk pemuas nafsu saja. Jadi selama ini kesibukan dan senyuman sang ibu adalah palsu. Jieun semakin menyalahkan diri karena tak bisa melindungi wanita satu-satunya yang ia cintai. Dan ibu Jieun berpesan, agar Jieun pergi ke Belanda menyusul sang ayah. Di sana mungkin ia bisa hidup dengan aman.

Taehyung memegang pergelangan tangan Jieun. Namun, Jieun meringis kesakitan membuat Taehyung meraih tangan itu dan menyibak lengan hoodie yang menutupi. Dan di sana banyak terdapat sayatan besar dan dalam. Salah satunya adalah di pergelangan tangannya. Jieun mencoba mengiris urat nadinya ternyata.

"Ji, kau harus diobati, kita bertemu dengan dokter Ahn," kata Taehyung mengusulkan menemui psikiaternya.

"Aku tak mau, aku ingin bersama ibu," jawab Jieun.

"Jangan gila! Kau masih mempunyai aku. Aku mencintaimu lebih dari apapun."

"Tapi aku barang bekas, Tae. Tak pantas dekat denganmu, aku sudah hancur!" pekik Jieun.

"Bae Jieun! Kau masih sama di mataku, Jieun yang aku kenal, Jieun yang aku cintai. Meski kita masih sekolah, aku berjanji akan menjadi suamimu kelak. Bertahanlah untukku, ayo kita laporkan ini pada orang tuaku dan polisi," kata Taehyung memeluk erat tubuh Jieun yang terguncang.

Hingga akhirnya Jieun mengangguk. Ia lebih baik bertahan, toh masih ada orang yang mencintai dan menerimanya dengan tulus. Setelah bicara pada orang tua Taehyung, Seokjin dan sang ayah resmi ditangkap pihak berwajib. Sedangkan Jieun dirujuk ke rumah sakit jiwa untuk pemulihan dan pengobatan trauma juga gangguan mentalnya yang terguncang.

Tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro