WHAT HAPPENED TO ME?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

What Happened to Me?
By Salma Tasya Maulidha




‘Dulu dunia tampak terasa begitu indah. Tidak ada masalah yang menghampiri, tidak ada pikiran-pikiran yang mengganggu, dan tidak ada yang membuat diri ini begitu tertekan. Tapi itu dulu. Sebelum semuanya  berubah. Jika dulu aku berpikir hidup di dunia ini terasa menyenangkan, maka sekarang aku berpikir jika hidup di dunia itu terasa begitu menyedihkan sekaligus menyeramkan’


Hai, perkenalkan namaku Agnalena Chalondra Kirania. Jika kalian berpikir aku adalah perempuan yang tangguh, tegar, dan bijaksana. Maka kalian salah besar. Karena sesungguhnya aku hanyalah perempuan yang lemah, penuh akan tekanan , dan penuh akan kekurangan. Aku pernah mengalami depresi. Bukan, bukan hanya pernah, tetapi sering aku alami di saat jiwa ini merasa tertekan. Bahkan bukan hanya depresi saja yang pernah aku alami, tetapi aku pun mengalami gangguan mental lainnya. Psikiater menyebutkan bahwa aku mengalami gangguan kecemasan paranoid atau bahasa Yunani kunonya paranoia. Paranoid adalah jenis gangguan kepribadian eksentrik di mana pengidapnya memiliki rasa curiga dan tidak percaya yang tidak ada hentinya terhadap orang lain. Ya, memang seperti yang aku rasakan saat ini. Aku selalu curiga terhadap orang-orang sekitar bahkan teman-temanku saja selalu kucurigai.

Teman-teamanku tidak pernah tahu bahwa aku mencurigai mereka. Yang mereka tahu aku hanyalah orang seperti biasanya. Padahal secara diam-diam aku selalu melihat tindakan mereka. Mencurigai mereka. Memastikan apakah mereka memang orang-orang yang baik, apakah mereka sedang menyembunyikan sesuatu dibalikku, apakah mereka musuh dalam selimut, apakah mereka merencanakan sesuatu yang membahayakan diriku dan kecurigaan lainnya. Mungkin terdengar berlebihan. Tapi ini-lah yang dinamakan paranoid. Ciri-ciri paranoid yang dimiliki olehku adalah memiliki kekhawatiran jika orang lain memiliki motif tersembunyi terhadap diri, memiliki ekspektasi akan dimanfaatkan orang lain atau merasa akan dimanfaatkan orang lain, meragukan kesetiaan atau komitmien, tidak mudah memberikan kepercayaan terhadap orang lain, tidak mudah untuk memanfaatkan dan bahkan aku sering kali menyimpan dendam, dan ciri-ciri lainnya. Setelah sebelumnya aku sering mencurigai orang lain, aku juga sulit untuk memberikan kepercayaanku terhadap orang lain. Jika orang biasanya akan menceritakan mengenai masalahnya kepada orang lain, maka aku akan memimilih memendamnya sendiri. Memendam masalah memang terasa menyakitkan, Tetapi, aku lebih baik memendamnya daripada aku ceritakan kepada orang lain, lalu orang lain itu menyebarkannya. It’s big no!

Masalah bukan untuk disebar tapi untuk dicarikan solusi. Disebar itu bukanlah solusi tetapi malah membuat masalah ini menjadi semakin runyam. Begitulah prinsipku.

Sebenarnya paranoid sendiri timbul karena ada penyebab. Dan penyebab aku mengalami paranoid adalah karena orang tuaku mendidikku dengan begitu keras dan penuh dengan ancaman. Mengapa aku mengetahuinya? Karena psikiater mengucapkan itu kepadaku.
Ingin tahu bagaimana kisahku sampai akhirnya didiagnosa mengidap paranoid? Akan kuceritakan sedikit mengenai kisahku…

Mengapa aku jadi begini?

Sebelumnya aku tak pernah merasakan ini, tapi entah kenapa semenjak itu. Aku menjadi tidak seperti dulu lagi, aku bukanlah diriku yang lalu. Ya, aku mmiliki trauma akan pertemanan.

Dulu aku mempunyai teman yang terbilang sangat dekat. Kami selalu menceritakan apa yang kami lalui, dan menceritakan kehidupan kami. Kami selalu bersama. Aku kira dia adalah teman terbaik dari yang lain. Namun, setelah beberapa tahun kami kenal. Dia mulai berubah. Bila ku ajak bicara, dia hanya membalas dengan deheman atau perkataan yang singkat. Aku kira mungkin dia sedang dilanda masalah. Dan aku biarkan. Aku tidak suka memaksa orang itu menceritakan masalahnya kepadaku. Diatara kami pasti memiliki privasinya masing-masing yang tidak mau diketahui orang lain. Aku membiarkan dia mempunyai waktu untuk menyendiri, karena mungkin ia ingin menyendiri dulu. Namun, kemudian aku merasakan perubahan lainnya. Mulai dia yang menjauh dariku, tidak mau diajak bicara, dan enggan untuk menatapku.Dan aku berpikir, mungkin masalahnya belum selesai. Sampai akhirnya dia berbicara kepadaku,

“Len, jangan dekati aku lagi. Aku sudah bosan denganmu. Berteman dengannmu itu sangatlah tidak menarik. Jadi, mari kita sudahi saja pertemanan ini.” Setelah berkata seperti itu, dia pergi bersama teman-temannya yang baru. Entah mengapa, ini begitu menyakitkan bagiku. Setelah orang yang ku percaya dia sebagai teman yang sebenar-benarnya teman, berhasil mengkhianatiku. Dan beberapa hari kemudian aku jalani hari-hariku sendiri. Karena entah kenapa, orang-orang yang walnya dekat denganku menjadi menjauhiku. Apakah, benar aku tidak semenari itu?

Kembali ke cerita awal,…

Waktu itu di sekolah, tepatnya di waktu istirahat,

“Hai, na. Kantin bareng yuk!” ajak temanku Salfa. Waktu istirahat telah tiba. Diwaktu istirahat ini biasanya aku pergi ke kantin bareng bersama teman-temanku. Seperti Salfa, Dania, Renita, dan Cantika.

“Boleh, yuk.” Balasku seraya berdiri dan berjalan  menuju kantin bersama teman-teman.

Setibanya di kantin kita langsung membeli makanan ke pedagang yang ada di sana.. Aku dan Dania membeli batagor, sedangkan Salfa, Renita, dan Cantika membeli bakso. Setelah itu, kita duduk di meja yang sama yang telah disediakan kantin.

Disela-sela memakan jajanan yang telah dibeli, kami berbincang-bincang bersama dan tertawa bersama apabila diantara kami ada yang sedang melucu.

Aku memperhatikan teman-temanku yang sedang berbincang-bincang itu, 

‘diantara mereka pasti tidak ada yang tidak setia denganmu. Bukan hanya ada, tetapi mungkin keseluruhan temanmu itu tidak setia seperti teman kamu yang sebelum-sebelumnya’ pikirku. Entah mengapa aku berpikiran seperti itu namun kucoba tak menghiraukannya. Dan aku coba memperhatikan mereka kembali,
‘apakah mereka benar-benar orang yang baik? Apakah mereka bukan musuh di dalam selimut?’ entah datang darimana pikiran seperti itu. Ini bukan untuk pertama kalinya, aku berpikiran seperti itu. Namun, sebelumnya aku pun pernah berpikiran seperti ini. Memikirkan sekaligus mencurigai teman-temanku.

Mungkin karena aku terlalu lama memikirkan mengenai pertemanan sampai bisa melamun, hingga tiba-tiba Renita bertanya kepadaku,
“Kamu kenapa Len? Kok melamun, lagi memikirkan sesuatu ya?”

“engak kok, enggak lagi memikirkan sesuatu. Enak melamun aja tadi tuh.” Ucapku sembari cengengesan. Aku tidak memberitahukan apa yang dipikirkan ataupun yang sedang kucirigai. Takutnya mereka tersinggung, dikarenakan aku mencurigai mereka.

“Jangan melamun Len, nanti kamu kesambet.” ucap Dania dengan tergelak.

Aku hanya cengengesan menanggapi itu. Mereka tidak mengetahui bahwa aku sebenarnya sedang memikirkan mereka. Apakah mereka benar-benar teman?

Sampai akhirnya kami fokus pada makanan sendiri. Setelah itu, aku memperhatikan dua orang temanku yang terlihat begitu dekatnya. Salah satu diantaranya dekat sekali denganku, Renita. Entah kenapa, ada rasa tidak ikhlas menatap mereka bersama. Seolah-olah Renita hanya boleh bermain dan dekat denganku saja. Astaga, apa yang terjadi denganku? Batinku bertanya-tanya. 


Setelah seharian menuntut ilmu di sekolah, akhirnya waktuku pulang ke rumah.

Setelah di rumah, aku pergi ke kamar lalu merebahkan tubuhku. Namun, tidak lama kemudian ibu memanggilku. Dikarenakan aku berada di posisi ternyaman, jadi aku tak menghiraukan  panggilan itu.

“AGNALENA!”

Aku tersentak dibuatnya. Tiba-tiba ibuku sudah berada di sampingku dengan wajah bersirat akan marah.
“Agnalena kamu dipanggil-panggil malah keasyikan tidur ya! Seragam belum diganti lagi. Kamu enggak menghargai ibu yang menyetrikanya. Jika kamu yang menyetrikanya silahkan mau berbuat sesukamu juga.

Tapi nyatanya kamu hanya tinggal enaknya saja. Kapan ibu menyuruhmu untuk menyetrika? Kapan ibu menyuruhmu membantu ibu? Yang ada kamu hanya males-malesan saja. Tuh lihat, temanmu. Meskipun dia laki-laki tapi dia rajin bantu ibunya, lah kamu perempuan kok malah males-malesan. Kalau ibu pasti malu karena kalah sama laki-laki.”
Inilah ibuku dengan seribu omelannya dan suka membanding-bandingkan anaknya dengan orang  lain. Padahal aku sudah berbicara bahwa aku tidak suka dibanding-bandingkan dengan anak yang lain. Dan jawaban ibu menohok hatiku. Ibuku menjawab perbandingan itu diperlukan untuk kehidupan kedepannya. Tapi kenapa jika perbandingan itu perlu untuk kehidupan, kenapa rasa dibandingkan itu semenyakitkan ini. Kenapa tidak biasa saja?

Sudahlah. Jika aku berdebat dengan ibu pasti aku yang kalah. Karena ibu mempunyai seribu alasan dan ancaman bila anaknya membantah. Bukan hanya ibuku yang begitu, ayahku pun begitu.

Orang tuaku termasuk golongan toxic parents yaitu tipe orang tua yang mengatur anak sesuai dengan kemauannya tanpa menghargai perasaan dan pendapat sang anak. Ya, terkadang mereka mengaturku dengan semau mereka tanpa menghargai perasaanku bagaimana. Bila aku berbuat kesalahan, mereka tidak pernah mendengarkan alasanku berbuat seperti itu. Apakah yang  kulakukan itu disengaja atau tidak sengaja. Tapi prinsip orang tuaku, jika aku salah maka aku akan tetap salah. Tidak ada toleransi. Dan itu membuat hatiku sakit. Aku belum menyuarakan pendapat atau alasanku tapi mereka sudah menyalahkan bahwa aku bersalah.

Apabila aku melakukan kesalahan, mereka akan langsung membentakku. Walaupun itu kesalahan kecil. Mereka memperingatiku? Ya, memang mereka memperingatiku, tapi bisakah dengan intonasi yang baik dan perkataan yang baik pula. Dalam pikiranku tak ada bedanya memperingati dengan membentak, karena keduanya sama saja. Dilakukan dengan intonasi keras dan tak melihat akan hatiku bagaimana.
 
Terkadang aku merasa iri pada mereka yang belum pernah dibentak oleh orang tuanya. Apakah aku memang anak yang sesalah itu?

Apakah aku anak yang pekerjaannya hanya berbuat kesalahan?

Orang tuaku mendidik anaknya dengan begitu keras. Ah tidak, aku rasa ibuku hanya keras kepadaku saja. Sedangkan kepada kakakku, mungkin keras. Tapi lebih keras kepadaku. Aku belum pernah melhat orang tuaku membentak kakakku. Ya, aku memiliki kakak perempuan yang bernama Argita. Mungkin kakakku juga anak yang penurut, bukan seperti aku yang apabila aku tidak setuju atas mereka, aku akan melakukan penolakan. Mungkin kakakku juga anak yang pintar, dan membanggakan. Tidak sepertiku yang hanya memiliki otak pas-pasan.

Membanggakan? Tidak, aku bukanlah anak yang membanggakan kedua orang tuanya, tetapi aku hanya anak yang selalu mengecewakan mereka.
Mereka menuntutku untuk seperti kakakku, menjadi anak yang pintar dan membanggakan. Tapi apa yang aku lakukan? Membuat otakku pintar? Tidak, malah aku sering berleha-leha, bermalas-malasan apabila disuruh orang tuaku belajar. Aku bukanlah anak yang rajin, tapi sebaliknya aku hanyak anak yang pemalas. Meskipun begitu orang tuaku masih menuntutku untuk menjadi pintar dan juga membanggakan. Terkadang aku merasa stress bahkan berujung depresi jika aku terus memikirkan itu. Memikirkan mengenai bagaimana aku harus membanggakan mereka? Bagaimana cara aku menjadi seperti kakakku yang selalu membanggakan keluarga? Dan memikirkan lainnya hingga membuat diriku tertekan. Sebenarnya aku ingin membicarakan ini kepada orang yang bisa kupercaya, tapi entah kenapa aku tidak bisa memberikan kepercayaan kepada orang lain, mengenai masalah ini. Aku takut mereka menganggapku remeh, atau malah menyebarkan bahwa aku mempunyai masalah ini dan itu. Ah sudahlah, lebih baik aku memendamnya sendiri daripada membicarakannya kepada orang lain, yang belum tentu bisa dipercaya.


…..


Inilah ceritaku, meskipun ya mungkin dapat dibilang singkat. Tapi biarlah, biar aku yang tahu apa saja masalah yang menimpaku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro