Sebuah Kisah Klasik oleh Aila Radit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah Kisah Klasik
Penulis: Aila Radit

KEMARIN sore berita besar menjadi bahasan utama grup chat di WA. Tentang siswi baru yang baru pindah dari Surabaya. Bukan hanya kelas 11 MIA 5 saja yang membicarakan akan tetapi satu SMA Cakrawala juga. Kemudian malamnya di warung kopi, (Farid ; Tokoh dari Tasya) dengan temannya dari kelas IIS juga membicarakan hal serupa. Dan aku cukup penasaran cewek seperti apa dia?

Pagi ini aku bertemu dengannya, bukan secara dekat, ketika itu posisiku berada di gerbang sekolah berurusan dengan guru ketertiban, sedangkan dia berdiri di depan ruang BK dengan tas ransel dan seragam batik sekolah lamanya.

“Kamu sudah berapa kali terlambat?” Aku masih berusaha menafsirkan raut wajahnya dari kejauhan, bisa jadi terlalu fimiliar buatku, wajahnya terawat, hidung tidak pesek, mata belok-belok sipit, dan satu kepangan rambut panjang di antara tulang belikatnya. Cukup pantas kalau dibicarakan banyak orang dengan proporsi tubuh yang sebegitu adanya.

“Oreo?” panggil guru ketertiban, Pak Agus.

“Iya, Pak?” Mataku segaja aku buat agar tampak sayup.

“Lah, kamu nggak dengar Bapak tadi tanya apa?”

“Maaf, Pak. Kepala saya pusing, jadi nggak fokus,” jawabku sambil berlaga memijat dahi.

“Jangan banyak alasan kamu.” Pria itu menunjukku dengan tongkat saktinya. “Bapak sudah hapal dengan tipe-tipe siswa seperti kamu ini.”

Sarkastis. “Beneran Pak,” kataku purau. Kaki yang sehat ini aku coba untuk melemas, dan akhirnya tubuhku jatuh dalam pelukan guru ketertiban. Gak apa, khusus hari ini aku jadi cowok murah.

“Waduh.” Pak Agus langsung menggendongku, beliau adalah guru Olahraga pasti kuat menggendong cowok dengan berat badan 60 kilogram ini.

Beberapa menit kemudian, kisah romantis antara Oreo Alister dengan guru ketertiban berakhir ketika aku yang sudah dibaringkan di atas tempat tidur di UKS. Mataku masih terpejam rapat, mungkin lebih meyakinkan lagi kalau kepalaku sedikit miring ke kanan.

“Katanya anak Pecinta Alam kok tubuhnya ringkih gini, Oreo... Oreo... kalau sakit tuh jangan dipaksain sekolah atu. Bapak jadi repot gini kan.” Aku gak boleh ketawa, sutradara masih stand by.

“Mbak nanti kalau Oreo sudah mendingan kabari saya yah? Saya ada di ruang BK. Kalau nggak ada berarti saya ngajar di kelas,” katanya sambil melonggarkan ikat pinggangku. Dia pasti bicara dengan penjaga UKS. Lalu aku merasakan sepatu dan kaos kaki yang aku kenakan dilepaskan olehnya.

“Iya Pak. Apa perlu saya buatkan surat izin untuk Oreo? Biar nanti langsung diantar pulang.”

“Halah, nggak usah. Anak ini di jam istirahat nanti pasti ikutan main bola sama teman-temannya.” Anda luar biasa Pak Agus, peramal yang jempolan. “Saya langsung laporkan ke wali kelasnya saja.”

Ha! Berurusan dengan Bu Lina lagi. Tuhan, tolong selamatkan aku dari mara bahaya ini. Wali kelas yang satu itu sungguh ingin aku menjadi menantunya, menikahi anaknya yang masih SMP. Aku tidak ingin itu terjadi.

Kamu itu kalau mau nikahi anak saya sekolahnya yang bener. Jangan sering-sering berurusan dengan Pak Agus. Tapi nggak apa juga, kalau begini kan saya bisa ketemu calon besan. Ini surat panggilan untuk orang tua kamu.” Kata-kata klise bahkan kurang kreatif untuk menasihatiku. Mama... Papa... yang sabar yah menghadapi Bu Lina.

Ah... tidur sebentar sambil mimpikan siswi baru boleh kali yah. Daripada mikirin Bu Lina, kan? Pak Agus terima kasih sudah menggendongku tadi. Kalau begini kan aku bisa mengandai-andai kalau siswi baru nan cantik itu satu kelas denganku. Amin.

***

Setelah berurusan panjang di ruang BK ditemani calon mertua—semoga tidak terjadi—aku diminta langsung masuk ke kelas. Suasana lorong saat itu sangat sepi, ruang kelasku berada di lantai dua melewati tangga dekat perpustakaan hingga akhirnya sampai di kelas 11 MIA 7 aku mengetuk pintu kelas dan langsung masuk.

Pak Agus menyambutku dengan tongkat saktinya. Aku lupa jam pelajaran kedua adalah Penjasorkes Teori. Andai saja aku tidur sampai jam istirahat tadi, Pak Agus mungkin sudah berlalu.

“Bagaimana tadi tidurnya?” kata Pak Agus, aku masih berdiri di ambang pintu.

Mataku menyapu pandangan di belakang punggung pria berpotongan botak ini, seluruh sorot mata di kelas mengarah kepadaku. Satu yang paling mencolok, dia yang berbaju batik sekolah lain juga ikut duduk di antaranya. Mimpiku jadi kenyataan.

“Tadi kata penjaga UKS saya terlalu banyak begadang, Pak. Alhamdulillah tadi sudah dikasih obat.” Tanganku merogoh saku kemejaku. Tanganku menengadah dengan butir pil dengan bungkus berwarna silver. “Katanya bisa diminum setelah makan siang.”

Tangan Pak Agus menempel di dahiku. “Ya sudah, saya kira tadi kamu sakit bohongan.”

Memang seperti itu faktanya. “Maaf Pak tadi merepotkan Bapak bawa saya ke UKS.”

Segerombolan siswa di pojok ruangan menahan tawa. Tapi aku lebih terfokus dari siswi yang berseragam berbeda itu, dia mengernyit tatapannya seperti mengejek. Satu yang paling mencolok dari wajahnya adalah di pangkal mata kiri yang ada tahi lalatnya. Tepat seperti dugaanku dia adalah yang dulu pernah aku kenal.

“Saya boleh masuk Pak?” kataku lemah.

“Oh... iya boleh. Jangan sampai kamu pingsan lagi terus saya bawa ke UKS, loh. Kamu itu berat”

Aku tersenyum, lebih tepatnya menahan tawa. Pak Agus memberiku jalan, dengan memiringkan tubuhnya. Mataku terfokus pada gadis itu sembari bejalan menuju bangku belakang. Dia sama sekali tidak melihatku karena sibuk berbincang dengan teman sebangkunya.

“Oreo!” panggil Pak Agus, aku langsung berbalik, padahal meja bangkuku sudah di depan mata. Apalagi?

“Tas sekolah kamu mana?”

“Lah, Bapak lupa, saya kan nggak pernah bawa tas Pak,” jawabku sambil nyengir.

Seisi kelas langsung tertawa.

“Sudah-sudah, kamu cepat duduk, saya mau lanjutkan pelajaran.”

Tanpa disuruh juga aku akan duduk.

Farid langsung menepuk pundakku. “Lihat, anak baru itu cantik yah.”

Seketika aku mengarahkan pandangan ke gadis itu lagi. Dia sedang memerhatikan Pak Agus mengoceh di depan kelas tentang cara menjaga tubuh agar tetap stamina. Jemarinya yang lentik bermain bolpoin berwarna merah jambu dengan buah stroberi di ujunnya. Tepat seperti dia yang pernah aku kenal. Pasti di dalam tasnya itu ada satu atau mungkin dua buku novel.

Anehnya dia tampak tidak mengenalku. Aneh, mungkin bukan dia. Tapi, berapa banyak orang yang memiliki tahi lalat di ujung mata sebelah kiri?

Beberapa menit berlalu suara bel pertanda jam istirahat berkumandang. Farid lagi-lagi menepuk punggungku, beruntung otot-otot punggunggu telah terbentuk akibat wallclimbing. “Kantin, Bro?”

Aku menggeleng. “Aku lupa bawa dompet.” Gadis itu juga menolak di ajak ke kantin. Lebih tepatnya dia memilih untuk membaca novel.

“Yang jadi pertanyaan memang ada isinya?”

“Sialan lo.”

“Hahaha!” Tertawanya terlalu menyakitkan di telingaku. Sangat khas dengan ejekaan. Memang sudah seminggu aku tidak mendapat uang saku dari Mama karena berurusan dengan guru BK Senin lalu kasus tidak ikut upacara bendera. Sial!

Ruang kelas semakin sepi. Farid masih duduk di bangkunya sambil bermain Game Online. Sial lagi ponselku juga disita Papa. Aku semakin bosan, pikiranku ingin menghampiri gadis itu, tapi tidak cukup nyali. Seolah dia adalah jurang yang paling dalam dan aku berjalan di pinggirnya.

Aku berdiri. Mungkin ini sensasi bertemu dengan gadis impian. Akan lebih seru jika aku mencoba berkenalan dengannya.

“Ke mana?”

Aku enggan menjawab dan melanjutkan aksiku. Sampai akhirnya aku berdiri di samping mejanya.

“Hai! Siswi baru yah?” Bodoh, kenapa harus kalimat itu yang keluar.

Dia menutup novelnya lalu mendongak. “Kan sudah tahu, kenapa tanya?” nadanya sinis.

“Loh, Figlia.” Aku memperhatikan gelang yang dia pakai ada huruf O dan F.

“Kamu kenal saya? Kan saya siswa baru di sekolah ini.”

“Enggak kamu Figlia kan? Anaknya Om Radit?”

Reo, Resleting benerin dulu,” teriak Farid di bangkunya.

Gadis itu langsung mengarahkan pandangan ke sana, di bawahnya ikat pinggangku. Segera aku menutupinya. Dia terkekeh. Mampus!

“Nggak dia nggak kebuka kok. Serius deh,” kataku berusaha bertahan. Dua jari teracung sedangkan tangan satunya masih menutupi resleting yang baik-baik saja.

“Iya kok percaya,” jawabnya sambil menahan tawa. Menutupi bibirnya dengan buku novel.

***

Setelah insiden memalukan itu aku kabur ke camp PALA. Tapi di sana aku malah disuguhkan dengan banner besar untuk dipasang di wallclimb sekolah. Banner itu sebagai wujud promosi untuk siswa-siswi SMACABA mengikuti acara camping bersama memperingati Hari Bumi tanggal 22 April 2019.

“Pulang sekolah aja,” kata Tyas ketua umum ekskul PALA.

“Kalau pulang sekolah siapa yang lihat?” jawabku asal sambil menyiapkan tali karmantel. Yang berserakan di sudut belakang ruangan. Tyas berdiri dekat dengan lemari di dekat pintu. Dia hanya memeperhatikan gerakanku.

“Dari pada kamu dilihatin Pak Agus hayo? Betah banget keluar-masuk ruang BK.”

“Sudah berapa banyak yang ikutan?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Dua lima itu baru dari anggota saja belum yang orang luar.”

Tanganku sudah siap dengan tali dan peralatan wallclimb. Tangan kanan membawa Harness dan chalk bag, tangan kiri membawa banner, sedangkan di pundah telah tersampir tali karmantel. Tyas berusaha membantu menggulung tali tampar yang mengikat bannernya.

“Sepatu panjat, tolong!”

“Yakin, kamu pasang sekarang?”

Aku tidak menjawab dan sudah di ambang pintu.

Sesampainya di lapangan aku memandang wallclimb itu yang menjulang hampir mengalahkan gedung berlantai tiga. Panas matahari belum sepenuhnya berada di atas kehangatan mulah menyerang. Mataku langsung terlaih ketika Figlia berdiri di samping pagar di lantai dua, berbincang-bincang dengan Gita, perempuan yang duduk di dekat mejanya di kelas 11 MIA 7.

Aku meletakan semua barang-barang di lapangan, Tyas menyusul membawa keperluan lain. Disusul dua laki-laki anggota PALA yang digadang oleh perempuan itu untuk membantuku. Aku memakai harness dan mengaitkan dengan chalkbag, setelah itu mengambil tali karmentel menyimpulnya pada carabiner yang tersambung pada harnes. Aku berputar memastikan apakah bilayer telah siap, selagi aku berganti sepatu panjat.

“Kamu yang jadi bilayer?” tanyaku ketika Galuh siswa kelas 11 MIA 1. Laki-laki gemuk itu tidak menjawabku karena tersibukkan memakai harnes. Mataku teralih pada laki-laki yang satunya, bersama  Tyas menyiapkan tali untuk dikaitkan dengan banner.

Setelah Galuh siap, aku mengulurkan tali karmentel kepadanya. Dia kembali sibuk memasang tali karmentel pada memasang figure of eight (Sebuah alat berbentuk angka delapan yang digunakan untuk belay) pada carabiner lalu menautkan pada harnesnya. Aku mengangguk menandakan telah siap. Tyas mengulurkan tali yang sudah terhubung dengan banner kepadaku. Sekali lagi aku memastikan apakah Figlia memperhatikanku di atas sana, lebih tepatnya aku berharap dia melakukan itu, kali ini dia sedang berbicara dengan seorang laki-laki, aku hanya bisa melihat punggungnya.

Aku melumuri tanganku dengan magnesium karbonat—berbentuk seperti tepung yang digunakan agar tangan tidak licin ketika memegang climbing holds—sedangkan Galuh memakai sarung tangan. Aku berjalan ke dinding memantapkan pijakan tangan dan kaki,

Belay On.” Aku memulai. Setiap dua meter aku menghubungkan tali karmentel pada ancor (penambat).

Sampai akhirnya berada puncak aku langsung berteriak, “Full!”

Galuh mengencangkan tali, menguncinya. Kulakukan dengan semestinya di atas sini agar ketika aku turun banner bisa terangkat. Pososisi ketinggianku melebihi lantai dua gedung, aku masih bisa melihat Figlia di sana. Dia sepertinya tidak peduli dengan keberadaanku. Berpura-pura tidak peduli mungkin. Setelah semua beres aku bersiap turun.

On belay!” teriakku. Detik berikutnya tubuhku mengantung seperti diayunan, perlahan-lahan turun diringi banner yang mulai naik.

Saat kakiku berpijak di tanah lagi, suara bel pertanda jam istirahat telah berakhir pun berkumandang, nyaring. Aku melihat ke arah tangga selagi melepaskan tali di harnesku, terlihat beberapa siswa kelas sepuluh berebut naik karena ruang kelas mereka berada di lantai tiga.

“Aku balik dulu yah,” kata Tyas tergopoh. “Maaf gak bisa bantu aku habis ini mau nge-lab.”

Kami mengangguk. Aku segera melihat ke lantai dua lagi. Figlia sudah tidak ada di sana.

***

Esoknya, aku berangkat ke sekolah naik angkot. Sepeda motorku di sita karena surat panggilan kemarin. Sepertinya untuk sebulan ini aku harus berhenti berulah, tergantung situasi. Angkot berhenti di ujung jalan yang mengarah ke SMA Cakrawala, sehingga aku harus berjalan kurang lebih 200 meter untuk sampai di gerbang. Ketika memasuki gerbang, di ujung sana, wallclimb itu menunjukan banner yang kemarin aku pasang. Berdominasi warna cokelat bertuliskan “PERKEMAHAN HARI BUMI 22 April 2019” disertai di bawahnya lokasi dan biaya pendaftaran.

Saat aku berjalan menuju gedung utama, kakiku terhenti pada gadis bernama Figlia. Kali ini dia sudah memakai seragam sekolah SMACABA. Gaya rambutnya tidak berubah. Dia sedang menatap mading sambil menghisap permen lolipop berwarna merah muda.  Kulangkah kan kakiku mendekatinya.

“Selamat pagi Figlia?” sapaku.

Dia menoleh. “Siapa yah?” dia sejenak, “oh kamu yang kemarin resletinya kebuka itu yah dari kelas 11 MIA 7, kan?”

Kenapa dia tidak menyebutkan namaku, dan kenapa harus adegan memalukan itu yang diingatnya? padahal aku yakin betul dia masih mengenaliku. Mengetahui siapa namaku.

“Namaku Oreo, panggil saja Reo.” Mungkin harus kulakukan perkenalan ini.

“Figlia, panggil saja Lia.” Dia tersenyum lalu melangkah pergi. Aku menoleh ke mading, apa yang sedang dia lihat.

Pamflet perkemahan hari bumi. “Kamu mau iku perkemahan?” teriakku sepontan.

Dia tidak berbalik. Tapi aku yakin dia mendengar suaraku. Kukejar dia yang hendak menaiki tangga.

“Ayolah,” kataku meraih lengannya, “jangan bertingkah jika benar kamu tidak mengenalku.”

“Apa!” itu bukan kata tanya yang diucapkannya.

“Kamu Figlia anaknya Om Radit kan?”

“Kalau iya kenapa?” lagi-lagi nada sinis.

“Berarti kamu kenal aku.”

“Lah. Naon sareng anjeun deui?” Dia menatapku jijik. Dia bisa berbasa sunda ternyata.

“Kamu amnesia, Fig? Pernah kecelakaan.”

“Ih, nggak jelas pisan kamu nih.” Dia langsung meronta dan segera menaiki undakan. Aku terpaku. Ada yang gak beres nih.

Tidak sampai di situ, aku masih penasaran. Aku bisa mengenali dia tapi kenapa dia tidak mengenaliku. Sampai di kelas pun demikian. Dia duduk dan aku berdiri di samping mejanya. Tidak berselang lama Gita datang.

“Reo, jangan ganggu anak baru deh, sudah sana pergi.” Gita meletakkan tas ranselnya di meja, lalu tersenyum pada Figlia.

“Lah aku mau ngomong sama Lia,” protesku. Mereka berdua menatapku.

“Kamu Oreo kan? Siswa yang sering bermasalah dengan guru ketertiban?”

“Iya, semua orang di sekolah ini juga tahu.”

“Terus kamu bangga?” nada sinis itu keluar lagi. Tatapannya mengejek. Dia tidak amnesia, tetapi dia berusaha tidak mengenaliku.

Aku menatap ke arah Gita. “Kenapa?” kata Gita.

“Kamu cerita apa ke Figli soalku?”

“Murid kesayangan Pak Agus, udah gitu aja. Bener kan Lia?” Figlia mengangguk. “Kenapa, Re? Malu aku cerita ke Lia begitu?”

Aku mengernyit. Lalu pergi menuju bangkuku. Duduk melipat tangan di dada dan menatap punggung Figlia dengan harap dia meminta maaf atas perkataannya. Aku mengabaikan Farid yang baru datang. Mengabaikan ruang kelas yang gaduh. Sampai bersekolah berkumandang. Aku mengeluarkan buku tugas Kimia di saku celanaku, sejak tadi menggangu posisi dudukku. Lalu aku mengabaikan Figlia sejenak untuk memeriksa hasil kerjaku semalam.

“Nyontek punyamu!” kata Farid setelah meraih buku tulisku di meja. Aku membiarkan dan mataku seketika tertuju pada punggung Figlia lagi. Itu berlangsung sampai guru mata pelajaran jam pertama memasuki ruangan.

***

Sepulang sekolah aku langsung menuju ke camp PALA. Bersiap untuk menyambut orang di luar ekskul untuk mengikuti perkemahan. Di sana sudah ada sepuluh anggota PALA dan Tyas yang duduk di lantai tersibuk dengan laptopnya.

Raya, sekertaris PALA, memberikanku surat undangan berkop surat PALA SMACABA. “Untuk pembina,” katanya.

Aku mengangguk. Tanganku menerima surat itu ketika suara ketukan pintu terdengar. Pandangan kami yang berada di dalam ruangan langsung terarah ke pintu. Figlia berdiri di sana dan di sampingnya ada Gita.

“Iya ada apa?” kata Tyas.

“Mau mendaftar di perkemahan hari bumi.” Itu Figlia yang berbicara.

“Oh silakan masuk!” ucapku. Lalu Figlia dan Gita melepas sepatunya dan berjalan ke tengah ruangan.

“Biaya pedaftarannya seratus ribu kan, Kak?” Kak? Dia sedang berbicara kepada siapa?

“Iya, itu sudah termasuk makan dan transport nanti juga dapat cinderamata.” Tyas angkat bicara, dia mengeluarkan kuitansi. “Mau dibayar sekarang atau bagaimana?”

“Sekarang,” jawab Gita.

Kami yang berada di antara Gita, Figlia dan Tyas segera menepi memberi ruang. Ruangan itu seketika sepi. Tapi mataku terarah kepada Figlia. Ketika itu Raya memberikan mereka selembaran. Aku tahu itu adalah panduan dan rundown acara perkemahan karena salah satu penyusunnya.

“Jangan lupa dibawa besok saat hari-H,” kata Raya.

Figlia mengangguk, ketika itu aku berbisik kepadanya. “Ikut aku.” Sambil memegang tangannya. Aku berdiri, dia pun mengikuti. Aku mengabaikan bagaimana orang lain melihatku.

“Gita, ini uangku.” Figlia tergopoh ketika memberikan uang, ia hampir saja melemparkan uang itu tapi Gita cukup tanggap merebut dari tangan Figlia.

Kami berdua berdiri di depan camp. Figlia berdiri tepat di belakang logo besar PALA SMACABA.

“Kenapa kamu bersikap seperti ini kepadaku? Seolah aku telah melakukan kesalahan.” Aku langsung mengatakan apa yang sejak tadi mengguku ketika di kelas.

“Iya, mungkin kamu telah melakukan kesalahan.”

“Apa katakan! Kita teman semasa kecil dulu, dan apa masalahnya? Kamu kan yang tidak ingin aku tinggal di Kalimantan waktu itu, tapi sekarang kamu seolah tidak mengenalku.”

“Kamu bukan Oreo yang aku kenal.”

“Bagaimana kamu mengenal Oreo?”

“Dia laki-laki yang baik, tidak kasar, sopan dengan orang tua, dan penurut.”

Aku memejamkan mata. Menghela napas berat. “Jadi ini alasan kamu?”

“Aku mendengar semua cerita tentang kamu dari Tante Veona.”

“Mamaku cerita apa? Soal aku dan Pak Agus?”

“Aku ingin kamu kembali.” Saat itu Gita telah keluar, seraya berusaha memakai sepatu. Figlia langsung mengambil sepatu dan memakinya lalu pergi bersama Gita meninggalkan aku di tempat. Dia menghilang setelah berkelok menuju tempat parkir.

***

Dua minggu setelah itu, lebih tepatnya sehari sebelum perkemahan dimulai, aku melihat Figlia dengan Salman, laki-laki yang aku curigai menyukai Figlia. Mereka tidak berdua saja, ternyata Gita juga ikut bergabung. Aku berhenti sejenak memperhatikan mereka yang sedang tertawa, Farid mendahului jalanku.

Aku tarik kera baju Farid. “Warung depan aja, jangan di kantin.”

“Kenapa?” ucap Farid sedikit kesal.

“Kopi pahit sama ngerokok.”

“Serius kamu? Ini masih jam sekolah loh?”

Tanpa banyak bicara, aku segera menarik lengan baju Farid. Dia menurut mengikuti langkahku. Sesampainya di warung aku langsung meminta rokok pada pemilik warung. Sempat ada argumentasi antara aku dengan pemilik warung karena rokok tidak dijual untuk siswa. Sampai akhirnya aku memberikan uang tiga kali lipat demi sebatang rokok. Beruntung uang sakuku kembali normal. Farid tidak memesan apa-apa selain mengambil gorengan di meja dan beberapa bungkus kerupuk yang tergantung di tembok.

Tidak banyak siswa yang memilih warung di depan sekolah, karena di sana lebih cenderung berisikan bapak guru yang notabenenya bukan untuk siswa atau mungkin khusus siswa sepertiku, sang pelawan tata tertib sekolah.

Sengaja aku tidak menyalakan rokok, sekadar bermain putungnya memutar-mutar di jemari. Seperti dugaanku ternyata pak Agus sudah mengintai dari pos penjaga. Suara sempritan terdengar nyaring. Tepat sasaran.

“Mampus,” kata Farid mengumpat untuk dirinya sendiri.

“Reo, kamu mau ngerokok?” kata Pak Agus sambil berjalan mendekat.

“Hanya memegang rokok, Pak” kataku santai.

“Farid?”

“Saya hanya makan gorengan.”

“Oreo lagi. Kenapa harus kamu yang terus berulah, sudah berapa poin yang telah kamu kumpulkan?”

Mungkin lebih baik aku diam saja.

“Oreo nggak ngerokok kok Pak, dia hanya bermain putung rokok saja.” Mungkin Farid berusaha membelaku, tapi aku tidak perlu itu.

“Tapi kamu akan menyalakannya kan? Padahal sudah dua minggu kamu aman tanpa masalah, dan sekarang masalah baru lagi.”

Aku menunduk, biar tekesan aku menyesal.

“Farid kamu, cepat kembali ke kelas, dan kamu Reo ikut bapak ke ruang BK.”

Lebih baik seperti ini daripada melihat Figlia di kelas. Dia ternyata sudah berbahagia dengan Salman. Sehari sebelum pendaftaran perkemahan hari bumi di tutup, Salman datang bersama Figlia untuk mendaftar. Laki-laki dari kelas 11 MIA 1 itu telah berhasil mendapatkan Figlia.

“Bapak akan bilang ke Tyas kalau kamu dilarang ikut ke perkemahan hari bumi. Saya juga akan kirim surat peringatan kepada orang tua kamu, kalau kamu berulah lagi, bapak tidak segan-segan meminta guru BK untuk membuatkan surat Drop Out.”

Ketika itu aku sedang duduk di dalam ruang BK, menunggu guru BK yang memegang kelasku dan juga wali kelasku yang mungkin masih mengajar di kelas sepuluh.

***

Saat hari pelaksanaan, aku memang benar tidak mendapatkan izin dari sekolah untuk mengikuti kegiatan itu dan juga Papa lebih terkejut denganku kalau aku merokok di sekolah, uang sakuku hanya sebatas untuk menaiki angkot pulang-pergi. Aku sudah menjelaskan bahwa aku tidak meroko, aku hanya bermain putung rokok kepada mereka. Bukan maksud aku difensif, tapi percuma di dalam pikiran mereka penuh dengan stigma.

“Padahal Bukit Moko sudah menunggu kehadiran kamu, Reo,” kata Raya lemah.

“Kamu kenapa sih harus berulah saat-saat seperti ini,” tambah Tyas.

“Asal kalian tau aja, Pak Agus ngarang cerita kalau aku ngerokok di sekolah,” protesku.

“Tapi sama saja kamu bermain putung rokok, kan?” Tyas langsung pergi menuju lapangan sambil membawa tas tangan berisikan scraf berwana oranye untuk para peserta perkemahan sebagai tanda pengenal. “Tolong bawakan keranjang itu,” tambahnya ketika masih di ambang pintu.

“Kamu nggak nyesel nggak jadi ikut ke Bukit Moko? Padahal kamu sendiri yang merekomendasikan kalau Bukit Moko itu cocok untuk perkemahan hari bumi kali ini.”

“Sudahlah Ray, aku baik-baik saja.” Ketika itu aku berjalan menuju samping pintu untuk mengambil keranjang yang dimaksud oleh Tyas. “Aku ke lapangan dulu.” Baru dua langkah meningglkan pintu aku kembali lagi. “Btw, yang lain peserta kumpul jam berapa?”

“Delapan,” kata Raya, ketika itu dia sedang membuka lemari.

Sesampainya di lapangan, tidak banyak anak berada di sana. Hanya ada Tyas dan beberapa siswa kelas sepuluh yang kebetulan anggota PALA. Mereka sedang menyiapkan barang-barang keperluan seperti kayu bakar, alat masak, logistik kesehatan dan beberapa bahan masakan.

Seteklah meoletakkan keranujang di samping kaki Tyas, aku menilik jam tangan yang masih menunjukan pukul 07.23.

“Ada yang bisa dibantu lagi nggak?” tanyaku ke Tyas yang sedang memeriksa barang-barang dengan daftar yang sudah dia catat di kertas yang sedang dia bawa.

“Gampang biar aku minta tolong anggota yang lain.”

Aku berniat untuk ke warung depan sekolah, belum sempat aku berjalan menjauh Tyas memanggilku lagi.

“Kamu balik kapan? Nanti bantu aku periksa semua ini yah siapa tahu ada yang terlewatkan kalau mobil pengangkut barangnya sudah datang.” Aku mengangguku. “Ini kamu mau ke mana?”

“Warung.”

“Ada uang memang?”

Sial! Aku lupa uang yang aku bawa hanya cukup untuk naik angkot pulang.

“Mungkin lebih baik aku duduk di sana dulu.”

Tidak banyak yang aku lakukan selain duduk di kursi dekat dengan ruang BK. Ruangan ini masih terasa hangat, perdebatan kemarin cukup membuatku semakin terpojok. Apa salah jika seorang siswa memegang rokok? Padahal aku tidak menyalakan. Apakah itu benda yang tabu?

“Hai!” seseorang beraroma stroberi telah duduk di sampingku, aku merasakan kursinya berdenyut. “Kenapa lihatin ruang BK seperti itu.”

Aku langsung menoleh ke pemilik suara itu.

“Aku kecewa ternayata kamu tidak boleh ikut ke perkemahan ini.”

Aku mengernyit, mencoba memahami apa maksud dari perkataannya itu. “Bagaimana dengan Salman?”

“Dugaanku benar kamu berulah karena Salman.”

“Maksudnya.”

“Kemarin aku lihat kamu di kantin, padahal Farid sudah mau memesan sesutau tapi kamu malah mengajaknya ke warung depan.”

Aku diam saja, sepertinya dia ingin berkata banyak.

“Kamu cemburukan aku dekat dengan Salman?”

Aku tidak bergerak, aku sama seklai tidak berniat menyangkalnya.

“Reo, kamu itu harusnya tahu bahwa hidup ini penuh dengan aturan.”

“Aturan yang membuat kita tidak bisa berbuat apa-apa, terjebak, terjerat dan sekamin tidak berdaya,” koreksiku.

“Walaupun kamu tidak menyalakan rokok sedangkan di perturan sekolah seluruh warga sekolah dilarang merokok di area sekolah. Ah, paling tidak bukan ketika jam sekolah berlangsung. Tapi, seorang siswa tidak pantas membawa rokok, apalagi di sekolah.”

“Seharusnya siswa itu membawa buku kan?” tanyaku, tapi mungkin tidak terdengar seperti sebuah pertanyaan. “Kata-kata itu yang diucapkan Guru BK dan walikelasku kemarin.”

“Kamu menyangkalnya?” Dia seperti marah. “Padalah aku terkejut ternyata kamu bisa menyelesaikan soal Kimia dan kamu tidak lupa membawa buku tugas, padahal kamu ke sekolah tidak pernah membawa tas.”

“Kenapa terkejut, apa siswa sepertiku tidak pantas mengerjakan tugas?”

“Maaf,” katanya dengan intonasi. “Maksudku kamu yang mungkin tidak setuju dengan selusin lebih peraturan sekolah tapi kamu masih ingat dimana kodrat seoarang siswa.”

Aku tersenyum.

“Mungkin aku terlalu memaksa untuk kembali seperti dulu. Tapi itu tidak mungkin. Oreo yang aku kenal bukan lagi anak kecil tapi dia telah tumbuh dewasa.” Dia berdiri. “Hukum atau peraturan itu dibuat dari budaya. Mungkin kamu mengangapnya sebuah paradoks, jangan pernah berniat mengubah budaya, kamu harus tahu bahwa sesuatu yang ada di dunia ini ada dengan maksud tertentu.”

Mataku terarah kepadanya. Dia juga mengarahkan pandangan ke mataku.

“Salman suka kepada Gita, dia meminta tolong padaku. Aku kenal Salman karena dulu dia mengantar aku dan Ayah untuk datang ke Tata Usaha.”

Aku mengernyit.

“Untuk apa aku masih menyimpan gelang ini kalau bukan menunggu kamu.” Dia menunjukan gelang yang ada huruf O dan F. “ O untuk Oreo dan F untuk Figlia. Kamu sendiri kan yang memberikan ini untukku?”

“Kamu masih ingin aku kembali seperti dulu.”

“Paling tidak berhentilah berulah. Aku datang ke Bandung selain dekat dengan tempat tinggal Tante Lisa¹ yang baru pindah dua bulan yang lalu aku juga ingin mencarimu.”

Aku tersenyum sambil berdiri, dia juga menarik bibirnya ke samping.

“Mau peluk,” katanya.

Aku hanya tertawa.


[Tamat]

¹Adik dari Aila Larasati dalam cerita “Aila dan Radit”.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro