The Dance oleh El

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

The Dance
Penulis: El

"Hari ini jadwal pendaftaran ekskul, lo daftar ekskul apa?"

Esti terdiam begitu pertanyaan dari temannya terdengar. Sebenarnya ini yang ia pikirkan sejak beberapa hari belakangan. Esti bingung hendak memilih ekskul apa, meski bakatnya condong ke tari, tetap saja Esti masih bingung.

"Ini brosur ekskul di sini, siapa tau lo ada yang minat." Temannya beranjak pergi, meninggalkan Esti yang masih terdiam.

Tangan Esti membuka lembar demi lembar brosur itu. Matanya fokus pada deretan huruf di sana. Sejauh membaca, ia masih belum menemukan apa yang ia minati. Semuanya seolah terkesan biasa saja baginya. Dulu ketika SMP, Esti pernah mencoba satu per satu ekskul yang ada. Namun pada akhirnya berhenti karena bosan melanda juga karena tak lagi mempunyai minat.

Esti menghela napas. Masih bingung. Ia simpan brosur itu ke atas meja. Kemudian beranjak. Mungkin, berkeliling sejenak dapat membuatnya menemukan minat.

Gadis berambut sebahu itu melangkah perlahan. Menyusuri gedung-gedung sekolah serta melihat-lihat berbagai pemandangan di depannya. Sebagian siswa sepertinya tengah sibuk wara-wiri entah sedang apa.

Hingga matanya menatap sosok pemuda asing yang tengah melakukan aksi dance-nya. Pemuda itu terlihat begitu lihai dalam setiap gerakannya. Esti tertarik. Sampai tak sadar kakinya melangkah mendekati pemuda itu. Tak hanya ia, beberapa siswa pun melakukan hal yang sama. Esti berhenti berjalan begitu hampir mencapai tempat pemuda itu menari. Siswa lainnya semakin banyak yang mendekat. Esti beringsut maju, tak ingin sampai ada di barisan belakang.

Mata Esti terus menerus menatap tiap gerakan yang pemuda itu tampilkan. Sungguh memukau. Mungkin pemuda yang masih belum Esti ketahui namanya itu memang lihai di bidang menari. Ia terlihat sangat-sangat pandai menggerakkan badan. Tak ada yang terlihat kaku. Semua gerakannya seolah sempurna. Pun dengan orangnya. Tinggi, putih dan tampan. Perpaduan yang bagus sebagai seorang penari.

Pemuda yang masih menari itu tiba-tiba berhenti bergerak. Semua orang mendadak diam. Menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.

Esti mengira, cowok itu berhenti karena anggota tubuhnya merasa kram. Tapi ternyata tidak, pemuda itu melanjutkan langkahnya, mengikuti musik yang tiba-tiba kembali menyala setelah berhenti sesaat. Hal itu mengundang decak kagum dari beberapa siswa. Sayangnya, Esti hanya terdiam sembari tersenyum. Fokus pada gerakan yang pemuda itu tampilkan juga ... pada orangnya.

"Hei."

Tepukan di bahunya serta sebuah suara, mengagetkan Esti. Ia menoleh ke samping kiri, menatap siapa gerangan yang baru saja membuatnya terkejut.

"Ngagetin aja!" Kiki terkekeh.

"Abis,  lo fokus banget liatinnya. Btw, gimana? Lo udah tentuin, mau masuk ekskul mana?"

Esti terdiam sejenak. Sebenarnya, ia belum menentukan pilihan saat ini. Esti masih bingung. Esti hendak menjawab pertanyaan Kiki, tapi tiba-tiba orang yang tadi sedang menari, bersuara.

"Halo semua. Perkenalkan saya Rafis. Pelatih ekstrakurikuler dance. Hari ini kami akan membagikan brosur ekskul kami. Bagi yang berminat, silakan hubungi kontak yang tertera." Rafis, nama pemuda itu segera pergi setelah menyelesaikan ucapannya.

Mata Esti selalu mengikuti ke mana pun Rafis pergi. Hingga tak sadar, seseorang yang tengah membagikan brosur ada di hadapannya saat ini, menunggu respon dari Esti.

"Eh." Esti terkejut begitu Kiki menyenggolnya.

"Jangan ngelamun. Itu Kakaknya lagi bagiin brosur. Sapa tau lo minat."

Esti segera tersenyum begitu brosur ekstrakurikuler tari itu berada di tangannya. Ia kemudian melanjutkan langkah kembali ke kelasnya. Sembari membaca dengan perlahan. Bahkan ia tak sadar jika telah meninggalkan Kiki sendiri.

"Hanya diterima 15 siswi. Ketat juga, ya," gumam Esti sembari melangkah.

Matanya melanjutkan membaca deretan huruf yang tertera di sana. Sesekali Esti memberhentikan langkah demi dapat membaca dengan jelas.

"What?! Pendaftarannya plus seleksinya besok? Beneran besok?" Esti kembali terkejut begitu membaca bagian pendaftaran. Ia sampai kembali memberhentikan langkah.

Esti terkejut bukan main. Pasalnya, ia tak memiliki waktu lagi untuk berlatih. Bagaimana bisa lolos jika pendaftaran berikut seleksinya akan dilaksanakan besok, sedangkan ia belum berlatih sama sekali.

"Hei!" Kiki berlari ke arahnya. "Udah punya pilihan?" tanyanya.
Esti mengangguk pelan. "Tapi...."

"Tapi apa?"

"Pendaftaran sama seleksinya besok. Gimana gue bisa lolos? Mana cuma 15 orang yang diterima lagi."

"Oh, jadi lo mau daftar ekskul tari."

Esti mengangguk lagi. "Gue tertarik sama mas yang nge-dance tadi."

Merasa ada yang aneh dengan ucapannya, Esti membungkam mulutnya sendiri. Salahnya keceplosan menyebut kalimat tadi. Kiki di sampingnya, senyum-senyum sendiri.

"Oh, jadi lo daftar ekskul itu cuma buat ketemu sama pelatihnya." Esti segera membungkam mulut Kiki, sembari menoleh ke kanan dan ke kiri. Berharap tidak ada yang mendengar ucapan Kiki tadi.

"Ember banget, sih!" serunya kesal.

"Suruh siapa keceplosan."

"Kiki, ih!"

Esti kembali melanjutkan langkahnya dengan wajah tertekuk. Meninggalkan Kiki yang masih tertawa di belakangnya. Sesekali ia menepuk mulut. Menyalahkan anggota tubuh itu ketika tak sengaja mengeluarkan kalimat yang seharusnya ia pendam saja. Bukannya apa, Kiki adalah gadis terjahil sejagat raya. Esti takut Kiki membeberkan rahasia itu pada teman sekelasnya. Walau sebenarnya Kiki tidak akan melakukan itu, tapi tetap saja Esti harus waspada.

Begitu sampai di kelasnya, Esti segera duduk dan membenamkan wajahnya di antara lipatan lengan. Bukannya malu, ia tengah memikirkan tentang brosur ekskul tari itu. Sejujurnya Esti masih bingung, tapi ketika mengingat Rafis menari tadi, ia selalu merasa tertarik. Dengan helaan napas panjang, Esti memutuskan untuk ikut seleksi. Ia bisa berlatih sepulang sekolah nanti. Mengingat beberapa waktu lalu ia menarikan tari tradisional di beberapa acara, membuatnya lebih mudah berlatih.

Esti mengangkat wajahnya. Kemudian menyimpan brosur itu ke dalam tas. Bersamaan dengan datangnya Kiki dengan senyumnya. Esti tahu, sebentar lagi gadis itu akan menggodanya. Atau bahkan membuatnya kesal.

"Apa perlu lo liat cogan dulu, baru bisa memilih suatu hal?" tanyanya diakhiri dengan tawa.

Gadis di sampingnya mendengkus kesal. "Apa, sih?"

"Lagian, Ti, ya. Semua orang yang kenal lo juga tahu, kalau lo itu sebenarnya jago tari. Apalagi tari tradisional. Kenapa sekarang lo bingung mau milih ekskul apa? Kalau gue jadi, lo. Mungkin gue akan langsung milih ekskul tari tanpa pikir panjang."

"Gue itu bosenan orangnya, lo tau itu. Gue pengen aja cari suasana baru. Makanya bingung mau milih apa."

Kiki tersenyum mengejek. "Alah, dulu di SMP juga alasannya begitu. Tapi ujung-ujungnya bakal betah di tari. Tapi Ti, gue setuju sih kalau lo sama mas-mas ganteng yang tadi nge-dance itu."

Beberapa detik setelah kalimat itu meluncur bebas dari mulut Kiki, satu tepukan keras mendarat di bahunya. Bukannya kesakitan, Kiki justru tertawa lebar. Menggoda Esti adalah hal yang paling menyenangkan di dunia, menurut Kiki.

"Sekali lagi lo bilang kayak gitu, pergi lo dari sini. Nggak usah duduk sama gue lagi!"

Sekali lagi, Kiki tertawa. Mengundang decak kesal dari Esti.

***

Dengan helaan napas, Esti memasuki aula tempat diadakannya seleksi ekskul tari. Matanya menatap sekitar. Ada banyak siswa maupun siswi yang telah berkumpul. Esti kembali merasa kurang percaya diri. Kendati demikian, tekadnya sudah bulat untuk masuk ekskul tari, khususnya di bidang tari tradisional. Esti merasa kurang mampu jika mendaftar di bidang tari modern, meski Rafis yang akan melatihnya.

Esti berbalik, menatap Kiki yang mengantarnya sampai pintu aula. Gadis dengan gaya tomboi itu mengacungkan tangan yang terkepal. Memberi semangat. Esti tersenyum.

Bisa, pasti bisa.

Gadis itu mendekat ke tempat di mana banyak siswi berkumpul. Hampir di tengah aula. Matanya mencari-cari keberadaan Rafis. Sebuah senyum simpul terbit di bibirnya. Pemuda tampan yang kini mengenakan topi itu terlihat lebih menawan. Esti jadi lupa dengan rasa gugupnya.

"Perhatian semuanya!" Suara Rafis menggema. Esti kembali memusatkan perhatiannya pada Rafis.

"Seperti yang ada di brosur, kami hanya menerima 15 orang di masing-masing bidang. Lima belas untuk modern dance dan 15 orang untuk tradisional dance. Masing-masing dari kalian wajib menampilkan gerakan tari yang kalian kuasai selama dua menit. Siswa maupun siswi yang berhasil lolos akan diumumkan tiga hari setelah seleksi. Kalian mengerti?!" Semua orang yang ada di aula berseru 'mengerti'.

Lagi dan lagi. Esti hanya mampu menatap diam-diam Rafis. Pemuda dengan segala kelebihannya itu membuatnya tertarik. Ya, Esti akui ia tertarik pada Rafis. Pemuda itu terlihat begitu sempurna. Artis Ibu Kota saja kalah.

Esti menggeleng begitu pikiran liar itu muncul di otaknya. Ia bergegas mengembalikan fokus pada seleksi ini. Ia harus lolos seleksi. Esti tidak boleh mengabaikan hal ini. Demi mendapatkan hati Rafis. Entah mengapa, pikiran seperti itu bisa ada di otak Esti.

Menit demi menit berlalu. Sudah banyak siswi yang tampil. Nama Esti masih belum dipanggil. Rasa gugup kembali menyerangnya. Ia mencari keberadaan Rafis, lagi. Mungkin saja dengan kehadiran pemuda itu, rasa gugupnya hilang, seperti tadi. Dan tepat beberapa menit setelah mencari, matanya menangkap Rafis tengah tertawa bersama beberapa anak didiknya yang merupakan kakak kelas Esti. Esti menunduk, pipinya terasa panas. Padahal ia hanya melihat tawa Rafis. Mengapa bisa pipinya merona hanya karena itu?

"Estianingsih."

Namanya dipanggil. Esti mendadak gelagapan sendiri. Kendati demikian, ia tetap bangkit setelah beberapa kali menarik dan mengembuskan napasnya. Dalam hati, Esti banyak berdoa, semoga kali ini ia lolos. Ah, tidak. Lebih tepatnya harus lolos.

Bunyi musik tradisional sudah mulai terdengar. Esti memejamkan matanya sembari mulai menggerakkan tubuhnya. Pelan dan lembut. Tarian yang ditampilkannya begitu luwes. Beberapa dari teman-temannya berdecak kagum. Esti terlihat sungguh lihai dalam menari walaupun dengan mata terpejam. Kendati jauh di lubuk hatinya, Esti merasa gugup dan takut.

Lagu masih mengalun. Dan tarian yang Esti bawakan masih belum selesai. Ia masih menari dengan segala kemampuannya. Sebenarnya Esti adalah gadis yang memang berbakat dalam bidang ini. Sejak kecil, ia suka menari. Apalagi melihat orang menari. Masuk SD, ia berkali-kali ikut lomba menari pun pada masa SMP. Pantas jika teman-teman yang mengenalinya menjuluki Esti 'Sandrina KW' karena kepiawaiannya dalam menari. Sayangnya, orang yang mengetahui fakta itu di sini hanyalah Kiki. Karena hanya ia dan Kiki, siswi dari SMP-nya yang masuk ke sekolah ini.

Musik berhenti mengalun. Dan Esti berhenti bergerak. Ia telah menyelesaikan tariannya yang cukup memukau. Matanya terbuka ketika riuh tepuk tangan masuk ke pendengarannya. Bahkan anak-anak yang mendaftar di bidang modern dance juga turut memberikan tepuk tangan. Bisa Esti lihat, Rafis pun melakukan hal yang sama.
Namun satu yang luput dari perhatiannya. Diam-diam, seseorang menatapnya dengan senyum yang tak bisa diartikan.

***

"Kiki..." Esti berteriak begitu keluar dari aula dan mendapati Kiki masih menunggunya.

"Gimana-gimana?" Kiki meraih pergelangan tangan gadis itu,  lantas mengajaknya menepi.

"Sukses, dong." Esti mengangkat jempolnya.

Kiki tersenyum lebar lantas memeluk Esti erat. Ia turut senang melihat sahabatnya sejak SMP itu keluar dengan wajah ceria.

"Gue lihat Kak Rafis tepuk tangan pas gue selesai tampil. Sumpah! Gue seneng banget."

Kiki merangkul Esti. "Oh, jadi beneran karena dia, lo masuk ekskul tari? Gue kira lo beneran bosen nari." Esti tak menjawab. Ia hanya tertawa.

"Btw, lo daftar ekskul apa?"

"Gue belum tahu. Mungkin basket? Atau takraw."

Kini giliran Esti yang tertawa. "Astaga. Cewek dikit napa, Ki. Ntar nggak ada yang mau tau rasa, lo."

Kiki yang lebih tinggi dari Esti ikut tertawa. Ia menjitak kepala Esti pelan namun berkali-kali.

"Semua manusia itu diciptakan berpasang-pasangan tau. Secowok apa pun gaya gue, gue tetep punya jodoh nantinya."

"Kalau ternyata jodoh lo kemayu gimana?" Esti tertawa.

"Sialan."

***

Hari berganti tanpa terasa. Esti tak sabar menunggu pengumuman itu tiba. Lebih tepatnya, tak sabar ingin kembali bertemu dengan Rafis. Entah mengapa, akhir-akhir ini Esti sering memimpikan pemuda itu. Ia jadi semakin ingin bertemu. Rindukah? Entahlah. Esti tak tahu pasti.

Dengan ditemani Kiki, Esti menuju aula. Pengumuman akan diadakan secara langsung, tanpa kertas seperti biasa. Tentu ini spesial bagi Esti. Hari yang mendebarkan telah tiba. Dan Esti wajib mempersiapkan hatinya untuk tidak terlalu senang ataupun kecewa dengan hasilnya. Kendati ia nantinya tidak lolos, ia yakin, pasti akan ada cara untuknya kembali bertemu Rafis.

"Gue tunggu di sini, ya. Good luck!" Esti mengacungkan kedua jempolnya kepada Kiki.

Gadis itu kembali masuk aula dengan helaan napas. Persis seperti yang ia lakukan ketika akan melaksanakan seleksi beberapa hari yang lalu. Matanya memandang sekitar, mencari tempat duduk. Tapi sepertinya dewi Fortuna sedang berpihak padanya. Esti melihat Rafis, pemuda itu tengah tertawa bersama kakak kelas Esti. Membahagiakan sekali rasanya melihatnya. Esti bahkan turut tersenyum.

Beberapa menit berlalu setelah ia duduk di tempatnya. Matanya masih saja asyik memandangi Rafis dari kejauhan. Untungnya teman yang duduk di depannya sedikit menghalanginya. Membuat Esti jadi tidak akan ketahuan memandangi pemuda itu. Ia lebih leluasa menatapnya saat tengah mengobrol atau bahkan tertawa. Sesekali Esti menengok jam yang ada di pergelangan tangan kanannya. Lima menit lagi pengumuman dibacakan. Mendadak, fokus Esti beralih.

Menit berganti menit. Saat pembacaan pengumuman telah tiba. Esti memfokuskan dirinya untuk tidak terus-menerus memandangi Rafis dari kejauhan. Ia harus fokus dengan pengumuman ini. Bahkan suara-suara di sekitarnya yang semula sedikit berisik kini hening. Tak ada suara.

"Halo, selamat pagi menjelang siang semua," sapa gadis yang terlihat masih berumur 20 tahunan, yang akan menjadi pelatih tari tradisional itu.

"Untuk mempersingkat waktu, langsung saja saya bacakan 15 besar siswi yang lolos dalam bidang tari tradisional. Saya akan membacakan nama dari peringkat terbawah. Alias peringkat 15. Bagi kalian yang belum beruntung, jangan bersedih hati. Tahun depan bisa mencobanya kembali. Oke, langsung saja, saya akan sebutkan satu siswi yang lolos. Dan, ya, siswi yang lolos harap maju ke depan."

Waktu bergulir begitu cepat. Esti ketar-ketir sendiri di tempatnya. Pasalnya, sudah hampir 15 nama terpanggil. Dan namanya, belum terpanggil sama sekali. Esti jadi takut kalau ia tak akan lolos kali ini. Gadis itu menunduk. Memainkan jari-jemarinya hingga sebuah suara menghentikan kegiatannya.

"Dan yang pertama adalah..." Gadis yang membacakan pengumuman itu memberi jeda. "Estianingsih ... Selamat."

Dan Esti masih terdiam kaku di tempatnya.

***

Hari demi hari telah dijalani Esti. Sudah beberapa kali ia hadir dalam latihan ekskul tari ini. Dan satu kali pun ia tak membiarkan kesempatan yang ada menjadi sia-sia. Diam-diam, Esti selalu menarik perhatian Rafis, meski kebanyakan gagal. Pemuda itu sepertinya enggan beramah-tamah pada gadis kecil seperti dirinya.

Biasanya, Esti akan berlagak pura-pura jatuh, atau bahkan pura-pura tidak sengaja menyenggol lengan Rafis. Tapi seperti biasa pula, Rafis hanya bersikap tak acuh.

Hal itu membuat Esti sedikit frustasi. Kadang kala ia terlihat semangat menjalani latihan, terkadang tidak.

Seperti hari ini. Ia sedang dalam masa bad mood. Sepertinya hari ini adalah hari sialnya. Tadi pagi, ia terlambat datang ke sekolah plus motor milik pamannya mogok di tengah jalan. Belum lagi sampai di sekolah, Esti dihukum. Dan kali ini, ia telat datang latihan hingga mengharuskannya kembali dihukum.

Meskipun yang menghukumnya saat ini adalah Rafis, Esti tak berminat untuk kembali menarik perhatiannya. Mood-nya dalam keadaan benar-benar buruk.

Beberapa saat setelah menjalankan hukumannya, Esti terduduk lesu dengan peluh membasahi wajah. Teman-temannya yang lain sedang menjalankan latihan dan ia masih duduk bersimbah peluh.

"Esti ... masuk barisan. Ada pengumuman penting." Mbak Dina, pelatih tari tradisional memanggilnya. Esti mengangguk dan segera beranjak.

"Perhatian semuanya! Kali ini saya dan Dina memutuskan untuk membuat sebuah tugas untuk kalian. Seperti apa yang kami bilang beberapa waktu yang lalu, setiap sebulan sekalian akan kami adakan sebuah tugas. Tentu bukan tugas individu." Suara Rafis menggema.

"Untuk kali ini, saya selaku pelatih dance, memberitahu bahwa tugas kalian adalah menari berpasangan. Entah laki-laki perempuan, atau sesama jenis, bebas. Tema yang harus kalian usung adalah tari tradisional mix modern. Masing-masing pasangan harus terdiri dari anggota modern dance dan tari tradisional. Kalian mengerti?!"

Seketika Esti merasa linglung. Ia bahkan belum mengenal lebih dari sebatas nama para anggota ekskul ini. Mana bisa ia mendapat partner tari sedangkan ia sendiri belum mengenal mereka? Apalagi anggota modern dance. Esti tidak mengenal semuanya. Ia mengembuskan napas kasar.

Bisik-bisik mulai terdengar ramai. Esti masih diam di tempat. Ia yakin yang lain pasti tengah mencari pasangan. Sedangkan ia? Masih diam. Bingung hendak melakukan apa.

"Baik, saya beri kalian waktu 10 menit untuk mencari pasangan." Suara Rafis kembali terdengar.

"Sepuluh menit? Astaga," keluhnya.

Tak ingin ambil pusing, ia segera mengacungkan tangannya. Hendak melakukan aksi protes. Rafis melihat sebuah tangan teracung, ia segera menyadari maksudnya.

"Ya, ada yang ingin bertanya?"

Esti yang hendak membuka suara tiba-tiba dibungkam oleh tangan seseorang. Esti mendongak, menatap siapa gerangan yang tiba-tiba menghentikannya.

Seorang cowok yang belum pernah Esti kenal sebelumnya. Matanya membola, terkejut.

"Apa-apaan sih!" katanya seraya melepas tangan itu dari mulutnya secara kasar.

"Siapa yang tadi ingin bertanya?" Rafis memandanginya.

"Nggak jadi, Kak." Esti berseru dengan nada kesal. Tentunya ia tengah kesal pada cowok itu. Lancang sekali membekap mulutnya.

"Jadi partner gue mau nggak?" Cowok yang belum Esti ketahui namanya itu bersuara.

"Ogah! Dasar cowok nggak jelas."

"Oh ... jadi lo mau sendiri gitu? Padahal kan tugasnya berpasangan."

Esti terdiam sejenak. "Ya, nggak juga! Kalau gue nggak nemu tinggal minta Kak Rafis cariin gue partner."

"Yakin?" Cowok itu kembali bersuara.

"Iyalah! Gue tinggal maju, bisik-bisik sama Kakaknya ntar juga dicariin."

"Emang, lo siapanya dia?"

"Eh?"

Percakapan masih mengalir. Esti bahkan tak sadar jika orang-orang di sekelilingnya sudah mendapat pasangan. Hanya ia dan cowok di depannya yang masih belum menemukan pasangan.

"Waktu habis. Apa ada yang belum dapat pasangan?" Kali ini Mbak Dina yang bersuara.

Yang lain serempak menjawab 'tidak' sedangkan Esti menjawab 'iya'. Padahal cowok di sampingnya turut berkata 'tidak'. Esti kalah telak. Ia tak lagi bisa mengelak. Cowok ini keras kepala sekali ketika ditentang.

"Gue bilang juga apa, gue yang menang." Esti bergeming, tak menjawab.

"Gue Restu, kalau lo mau tau," katanya lagi.

Bertambah pula kesialan Esti hari ini. Mana bisa ia tahan dengan seorang cowok keras kepala yang memaksanya untuk menjadi pasangan dalam tugas kali ini.

"Oke. Kami beri aturan tugasnya. Kami beri kalian waktu dua minggu untuk berlatih. Ingat, latihan sebaik mungkin dan serapi mungkin. Untuk durasi, kami beri waktu lima menit untuk menari. Tiga penari pasangan terbaik akan kami kirimkan untuk lomba mendatang. Ada pertanyaan?"

"Tidak!" Yang lain menjawab. Namun Esti masih tetap diam.

Ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika ia dan cowok di sampingnya ini menari. Mungkin saja bakal gagal berlatih, mengingat baru pertama kali kenal saja mereka selalu terlibat adu mulut.

Sebenarnya Restu tidak benar-benar baru mengenal Esti. Ia telah mengamati gadis itu sejak awal masuk SMA Cakrawala ini. Entah mengapa, ada perasaan tertarik begitu melihat senyum cemberutnya. Restu suka melihat Esti marah. Gadis itu terlihat menggemaskan ketika sedang kesal ataupun marah.

***

"Latihan mulai besok, yuk!"

Restu tiba-tiba muncul begitu latihan hari ini dibubarkan. Esti yang saat itu tengah melamun, sontak saja terlonjak kaget. Ia bahkan sampai memukul keras bahu cowok itu. Benar-benar usil.

"Gue sibuk!" sahutnya ketus.

Sejujurnya Esti tidak risih pada Restu. Hanya saja, moodnya dalam keadaan buruk sejak tadi. Dengan sikap menyebalkan Restu yang seperti itu, mampu membuat mood Esti jauh lebih buruk. Ia sedang tak ingin diganggu. Esti ingin menenangkan diri sejenak.

Esti berjalan menjauhi Restu. Sengaja mempercepat jalannya dengan niat supaya Restu tak mengikutinya dan dapat mengerti bahwa ia sedang tak ingin diganggu.

"Eh, lo suka Rafis, ya?" Suara Restu yang terdengar tiba-tiba membuat langkah Esti terhenti.

Bagaimana ia bisa tahu?

"Nggak!"

"Jawab aja, iya. Gue tahu, kok." Esti bergeming. Ia tak membalas.

***

Hari ini mood Esti membaik. Ia tak lagi memasang wajah cemberut atau kesal. Hari ini, Esti kembali ceria. Penuh senyum juga tawa. Tanpa Esti sadari, Restu berdiri tak jauh dari dirinya. Sebenarnya Restu ingin memberitahu cewek itu untuk latihan bersama nanti. Tapi melihat wajah berseri Esti, Restu rasanya tak enak untuk mengganggu.

Kiki yang saat itu tengah bersama Esti lebih dulu menyadari keberadaan Restu. Sebelumnya Esti sudah menceritakan kejadian yang ia alami pada sahabatnya itu. Kiki pun sejujurnya telah mengenal Restu sebelum Esti bertemu dengan lelaki itu.

"Eh, ada Restu." Sapaan dari Kiki membuat Esti sadar, di sana juga terdapat Restu. Segera ia berbalik, menatap lelaki dengan mata hitam legam yang tengah menggaruk tengkuknya itu.

"Nanti latihan, mau? Gue tau di daerah sini ada gedung kosong, kita bisa latihan di sana."

Dan Esti mengangguk sebagai jawaban. Ia harus segera latihan demi mendapatkan hasil yang terbaik. Juga sepertinya, Restu tak begitu buruk untuk menjadi partnernya.

Restu mengangkat senyumnya lebar begitu melihat Esti mengangguk.

***

Latihan berlangsung selama satu jam penuh. Esti terduduk dengan peluh memenuhi lehernya. Sesekali, ia menyekanya dengan tisu yang selalu Esti bawa ke mana saja. Sedangkan Restu, cowok itu nampak tenang sembari memperhatikan suasana sekitar melalui jendela besar yang terbuka.

"Lo tau tempat ini dari mana?" Suara Esti memecah keheningan membuat Restu lantas menolehkan kepalanya.

"Dari dulu."

"Ish. Gue tanya serius juga."

Restu tertawa pelan. Sontak ia melangkah dan duduk di samping Esti.

"Gue tau dari temen gue."

Esti menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Tempat ini bagus. Walaupun kelihatannya nggak keurus banget, tapi dari dalem, kelihatan masih bagus."

"Gedung ini baru ditinggalin, dua tahun lalu."

"Emang kenapa? Padahal bagus lho gedungnya. Banyak gambar mural juga. Ini gedung bekas apa?"

"Studio foto."

Percakapan-percakapan tak penting ini terus berlanjut. Sesekali mereka saling melontarkan tawa maupun candaan. Terlihat sangat menikmati suasana. Esti bahkan sampai tak sadar, bahwa perhatiannya sepenuhnya beralih. Biasanya, ketika Esti berlatih atau sedang menonton video tari, ia selalu teringat akan sosok Rafis yang sudah lama ia kagumi. Namun kini, tak ada. Esti bahkan tak memikirkannya lagi sejak latihan dimulai.

Perhatian Esti sepenuhnya beralih pada sosok pemuda mengesalkan sekaligus menyenangkan di dekatnya saat ini.

***

Latihan mereka berlangsung setelah hari itu. Terhitung sampai hari ini. Hari terakhir mereka latihan, karena besok, mereka akan tampil. Hampir dua minggu, mereka habiskan bersama. Sepulang sekolah, berlatih, hingga tertawa bersama. Saat-saat yang benar-benar membuat Esti bahagia. Ia bahkan tak menyangka jika Restu, cowok yang menurutnya menyebalkan bisa semenyenangkan ini.

Esti juga sama sekali tak teringat akan sosok Rafis. Sejak kali pertama mereka berlatih. Rafis seolah menghilang dari pikirannya pun dari hatinya. Yang ada di otaknya saat ini hanyalah, tari dan Restu. Entah sejak kapan, cowok itu selalu terngiang ketika Esti sedang sendiri.

"Ayo, semangat! Kita pasti bisa."

Esti tersenyum. Kemudian kembali berada di samping Restu setelah menyegarkan dahaganya. Restu sendiri meski terlihat lelah, ia sama sekali tak mengeluh. Berbeda dengan Esti. Sejak hampir dua jam yang lalu mereka berlatih, ia sudah lebih dari 10 kali mengeluh lelah.

Alunan musik mulai terdengar. Keduanya nampak serius menampilkan gerakan tubuh mereka. Membentuk sebuah tarian yang terlihat indah. Gerakan kaku ala dance yang ditampilkan oleh Restu terlihat begitu serasi dengan gerakan lihai Esti. Perpaduan yang begitu cocok.

Hingga lima menit kemudian, mereka menutup latihan kali dengan satu kali embusan napas yang terdengar keras. Mereka terduduk begitu musik berhenti. Sama-sama menyeka keringat yang menghinggapi wajah serta leher mereka menggunakan handuk kecil.

Restu diam-diam tersenyum. Impiannya terkabul. Keinginan yang diam-diam ia harapkan, pernah ia adukan dalam doa, akhirnya terwujud. Bahkan bisa dekat dengan gadis yang ia sukai membuat Restu begitu bahagia. Sungguh demi apa pun, Restu tak akan pernah membiarkan kesempatan ini datang sia-sia. Ia telah merencakan sesuatu untuk gadis di sampingnya ini.

"Ayo pulang!"

Tiba-tiba Esti beranjak. Restu langsung menoleh begitu suara yang entah mengapa terdengar merdu itu menyapa gendang telinganya. Restu turut bangkit. Menyambar tasnya seperti apa yang Esti lakukan di menit sebelumnya.

"Besok, kita harus berjuang sama-sama."

"Pasti.

***

Esok hari datang begitu cepat. Esti dan Restu siap-siap akan tampil sore ini. Mereka berdua telah berlatih begitu keras. Harapan untuk menang, pastilah ada.

Hingga nama mereka dipanggil oleh Rafis, keduanya kompak mengembuskan napas lalu saling berpandangan. Bisa Restu lihat dari tatapan itu, Esti terlihat ragu. Restu mengangguk dan menggandeng tangan kecil milik Esti sembari melangkah. Berharap dengan hal itu, Esti bisa yakin dan mantap.

Alunan lagu yang Restu mix sendiri mulai terdengar. Banyak sekali sepasang mata menyoroti mereka. Restu mendadak merasa gugup. Namun begitu tangan Esti hinggap di punggung tangannya, semangat Restu kembali membara.

Hingga menit demi menit, gerakan yang mereka tampilkan cukup membuat anggota ekskul tari yang lain sedikit terpukau. Gerakan tari tradisional Esti yang lihai berpadu dengan gerakan-gerakan memukau dari Restu, benar-benar perpaduan yang pas. Bahkan mereka berdua mengundang decak kagum dari Rafis juga Dina, pelatih mereka.

Dan tepat ketika suara lagi lagu mulai merendah pun gerakan mereka yang mulai terhenti, suara tepukan mulai ramai terdengar. Keduanya berpandangan kendati napas mereka tak karuan. Esti tersenyum begitu manis ketika memandangnya, membuat Restu merasa jantungnya seakan terhenti selama satu detik, kemudian berdetak lebih cepat di detik-detik selanjutnya.

***

"Astaga. Gue bener-bener nggak nyangka, kalian menang. Selamat!" Kalimat Kiki membuat Esti melebarkan senyumnya.

Ia juga tak menyangka akan menang. Rasanya benar-benar senang, ketika namanya dan nama Restu disebut sebagai pemenang. Esti bahkan tak sadar jika ia memeluk Restu terlalu erat, saking senangnya.

"Makasih, Kiki." Esti memeluk Kiki dari samping sekejab sembari melangkahkan kaki. Perlahan  meninggalkan aula yang mulai sepi.

"Gue bilang juga apa, kalian tuh cocok. Jago nari pula. Pantes menang. Tapi lebih pantes lagi kalau jadian." Seketika pipi Esti terasa panas. Bahkan jantungnya seakan meloncat dari tempatnya.

"Btw, apa kabar, Kak Rafis? Cowok yang lo suka setengah mampus?"

Esti terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Jujur saja, sejak adanya Restu di dekatnya, Esti tak lagi memikirkan pemuda itu. Ingat saja tidak sama sekali.

"Apa jangan-jangan ... lo cinlok sama Restu, ya? Wah, kalau dijadiin FTV seru, tuh. Judulnya, cintaku kepentok Restu dancer. Hahaha."

Sebuah jitakan meluncur bebas ke kepala Kiki. Membuat empunya melenguh. "Sembarangan aja!"

"Bilang aja, iya. Lo suka sama Restu, kan? Ngaku aja, deh."

Mereka berdua melangkah sembari berbicara. Sesekali terdiam karena Esti tersipu malu akibat candaan yang Kiki lontarkan. Hingga tiba-tiba, datang seorang gadis yang Kiki kenal adalah anak ekskul musik.

"Eh, Nada."

"Esti dipanggil Restu, tuh. Ditunggu di aula katanya." Gadis bernama Nada berkata dengan suara lembutnya.

"Gue? Ngapain?"

"Cie-cie. Mau ditembak tuh, keknya." Lagi, Esti merasa pipinya panas. Dan pasti, terlihat memerah.

"Nggak tau deh, gue. Cek aja ke sana. Duluan, yaa." Nada  Kembali melanjutkan langkahnya.

***

Seorang pemuda yang Esti yakini adalah Restu sedang menari di tengah aula yang sepi. Lagu yang mengalun merupakan lagu favorit Esti. Bahkan tanpa sadar, gadis ini ikut bernyanyi. Esti melangkah mendekati Restu. Berniat bertanya mengapa memanggilnya ke mari?

Di luar sana Kiki tengah mengintip. Ia yakin, sebentar lagi Restu akan menembak temannya.

Restu yang pada saat itu tengah membelakangi Esti terpaksa membuatnya berhenti. Tangan Esti terangkat, hendak menepuk bahu itu. Namun tiba-tiba, Restu menoleh dengan sebuah balon berbentuk hati di tangannya. Esti terdiam sembari menurunkan tangannya. Ia masih tak mengerti. Sedangkan di luar sana, Kiki menjerit tertahan.

"Maksudnya?" tanya Esti.

"Jadi cewek gue mau nggak?"

Satu kalimat yang membuat dada Esti berdebar. Ia terkejut dan tak menyangka. Restu menembaknya padahal mereka baru saja mengenal. Ini tak bisa dipercaya.

"Gue bukan cowok romantis. Bukan juga cowok puitis. Tapi gue udah suka lo dari lama. Mungkin lo nggak sadar,tapi ini alasan gue waktu maksa lo jadi partner tugas itu. Mungkin ini terlalu mengejutkan, tapi lo cukup ambil balon ini dan lepaskan kalau lo terima, gue. Tapi kalau nggak, lo cukup pegang balon ini aja."

Esti bingung. Ia bimbang. Ingin menerima namun hatinya meragu. Hingga akhirnya Esti mengambil balon itu dan terdiam cukup lama. Sedangkan Restu di tempatnya merasa jantungnya seakan jatuh entah ke mana. Ia merasa ini terlalu cepat tapi entah mengapa ia melakukannya. Sungguh, Restu siap jika Esti tak akan menerimanya.

"Maaf. Tapi gue nggak bisa. Ini terlalu cepat dan gue butuh waktu yang lebih lama." Esti akhirnya bersuara.

"Nggak papa, gue bisa ngerti. Salah gue ngelakuin ini terlalu cepat. Tapi bolehkan, kita berteman?"

Esti tersenyum lalu mengangguk. "Ya."

Esti yakin, ini keputusan terbaiknya. Kendati ia tahu, Restu pasti kecewa. Tapi ini lebih baik bukan, daripada ia menerima Restu namun tak begitu cinta. Esti juga yakin, ini bukanlah akhir dari kisah mereka. Bisa jadi suatu saat nanti, Restu masih menginginkannya dan mereka akhirnya bersatu.

Sedangkan Restu, kendati ia merasa begitu kecewa, ia bisa ikhlas. Tak ada yang tahu takdir mereka ke depannya. Mungkin sebagai teman sekaligus partner dalam menari, suatu saat Esti bisa menerimanya. Bisa jadi, bukan.

Senyuman keduanya mengembang begitu lebar, kendati salah satunya merasakan sakit entah di hati sebelah mana.

[Tamat]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro