The Breath and The Voices

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

The Breath and The Voices
By Cal



“ARRGGHHH!!”

Aku berteriak dan mengacak-acak rambutku. Kemudian tanganku dengan cepat mencoret-coret permukaan halaman buku tulis matematikaku. Aku tidak mengerti soal-soal ini. Ini terlalu sulit untuk dikerjakan. Jadi aku tak ingin mengerjakannya, tetapi waktu paling lambat pengumpulannya sebentar lagi. Namun masa bodoh, aku segera beranjak dari kursiku dan mengobrak-abrik lemariku untuk mencari hoodie biru kesukaanku. Tanpa berpamitan, aku segera pergi dari rumah.

Aku tidak suka itu. Aku benci mengerjakan tugas. Mengapa guru-guru suka sekali memberikan tugas-tugas yang sulit atau bahkan yang tidak terdapat pada materi yang diberikan? Apalagi di masa pandemi seperti ini yang membuatku harus bersekolah dari rumah. Aku jadi tidak bisa semaksimal ketika belajar di sekolah. Jam tidurku berantakan, mood-ku sering berubah-ubah,  dan juga pola makanku tidak teratur. Aku benci keadaan ini.

Kakiku melangkah menuju ke sebuah minimarket yang terletak di pinggir jalan. Tangan kananku mendorong pegangan pintu tersebut. Mbak-mbak kasir melihatku dengan tatapan heran karena aku masuk dengan keadaan yang kacau. Sekali lagi, aku tidak peduli. Aku berjalan menyusuri lorong tempat makanan ringan berada. Mengambil beberapa makanan tersebut dengan asal tanpa membaca merk ataupun rasanya.
Lalu aku membawa tungkaiku ke lemari pendingin dan mengambil beberapa kopi yang dikemas dalam botolan untuk menemaniku malam ini. Ini memang kebiasaanku, mengonsumsi kopi setiap malamnya dan berujung sulit tidur. Pantas saja jam tidurku berantakan. Namun setelah mengetahui hal itu pun, aku tetap tidak peduli. Alih-alih mengurangi porsi, aku malah menambahnya.

“Ini aja, Dek?” tanya si mbak-mbak kasir tersebut. Aku hanya mengangguk tanpa banyak berbicara. Setelah melakukan pembayaran, aku segera keluar dari minimarket tersebut dan melihat kursi kosong di terasnya.

Sepertinya duduk di sini sebentar tidak akan jadi masalah.
Aku akhirnya duduk di sana dan mengeluarkan sebotol kopi dari dalam plastik. Lalu aku meneguknya dengan kasar dan menghela napas panjang. Aku tidak tahu kenapa minuman ini enak sekali. Sepertinya aku sudah candu terhadap kafein yang dimiliki kopi.

Mataku menatap langit malam yang dihiasi oleh bintang-bintang. Aku mencoba menghitung ada berapa banyak bintang yang ada di sana. Apakah jumlahnya sebanding dengan jumlah beban hidupku? Kurasa jumlah yang kumiliki lebih banyak daripada bintang-bintang di atas sana.

Kemudian aku tertawa sarkas. Aku meneguk sisa-sisa terakhir kopi dan meletakkan botolnya di meja. Sekarang pukul setengah sembilan malam, tetapi aku tak ingin kembali ke rumah. Aku tahu, jika aku pulang ke rumah pasti Mama akan menanyaiku dan kemudian memarahiku. Katanya anak perempuan tidak boleh keluar malam-malam. Ah, aku tak peduli. Yang kuinginkan saat ini adalah bebas. Pokoknya, aku tak ingin kembali ke rumah jika ujung-ujungnya harus bertatapan dengan soal-soal menjijikkan itu.
Jadi aku akhirnya mengeluarkan ponselku dari saku hoodie-ku. Aku menelepon Aji untuk menemaniku menganggur di sini. Dan tak butuh waktu lama, Aji mengangkat teleponku.

“Halo, Je?” kata suara di seberang sana.

“Ji, temenin gua, dong. Gua gabut banget, nih,” kataku.

“Emang lo lagi di mana sekarang?”

“Minimarket pinggir jalan dekat pos sekuriti.”

“Kagak, ah. Gua sibuk banget,” jawab Aji.

“Sok sibuk lu.”

“Emang gua sibuk, ye.”

“Ih, ya udah, deh. Bye.” Aku memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Aku mencebikkan bibirku karena kesal dan melempar ponselku ke meja. Biasanya Aji adalah orang yang selalu punya waktu luang. Namun sekarang ia malah menjadi orang yang sibuk. Memangnya ia sibuk apa?

Oh, iya, aku hampir lupa. Sahabatku itu sekarang telah mempunyai hobi baru, yaitu mengarang lagu. Jadi pantas saja ia punya kesibukan baru.
Aku menghela napas panjang. Menyatukan diri dengan angin malam memang enak. Aku menutup kepalaku dengan tudung hoodie. Aku menghabiskan waktu di sini entah sampai kapan dengan tenggelam bersama imajinasiku.

Tit! Tit!

Pikiranku buyar seketika. Aku menolehkan kepalaku ke sumber suara. Ada seorang cowok di sana yang baru saja turun dari motornya sambil melepas helm.

“Jean!”

Itu Aji. Ia memanggil namaku dan berjalan ke arahku.

“Lah, katanya lo sibuk?” tanyaku.

“Sebenernya gua mager, hehe,” jawab Aji sambil terkekeh. Ia duduk di kursi yang ada di hadapanku.

“Buset, lo mabok-mabokan lagi?” cibir Aji seraya mengintip kantong plastik milikku.

Aku hanya tertawa pelan. “Gua muak banget di rumah. Pengen nyari pelampiasan,” jawabku.

Baiklah, jangan salah paham. Aku bukan mabuk dengan alkohol tetapi mabuk dengan kopi. Aji adalah sahabatku sejak SMP. Jadi ia tahu persis kebiasaanku saat sedang jenuh.

Ya, meminum kopi dengan jumlah yang banyak.

“Jangan dibiasain gitu, deh, Je. Gak baik,” ucap Aji.

“Ah, bawel lo. Nih, minum biar gak bawel,” balasku seraya menyodorkan sebotol kopi untuk Aji. Cowok itu tersenyum lebar dan menerima pemberianku.

“Munafik lo,” kataku pelan. Aji hanya tertawa mendengarnya.

“Eh, ngomong-ngomong, lo sejak kapan di sini?” tanyanya sambil membuka tutup botol kopi.

“Udah setengah jam yang lalu.”

“Lo gak dicariin orang rumah apa? Ini pasti lo juga gak izin?”

“Ya, gitu, deh.”

Aji menggeleng-gelengkan kepalanya heran, “Jean, gua udah berapa kali bilang sama lo kalo mau keluar rumah tuh, izin dulu. Jangan main kabur-kabur aja. Kasihan entar orang rumah nyariin,” ucapnya.

“Ah, enggaklah. Mereka mana peduli sama gua. Seminggu yang lalu gua juga kabur ke rumah Lia, dan bokap nyokap gua gak nyariin, tuh. Orang tua gua tuh cuma peduli sama kerjaannya,” balasku tak acuh.

Aji tersenyum samar kemudian menjawab, “Je, lo kalo ada apa-apa cerita ke gua aja.”

“Gak ada hal menarik untuk diceritain, Ji.”

“Oke, kalau gitu, perasaan lo sekarang gimana?” tanya Aji sambil menatapku.

“Not good.”

“Mau gua ajak jalan sebentar biar perasaan lo baikan?”


*


“Makasih banyak udah nemenin gua, ya, Ji,” ucapku.

“Yoi, sans. Ya udah, kalau gitu gue pulang, ya. Udah malem,” balas Aji.

“Hati-hati di jalan, Ji. Awas nabrak kecoa!” kataku. Aji tertawa, kemudian ia menyalakan mesin motornya dan melaju bersama angin malam.

Aku membuka pagar dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara. Mobil orang tuaku sudah berada di garasi, itu artinya mereka sudah pulang kerja. Aku menghela napas. Baiklah, aku siap jika nanti aku menerima segala komentar yang orang tuaku lontarkan saat tahu anak perempuannya pulang larut malam.
Aku pun membuka pintunya pelan-pelan.

Pintunya tidak terkunci.

Kemudian aku menutupnya kembali dan melangkah seperti maling yang sedang mengendap-endap. Lampu ruang tamu dan ruang tengah mati. Aku tak dapat memastikan apakah orang-orang di rumah sudah tertidur atau belum. Namun aku berharap, semoga semuanya sudah tertidur sehingga aku bisa dengan lancar berjalan menuju kamar dan tidak ketahuan kalau aku diam-diam pergi dari rumah.

Ah, sial. Harapanku melesat.
“Habis dari mana kamu, Jean?”
Langkahku terhenti saat tepat menginjak tangga. Aku menolehkan kepalaku ke sumber suara. Ada Mama yang sedang berdiri di sana seraya melipat tangannya di dada.

“Gak ada, Ma,” jawabku singkat.

“Habis dari mana kamu, Jean?” ulang Mama.

Aku menghela napas, Mama akan sangat menyebalkan jika sudah banyak bertanya. Dan terpaksa aku harus menjawabnya.

“Cuma dari minimarket depan sana, Ma.”

“Kok tadi ada Aji?” tanya Mama lagi. Sepertinya Mama mendengar ada suara motor di depan rumah dan percakapanku dengan Aji.

“Tadi Jean ketemu dia di minimarket. Terus dia sekalian anterin Jean pulang,” jawabku setengah berdusta. Padahal tadi aku sempat jalan-jalan sebentar dengan Aji.

Mama menatapku dengan tatapan tidak percaya. Kemudian netranya beralih ke kantong plastik yang kubawa. “Ini apa?” tanyanya seraya meraih kantong plastik itu dari tanganku dan mengobrak-abrik barang belanjaanku.

“Jajan sembarangan mulu kamu. Boros banget, baru kemarin dikasih uang sama Papa, udah dijajanin. Kamu tuh, bukannya di rumah, belajar, malah keluyuran,” ketus Mama. Aku hanya merotasikan mataku dengan malas dan kembali mengambil kantong belanjaan itu dari tangan Mama.

“Ya udah, Ma, Jean mau ke kamar dulu. Selamat malam,” ucapku kemudian meninggalkan Mama yang sepertinya masih ingin menceramahiku. Aku menginjak anak tangga satu per satu lalu sampailah di kamarku.

Aku duduk di bibir ranjang dan menghela napas dengan panjang. Hari ini berat sekali. Sedari pagi hingga malam perasaanku kacau. Aku tak tahu harus berbuat apa.

Lalu netraku beralih menuju ke buku tulis matematikaku yang masih terbuka. Aku memandangi tulisan-tulisan yang ada di sana.

“Cepat kerjakan soal-soal ini!”

“Tidak usah, ini sulit. Untuk apa dikerjakan?”

“Hei, cepat kerjakan!”

“Kubilang tidak usah!”

“Kerjakan! Ini penting!”

“Lupakan saja dan pergilah tidur!”

“Jean, kerjakan! Kalau tidak Mamamu bisa marah.”

“Bakar saja buku itu! Untuk apa dikerjakan?”

“Hei Bodoh, cepat kerjakan!”

“Ah, kau ini keras kepala sekali. Cepat pergi tidur dan lupakan tugas matematika ini!”

“ARGHH! BERISIK!”

Aku berteriak. Tanganku bergerak menuju kedua telingaku dan menutupnya dengan erat. Napasku terengah-engah seperti orang yang sedang berlari. Aku benci suasana ini. Lalu dengan brutal, aku mengoyak buku tulis matematikaku. Tak peduli jika nanti aku tak mendapat nilai. Sekali lagi dengan penuh penekanan, aku sangat membencinya.

Suara itu … datang lagi.

Aku benci suara-suara itu.


*


“Oke, cukup. Latihan yang bagus, anak-anak. Persiapkan diri kalian karena besok kita akan tampil. Semangat dan sekarang kalian boleh pulang!”

Akhirnya latihan baletku selesai. Aku dan teman-temanku yang lainnya mengucapkan terima kasih kepada pelatih dan langsung berjalan keluar. Aku mengambil tasku di loker, lalu pergi ke kamar mandi untuk berganti baju.

Kamar mandi masih sangat sepi. Sepertinya yang lain masih asyik berkumpul di loker sambil mengobrol. Karena gerah, aku akhirnya mencopot semua bajuku dan menyalakan shower untuk mandi. Air dingin mulai mengalir membasahi kepala hingga ujung kakiku. Aku memijat-mijat kepalaku, entah kenapa sejak bangun tidur tadi kepalaku terasa pusing.

Selesai membasahi seluruh tubuhku, aku mengeluarkan handuk yang memang sengaja kubawa dari dalam tas. Lalu aku mengelap tubuhku dengan handuk itu dan memakai baju ganti.

“Eh, Je, main yuk!”

“Pulang saja. Nanti Mamamu marah lagi.”

“Tidak usah. Lebih baik telepon temanmu itu dan pergilah bermain!”

“Hei, Je, pulang! Besok adalah hari yang sibuk jadi kau harus istirahat.”

“Apa itu pulang? Tidak usah. Kau, kan, tidak punya rumah.”

“Jean, pulang!”

“Tidak usah!”

“Pulang, Je!”

“Tidak usah!”

“Pulang, Je!”

“ARGHH! DIAM!”

Tok! Tok! Tok!

“Jean, lo kenapa?”

Terdengar suara ketukan di pintu kamar mandi. Aku membuka mataku dengan napas yang terengah-engah. Kemudian aku membereskan bajuku dan segera membuka kunci pintu kamar mandi. Ada Lia di hadapanku dengan tatapan herannya.

“Je, lo kenapa teriak-teriak di kamar mandi? Are you okay?” tanya Lia khawatir.

Aku menelan ludah dan melihat ke sekeliling. Semuanya memandangiku dengan heran—bertanya-tanya apakah aku baik-baik saja. Aku menggeleng kuat-kuat dan kemudian pergi begitu saja tanpa mengacuhkan pertanyaan Lia.

Aku berlari keluar gedung dan duduk sebentar di tangga. Napasku tidak teratur. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.

Pandanganku sedikit kabur. Suara-suara itu … mengapa mereka menyebalkan sekali?! Aku pusing mendengarkan suara-suara mereka. Mereka selalu saja muncul tanpa izin.

Aku berusaha menormalkan napasku. Aku menghirup oksigen banyak-banyak hingga dadaku terasa sesak dan terasa sedikit sakit. Kemudian menghembuskannya sampai tak ada yang tersisa.

Setelah dirasa sudah cukup normal, aku mengeluarkan ponselku dari tas dan mencari kontak Aji. Seperti biasa, Aji adalah orang yang selalu mengangkat teleponku tanpa butuh banyak waktu.

“Halo, Ji?”

“Iya, Je?” jawab Aji di seberang sana.

“I need your help, please.”


*

“Gimana?”

Aji bertanya kepadaku dengan tatapan khawatirnya. Aku meneguk sisa-sisa terakhir air mineral yang dibeli oleh Aji tadi. Kemudian menarik napas panjang.

“Lebih baik,” jawabku seraya mengangguk. Aji membawaku ke sebuah warung makan dan mengajakku makan siang bersama.

“Oke, apa ada sesuatu yang mau diceritain?” tanya Aji.

Aku mengangguk pelan dan membalas, “Ji, mereka datang lagi.”

“Mereka siapa?”

“Mereka! Mereka datang lagi dan terus ngebisikin gua. Gua takut banget.”

“Hah? Bentar, gua bingung. Mereka siapa?” tanya Aji.

“Ada orang-orang yang datang tanpa permisi dan ngebisikin gua. Gua pusing denger mereka. Suara mereka tergiang-ngiang di kepala gua. Gua takut,” jawabku.

“Je, itu mungkin cuma efek capek. Jadi lo berhalusinasi. Udah, ya. Mereka gak ada. Gak ada yang perlu lo takutin,” ucap Aji seraya mengelus lembut tanganku.

“Tapi, Ji, mereka beneran ada! Gua gak bohong.”

“Nggak, Je. Itu cuma ilusi lo. Mereka yang lo maksud itu gak ada.”

“MEREKA ADA, JI!”

Aku berteriak sambil menggebrak meja. Suasana seketika menjadi sunyi. Aji dan orang-orang yang berada di sekelilingku tampak terkejut dan heran atas sikapku. Napasku kembali memburu. Jantungku kembali berdetak kencang. Kali ini, aku sulit untuk mengontrolnya.

“Hai, Jean. Aku di sini!”

Aku menolehkan pandanganku ke sebelah kiri dengan cepat. Aku merasakan ada napas di telingaku dan berusaha menepis napas itu.
“Pergi! Jangan ganggu gua!” teriakku.

“Jean, lo kenapa?” tanya Aji dengan nada khawatir.

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat dan segera pergi dari warung makan tanpa menghiraukan khawatirnya Aji kepadaku.

“Jean!”


*


Kini aku sudah sampai di rumah. Tadi aku memang sempat berlari sendirian dari warung makan. Dan tiba-tiba saja Aji menyusulku dan ia mengantarku sampai ke rumah. Aji bilang ia khawatir, ia tadi juga sempat menawarkan dirinya untuk menemaniku di rumah. Akan tetapi aku menolaknya. Kubilang aku hanya perlu beristirahat dan me time.
Seperti biasa rumahku sangat sepi. Papa dan Mama sepertinya masih sibuk bekerja. Sedangkan pembantu di rumahku, sedang pulang kampung. Ya, tak apa, aku sudah terbiasa menikmati kesendirian.

Aku melempar tasku sembarang arah dan masuk ke kamar mandi. Aku menyalakan keran iar dingin dan membiarkannya hingga terisi penuh. Setelah penuh, aku pun masuk ke dalamnya tanpa membuka pakaianku terlebih dahulu.

Aku menghela napas. Aku benar-benar pusing hari ini. Ada banyak hal yang terlintas di kepalaku. Aku juga mendengar banyak suara yang terus membisikkan sesuatu di telingaku. Aji bilang suara-suara itu tak ada, padahal jelas-jelas aku mendengarnya! Suara-suara itu terdengar sangat nyata dan tentu saja berisik. Aku tak dapat mengontrol mereka karena mereka suka sekali datang tanpa disuruh. Alias mereka selalu datang tiba-tiba.

Aroma lavender dari lilin terapi yang berada di dekat wastafel membuatku sedikit lebih tenang. Aku memijat pangkal hidungku. Kemudian aku menarik napas panjang, sebelum akhirnya menenggelamkan diri di air dingin selama beberapa menit—sampai sesak napas dan merasa hampir mati.


*


Hari ini adalah hari penampilan baletku bersama teman-teman. Aku sudah siap dirias beberapa menit yang lalu. Omong-omong, Aji datang kemari untuk melihat penampilanku, bahkan ia yang mengantarku kesini. Sedangkan Mama, aku tak tahu apakah ia jadi datang kesini atau tidak.

Aku berulang kali mengecek ponselku. Aku sudah mengirim banyak pesan kepada Mama, tetapi Mama belum membalasnya. Aku harus memastikan Mama datang hari ini ke penampilanku. Tidak mungkin, kan, ia akan melewatkan penampilan hebat anaknya ini?

“Jean!”

Di tengah kegelisahanku, Aji datang ke ruang rias. Ah, hari ini dia terlihat sangat tampan. Ia memakai skinny jeans berwarna hitam dan kaus putih yang dilengkapi jaket jeans sebagai luarannya.

“Lo cantik banget, semangat, ya! Jangan lupa senyum manisnya!” ucap Aji seraya mencubiti pipiku pelan.

“Siap, Komandan! Makasih,” balasku.

“Gimana perasaan lo hari ini? Apa udah lebih baik dari kemarin?” tanya Aji. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Oke, kalau gitu aku keluar dulu, ya. Kayaknya temen-temen kamu udah pada siap, tuh. Bye, semangat, Jean Cantik!” Aji keluar dari ruang rias dengan meninggalkan senyum manisnya untukku. Aku melambaikan tangan ke arahnya. Aji memang pintar membuat suasana hatiku menjadi lebih baik hanya dengan kalimat-kalimat sederhananya.
Seusai peninggalan Aji, pelatih memanggilku dan teman-temanku untuk memberikan sedikit arahan dan kata-kata semangat. Aku berharap di dalam hati, semoga tidak ada kekacauan yang kuperbuat. Setelah itu, kami pun naik ke panggung dan disambut dengan tepukan riuh dari para penonton.
Suasana berubah menjadi hening. Lampu-lampu dimatikan, hanya lampu yang mengarah ke teater yang dihidupkan. Musik pun mulai mengalun. Aku menggerakkan tangan dan kakiku  dengan gerakan-gerakan balet yang telah kupelajari. Bibirku juga tak henti-hentinya tersenyum.

“Hahaha … coba lihat, di mana mamanya Jean?”

“Mungkin mamanya sibuk jadi ia tidak bisa datang.”

“Kasihan sekali, bahkan mamanya pun tidak datang ke penampilan anaknya.”

“Tidak, Mama hanya sibuk.”

“Mamamu tidak peduli padamu, Jean!”

“Mamanya Jean peduli, kok! Lihat, mamanya ada di kursi barisan tengah, dekat dengan Aji.”

“Mamamu tidak ada, Jean. Jangan berharap lebih!”

“Kasihan, Jean.”

“Tidak! Mama itu ada.”

“Mama Jean itu tidak ada!”

“Mama—“

“ARGHHH!”

Aku berteriak kencang hingga mengehentikan penampilan baletnya. Teman-teman dan para penonton melihatku dengan tatapan heran. Suasana pun seketika menjadi riuh. Ah, kepalaku tiba-tiba pusing. Napasku memburu dan detak jantungku berdetak kencang.

“Hahaha … Jean bodoh!”

“Jean aneh. Tiba-tiba mengacaukan penampilannya sendiri.”

“Hahaha!”

Suara-suara tawaan mulai bermunculan di telingaku. Aku menutup telingaku kuat-kuat dan berusaha untuk tak membiarkan suara-suara itu tak terdengar. Kepalaku terasa berat sekali.

“Jean, kamu kenapa?” bisik Lia.

Aku menggeleng kuat-kuat. Tidak, aku … telah mengacaukan semuanya. Aku bodoh. Aku tak pantas berada di sini.
Kemudian kakiku bergerak meninggalkan panggung, meninggalkan beribu pertanyaan orang-orang. Aku berjalan cepat menuju ruang ganti dan mengacak-acak barang-barang yang ada di sana. Aku benar-benar bodoh. Aku malu terhadap diriku sendiri.
Aku berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Aku merusakkan tatanan rambut dan make up di wajahku. Aku memukul dinding sekuat mungkin hingga buku-buku jariku berbunyi dan lecet. Aku benar-benar marah, malu, dan sedih. Mengapa aku mudah sekali terpengaruh dengan suara-suara menyebalkan itu?!

Aku melihat ada sebuah gunting yang tergeletak di meja. Kemudian dengan brutal, aku pun mulai menggunting-gunting rambutku. Dan berteriak kencang sekali lagi.

“Astaga, Jean!”

Ternyata Aji menyusulku ke ruang ganti yang diikuti oleh beberapa orang di belakangnya. Ah, tidak, aku malu. Aku sangat kacau. Orang-orang tak boleh melihatku.

“Pergi!” bentakku pada mereka.

“Jean, tenang. Ini gua, Aji,” ucapnya seraya berusaha merebut gunting dari tanganku.

“Ji, gua berbuat kesalahan. Gua malu karena gue bodoh. Mama gak datang ke penampilan gua. Mama benci sama gua,” aduku.

Aji tampak terkejut dengan ucapanku, kemudian ia membalas, “Je, apaan, sih? Enggak, Je.”

“Ji, Mama benci sama gua. Mama marah sama gua karena gue ngacauin penampilannya.”

“Enggak, Jean. Enggak!”

“Ji, Mama marah sama gua. Mama—”
“Jean, sadar! Mama lo tuh, udah gak ada!”

Kalimat yang terlontar dari bibir Aji itu ... berhasil meruntukan duniaku.


*


“Jadi, sejak kapan Jean mulai suka berhalusinasi?”

“Kayaknya sejak mamanya meninggal, Dok. Dulu, Jean sering cerita ke saya kalau semasa hidup, mamanya memang over protective ke Jean. Jean juga cerita kalau mamanya suka nuntut dia untuk jadi yang terbaik, walaupun Jean gak suka. Dan kayaknya hal itu yang bikin Jean tertekan sampai sekarang, bahkan saat mamanya udah gak ada, dan bikin dia berhalusinasi tentang mamanya,” ujar Aji.

Aku hanya menatap kosong ke depan. Kemarin pasca kekacauan itu, Aji membawaku pulang ke rumah dan merawatku selama beberapa hari. Dan hari ini, ia membawa seorang psikiater yang aku tak tahu asalnya dari mana ke rumahku.

Aku didiagnosis menderita skizofrenia. Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan yang membuat pengidapnya sulit membedakan antara kenyataan dan khayalan. Pantas saja aku sering mendengar suara-suara asing yang terasa sangat nyata. Aku tak bisa membedakan apakah suara itu nyata atau tidak, sering berteriak, dan juga melihat Mama yang sebenarnya sudah tiada.
Jangan tanya suasana hati dan kondisi fisikku saat ini. Aku benar-benar kacau. Rambut hitam panjangku berubah menjadi pendek acak-acakan karena kugunting dengan asal-asalan, mata panda menghiasi mataku, dan bibirku pucat dan kering. Jean yang manis sudah tiada, sekarang hanya ada Jean yang kacau dan bodoh.

“Hahaha … kasihan sekali Jean.”

“Ia memang bodoh dan pantas mendapat ini.”

“Malang sekali nasibnya.”

Ah, tidak. Suara-suara itu muncul lagi. Aku menggeleng kuat-kuat.

Oh, Mama, tolong aku. Suara-suara itu sangat menyebalkan. Aku sangat membencinya.

*








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro