PHOBIA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PHOBIA
By taristaindrawan

Sinar mentari menyelorot masuk dan menembus sebuah jendela kamar bertiraikan transparan dengan malu-malu. Menyinari sesosok laki-laki di sana yang tengah terbaring diatas ranjang dengan memejamkan rapat kedua matanya.

Kring.

Bunyi jam beker memaksanya membuka kelopak mata. Tangannya terulur, menyentuh ujung kepala jam dan menekannya hingga suara berisik itu terhenti. Ia menyibak selimutnya, mendudukkan tubuhnya. Mengerjapkan matanya berulang kali, untuk mengumpulkan kesadarannya.

Ia berdiri. Menyelonong menuju kamar mandi. Membasuh wajahnya dan menyikat gigi. Keluar dari sana, ia mengganti baju. Wajahnya terlihat lebih segar daripada beberapa menit yang lalu.

"Evan! Ayo turun! Kita makan," terdengar seruan memanggil. Sebelum benar-benar turun melaksanakan perintah tersebut, ia menatap penampilannya pada cermin.

"Halo Evan, bagaimana kabar mu?"

Evan melengos. Mendudukkan diri di kursi dengan diam. Mengabaikan ucapan ramah yang menyapanya.

Terdengar helaan napas. "Evan, kakak tahu kamu marah. Tapi kakak harus kerja."

Sesosok perempuan berusia seperempat abad itu menatap pilu adiknya. "Maafkan kakak, tapi hari ini kakak harus pergi lagi."

Evan memalingkan wajahnya. Enggan menatap perempuan di sebelahnya yang mencoba mengajaknya berinteraksi. Ia tetap bungkam.

"Kakak minta maaf," jeda perempuan itu mengambil tas di sebrang Evan. "Oh iya, hari ini ada tetangga baru di sebelah rumah kita. Keluarlah dan sapa mereka. Kakak dengar, mereka punya anak yang sebaya dengan kamu lho."

Evan mengabaikannya, seperti biasa. Perempuan itu menghela napasnya. Mencoba tetap tersenyum dengan kelakuan adiknya yang semakin hari semakin dingin saja.

"Ya sudah, kakak pergi dulu Evan."

Setelah memastikan kakaknya benar-benar pergi, tubuh Evan yang tadinya tegang kini berangsur-angsur rileks. Tangannya terulur mengambil sendok. Mengaduk-aduk nasi goreng yang dulunya pernah menjadi masakan kesukaannya.

"Cih,"

Evan meletakkan kembali sendok dengan sedikit membantingnya. Ia menatap sepiring nasi goreng tersebut dengan tatapan tajam.

Bergulat dengan batinnya sendiri, akhirnya ia memakan nasi goreng buatan kakaknya. Rasanya masih sama. Enak. Tapi yang berubah adalah kakaknya.

Sehabis memakan nasi goreng, ia langsung membawa piring kotornya ke dapur. Mencuci semua peralatan dan mengembalikannya ke tempat semula.

Lalu, hatinya tergerak kembali ke kamar. Membanting dirinya ke atas ranjang, ia menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

"Kapan ini semua berakhir?"

Namanya Gareka Evan Alderan. Orangnya tertutup. Cenderung introvert. Tidak menyukai hal-hal yang berbau keramaian. Serta sangat membenci seorang perempuan.

Kejadian dua tahun yang lalu lah yang memaksanya membenci seorang perempuan. Memaksanya menjauhkan kata perempuan dalam hidupnya. Memaksanya mengurung diri di rumah. Tidak mengikuti sekolah formal seperti anak sebayanya.

Kakak Evan—Vani Aurorabella—memutuskan untuk melakukan program sekolah di rumah untuk Evan. Hal ini karena kebencian Evan pada dunia luar terlalu besar untuk ia tangani. Ia membutuhkan bantuan orang lain untuk mengawasi segala perkembangan adiknya.

Namun jalan Vani mencari guru untuk Evan ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangannya. Total ada sebelas guru yang Evan usir dari rumah saat mengajar. Alasannya sangat klise, mereka semua perempuan. Lalu, mereka cerewet dan sok cari perhatian kepadanya. Evan tidak suka dengan jenis perempuan yang seperti itu.

Menghilangkan semua kerumitan dalam otaknya, Evan bangun. Ia memutuskan bermain game online saja untuk mengisi hari liburnya. Hari-harinya masih sama, terbayang oleh sosok abu-abu yang selalu ikut dimanapun ia berada.

"PERMISI!!"

Evan melepas headphonenya. Ia merasa mendengar sebuah suara melengking tajam yang berada di sekitarnya. Ia yakin itu bukan halusinasinya. Tapi ia kembali memakai headphone dan lanjut memainkan game.

"PERMISI! HALO! APAKAH ADA ORANG?!"

Evan menjauhkan ponselnya. Ia yakin mendengar sayup suara yang amat cempreng dan memekakkan telinga. Menuntaskan rasa penasarannya, ia mengintip dari balik jendela.

Ting tong! Ting tong! Ting tong!

Kini giliran bel rumahnya dibunyikan berkali-kali oleh tamu asing itu. Evan menggeram. Bunyi itu sangat mengganggu dirinya. Melepas headphone, ia menghentikan game onlinenya dan segera turun.

Ceklek.

"Mau apa lo?"

Evan menyentak setelah membuka pintu rumahnya. Dilihatnya seorang perempuan berdiri dengan menggoyangkan roknya dan menatapnya dengan mata melebar.

"Wah! Halo! Kamu Evan ya?!"

Mata Evan menelisik. Dari atas ke bawah, ia menatap perempuan di hadapannya dengan menilai. Lalu ia teringat dengan ucapan kakaknya tadi pagi tentang tetangga barunya.

"Halo Evan, aku tahu kamu adiknya Kak Vani, semoga kita bertem—"

Evan memotong perkataan perempuan yang main cerocos seperti petasan. "Mau apa lo ke sini?" tanyanya dengan menekan perkataannya. Menautkan alisnya dan memasang wajah galak.

"Evan, kenalan dulu dong sama aku." jedanya mengulas senyumnya yang terbaik. "Aku tetangga baru kamu. Panggil aku, Misya!"

Evan mengerlingkan matanya karena jengah dengan basa-basi yang dilakukan perempuan di hadapannya. "Sudah kan? Pergi."

Evan menutup pintunya dengan keras. Tepat di hadapan perempuan yang bernama Misya. Baru saja Evan melangkah, suara bel kembali berbunyi dengan ritme cepat.

"EVAN! BUKA PINTUNYA!"

Disertai pula teriakan melengking penuh semangat dari perempuan bernama Misya. Tetangga baru Evan.

Waktu berjalan sebagaimana mestinya. Mentari perlahan-lahan bergerak menuju barat. Akhirnya, tenggelam dan menghilang tergantikan oleh rembulan yang bersinar terang.

Melihat rembulan yang berbentuk sabit, Evan membuka balkon kamarnya. Ia menatap langit gelap yang bertabur bintang. Sapuan angin malam pun membelai malu dirinya. Tetapi Evan menikmatinya, sambil memejamkan mata.

"Halo Evan."

Sesosok perempuan datang di sebrang Evan. Perempuan itu memakai piyama tidur bergambar doraemon. Salah satu kartun buatan negeri Sakura. "Suka sama langit malam ya?" ujarnya ikut menatap rembulan di atas sana.

Evan menatapnya dengan aneh. Kesan pertama yang ia tangkap dari perempuan itu adalah menyebalkan. Mengerutkan dahinya, Evan tidak membalas perkataan Misya. Ia mendiaminya begitu saja.

Beralih melihat rembulan, Misya menatap wajah Evan dengan intens. Ia terkikik, "Kalo dilihat-lihat, Evan ganteng juga ya." ujar Misya. Tak ayal, Evan mendelik mendengar penuturan jujur yang terlontar darinya.

"Evan ganteng, mau nggak jadi pacarnya Misya?"

Evan melotot. Ia menoleh ke kiri dimana Misya menatapnya dengan senyuman yang entah kapan lunturnya.

"Evan diem, kita jadian." jeda Misya. "Evan balik ke kamar, kita pacaran." jedanya lagi. "Evan nolak, kita nikah."

Mendesah gusar, Evan tak habis pikir dengan jalan pikiran perempuan aneh di sebrangnya. Apalagi perempuan itu tersenyum tidak jelas kepadanya.

"Berisik." ujar Evan menatap tidak suka kepada Misya. Namun Misya malah membalasnya dengan senyuman lebar.

"Evan ganteng banget. Sayang agak galak." ujar Misya tertawa. Hal ini membuat kekesalan Evan kepadanya berlipat-lipat. Ia berbalik dan melangkah menuju kamarnya.

"Eh Evan, nanti malam jangan lupa ya!" ujar Misya berteriak. Evan menutup balkon dengan kasar.

"Jangan lupa mimpiin Misya maksudnya!"

Srek.

Evan menarik gorden dengan menyalurkan kekesalannya. Napasnya bergemuruh. Ini pertama kalinya ada perempuan gila yang begitu blak-blakan dan tidak mempunyai urat malu sedikitpun berada di hadapannya sendiri.

"Makan apaan sih cewek itu?!"

Evan merutuk. Baru sehari perempuan itu hadir di kompleksnya, rasanya Evan ingin langsung pindah rumah. Ia yakin tak akan betah jika harus bertemu perempuan itu setiap harinya.

Merasa tidak mendengar suara cempreng perempuan itu, Evan memutuskan mengintip dari sela-sela jendelanya. Namun betapa terkejutnya ketika ia melihat perempuan bernama Misya masih berada di sana dan mengamati balkonnya.

Mata mereka bertubrukan.

Misya langsung melempar senyum kepada Evan.

"Sial!"

Evan mengumpat karena tertangkap basah seperti orang pengintip. Terlebih lagi ia melihat Misya mengetahui hal ini. Lengkap sudah kekesalan Evan.

Mencoba tak memikirkan hal itu, Evan langsung membaringkan diri di atas ranjang. Memejamkan matanya dengan paksa karena sejatinya ia belum mengantuk sedikitpun.

Yeah, daripada ia terus terpikirkan oleh kejadian memalukan tadi. Dimana Misya memergokinya sebagai seorang pengintip yang terlihat tak memiliki tata krama sama sekali.

Pagi harinya, Evan bangun lebih awal dari biasanya. Itu karena semalam ia tidur sangat awal dan tidak melakukan rutinitas hariannya alias—begadang.

Hari Minggu ini ia memilih berolahaga, hitung-hitung masih pagi dimana suasananya masih asri. Terlebih lagi, suasananya pasti sepi. Evan menyukai poin kedua itu.

Evan keluar dari rumahnya dengan memakai earphone di kedua telinganya. Menyetel musik random yang ada di playlist ponselnya.

"EVAN!!"

Baru saja Evan keluar seratus meter dari rumahnya, suara melengking yang sama telah mengalahkan lagu yang tengah berputar di telinganya.

Sementara Misya, ia secepat mungkin mengejar Evan yang berlari kecil dan menyumpal telinganya dengan earphone. Misya tahu, Evan tidak akan pernah berhenti hanya untuk dirinya. Oleh karena itu, Misya bersikeras mengejarnya.

"Hai Evan!!"

Misya menyapanya dengan semangat. Evan mengarahkan pandangannya ke arah lain. Berlagak tak menganggap Misya yang notabennya makhluk kasat mata di sampingnya.

Misya memiringkan kepalanya ketika ia diacuhkan Evan. Ia tersenyum licik. Ia menarik earphone Evan dalam sekali tarikan.

"Hey!" ujar Evan berseru. Ia berhenti, begitu juga Misya. Seolah tanpa dosa, Misya berkata demikian.

"Akhirnya Evan mau menyapa Misya yang cantik ini."

Tak lupa pula Misya mengibaskan rambutnya.

Memandang Evan yang kesal dengan kepercayaan diri yang besar.

Evan menggelengkan kepalanya risih. Tapi Misya seakan buta dengan ketidaknyamanan Evan. "Evan selalu olahraga pagi ya?"

Evan berdecak. Ia memasang kembali earphonenya. Mengabaikan Misya yang ternyata masih mengikutinya.

"Evan, tunggu dulu, Misya lagi ngomong sama pacar."

Langkah Evan terhenti. Ia mendelik. Satu kata sensitif melewati pendengarannya begitu saja. "Apa lo bilang?"

Misya memanyunkan bibirnya, berlagak sok imut. "Hm, pacar kan? Evan kan pacar Misya sejak semalam!"

"Nggak!"

Misya semakin membuat ekspresi imut dan lucu. "Tap-tapikan Evan sudah menerima Misya sebagai kekasih tadi malam."

Evan memijat kepalanya yang diserang pening mendadak. "Terserah!" ujarnya malas meladeni sandiwara Misya. Ia tahu betul seluruh perempuan itu tidak ada yang benar. Tukang sandiwara paling handal dan juga tidak setia. Evan muak dengan semua itu.

"Eh Evan, jangan pergi gitu aja dong!"

Misya mencegah Evan yang berlari meninggalkannya. Atas ide jahilnya, Misya berteriak.

"EH VAN! ADA YANG KETINGGALAN NIH!"

Ucapan Misya ampuh membuat Evan berhenti. Tidak hanya berhenti, tapi juga berbalik. Menatap Misya dengan dahi berkerut seolah berkata, apa?

"Hati Misya nggak sekalian dibawa juga?"

Evan menyesal.

Ia menyesal karena telah berbalik. Ia pikir ada hal penting yang ingin disampaikan perempuan itu.

Sementara Misya tertawa puas. Mengerjai Evan ternyata begitu menyenangkan. Ia mendapatkan sebuah kegembiraan yang telah lama hilang.

"Tunggu saja Van, aku pasti menjadikan mu pacar!" ujar Misya percaya diri dan tersenyum sendiri. Lantas ia berlari, mengejar ketertinggalannya dari Evan yang sudah melesat pergi.

Hari-hari ke depan hidup Evan berubah total. Kehadiran Misya mampu menjungkir balikkan dunianya. Setiap pagi hari, Evan harus bangun dengan teriakan Misya. Suaranya mengalahkan berisiknya jam beker. Hingga Evan terbangun dengan cepat. Terkadang, Evan sampai terjingkat dan membentur kerasnya lantai.

Di siang hari pula, Misya datang ke rumahnya dengan seribu satu alasan yang berbeda setiap harinya. Entah ingin memberinya makanan, masakan ibunya yang baru, dan mencicipi kue buatannya.

"Evan! Bangun! Jangan tidur!"

Lagi, Misya mengusik tidur siangnya. Terlihat Misya membawa segelas air dingin. Evan menggeliat, menutup kepalanya dengan bantal.

"Evan, bangun, disuruh Kak Vani buat makan," ujar Mia menarik bantal yang menutupi kepala Evan. Tidur Evan tengkurap, sehingga ia tak melihat wajah Misya.

"Hish berisik! Pergi sana!" sentak Evan mengusirnya. Ia kesal karena kakaknya memberi akses perempuan itu memasuki tempat pribadinya.

"Lo nggak ada kerjaan lain apa?!"

Duk.

Gelas di nakas yang dibawa Misya tadi jatuh dan tumpah. Airnya menyebar kemana-mana. Evan menggeram. Ia terpaksa bangun dari tidurnya.

"Eh biarin Misya aja yang—" ujar Misya hendak mengambil gelas tadi. Namun tangannya malah bersentuhan dengan Evan. Sontak, Evan menjauhkan tangannya. Diam-diam, Evan menahan rasa gemetar yang mulai muncul ke permukaan.

"Pergi."

Misya menatap Evan dengan aneh.

"Kena—"

"Pergi!" sentak Evan lebih keras. Untuk pertama kalinya Misya memasukkan ucapan Evan ke dalam hatinya. Ia menunduk, memundurkan kakinya dengan gemetaran.

Setelah Misya menutup pintu kamarnya, tangan Evan yang bersentuhan dengan Misya tadi, bergemetar. Keringat dingin mengalir bebas begitu saja. Napasnya mulai tidak teratur dan panik.

"Argh sial!"

Evan terkungkung dalam kamarnya sendiri. Terjebak dalam ilusi dan mulai membayangkan kejadian tragis dua tahun yang lalu.

"Mama," lirihnya memeluk dirinya sendiri.

Sementara Vani sudah menghadang jalan Misya di lantai bawah. Perempuan itu menatap iba kepada Misya. Ia mendengar bentakan adiknya, dan menyadari ada hal yang buruk telah terjadi.

"Misya, kamu baik-baik saja?"

Menelan ludahnya dengan susah payah, Misya mengangguk. Vani menghela napasnya.

"Evan, kamu menyentuhnya?"

Misya mendongak. Lagi-lagi ia mengangguk tanpa suara. Vani sudah menduga akan hal ini.

"Sudah kakak duga. Lain kali, jangan menyentuh Evan ya. Dia phobia dengan hal semacam itu." ujar Vani memegang bahu Misya, mengantarnya menuju pintu keluar.

Satu kenyataan yang Misya tahu tentang Evan.

Dia mempunyai sebuah phobia.

Phobianya, tidak bisa menyentuh manusia selain dirinya.

Malam itu batin Misya bergelut. Ia tidak dapat tidur nyenyak memikirkan refleks Evan ketika ia menyentuh permukaan kulitnya.

Misya berkali-kali membolak-balikkan badannya gelisah. Lalu ia mendudukkan dirinya karena tak kunjung menemukan kejelasan atas semua ini.

"Evan, sebenernya, lo itu kenapa sih?"

Dibentak Evan tak lantas membuat Misya menjauhinya. Malahan, Misya mengajak Evan untuk mengantarnya ke taman di kompleks perumahan mereka. Entah Evan kesambet apa, ia mendadak mau menuruti kemauan Misya.

"Evan, tentang kemarin," jeda Misya mengumpulkan keberaniannya. "Kamu kenapa?"

Evan menatap taman dengan mata yang menyipit. Menekan lidahnya ke langit-langit mulut dengan kuat.

"Kalo kamu mau cerita sama—"

"Gue punya trauma." potong Evan. Misya mendengarkan baik-baik perkataan Evan. Ia tentu tak mau melewatkan kesempatan ini, dimana Evan mau berbicara baik-baik dengannya

"Dua tahun lalu, banyak yang terjadi di hidup gue." jeda Evan menatap ke arah lain.

"Bokap gue, selingkuh sama wanita lain. Waktu itu, posisi nyokap gue tengah sakit kanker."

Misya berkata, "Terus?"

"Nyokap gue stres. Lalu beliau dimasukkan bokap ke rumah sakit jiwa." ujar Evan memelankan nadanya. Hati Misya rasanya teriris mendengar perkataan Evan.

"Seminggu setelah itu, gue dapet kabar kalo nyokap melarikan diri dari rumah sakit jiwa. Gue langsung panik. Di perjalanan menuju rumah sakit, ternyata nyokap gue hendak lompat dari atas jembatan."

Evan menunduk. Pikirannya kembali digeluti rasa sakit mengingat kejadian hari itu. "Saat nyokap melompat, gue berhasil menangkap tangan kanannya."

"Tapi—gue malah melepaskannya. Beliau jatuh dari ketinggian dan tewas seketika."

Evan menatap tangan kanannya. Ia masih mengingat jelas dimana mamanya memaksanya melepas cengkeraman tangannya.

"Sekarang lo tahu kenapa gue phobia menyentuh orang, kan?"

Misya meremang. Ia meneguk ludahnya susah payah. "Lalu, setelah itu?"

"Ya bokap gue pergi dari rumah bersama selingkuhannya. Gue ditinggal bersama Kak Vani." balas Evan lugas.

"Eh tap—"

"Udah lihat tamannya kan? Ayo balik."

Evan berdiri dan menepuk pantatnya. Misya tidak jadi melontarkan rasa penasarannya. Ia mengikuti langkah panjang Evan kembali ke rumah.

Satu hal yang masih ingin Misya ketahui.

Tentang keadaan papa Evan sekarang ini.

Setelah hari itu, rupanya sikap Evan kepada Misya tidak berubah sama sekali. Ia masih ketus dan galak jika berbicara kepada perempuan itu. Tapi Misya juga tetaplah Misya. Ia kebal dengan semua perkataan menyakitkan Evan.

"Wlek, kasihan deh nggak dapat seblak." ejek Misya memegang semangkuk seblak dan memakannya. Evan menggeram.

"Woy, balikin makanan gue!" ujar Evan menggeram. Apalagi Misya mengejeknya habis-habisan.

"Ambil kalau mau."

Aksi kejar-kejaran pun tak terelakkan. Meskipun Evan tidak menyentuh kulit Misya, namun lelaki itu masih bisa menarik baju Misya.

Sret.

Evan mampu mengambil alih mangkuk yang berisikan seblak. "Rasain!" ejeknya. Misya mencebikkan bibirnya.

"Yah, bagi dong Van."

Melihat ekspresi Misya yang beralih sedih, Evan jadi tak enak hati. Ia berdehem, berusaha menyingkirkan egonya. Ia menyodorkan seblaknya ke hadapan Misya. "Nih, makan aja."

"Yeay, terima kasih Evanku sayang."

Ting tong!

"Nah, itu pasti Kak Vani! Cepetan sana buka!" ujar Misya menyambar seblak dengan cepat. Evan menghela napas. Langkah kakinya gontai berjalan menuju ruang tamu.

"Halo Evan."

Misya mendekati ruang tamu sambil memakan seblaknya. Ia penasaran karena tidak mendengar suara Vani menyapa.

"Siapa Van?"

Evan mematung. Misya menatap Evan dan sesosok perempuan itu dengan tatapan bingung. Ia menatap mereka berulang kali secara bergantian.

"Eh, maaf, temannya Kak Vani ya?"

Sesosok perempuan itu tersenyum anggun. "Bukan." jawabnya lugas.

"Lalu siapa?"

Evan menegaskan rahangnya. Misya memundurkan badannya tatkala Evan memajukan badannya. "Berani lo dateng ke sini?"

Sadar Evan mulai emosi, Misya segera mengambil alih keadaan. "Eh Van, nggak boleh kasar sama tamu. Ayo tante, masuk."

"Hm, tidak usah. Saya ke sini hanya ingin melihat keadaan Evan saja." ujarnya tersenyum manis.

"Oh tante itu bibinya Evan ya?"

Perkataan polos Misya membuat Evan gemas. Kalau tidak dalam keadaan tegang seperti ini, Evan pasti sudah menunjukkan ketertarikannya pada Misya.

Eh, apa yang telah ia pikirkan tadi?

"Ti—"

"Masuk, Misya."

Misya menelan sosis dengan susah payah. Evan sudah membatasi pergerakannnya agar tidak ikut campur lebih jauh lagi. Misya menurut, perlahan ia mundur dan memasuki kamar Evan.

"O ho, dia pacar mu? Sepertinya kamu sudah menyukainya." ujarnya memutar jemari dengan lamban.

Evan mendesis. "Bukan urusan lo."

"Jelas urusan ku, Evan. Ingatlah, aku tidak senang jika ada yang dekat dengan mu selain aku." ujar perempuan itu mulai menampilkan sikap aslinya.

"Coba saja. Jauhkan gue dari perempuan itu." ucap Evan menantang. Meruncing tajam menghunus perempuan molek berpoleskan make up.

"Jangan menantang ku Evan. Kau sudah lupa dengan kejadian dua tahun lalu?"

Perempuan itu tersenyum licik. "Semudah itu kah kamu melupakan kekasih mu ini?"

Evan membuang pandangannya. "Enyahlah lo dari sini!"

Brak.

Evan membanting pintu dengan kasar. Menyalurkan seluruh kekesalannya. "Sial!"

Sementara perempuan tadi tak henti-hentinya mengulas senyum licik. "Kau tidak akan bisa menjauhkan Misya dari maut, Gareka Evan Alderan."

Misya menatap Evan dengan khawatir. "Ada masalah Van?"

Evan menggeleng. "Tidak."

Misya menganggukkan kepalanya. Ia tidak akan memaksa Evan bercerita. "Oh ya sudah. Mari kita berbagi seblak."

Diam-diam Evan mengamati Misya yang lahap memakan seblak. Ia memiringkan kepalanya. "Lucu juga ya cewek kayak lo."

Misya mendongak.

Ia terkejut mendengarkan kalimat itu keluar dari mulut pedas Evan.

"Ha-hah?"

Misya sampai tidak bisa berkata-kata.

Tiga hari berikutnya, Misya mengajak Evan ke salah satu mall yang ada di kota. Misya berjalan dengan melompat-lompat, terlampau semangat. Sedangkan Evan, ia berjalan lamban, tidak memiliki gairah. Evan masih kalut dengan ancaman perempuan itu.

"Van, kamu mikirin apa?"

Misya mengguncang kerah hoodie Evan. Sembari memakan permen karet dan meniupnya lebar.

"Huh?"

Evan tidak fokus. Setelah perempuan itu tidak menampakkan diri di hadapannya, ia malah dilanda rasa khawatir yang berlebihan. Ia takut jika mendadak suatu hari ancaman itu menjadi kenyataan.

"Evan, kalo boleh tahu, siapa tante cantik yang waktu itu kamu usir?" ujar Misya membunyikan permen karet yang ia kunyah.

Evan menelan ludahnya sebelum ia angkat bicara. "Satu hal Misya, dia wanita yang sudah membuat nyokap meninggal."

Misya melambatkan ritmenya mengunyah permen karet. "Be-benarkah?" ujar Misya tergagap. Tubuhnya menegang.

"Dia—bukan sekedar wanita yang udah merebut bokap. Tapi dia adalah mantan pacar gue."

Evan berdehem. Mengurangi rasa aneh yang menjalar di tenggorokannya. Menatap Misya yang nampak murung.

"Dulu, dua tahun yang lalu." ujar Evan terkesan memberikan klarifikasi.

"Oh dulu," ujar Misya cukup datar. Evan melanjutkan ceritanya. Meskipun ia merasa gengsi untuk menegur Misya dan bertanya, lo cemburu?

Sayang, kalimat itu tertelan dalam tenggorokan Evan.

"Dia sudah menghancurkan keluarga gue sampai tidak bersisa. Bokap lari dari tanggung jawab, nyokap meninggal, dan Kak Vani menjadi tulang punggung keluarga."

Misya menghentikan langkahnya. "Oh iya Van. Kenapa kamu terlihat membenci Kak Vani?"

Evan mengalihkan pandangannya. "Dulu dia yang mendukung wanita itu nikah sama bokap. Makanya gue benci banget sama dia."

"Tapi sekarang Kak Vani baik kok," ujar Misya meniup permen karetnya.

"Dia baru sadar setelah nyokap meninggal dan gue kabur dari rumah."

Misya mengulas senyum tipis. Menarik kerah hoodie Evan dan menghentikannya.

"Jangan sedih ya pacar, kan udah ada Misya seorang." ujar Misya menampilkan senyuman berderetnya.

"Pacar dari mana? Hongkong?" ujar Evan mencebikkan bibirnya. Misya menyentuh hoodie Evan dengan ujung jarinya.

"Aww, jangan salting gitu dong pacar." goda Misya membuat Evan semakin terpojok.

"Apaan sih," ujar Evan kesal. Misya tertawa. Ia pun berjalan mundur dan melompat kecil.

"Ayo Van!" serunya semangat.

Drrtt.

Ponsel Evan bergetar. Ia menghentikan langkahnya. Ia merogoh ponselnya yang berada di dalam saku. Ia menatap bingung ketika ada sebuah pesan dari nomor tidak dikenalnya.

Apa kabar Evan? Misya masih bernapas?

Ahaha, kalian di perempatan kota bukan? Lihat saja apa yang terjadi dengan Misya.

Love, Arasiska.

Napas Evan berpacu. Ia mendongak mencari letak Misya yang sudah berada jauh di ujung sana. Misya berjalan riang melewati lampu merah. Melompat-lompat, khas gayanya.

Lalu ia melihat ke sisi lain, dimana sebuah mobil melaju kencang menuju arah Misya. Tepat Misya seorang!

"MISYA!"

Waktu rasanya berjalan lambat.

Misya mematung kala melihat sebuah mobil melaju di sisi kirinya.

Evan berlari sekencang-kencangnya. Mengejar tempat Misya yang berjarak cukup jauh darinya.

"EVAN!"

Cit—bruk.

Misya terseret beberapa meter dari tempatnya berdiri. Sementara mobil Range Rover dengan plat mobil yang sudah melekat di ingatan Evan, melaju begitu saja meninggalkan tempat kejadian.

"Misya, bangun Misya, Anastasya Misya! Bangun!"

Evan memegang Misya.

Menggenggam erat tangannya.

Seolah tak mau kehilangannya.

Sejenak, Evan lupa akan phobianya tentang menyentuh orang lain.

"Misya bertahanlah," Evan merogoh ponselnya dan lekas menghubungi rumah sakit terdekat. Memegang ponsel dengan gemetaran, Evan masih berhasil memastikan ambulan akan datang beberapa saat lagi.

"Misya jangan menutup mata, tatap gue, lihat mata gue." ujar Evan menaruh kepala gadis itu di pangkuannya.

Namun Misya hanya tersenyum.

Secantik rembulan malam.

"Misya, bertahanlah!"

Tangan Misya yang bersimbah darah, terulur menyentuh pipi Evan. Mengusapnya perlahan. Evan menggenggamnya dengan sepenuh hatinya.

"Aku mencintaimu Van, selalu."

Setelah itu, dunia Evan rasanya terhenti. Terhenti total. Hingga redup dan mati di detik itu juga.

Hujan membasahi bumi pertiwi dengan derasnya. Tak memberikan celah untuk mentari menunjukkan sinar kebahagiaannya. Seakan seluruh dunia tengah berduka dan diselimuti kegelapan.

Gareka Evan Alderan. Sesosok laki-laki yang tengah berdiri di depan sebuah pusara. Merunduk dengan khidmat. Mendoakan seseorang dengan tulus sepenuh hati dan jiwa.

"Van?"

Evan mendongak. Berusaha menguatkan perasaannya yang padam. "Misya?"

Sesosok Misya mengulas senyum manis. Seperti biasanya. Berdiri mendekati Evan yang terpaku di sana. "Ingat, aku mencintaimu."

Evan mengangguk. "Iya Misya, aku tahu itu." ujar Evan dengan suara yang serak.

"Kamu tidak ingin menggenggam tangan kekasih mu yang cantik ini?"

Evan tersenyum tipis saat Misya menyodorkan tangannya dengan manja. Kini tidak ada rasa gemetar ketika menyentuh orang lain. Ia menerima uluran tangan Misya dengan terbuka.

"Misya masih tidak menyangka, kalau phobia Evan bakalan diatasi dengan cara seperti itu."

Phobia Evan memang teratasi. Namun Evan memiliki phobia lain.

Ia takut dengan darah.

Ia membenci darah.

Ia sangat membenci elemen alam yang mengalir sendiri dalam dirinya.

Evan terkesiap saat ia menggenggam tangannya sendiri. Evan mendongak kebingungan saat ia sendirian di pemakaman. Evan seperti orang tanpa arah dengan ekspresinya yang seperti itu.

"Evan," panggil Vani menyentuh pundak adiknya dengan perlahan. Vani juga tidak percaya, Evan mengatasi phobianya bersama Misya. Namun mendapat phobia lain di waktu yang bersamaan. Phobia akan darah.

"Ayo kita kembali. Biarkan Misya beristirahat dengan tenang di sana."

Sejatinya Evan tidak rela meninggalkan pusara di hadapannya. Dengan berat hati, kaki Evan beranjak dengan seluruh doa tersemat kepada Misya. Hanya Misya seorang.

"Aku juga mencintaimu, Anastasya Misya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro