THE MORE YOU EXPECT, THE MORE YOU GET DISAPPOINTED oleh Anita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

THE MORE YOU EXPECT, THE MORE YOU GET DISAPPOINTED
Penulis: Anita

Naksir dengan orang diam-diam itu wajar, apalagi kalau kita nggak kenal orangnya. Kata orang, itu Cuma sekadar kagum aja. Tapi, sepertinya rasa kagum yang berkepanjangan bisa berubah menjadi rasa sayang kemudian cinta. Setelah itu muncul rasa kecewa ketika perasaan kita nggak terbalas, padahal itu suTHE MORE YOU EXPECT, THE MORE YOU GET DISAPPOINTEDdah diprediksikan di awal.

Namanya Ibrahim, anak pecinta alam di sekolahku. Beda satu tingkat denganku. Dia kelas 12 sedangkan aku kelas 11. Pertama kali aku lihat dia saat demo ekskul di tahun pertamaku sekolah. Detik itu juga, aku jatuh hati dengannya. Dia keren! Kulitnya sawo matang, tapi wajahnya sangat cerah! Mukanya mulus pula, tanpa jerawat. Aku merasa gagal sebagai perempuan. Jerawat-jerawat kecilku sedang panen di dahi, buat aku nggak percaya diri.

Tubuhnya Ibrahim juga proporsional. Tingginya kira-kira 175 cm, sangat tinggi dibanding dengan aku. Kadang aku membayangkan betapa lucunya kalau kami pacaran, si cewek pendek dan si cowok jangkung. Pasti aku hanya se-lengan dia deh. Sepertinya kalau dia merangkulku, jatuhnya seperti menghimpitkan kepalaku di ketiaknya.

Sebenarnya, aku ingin sekali daftar pecinta alam, tapi aku takut nggak bisa ikutin kegiatannya. Sedangkan teman pertamaku di sekolah ini, Mila, yang sekarang menjadi sahabatku, ikut ekskul itu. Kalau aku hanya ikut ekskul Lensa Cakrawala, ekskul di bidang fotografi. Senang mengabadikan momen adalah satu-satunya alasanku ikut ekskul ini.

O, ya, nggak bisa sembarang loh masuk ekskul ini! Ada seleksi yang cukup ketat. Hanya orang-orang berkomitmen dan loyal yang bisa menjadi anggota, dan aku bangga. Kata kakak kelas, diadakan seleksi untuk mensortir orang-orang yang memang punya semangat dan loyal dalam menggerakan ekskul ini. Menurut mereka juga, LC nggak Cuma sekadar ekskul, tapi juga keluarga. Nggak nyangka udah setahun lebih aku jadi anggota LC, sekarang sudah punya adik-adik baru yang lagi menjalani 'masa adaptasi' di LC.

Ini sudah jalan 1 bulan setelah mereka lulus seleksi, tinggal 1 bulan lagi mereka menjalankan masa adaptasinya. Selain memasuki bulan kedua masa adaptasi mereka, LC juga sedang mencari pemimpin baru. Ya, aku salah satu kandidat dari 5 kandidat calon ketua LC.

"visi, misi, dan proker udah ada?" Tanya Mila.

"Udah, Mil. Besok bikin papannya buat presentasi. Hari Jumat presentasinya. Bantuin gue besok, please?"

"Duh, nggak janji, Sa. Kan lo tau jadwal hari kamis itu latihan fisik Pala."

Jadi, 5 kandidat ini harus presentasi visi, misi, dan prokernya menggunakan papan dahulu. Setelah pengurus sebelumnya menilai kelayakan 5 kandidat, akan disortir menjadi 3 kandidat. Ketiga kandidat itulah yang harus presentasi di depan anggota dan alumni. Dan hari senin nanti adalah penentuan apakah aku layak menjadi 3 kandidat ketua yang sesungguhnya.

***

"Bareng ngga, Sa?" Tanya Bimo ketika bel pulang berbunyi.

"Duluan deh, Bim. Gue harus kerjain papan presentasi caketu. Kalo di rumah, takut nggak selesai."

"Kerjain di rumah aja. Gue bantu deh!" Ucapnya.

Tumben banget dia mau bantuin pekerjaan aku? Biasanya juga ngerusuh, bikin aku kesal.

"Ah males, bukannya kelar malah hancur karya gue nanti." Ucapku meremehkannya.

Tebak apa yanh dia lakukan! Dia mengambil papanku dengan paksa.

"BIMO!!!!"

Mau atau tidak, aku harus mengikutinya demi papan itu. Mahal cuy, bisa buat makan siang dua hari itu harga papannya!

"Eh, Bimo! Balikin nggak papan gue!!" Ucapku sambil mengikuti langkahnya yang cepat sekali.

"Gue ganti kalo rusak, tenang!"

Bimo berjalan ke arah parkiran motor. Itu artinya kesempatan aku untuk melihat Ibrahim. Biasanya, dia kumpul di ruangan ekskul atau di bawah papan panjat. Aku sangat amat berharap dia lagi istirahat di dekat papan panjat.

Dari jarak 300 meter ke papan panjat, aku memelankan jalanku. Aku memerhatikan satu persatu anak yang kumpul di sana. Hasilnya nihil, dia tidak ada. Hanya ada Mila yang sedang memandu anggotanya untuk push up.

Aku langsung ke parkiran tanpa menghampiri Mila.

"Aw!"

Bahuku menabrak bahu seseorang ketika aku ingin belok ke parkiran. Dia mengusap-usap bahuku, "sorry-sorry"

Aku tengok wajahnya, dan hampir menyumpahinya.

UNTUNG NGGAK JADI! Dia yang aku cari dari jarak 300 meter, sekarang malah bertemu tanpa jarak.

"Sorry banget, gue kurang fokus." Katanya. Sini, bang, Aku bikin fokus..

"Hehe, nggak apa-apa kak. Aku yang salah nggak hati-hati."

"Eh, nggak kok, gue yang salah karena bengong. Maaf yaa" ucapnya dengan tangan MASIH mengusap bahuku. "Sakit nggak? Coba cek dulu, biru nggak?"

"Nggak kok, nggak apa-apa." Ucapku.

Tiba-tiba ada yang klakson dan meneriaki namaku. Aku ke sumber suara, dan ternyata Bimo.

Nggak cuma aku yang nengok, juga Ibrahim dan Mila. Mila malah menghampiri aku dengan Ibrahim.

"Hai, Sa. Lo nggak jadi ngerjain papan presentasi?"

"Ini mau ngerjain di rumah" jawabku.

"Kalian satu kelas?" Tanya Ibrahim.

"Tahun lalu sekelas, sekarang nggak. Dia tuh yang sering ikut kita kumpul, Him. Terutama pas hari Jumat." Jelas Mila.

"Iya, gue tau kok. Kasihan ya kalo harus nunggu lo terus setiap Jumat."

Eh asal kamu tau ya, Ibrahimku, aku sengaja ikut Mila setiap Jumat biar bisa ketemu kamu! Kenapa sih baru hari ini kamu ajak ngobrol?

"Ya mumpung searah dan dia bawa kendaraan, kenapa nggak? Lagian gue selalu suka denger kalian cerita, seru!"

"Jadi pengen naik gunung gak?"

MAU! Siapa yang menolak jika diajak seorang Ibrahim, orang yang dikagum-kagumi selama ini? Jangankam naik gunung, naik ke pelaminan sama kamu, aku mau!

"SA, BURUAN!"

Belum sempat kubalas pertanyaan Ibrahim, Bimo sudah memanggilku. Dasar perusak kebahagiaan.

"Iya, sebentar" teriakku. "Pengen banget! Mungkin kapan-kapan mau minta diajakin Mila deh."

"Kita sering kok iseng naik gunung di luar kegiatan ekskul. Kapan-kapan harus ikut, ya!"

"Iya, pasti. Aku balik duluan ya, harus kejar deadline hehe"

Setelah pamit, aku mengahampiri Bimo, tapi... KOK DIA MASIH IKUTI AKU?

"Sudah selesai larinya kak?" Tanyaku begitu aku di jarak 5 meter dengan Bimo.

"Ini mau lari lagi." Katanya, begitu aku sudah sampai di sebelah Bimo dengan motornya. "Yaudah gih, balik. Gue lanjut lari ya."

Dia senyum kepadaku sebelum lanjut lari. Ingin pingsan rasanya.

***

"Ini es jeruk perasnya, Tuan." ucapku sembari meletakkan nampan berisi segelas es jeruk peras dan segelas coklat hangat.

"Makasih, Mbok."

Aku memukul lengannya, "Sialan lo!"

"Kok lo minum cokelat hangat sih? Aneh banget." ucapnya begitu melihat isi gelasku. "Gue minum ya, panas parah hari ini."

"Gue lagi capek, Bim. Ini bisa jadi stress release gue aja."

Cokelat panas memang cara yang tepat untuk menghilangkan rasa penat. Aku benar-benar pusing untuk mengerjakan hal ini dalam satu malam. Aku sudah mengerjakannya 1/4 sih. Sekarang progressnya sudah 1/2 jadi sejak Bimo aku tinggal bersih-bersih dan membuatkan minumnya.

"Nggak usah dihias-hias kan papannya?" tanya Bimo.

"Nggak usah, Bim, thank you." Ucapku padanya.

Dia tidak lagi melanjutkan papanku. Dia tiduran tepat di sebelahku. Kepalanya tepat di sebelah paha sembari memejamkan matanya.

Bimo ini temanku sejak SMP. Rumahnya dengan rumahku itu dekat. Bahkan dibanding dengan rumah Mila, masih dekat rumah Bimo. Merasa sangat beruntung bisa bertemu dengannya walaupun sikapnya tuh konyol banget.

***

Aku percaya Jumat itu hari baik. Aku baru saja selesai presentasi calon ketua ekskul dan dinyatakan lolos ke tahap akhir: presentasi di depan anggota dan alumni minggu depan.

Sesungguhnya aku tidak tahu harus sedih atau senang, aku membayangkan segala kemungkinan yang terjadi ketika aku menjadi ketua, pasti waktuku tersita banyak.

Selain dinyatakan lolos, aku menunggu waktu-waktu bisa berbincang dengan Ibrahim!

Seperti biasa, setiap jumat aku ikut duduk bareng teman ekskul Mila sehabis kumpul di LC.

Aku sudah di depan papan panjat, tapi tidak terlihat batang hidung Ibrahim sekalipun. Saat ini hanya ada aku, Mila, Umar teman seangkatanku, dan  tiga orang junior.

Mila sibuk mengikat dirinya dengan tali-tali biar aman ketika memanjat, sedangkan Umar si cungkring, menjadi beban di bawah.

Kini Mila sudah berada di tengah papan. Ia masih melanjutkan perjalanannya hingga puncak papan.

"Nggak pengin coba?"

Mataku terbelalak ketika suara yang selalu aku nanti kehadirannya muncul.

"Hah? Hm.. pengen sih, tapi nggak berani."

"Nggak apa-apa, gue ajarin."

"Gue lebih pengen duduk di atas aja sih, tanpa harus wall climbing," ucapku ke Ibrahim. Jujur, aku takut untuk mendaki. Membayangkan harus merayap seperti cicak, sepertinya aku tidak sanggup. "Bisa nggak yang langsung naik aja?"

"Ikut gue kalau gitu."

Aku mengikuti Ibrahim ke belakang papan panjat. Ia mulai menaiki tangga yang terpaut dengan papan panjat. Aku masih ragu dan berdiam diri.

"Hey, kok diam aja? Ayo!" Ucapnya. "Lo ga pakai celana basic?"

Bisa-bisanya dia sefrontal itu!

"Pake kok"

Tanpa banyak omong, aku segera mengikuti jejaknya menaiki tangga. Ke atas melalui tangga pastinya tidak seseram melalui papan.

Sesekali kulihat bawah, ternyata cukup tinggi juga ya padahal baru menaiki setengahnya. Aku kembali fokus menaiki tangga, Ibrahim masih menungguku 2 anak tangga di atas.

Di akhir anak tangga, Ibrahim mengulurkan tangannya kepadaku. Aku menggenggam tangannya hingga berhasil menduduki puncak papan.

"Hai, Sa" sapa Mila. Dia sudah duduk di pinggir, menggelantungkan kakinya.

"Hai, Mil. Cepet juga lo naiknya."

"Ya gue udah setahun main ini, masa gue masih lama juga"

Pergi ke atas papan panjat adalah hal yang tidak akan aku sesali seumur hidup. Justru aku sangat bersyukur bisa menikmati senja. Aku mengeluarkan ponsel untuk mengambil foto senja hari ini.

"Sini, gue fotoin."

"Hah?" Aku menoleh ke Ibrahim.

"Iya, sini gue fotoin lo. Walaupun gue nggak sejago lo, seenggaknya nggak akan ngeblur kok!" Ucapnya. Belum aku iyakan, dia sudah merampas ponselku.

Aku tidak sekalipun terpikirkan untuk foto di atas sini. Juga tidak menyangka kalau Ibrahim akan menawarkannya!

"1.. 2.. 3.."

Aku hanya bisa berpose senyum. Aku memang kurang suka untuk difoto, tapi senang memfoto orang.

"Lo berdua foto dong." Perintah Ibrahim kepada Aku dan Mila. Mila membalikkan setengah badannya.

"Eh, mau dong selfie bertiga!" Ucap Mila tiba-tiba. Aku yakin, ini ada kesengajaan dari Mila. Oh Mila Sayang, terima kasih banyak.

Ponselku kini berada di tangan Mila. Posisi Ibrahim merapat ke sebelahku.

Ibrahim bukan tipikal orang yang narsis, namun juga bukan tipikal orang yang malu bila difoto. Dia akan tersenyum apabila difoto, tapi tidak akan melakukan selfie yang berlebihan.

Setelah foto, Mila memilih untuk turun karena Umar sudah menunggu. Ia terjun perlahan dengan teknik yang tidak bisa kujelaskan.

"Lo nanti pulang sama siapa?" Tanya Ibrahim kepadaku. ditanya seperti ini saja, jantungku sudah berdebar. Padahal aku yakin ini hanya basa basi busuk.

"Sama Mila, kan. Rutinitas."

"Oh lo ikut jemput orang tuanya Mila berarti?"

"Hah?"

"Iya, setau gue hari ini dia izin pulang cepet karena mau jemput orang tuanya."

"Kok dia nggak ada bilang ke gue? Tau gitu tadi gue bareng Bimo!" Keluhku. Sumpah, bukannya aku nggak mau ikut jemput, tapi aku nggak enak mengganggu waktu keluarganya Mila.

Aku dan Ibrahim turun dari papan. Aku menghampiri Mila yang sedang merapikan tali.

"Mil, lo habis ini jemput orang tua lo dulu?"

"Iya, Mil. Nggak apa-apa kan?"

"Duh, nggak deh. Gue nggak enak. Kenapa lo baru bilang sih? Kan gue bisa nebeng Bimo."

Raut wajah Mila berubah menjadi agak bersalah. "Sori deh. Gue kira lo nggak apa-apa."

"Bareng gue aja, Sa."

Aku dan Mila menoleh ke sumber suara. IBRAHIM. Seorang Ibrahim mengajakku pulang bareng, padahal baru kenal kemarin!

"Hah? Duh gaenak gue, kak. Gue naik ojek online aja deh."

"Udah gelap, bareng gue aja sih. Ini bentar lagi gue juga mau balik." Ucap Ibrahim.

"Iya, Sa. Bareng Ibrahim aja hari ini. Duh maaf ya.."

Entah aku harus senang atau bagaimana. Di satu sisi, aku senang karena bisa memperdekat diri dengan Ibrahim. Di sisi lain, aku canggung kalau hanya berdua.

Dia pergi ke sekolah selalu menggunakan motor. Dan ya, sekarang aku berada di motor orang yang aku kagumi sejak satu tahun yang lalu. Di waktu senja menuju malam dengan kondisi jalanan yang ramai. Bahagia itu memang sesederhana ini.

"Sa, lo ngerti kamera kan ya?" Tanyanya  ketika menunggu lampu merah sebelum masuk ke jalan rumahku

"Iya, lumayan. Kenapa kak?"

"Minggu depan adik gue ulang tahun. Dia suka foto-foto dan bikin video, terus gue pengen kasih hadiah kamera. Besok lo kosong gak? Temenin gue beli kamera, yuk."

WHOAAA, aku merasa sedang dapat rezeki beruntun. Ini.. nggak sedang mimpi kan?

"Besok gue kosong kok. Jam berapa?"

"Okay, sore aja ya jam 4. Gue jemput di rumah lo."

***

"KHANSA AYO BANGUN!"

Siapa berani-beraninya mengganggu sabtu pagiku? Pakai ciprat-cipratin air pula. Bikin basah tau gak!

"Lo ngapain sih Bim pagi-pagi gini ganggu orang tidur?"

"Eh palalo pagi. Ini udah jam 2, lo nggak lupa kan janji kamis yang lalu mau nonton sama gue?"

Aku reflek bangun dari tempat tidur. Aku ingat, Bimo sempat mengajakku nonton sabtu ini. Tapi kenapa bisa lupa sih?! Aku sudah terlanjur mengiyakan ajakan Ibrahim.

"Bim, sori banget, kayaknya nggak hari ini deh. Minggu depan aja ya? Habis gue presentasi pemilihan ketua LC."

"Kenapa emang? Bukannya lo jomlo?"

Aku tersenyum mendengar cibiran Bimo. "Hehe, gue mau jalan sama Kak Ibrahim, Bim. Akhirnya!! Seneng banget gue."

"Yeu, dasar bucin! Giliran ada gebetan aja, lupa sama gue. Giliran nggak ada, cari-cari gue."

"Udah sana lo keluar dari kamar gue." Ucapku sambil mendorong Bimo keluar. Kalau tidak begitu, Ia tetap diam di kamarku. Bahkan sengaja bikin aku kesal dengan segala keanehannya.

Aku segera mengambil handul dan pergi ke kamar mandi.

Untuk pertama kalinya, aku menggunakan lulur agar kulit lebih halus dan cerah. Rambut juga aku beri krim agar lebih halus dan wangi.

Seusai mandi, kuusapkan serum ke wajahku, kemudian moisturizer. Kutunggu beberapa menit hingga menyerap, kuusapkan sunblock. Ku diamkan hingga menyerap sempurna, kutaburkan bedak di wajahku. Aku tidak perlu bb cream, foundation atau sejenisnya untuk menutupi jerawat karena tipe kulitku jarang berminyak dan berjerawat.

Untuk make up, aku hanya menggunakan eyebrow pomade untuk merapikan bentuk alisku, blush on agar lebih cerah dan lipstik nude yang senada dengan warna blush on ku.

Sore ini, aku mengenakan overall dress hitam selutut dengan dalaman longsleeves garis putih-hitam.

Terdengar bunyi ketukan dari luar kamar ketika aku sedang mencatok rambut. Untung tinggal sekali gulung sudah selesai.

Aku membuka pintu, dan terlihat Bimo di sana. "Kenapa, Bim?"

Bimo hanya terdiam melihatku. Dia sebegitu tercengangnya memperhatikanku dari atas hingga bawah.

Semenit kemudian, dia tercekikian. Aku memukulnya. "Ih, kenapa sih lo?!"

"Lo mau ngelenong di mana? Menor amat."

"Hah? Sumpah gue semenor itu?"

Aku langsung berlari ke kaca, dan memandangi keseluruhannya.

"Ah, nggak! Lo ngada-ngada ya? Lo terpanakan sama kecantikan gue?"

Aku kembali menatap Bimo. Ia sedang menatapku sembari tersenyum.

"Iya, lo cantik banget."

"Reseh lo!"

"Ibrahim udah datang. Samper gih."

Aku mengambil shoulder bag hitamku. Kulewati Bimo tanpa berkata apapun.

"Hai, kak. Udah lama?"

Ibrahim berdiri ketika aku hampiri. Reaksinya sama seperti Bimo: memandangiku dari atas sampai bawah. Sedetik kemudian, ia menggelengkan wajahnya. "Oh, nggak kok. Kamu udah siap?"

"Udah kak. Bentar ya, aku pamit dulu."

Aku memanggil nama ibu. Nggak lama, dia keluar dengan celemek kebanggaannya.

"Bu, ini Ibrahim. Aku berangkat dulu ya."

"Iya, ibu udah kenalan tadi. Nggak usah salaman, Nak. Tangan ibu kotor."

"Ya sudah bu, kami pamit dulu ya."

"Iya, hati-hati."

***

Jalan dengan Ibrahim merupakan hal yang tidak pernah kuduga. Jangankan jalan, bisa berbicara sedekat kemarin aja rasanya masih mimpi.

Walaupun hanya sekadar menemani Ibrahim membeli kamera untuk adiknya, tapi ini sangat mengesankan dan membahagiakanku.

Entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, aku merasa Ia memperlakukanku seperti cewek yang sedang didekatinya. Ia sempat menggandengku, bahkan merangkulku! Ditambah, ketika kami sedang makan di Marugame Udon, rambutku memang terurai dan aku lupa membawa ikat rambut. Beberapa ujung rambutku ada yang terkena kuah udon. Tiba-tiba dia pindah posisi ke sebelahku dan tebak apa yang dia lakukan! Dia memegangi rambutku agar tidak mengganggu makan.

"Mil, Ibrahim tuh udah punya pacar belum sih?"

"Belum kayaknya." Jawab Mila tanpa melihatku. Ia fokus pada jalanan senin sore yang cukup lancar. "Dia sejarang itu ngomongin cewek kalau di ekskul."

Fix, Ibrahim ada rasa denganku.

***

"Selamat," Ario, ketua LC yang akan lengser mulai berbicara. Kondisi saat ini: mataku tertutup kain. Entah aku berada di mana, yang pasti jantungku berdebar seolah belum siap mendengar siapa ketua LC periode selanjutnya. "KHANSA DAN VIRA SEBAGAI KETUA DAN WAKIL LC PERIODE SELANJUTNYA"

Tubuhku kini basah karena siraman air dari Ario. Semua orang pada kabur, dan aku nggak hanya diam untuk membalas mereka.

Aku mengejar Bimo, orang yang dapat aku jangkau saat ini. Ku peluk tubuhnya sembari menyiram segelas air ke wajahnya.

"Gila ya, lo, gue nggak ikut2an!" Ucap Bimo.

"Eh, bodo amat!"

Kemudian aku kabur, mencari yang lain. Koridor sepi, entah mereka mengumpat di mana.

Aku melewati ruangan Pala. Di sana ada Ibrahim dan Mila.

"Ciee bu ketu." Ledek Mila.

"Asik, lo ketua LC yang baru nih?" Tanya Ibrahim. "Congrats! Bisa lah ajak gue foto-foto."

Ya Allah, tanpa lo minta, gue pasti mau kak..

"Santai sih kalau itu. Thank you, Mila dan Kak Ibrahim."

Aku melirik sekitar, mereka sedang menyiapkan alat untuk wall climbing. "Mau manjat lagi ya?"

"Iya"

"Ohiya, gimana kameranya? Adiknya suka?" Tanyaku basa-basi.

"Oh, suka! Dia heran kenapa gue bisa kasih kamera yang lagi dia mau. Thank you banget ya!"

"Sama-sama."

Gue pamit untuk kembali ke ruang LC.

Ternyata, semua orang sudah kembali ke ruangan, dan mereka bersiap untuk kabur ketika aku hadir.

"Udahan kali! Gue mau ganti baju."

"Selamaaatt, kita foto dulu yuk" ucap mantan ketua LC.

Setelah prosesi foto, aku segera ganti baju.

Beberapa ada yang pamit pulang, ada juga yang menetap di ruangan. Kalau aku? Jelaslah menunggu Mila sembari melihat Ibrahim manjat.

"Hai, Mil." Sapaku ketika Mila sedang memakai alat-alat untuk wall climbing.

"Sa, lo mending pulang duluan aja deh."

"Hah kenapa?"

"Gapapa, pulang sama Bimo gih."

Mila mendekati papan panjat dan langsung mulai menaiki satu persatu batu.

Sore ini Mila terlihat cuek sekali. Bahkan dia tidak menjelaskan kenapa aku harus pulang duluan. Padahal dia tau tujuanku di sini apa.

Aku duduk di pinggir lapangan sambil memerhatikan setiap langkah Mila di papan Panjat. Sungguh, sepertinya seru menaiki papan itu, apalagi ketika turunnya, seperti melayang.

Mila sudah menginjakan kakinya di tanah. Tiba-tiba ada suara yang sangat ku kenal menginterupsi. Aku menoleh.. dan dia Ibrahim.

Dia nggak sendiri.

Dia bersama cewek cantik. Dia merangkul cewek itu.

"Hi, Sa. Kenalin, cewek gue. Dia anak sekolah tetangga." Ucap Ibrahim kepadaku.

Aku hanya bisa terdiam, mendapati kenyataan bahwa Ibrahim ternyata sudah punya pacar. Setelah dia membuatku jatuh cinta kepadanya, mengetahui kenyataannya rasanya... Kecewa.

Ya, memang sudah terprediksi sejak awal kalau akhir dari momen ini adalah rasa kecewa. Aku yang memilih untuk kecewa, bukan dia yang membuatku kecewa.

[Tamat]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro