Life, Laugh, Love oleh Fira

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Life, Laugh, Love
Penulis: Fira

Anggi menatap Bagas yang kini sedang memarkirkan motornya di parkiran. Bagas tidak sendiri, ada seorang perempuan yang membuat Bagasnya berubah. Bukan sahabatnya bukan juga pacarnya. Anggi merasa bahwa dirinya tidak kenal dengan sosok Bagas padahal sudah tiga tahun dirinya bersahabat dengan Bagas. Dan baru seminggu yang lalu Bagas meyakinkannya bahwa Bagas tidak akan meninggalkan dirinya, tapi Anggi merasa janji tersebut seolah-olah tidak ada maknanya.

"Tumben gak telat, Nggi? Biasanya ngga bareng Bagas lu telat mulu," ucap Alan yang ikut memperhatikan Bagas dengan Cantika. Anggi hanya diam mendengar ucapan sahabatnya sekaligus sahabat Bagas.

"Bagas dekat banget sama Cantika, status lu masih pacarnya Bagas, kan?" tanya Alan membuat Anggi gemas ingin menyumpal mulut Alan.

"Lu masih pagi nanya mulu kayak Dora. Ketua rohis gak pacaran kali, Bagas gak ngumbar status kita, Lan." Walaupun Anggi meledeknya jelas sekali Alan mendengar nada kesedihan, kekesalan, dan kecewa di sana.

"Ya elah sedih banget. Masih ada gua sama Wijaya, Nggi." Alan menggandeng tangan Anggi lalu mengusap punggung tangan Anggi.

"Ngga usah ke kelas, ya? Gua mau bolos, Lan. Gak konsen belajarnya," ucap Anggi masih terpaku dengan Bagas yang sedang tertawa bersama Cantika.

"Ngga boleh bolos, Nggi. Ingat ngga saat lu sadar bahwa lu suka sama Bagas? Lu punya dua pilihan saat itu, yang pertama lu bakal sejajar sama Bagas entah soal otak ataupun soal iman dan yang kedua lu mundur secara perlahan." Alan menatap Anggi, rasanya terlalu sesak saat Alan sadar bahwa sekarang Anggi dan sahabatnya memiliki status lebih dari sahabat.

"Apa gua harus berjuang lebih lagi?" tanya Anggi membuat Alan mengangguk mantap.

"Lu udah berjuang setengah jalan, Nggi. Lu lebih milih ngambil ekskul rohis dibanding pmr yang lu suka demi ningkatin iman lu, lu juga udah berjuang masuk pondok pesantren seminggu sekalian tafakur alam minggu kemarin bareng Bagas buat pelantikannya dia jadi ketua rohis, terus lu sekarang mau nyerah gitu aja? Rela posisi lu digantiin Cantika?" tanya Alan berharap bahwa Anggi tak menyerah sampai di sini. Alan tahu rasanya di pondok pesantren itu ngga enak, bangun pagi jam tiga tidur jam sebelas. Belum lagi belajar kitab kuning yang bikin Alan harus pulang ke Bandung duluan padahal acara tafakur alam belum selesai. Telat sedikit itu udah disuruh bersihin kamar mandi. Makan ramai-ramai pakai tangan, air liurnya kan ke mana-mana. Intinya sih emang kebersamaan dan kedisiplinan tapi ngga ngebuat anak-anak yang ikut tafakur alam dirawat inap juga. Dari enam puluh orang yang ikut tafakur alam, ada lima belas orang yang sakit dan harus pulang duluan karena membutuhkan perawatan medis. Tapi, Alan ngga nyangka sih Anggi bisa tahan di pondok pesantren selama seminggu.

"Tapi, kalau ujungnya Bagas sama Cantika gimana?" tanya Anggi sedikit kesal membayangkan bahwa Bagas bersama Cantika.

Alan menyentil jidat Anggi gemas, "Ya kalau nyemplung masa setengah basah? Sekalian nyemplung aja. Paham?" tanya Alan membuat Anggi berpikir keras lalu menggeleng.

"Emang lu pantes buat bolos kali ini, gua jelasin otak lu juga gak bakal paham. Isinya Bagas semua, sih!" seru Alan sambil mengacak rambut Anggi gemas.

"Ayo ke UKS," ajak Anggi membuat Alan mengangguk lalu menggandeng pergelangan tangan Anggi meninggalkan Bagas yang sedikit cemburu melihat Alan dan Anggi bergandengan tangan di lorong sekolah.

Anggi baru saja ingin membuka pintu ruangan uks, dirinya dikejutkan oleh Pak Agus yang tengah menggendong Oreo dan berjalan ke arahnya. Anggi menyikut perut Alan lalu memutar balikkan badannya menuju kelas.

"Oreo pakai buat ulah segala, jadi gagal boloskan!"

"Udahlah berarti tandanya emang hari ini harus belajar," ucap Alan tersenyum tipis saat melihat Anggi yang masih saja menggerutu.

"Gagal bolos ya kalian? Ayo cepat masuk kelas sebelum guru masuk," ucap Wijaya yang tiba-tiba datang mengagetkan Anggi dan Alan.

"Telat ya, lu?" tanya Alan yang dibalas oleh anggukan dan cengiran Wijaya.

"Kok bisa lolos? Giliran gua telat kena mulu sama Pak Agus," gerutu Anggi sambil mendelik kesal.

"Gua dibukain pagar sekolah sama pak satpam katanya Pak Agus lagi gendong Oreo ke uks jadi ya gua kabur aja. Padahal kata pak satpam disuruh nunggu, tapi pak satpam tuh gak pernah ngerti nunggu itu ngga enak! Tahu ngga sih gua nunggu doi peka itu udah lebih dari lima tahun, guys!" Ucapan Wijaya membuat Alan membekap mulut sahabatnya.

"Gua peka kok, cuman nunggu waktunya tepat aja, beb!" Wijaya mendelik kesal mendengar jawaban Alan.

"Kan disuruh nunggu lagi."

"Jadi? Gua jadi nyamuk ceritanya?" Anggi mendelik kesal sekaligus tersenyum mengingat betapa rumitnya kisah cinta mereka.

Keadaan kelas XI Mia 3 benar-benar tidak kondusif. Guru biologi yang seharusnya mengisi jam pelajaran pagi ini berhalangan untuk mengajar dikarenakan guru biologi tersebut, Bu Lani dikabarkan bahwa air ketubannya pecah saat ingin berangkat ke sekolah.

"Hari ini XI Mia 1 lagi olahraga, kan? Temenin, dong!" pinta Anggi kepada Wijaya yang tengah memperhatikan Alan yang urat malunya sudah putus.

"Ayo, tapi jangan lama-lama. Lagi betah banget gua ngelihatin Alan joget gak tahu malu gitu," ucap Wijaya sambil tertawa karena tiba-tiba saja Alan mengajaknya maju ke depan lalu memberikannya bunga plastik yang ditaruh di meja guru sebagai hiasan.

"Alan emang urat malunya udah putus," olok Anggi dengan nada meledek sambil menarik tangan Wijaya yang tengah dipegang oleh Alan.

"Ayo temenin bentar aja." Anggi membawa kotak makan yang telah ia siapkan tadi pagi. Semenjak Bagas menjabat jadi ketua rohis, Bagas lebih sibuk dengan Cantika dan urusan proker membuat Bagas lupa makan bahkan sampai lupa untuk tidur. Dira, teteh Bagas yang bisa diandalkan oleh Anggi disaat Bagas sedang di rumah selalu memberikan informasi tentang Bagas disaat-saat tertentu. Tentang kesehatannya, acaranya dan perubahan sikapnya.

Anggi mengintip dari sela-sela pintu lalu membuka pintu XI Mia 1, ia menghampiri meja barisan pertama tepat di depan meja guru. Anggi menaruh kotak makan tersebut di atas meja Bagas.

"Nggi? Ngasih kotak makan lagi ke Bagas?" tanya Ferdi, sahabat Alan. Anggi hanya mengangguk sedikit malu, kesannya dirinya seperti terlalu memberikan perhatian lebih kepada Bagas.

"Besok ngga usah lagi, ujungnya bakalan dimakan bareng-bareng, Nggi."

Dirinya menatap ke arah Ferdi, "Dia ngga makan?" tanya Anggi heran.

"Dia makan di kantin bareng Cantika." Ferdi menatap Anggi kasian.

"Dia nanya ngga itu kotak makan dari siapa?"

"Baru kemarin dia mau nanya, eh Cantikanya ngajak Bagas buru-buru ke kantin. Jadi belum nanya sampai sekarang," jawab Ferdi membuat Anggi mengangguk pelan.

"Di? Lu lama ba ..." Ucapan Bagas terputus saat dirinya memasuki kelas.

"Anggi? Kok di sini?" tanya Bagas yang melihat Anggi tengah berdiri di dekat mejanya. Ia mengalihkan pandangannya ke atas mejanya.

"Seminggu ini kamu yang bikinin?" tanya Bagas membuat Anggi mengangguk lalu mengambil kotak makan tersebut.

"Kamu isthirahat makan di kantin aja bareng Cantika. Yang ini aku ambil balik!"

Bagas tersenyum. Ia tahu bahwa Angginya tengah cemburu, "Kamu cemburu?"

"Menurut kamu? Aku mau balik ke kelas. Urusin sana proker sambil makan di kantin bareng Cantika. Pacarnya siapa, yang diajak ke kantin siapa," sindir Anggi jengkel.

"Cari mati sih lu," ledek Ferdi membuat Wijaya tertawa kecil.

"Maaf aku ngga tahu," ucap Bagas dengan nada menyesal tapi dirinya berusaha menahan tawa, rasanya dirinya ingin memeluk Anggi sangking lucunya ekspresi Anggi sekarang.

"Nyatanya kamu ngga berusaha buat nyari tahu. Selama seminggu ini kita jadian dan selama tiga hari ini aku ngasih kotak makan. Masa ngga tahu?!" Anggi menatap Bagas dengan tatapan kecewa. Rasanya Anggi ingin menggantung Bagas di pohon toge terus mengubur si Cantika hidup-hidup.

"Bahkan hari ini kamu bareng Cantika berangkatnya dan kamu ngga ngasih tahu aku? Pesan aku aja dianggurin."

"Maaf," ucap Bagas lagi membuat Anggi semakin kesal.

"Maaf aja terus sampe gumoh!" Anggi mencebik kesal membuat Bagas menghampiri Anggi lalu memohon maaf tak lupa membujuk Anggi agar mereka baikkan.

"Gas? Fer? Pak Agus nyariin katanya kok la ... ma?" Cantika tiba-tiba saja muncul menghancurkan momen Bagas yang sedang mohon-mohon.

"Ngerusak suasana aja lu," olok Wijaya menatap Cantika tak suka.

"Aku udah males dengar kamu minta maaf, aku mau bukti. Sabtu sama minggu temenin aku ya?" pinta Anggi membuat Bagas bingung karena hari sabtu dirinya sudah ada janji dengan Cantika.

"Iya, aku usahain." Ucapan Bagas membuat Anggi tersenyum tipis.

"Tapi kamu janji mau nemenin aku hari sabtu ke toko buku," ucap Cantika tiba-tiba yang dibalas tatapan tajam oleh Wijaya dan Anggi.

"Lu di sini ngga diajak ngobrol, cicing!" Ferdi menahan tawa. Biasanya Cantika ngomel-ngomel dan marahin anak orang yang mencari perhatian Bagas. Sekarang Cantika malah diomelin sama Wijaya.

"Gua cuman mau nagih janjinya Bagas doang, kok!" bentak Cantika yang merasa bahwa dirinya disudutkan.

Anggi melihat Bagas yang bingung, dirinya tahu bahwa Bagasnya tengah tidak baik-baik saja. Anggi merasa egois jika melihat Bagasnya seperti ini.

"Isthirahat, Gas. Kalau ngga bisa, bilang ngga bisa. Jangan dipaksa, kamu bukan robot yang nurutin perkataan orang-orang. Kata Teh Dira kamu belum sarapan, ini kamu makan terus minta obat di uks. Isthirahat di sana," ucap Anggi mengusap pundak Bagas sambil tersenyum.

"Temenin," ucap Bagas pelan yang hanya dibalas anggukan oleh Anggi.

"Mau aku yang nemenin apa sama jailangkung yang tiba-tiba datang ngga diundang?" tanya Anggi dengan nada menggoda membuat Bagas sedikit tertawa lalu memeluk Anggi.

"Mau sama kamu aja," ucap Bagas yang hanya bisa didengar oleh Anggi. Anggi hanya mengangguk kecil, dirinya kembali jatuh melihat Bagas yang seperti ini.

"Fer? Bagas perlu isthirahat di uks, bilangin ke Pak Agus ya? Gua mau nemenin Bagas. Wijaya? Makasih udah antar, maaf lu baliknya sendirian. Gua duluan," ucap Anggi yang telapak tangannya sudah dibalut oleh telapak tangan Bagas membuat dirinya tersenyum.

***

"Nggi? Jadi ngga? Sekalian soalnya ada yang mau gua beli." Alan sudah siap sepuluh menit yang lalu di teras rumah Anggi pagi-pagi sekali membuat Anggi kesal karena rencana bangun siangnya dipatahkan oleh Alan.

"Cicing ah, ini sepatunya kekecilan kaki gua gak bisa masuk," ucap Anggi masih mencoba memasukkan kakinya ke dalam sepatu.

"Makanya kalau makan jangan banyak-banyak," ledek Alan membuat Anggi melemparkan sepatu yang sebelah kiri.

"Mamam tah sepatu!" hardik Anggi sambil tertawa karena lemparannya tepat sasaran.

"Kurang ajar, udah lu pakai sendal aja. Ribet banget."

Anggi lalu mengambil sendal jepit lalu menghampiri Alan, "Kuy jalan."

***

Setibanya di mall, Anggi dan Alan melesat ke toko pernak-pernik untuk membeli hiasan ulangtahun untuk Bentang, aa Anggi.

"Alan? Bantuin pilihin, lu kan cowok sejenis sama aa gua," pinta Anggi mengambil balon angka dua dan nol.

"Aa lu yang ulangtahun kok gua yang ribet sih?"

Anggi menatap Alan gemas lalu melempar balon yang ia pegang, "Bantuin aja sih ngga usah banyak bacot."

"Bensin bayarin ya?" pinta Alan membuat Anggi mencebik.

"Pemerasan! Tapi lu antar gua ke tempat nongkrong aa gua, gimana?" tawar Anggi membuat Alan mengangguk.

"Sampai tangki gua penuh ya?"

"Dikasih hati minta jantung, elunya malah kayak pisang punya jantung tapi ngga punya hati!" hardik Anggi membuat Alan tertawa.

Anggi mengambil confetti sedangkan Alan mengambil pilox, snow spray dan balon biasa.

"Ini aja?" tanya Alan membuat Anggi berpikir sejenak lalu mengangguk.

"Lu mau ada yang dibeli, kan? Ketemuan di toko kue aja," ucap Anggi membuat Alan mengangguk setuju lalu melesat pergi.

Anggi membayar semua yang tadi ia dan Alan pilih lalu pergi menuju toko kue untuk membeli kue choco fudge kesukaan Bentang.

"Lama banget sih Alan!" gerutu Anggi yang sudah mendapatkan kue yang ia mau.

Alan tiba-tiba saja muncul dengan nafas yang memburu, "Maaf lama."

"Temenin gua ke toko buku," pinta Anggi membuat Alan kaget.

"Lu mau ngapain ke sana, capek gua baru dari sana masa ke sana. Pulang aja," ucap Alan panik.

"Ada yang mau gua beli. Ngga mau nemenin? Tunggu di parkiran aja. Ngga lama kok."

Alan semakin panik, "Ya udah gua temenin. Tapi cepetan jangan lama." Anggi mengangguk sambil tersenyum senang.

Anggi dan Alan baru saja masuk ke dalam toko buku, Anggi sedikit tertarik dengan dua anak adam yang tengah membayar belanjaannya di kasir. Sedangkan laki-laki tersebut menatapnya kaget. Dirinya berpaling lalu mencari barang yang ia butuhkan, menganggap bahwa ia tak kenal dengan laki-laki yang bilangnya punya janji hari sabtu tapi jalannya hari minggu. Menyebalkan!

"Nggi?" panggil laki-laki tersebut.

Anggi menengok menatap laki-laki itu, "Maaf? Kita emang kenal?"

Anggi tersenyum sinis lalu pergi meninggalkan laki-laki tersebut, Bagasnya.

Sedangkan Alan yang hanya menjadi penonton, "Mampuskan ibu negara marah." Alan menghardik sambil tertawa pelan. Sebenarnya Alan sudah tahu Bagas berada di toko buku tapi dirinya sudah berusaha supaya Anggi tidak bertemu Bagas.

***

Alan dan Anggi sudah sampai di tempat biasa Bentang nongkrong. Anggi menatap Dira lalu tersenyum memberikan kue, hiasan serta kado yang ia beli di toko buku untuk ditaruh bersama kado-kado yang lain.

"Lah? Tetehnya Bagas ngapa di sini?" tanya Alan yang ikut turun.

"Pacar aa gua," jawab Anggi seadanya membuat mulut Alan membentuk huruf o.

"Sampai jam berapa acaranya?" tanya Alan, Anggi yang sedang menyiapkan kue menatap Alan.

"Besok senin. Kayaknya ngga sampai pagi, besok pada kuliah gua juga sekolah. Jam sepuluh kayaknya udah selesai," jawab Anggi membuat Dira yang di sana tersenyum.

"Gua tungguin, deh." Anggi hanya mengangguk membalas ucapan Alan yang ingin menunggunya sedangkan Dira hanya tersenyum, kayaknya bakalan ada kejadian tikung-menikung.

"Bagas putusin aja biar mampus, lebih perhatian sama proker. Dia dituntut sama almarhumah mamah buat jadi sempurna gitu, Nggi. Maaf kalau itu buat lu cemburu, ngga enak sih diduain sama benda mati kayak laptop sama proker makanya gua saranin buat putus." Dira melirik Anggi yang hanya membalas ucapannya dengan senyum tipis.

***

"Saya tidak mau kalian membuang sampah di lingkungan sekolah apalagi menaruhnya di kolong meja," amanat Pak Agus yang menjadi pembina upacara membuat Anggi pusing.

Acara ulangtahun kemarin berlangsung ricuh karena aksi tonjok-tonjokan antara Bentang, Alan dan Bagas. Bagasnya sekarang seperti Cantika, datang tak diundang udah kayak jailangkung. Masa tiba-tiba datang ke acara ulangtahun aa-nya dan parahnya dia langsung main nonjok Alan. Gimana tuh pesta ngga ricuh?

Memikirkan kejadian semalam membuatnya pusing, kepalanya terasa sangat berat. Lalu semuanya gelap.
Anggi membuka kedua kelopak matanya pelan-pelan, ia sadar bahwa ia pasti di ruang UKS.

"Kamu udah sadar?" tanya Bagas khawatir.

"Emang aku koma? Pingsan doang," jawab Anggi sedikit sinis. Dirinya masih marah!

"Kamu kenapa ngga bilang mau ke tempat nongkrongnya Bentang? Pulang malam segala, jadi sakit kan?!" bentak Bagas membuat Anggi kaget, bukan Anggi saja laki-laki yang di samping ranjang Anggi dan Lita, anak pmr ikutan kaget. Lita menghampiri Anggi yang baru saja siuman sambil membawa teh hangat.

"Gas? Anggi baru siuman kamu udah bentak-bentak aja, maneh sehat?" tanya Lita memberikan segelas teh hangat kepada Anggi yang mencoba duduk.

"Urusan rumah tangga jangan dibawa ke sini, dong. Berisik! Mau tidur aja ngga bisa," teriak seorang laki-laki yang sedang berbaring di ranjang sebelah.

"Kak Arif!" Lita sebenarnya ingin tertawa tapi ia harus menegur Arif terlebih dahulu.

Beberapa menit terasa canggung sekali, Lita yang sadar bahwa dua sejoli ini perlu waktu dirinya pamit undur diri mengurus Arif yang ada di sebelah.

"Kamu ngga bilang kalau mau ke tempat nongkrong Bentang. Aku bisa antar," ujar Bagas memulai pembicaraan membahas kejadian semalam.

"Kamu bukan robot, Gas. Kamu manusia, kamu ngga bisa menyenangkan semua orang, kamu ngga bisa memenuhi kemauan orang-orang, jadi tolong saat di depan aku jangan sok deh! Kalau misalnya di depan aku kamu masih sok kuat kayak gitu, kamu mau nunjukin ke siapa sosok lemah kamu? Cantika?" tanya Anggi sekaligus mengomel.

Bagas tersenyum geli lalu mengelus punggung tangan Anggi, "Kamu baru aja siuman udah ngomel aja."

"Karena aku sayang kamu, aku peduli sama kamu. Tapi, seharusnya aku lebih sayang Allah supaya aku ngga ngerasain kecewa. Kita udahan aja ya, Gas?" pinta Anggi menatap Bagasnya yang bingung, dirinya harus tegas tentang hubungannya yang tak jelas. Harus! Wajib!

"Nggi?" Bagas bingung, ia rasanya ingin mengulang kembali seminggu yang lalu tanpa ada kesempatan dirinya menjadi ketua rohis agar Anggi dan dirinya punya banyak waktu bersama.

"Manusia ngga ada yang sempurna, jika almarhumah mamah kamu nuntut kamu jadi sempurna bukan berarti kamu harus benar-benar sempurna lalu mengabaikan seluruh kebahagiaan yang kamu dapatkan. Suatu kebanggaan tersendiri pasti saat kamu jadi ketua rohis tapi, saat kamu menjabat hampir seluruh kebahagiaan kamu lewatkan. Kalau kamu berpikir aku bakalan ngejauh, kamu salah. Aku bakal di samping kamu bareng Alan sama Wijaya. Kita udah lama ngga tanding basket terus sepedahan di taman kompleks." Anggi tersenyum menatap Bagas yang tengah menatapnya.

"Janji bakal di samping aku terus?" pinta Bagas membuat Anggi mengangguk.

"Tapi jangan jadian sama Cantika!" pinta Anggi membuat Bagas terkekeh.

"Jangan kayak pisang deh, punya jantung tapi ngga punya hati!" olok Anggi membuat Bagas tertawa lepas.

"Kalau kamu mau sukses, jangan tinggalkan salat fardhu. Kalau kamu mau kaya, jangan tinggalkan salat dhuha. Kalau kamu mau ketenangan jangan tinggalkan salat tahajud. Kalau kamu mau sempurna? Jelas ngga bisalah, sempurna itu hanya milik Allah SWT!" seru Anggi membuat Bagas berpikir bahwa Anggi lebih cocok jadi ketua rohis. Bahkan seharusnya hari sabtu kemarin ia mengajak Anggi untuk rapat membahas tema untuk berbagi ilmu di hari selasa.

"Aku kayaknya ngga pantes buat jadi ketua rohis, Nggi. Aku udah bohong sama mereka, kesepakatan jadi ketua rohis itu ngga boleh pacaran. Tapi, saat hari terakhir kita tafakur alam aku malah ngajak kamu pacaran," sesal Bagas membuat Anggi tersenyum.

Anggi mengelus pundak Bagas, "Jabatan kamu yang bakalan nuntun kamu jadi lebih baik lagi. Jadi jangan sedih gitu, ah! Senyum dong!" seru Anggi menyentuh kedua pipi Bagas dengan kedua jari telunjuknya lalu menariknya ke atas.

"Belum mahram, dosa!" seru Alan yang tiba-tiba masuk membuat mereka bertiga tertawa.

Nyatanya ngga selamanya status membawa kebahagiaan sama seperti kesempurnaan. Jadi harus banyak bersyukur dan lebih sering menikmati hidup. Ingat kita bukan kucing yang punya sembilan nyawa, jadi manfaatkanlah hidup kalian.

[Tamat]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro