SKIZOFRENIA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Skizofrenia
By darigiiw
✍️✍️✍️


Seringkali aku melihat orang yang tidak waras terlihat sangat kotor dan tidak terawat yang terlantar di trotoar-trotoar jalan, bahkan kerapkali tidak memakai busana atau berpenampilan aneh yang kadang mengganggu orang di sekitarnya. Orang tersebut mempunyai tingkah aneh, eksentrik, mempunyai pandangannya sendiri terhadap sesuatu, terlepas dari dunia nyata dan memiliki dunianya sendiri. Biasanya orang seperti itu disebut dengan orang ‘gila' terkadang mereka dipasung karena selalu meresahkan warga. Banyak orang yang menganggap bahwa orang ‘gila' susah untuk sembuh kembali dan biasanya itu karena hal mistis seperti kerasukan jin atau setan dan menyebabkan kesurupan, biasanya cara menyembuhkannya hanya dengan rukiah dan dibacakan ayat-ayat suci.

Orang yang ‘gila’ sudah pasti jiwanya terganggu. Aku hanya memiliki gangguan kejiwaan, tidak bisa dikatakan ‘gila’. Aku bahkan hampir setiap hari mendengar suara-suara aneh dan selalu berhalusinasi tinggi. Mungkin, aku adalah anak indigo, dan aku tidak merasa aneh dengan semua itu. Tapi ternyata, aku bukanlah anak indigo melainkan aku memiliki gangguan kejiwaan yang memang sangat berbahaya. Aku tidak gila, tidak, aku tidak gila, yang memiliki gangguan kejiwaan bukan berarti gila.

Aku tidak seperti mereka yang sering disebut orang ‘gila'. Aku normal seperti anak SMA lainnya. Aku masih memiliki kesadaran sampai saat ini. Gangguan kejiwaan banyak macamnya dan bukan hanya gila. Aku tidak bisa mempercayai semua itu, karena aku merasa aku tidak memiliki gangguan kejiwaan seperti itu. Aku normal seperti teman-temanku yang lainnya.

Tapi nyatanya, aku mengidap gangguan itu...

Aku mengetahui bahwa aku memiliki gangguan kejiwaan itu saat duduk di bangku SMA. Semua orang sibuk mengikuti tes kejiwaan, dan semua teman-temanku mengajakku, hanya untuk mengetahui saja apakah di sekolah ini ada yang mengidap gangguan itu apa tidak, kata mereka. Tidak ada salahnya juga untuk aku mencobanya. Seorang psikolog bernama Bu Mia sudah berkeliling ke seluruh sekolah untuk mengetahui apakah ada yang menderita gangguan kejiwaan atau tidak. Kali ini giliran sekolahku yang mendapat kunjungan tersebut, entah itu saran dari kepala sekolah yang ingin mengetahui muridnya memiliki jiwa yang normal atau tidak.

Seluruh murid di sekolahku duduk di tengah lapangan. Semua nampak ceria saat seorang perempuan keluar dari dalam mobil, dan itu adalah seorang psikologi yang sudah ahli dan tentunya memiliki paras yang rupawan. Dia sangat baik dan selalu tersenyum. Lapangan indoor  tidak membuat kami kepanasan karena adanya desiran angin yang berhembus secara perlahan dan membuat sejuk suasana serta mentari yang cukup redup. Acara pertama kali dibuka oleh Kepala Sekolah yang kemudian memperkenalkan Bu Mia, seorang psikologi yang diperbincangkan oleh seluruh murid. Bu Mia pun berjalan ke atas mimbar untuk membuka tujuan dari acaranya datang ke sekolah kami. Banyak kalimat yang diucapkan oleh Bu Mia. Dan tes yang dilakukannya kali ini hanya lima, yaitu tes psikopat, skizofrenia, gangguan kecemasan, bipolar, dan agoraphobia.

Bu Mia dibantu rekannya untuk membagikan dua lembar kertas kepada masing-masing murid. Aku mulai mengisi soal demi soal yang berada di dalam kertas itu, sesekali bertanya kepada teman-temanku karena tidak tahu jawabannya.

Setelah semua murid selesai mengisi, Bu Mia meminta untuk dikumpulkan kembali kepadanya. Kami menjawab soal secara asal, begitu pun yang lainnya, karena tidak ada soal yang aku mengerti. Bu Mia kembali berbicara dengan mikrofon, dan hasil tes tersebut akan disampaikan tiga hari yang akan datang.

Kami semua tidak merasa resah, dan aku merasa biasa saja. Ceria bersama teman-temanku, meskipun ada sebagian murid yang berdebar-debar menunggu hasilnya. Setelah tiga hari menunggu, tibalah hari Senin, aku berangkat sekolah bersama teman-temanku masih dengan tawa dan canda yang sangat bahagia.

Seluruh murid kelas 3 A duduk di barisan paling depan, termasuk aku. Aku tidak terlalu fokus mendengarkan ucapan Bu Mia yang penuh dengan basa-basi sebelum menyampaikan intinya, tapi teman-temanku terus memaksaku untuk tetap fokus mendengarkan. Setelah beberapa jam, akhirnya Bu Mia langsung menyampaikan hasil tesnya. Bu Mia berkata, “Anak-anak, seluruh dari kalian memiliki jiwa yang normal,” Seluruh murid bersorak dengan sangat ramai. Aku juga sama seperti mereka, bertepuk tangan dan murid di sampingku membuat siulan yang meskipun tidak terlalu bagus. Tapi, itu semua cukup membuat lapangan ini penuh dengan kegaduhan, karena tes tersebut hanya dilakukan untuk para murid kelas 3 yang sudah berumur 18 tahun.

Bu Mia tidak berhenti menggelengkan kepala saat melihat seluruh murid seangkatanku membuat keramaian layaknya di pasar, namanya juga murid SMA. Kami tidak berhenti membuat gemuruh keramaian, sampai Bu Mia sendiri yang menghentikan kami. Mungkin karena telinga Bu Mia yang sudah pengeng. Kami kembali kondusif dan mendengarkan ucapan Bu Mia selanjutnya.

Aku bersama teman-temanku kembali mengumpulkan seluruh kefokusan untuk mendengarkan kabar selanjutnya. Senyuman Bu Mia mendadak pudar perlahan, dan itu membuat kami bertanya-tanya. “Memang semua dari kalian tidak ada yang mengidap gangguan kejiwaan dan memiliki jiwa yang normal. Tapi, hanya satu murid,” ucap Bu Mia.
Aku bersama teman-temanku saling bertatapan, bertanya-tanya dalam hati. Kabar selanjutnya bukanlah kabar baik, semua murid kembali bergemuruh mempertanyakan siapa murid itu. Murid di belakangku terus mempertanyakan siapa “satu murid” itu. Bu Mia berkata, “Ibu tidak akan memberitahukannya di depan umum,” kemudian Bu Mia berjalan turun dari mimbar dan tidak menjelaskan siapa murid itu dan mengidap gangguan apa. Kami semua dipulangkan meskipun dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah menggunung di kepala.

Aku pulang ke rumah masih dengan tanda tanya, begitu pun dengan teman-temanku yang lainnya. Waktu belum menunjukkan petang, mentari masih hadir menyinari bumi. Temanku mengajakku untuk menonton sebuah film yang berjudul Psikopat. Aku kembali teringat kepada tes yang diadakan Bu Mia. Pengumuman itu masig menggantung, bahkan kepala sekolah pun tidak memberitahukannya.
Aku sudah lebih dulu datang ke bioskop dan menunggu teman-temanku yang lainnya. Aku melihat poster film yang akan diputar itu, sebuah film yang bercerita tentang gangguan kejiwaan. Rasanya hidupku dipenuhi semua yang berbau gangguan kejiwaan. Dan tanpa disadari, ternyata aku sudah mengidap gangguan itu. Tidak lamai teman-temanku datang, kami langsung masuk ke dalam.
Kami terpaksa menonton film itu yang katanya bagus banget, dan itu rekomandasi dari salah satu temanku yang lainnya. Walaupun kami tidak pernah menonton film yang bercerita tentang kejiwaan. Berbeda halnya dengan teman-temanku yang sibuk menatap layar bioskop, aku justru memainkan ponsel. Pendengaran dan pikiranku kacau, aku kembali berhalusinasi, tapi itu sudah tidak aneh lagi, aku terlalu sering bersikap seperti itu.

Aku kembali berangkat sekolah, semua murid mengerumuni ruang Kepala Sekolah untuk menanyakan siapa “satu murid” yang mengidap gangguan kejiwaan itu. Aku hanya membiarkannya saja dan masuk ke kelas untuk belajar seperti biasa. Aku juga tidak percaya bahwa gangguan itu sudah berada di dalam diriku, aku yang ceria, periang dan mudah bersosialisasi serta aktif dalam berbagai hal, tidak mungkin memiliki gangguan seperti itu. Tapi, semuanya sudah terjadi. Aku benar-benar mengidap gangguan kejiwaan itu.

Aku masih bercanda seperti biasa dengan teman-temanku. Aku pulang ke rumah tanpa memikirkan siapa “satu murid” itu. Perutku sudah merengek karena kelaparan, aku melangkahkan kaki menuju dapur. Tiba-tiba pintu diketuk dari arah luar, aku mendekat ke arah pintu dan membukanya. “Bu Mia, Bu Linda. Silakan masuk,” kataku.

Aku merasa heran dengan kedatangan Bu Mia, dan Bu Linda, wali kelasku. Belum sempat aku makan dan berganti pakaian, walaupun perutku sudah mengamuk tetapi aku biarkan. Aku bertanya-tanya atas kedatangan mereka ke rumahku. Wajah Bu Mia begitu serius menatapku. Mengapa Bu Mia tiba-tiba datang ke rumahku, kenapa harus bersama Bu Linda, aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Aku tidak mengerti dengan kedatangan mereka.

“Ibu mengetahui rumah kamu dari Bu Linda,” ucap Bu Mia. Bu Linda tersenyum dan menatapku, aku justru menatap mereka penuh heran. Dan ternyata alasan Bu Mia bertamu ke rumahku adalah...

“Rin, apakah kamu tahu siapa nama murid yang memiliki gangguan kejiwaan itu?” tanya Bu Mia. Aku terdiam dengan perasaan bingung tentunya, mengapa pertanyaan itu harus tertuju kepadaku? Bahkan aku sendiripun tidak tahu siapa murid itu, mengapa tidak bertanya langsung kepada kepala sekolah, atau yang lainnya, kenapa harus aku. “Tidak, Bu,” jawabku. “Kamu ingin tahu siapa nama murid itu?” tanya Bu Mia kembali.

Jantungku terus berdebar-debar seketika. Bu Linda yang terus menatapku tajam membuatku semakin penasaran siapa murid itu. Aku yang awalnya bersikap biasa saja dan tidak mau mencari tahu siapa nama murid itu mendadak ingin tahu siapa yang mengidap gangguan kejiwaan di sekolahku.

“Iya, Bu,” jawabku dengan semangat.
“Siapa nama murid itu?” tanyaku. “Kamu, Rinda.”

Jantungku berhenti berdetak, dan setelah beberapa detik dia kembali berdetak dengan hebat, aku sungguh tidak percaya dengan ucapan Bu Mia. Tapi Bu Mia itu adalah seorang psikolog. Tidak mungkin kalau dia berbohong menyangkut hal yang besar seperti ini. Aku mencoba mempercayai semua itu, meskipun hatiku masih tidak bisa menerimanya.

“Gangguan apa yang saya derita, Bu?” tanyaku.

“Skizofrenia,” ucap Bu Mia.

“Ski.. Ski- apa, Bu?”

“Skizofrenia,”

“Skizofrenia?”

“Iya, Skizofrenia,”

“Gangguan apa itu, Bu?”

“Ibu tahu kamu murid yang periang Rin, mudah bersosialisasi. Itu semua kata Bu Linda, Ibu bertanya dulu kepada Bu Linda soal kamu,”

“Iya, Bu,”

“Apakah kamu sering berhalusinasi tinggi, mendengar suara yang aneh-aneh, atau semacam yang lainnya?”

“Iya Bu, itu sering sekali,”

“Apakah sedikitpun kamu tidak merasa aneh?”

“Tidak Bu, malah saya kira saya adalah anak indigo,”

“Kamu salah Rin, itu semua kerjaan otakmu. Kondisi skizofrenia ini menyebabkan penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau, serta perubahan perilaku. Penderita ini sulit untuk berinteraksi dan beraktivitas sehari-hari.”

“Itu selalu saya alami setiap hari, Bu. Tapi, kalau untuk perubahan perilaku... Sepertinya tidak,” kataku.

“Kamu nampak normal seperti yang lainnya, tapi nyatanya kamu memang mengidap gangguan itu. Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan yang sangat berbahaya di dunia Rin!”

Aku terdiam mendengarkan ucapan Bu Mia yang terakhir. Aku tidak menyangka memiliki gangguan kejiwaan yang sangat berbahaya, malah sangat berbahaya di dunia. Aku tidak gila, tidak, aku tidak gila. Orang yang sudah gila pasti jiwanya terganggu, aku hanya memiliki gangguan kejiwaan dan bukan berarti itu gila. Aku masih dalam keadaan sadar dan normal bahkan sampai saat ini.

Gangguan kejiwaan yang aku alami adalah... Skizofrenia.

Bu Mia terus menjelaskan secara rinci apa itu skizofrenia, Bu Linda terus menepuk bahuku untuk memberikan semangat. Aku sungguh tidak percaya, dan tidak mampu menerimanya. Tapi apa boleh buat, semua itu sudah terjadi, dan nyatanya seperti itu. Hanya aku, Bu Mia, dan Bu Linda yang tahu semua ini, aku harus menutupnya rapat-rapat tidak boleh ada yang tahu satu orang pun bahkan teman-temanku sendiri. Cukup kami yang mengetahui rahasia ini.

Aku harus kembali bersikap seperti biasa, ceria dan periang seperti Rinda yang dulu. Tapi aku tetap tidak percaya. Banyak yang menganggap bahwa pengidap gangguan kejiwaan ini akan sulit untuk sembuh sepenuhnya. Tapi tidak menurutku, orang yang memiliki skizofrenia memiliki harapan untuk sembuh, salah satunya dari faktor spiritual mengenai menerima diri dengan berdamai terhadap penyakit.

Aku masih tidak percaya bahwa diriku memiliki gangguan itu, perlahan-lahan aku mulai melakukan pengobatan meskipun hasilnya tidak akan maksimal dan dapat memakan waktu dengan biaya yang lebih. Aku tidak boleh terus berada dalam keterpurukan, aku harus bangkit agar bisa mandiri dan lebih baik lagi. Dengan demikian bisa mempunyai skill hidup yang baik, skill sosial yang baik, mampu menangani masalah kehidupan sehari-hari dengan wajar.

Aku sering melakukan pengobatan sepulang sekolah. Mungkin karena waktu itu sudah takdirnya, semua teman-teman dekatku mengetahui bahwa aku mengidap skizofrenia. Semua teman-temanku terkejut dan tidak bisa mempercayainya. Tapi aku tidak melakukan apa-apa, semua itu sudah terjadi kepadaku. Bu Mia sering mengunjungiku untuk memberikan motivasi hidup agar aku tidak larut dalam keterpurukan.
Aku bukanlah orang yang sudah terlantar berpuluh-puluh tahun dijalanan, dipasung berpuluh-puluh tahun. Untuk stabil kembali aku harus melakukan pengobatan dari sekarang, meskipun aku berpikir kalau semuanya tidak mungkin. Tapi, kata-kata Bu Mia selalu menjadi motivasi dalam diriku.

Dua puluh tiga tahun sudah kulalui dengan menderita gangguan kejiwaan yang bernama skizofrenia. Kejadian itu terjadi lima tahun yang lalu. Aku masih menjalani pengobatanku, berbagai terapi aku lakukan, aku mencoba menerima semua ini. Bu Mia aku merindukanmu, rindu mendengar semua motivasimu, aku rindu dikunjungi dirimu. Tapi semua kini telah berubah, Bu Mia kini sudah tiada untuk selama-lamanya. Aku masih tidak percaya dengan kepergiannya.

Bu... aku ingin normal sepertimu, seperti teman-temanku, seperti kebanyakan orang lainnya. Aku akan selalu mengingat semua motivasi darimu. Aku masih menangisi kepergianmu sampai saat ini, sekarang hanya teman-temanku yang memberikan motivasi kepadaku, walaupun aku tak seceria dulu, tak seperiang dulu. Tapi aku selalu berharap, bahwa kesembuhan akan ada. Aku harus terus berusaha dan berusaha, berdamai dengan semua ini. Aku tidak boleh masuk ke dalam keterpurukan yang akan membuatku sulit untuk keluar.

Hanya memori ini yang selalu aku buka untuk mengenang kepergianmu Bu. Aku masih tidak percaya sampai saat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro