Gendis's Mission

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gendis's Mission
By sid_safta


Mataku memicing saat melihat wujud seseorang yang ada di seberang kafe tempatku nongkrong saat ini. Aku bisa mengenali dengan baik, motor bebek tahun 2005 warna merah itu, adalah motor kakak iparku. Tapi, WHAT!!  Sudah tiga kali ini, aku tak sengaja melihat Bang Bisma membonceng perempuan itu. Tapi kali ini mereka berada di sebuah factory outlet. Bang Bisma hanya menunggu perempuan yang diboncengnya tadi di parkiran depan FO itu. Bahkan saat ini Bang Bisma sesekali melihat HP-nya dengan senyum-senyum sendiri, mencurigakan! Saat Bang Bisma menatap  ke kafe dimana aku berada kini, segera aku menyembunyikan diri dengan bersandar di belakang punggung cowok berambut belah tengah ala Iqbal Ramadhan itu. 'Bisa gawat kalau ketahuan nih!' batinku.

Cowok yang bernama Geri ini tampaknya keenakan, karena aku seperti mengendus ketiaknya yang hm ... tidak bau sih ... wangi, tapi nanti kalau aku bilang wangi, dia makin gede rasa dong!

"Eh G-Gendis, geli ah! Kalau kamu mau dipeluk aku bilang dong, dada, lengan dan punggung Akang tamvan, sandar-able kok!" kata Geri.

BUGH! Kupukul lengan kirinya asal. PD banget sih cowok ini.
"Auw ... sakit, gendis, tega aneut sih sama aku," ujar Geri dengan nada bicaranya yang dibuat alay.
"Makanya kalau ngomong tuh, bibir diajak rapat dulu, biar sinkron sama otak. Siapa juga yang mau nyandar dipunggung kamu!" seruku.
"Lho! Sinkron kok, Ndis. Yang aku pikirkan, memang kamu pengen bersandar kok di punggung aku, nih free buat Gendis tersayang," ucap Geri gombal sembari menyodorkan punggung lebarnya. 
Ah udah deh, biarin aja si Geri ngomong apa. Saat ini yang penting aku bisa mengamati kakak iparku yang akhir-akhir ini mencurigakan.
Bukan tanpa sebab aku bilang mencurigakan. Dugaanku yang membuat Tetehku tersayang Teh Gina sedih dan menangis akhir-akhir ini, adalah karena Teh Gina mungkin tahu kalau suaminya selingkuh.

Biasanya orang setelah melahirkan itu kan bahagia, tapi Teh Gina justru dari yang kulihat tidak ada guratan senyum di wajahnya. Dari hasil pengamatan yang aku lakukan, dua bulan sebelum melahirkan hingga setelah lahir bayi kecil mereka justru kesedihan Teh Gina semakin menjadi-jadi. Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, aku wajib membantu kakakku kan. Karena sekolah juga cuma sekolah online sepertinya aku bisa memanfaatkan waktuku untuk mencari tahu permasalahan dalam rumah tangga kakakku dan suaminya.

"Hm ... Ger ... kamu mau bantu aku nggak?" tanyaku harap-harap cemas pada kembaran Taylor Lautner itu. Iyah Geri memang seganteng itu. Tapi kalau jujur, nanti bisa-bisa kepalanya meledak.

"Apa manis ..." sahut Geri. Panggilan 'manis' ini membuatku bergidik gimana gitu.

"Ger, serius deh, jangan panggil aku manis, geli tau!"

"Lho! Kan bener sih, nama kamu Gendis. Artinya kan gula. Gula itu rasanya kan manis."

Aku memberengut dan kesal. Daripada ikut-ikutan sinting kayak Geri. Aku kembali fokus memperhatikan Bang Bisma yang masih setia menunggu perempuan tadi.

'Apa Bang Bisma beneran selingkuh dari Teh Gina? Selama ini yang aku lihat dia family man banget. Tapi memang aneh, Teh Gina lebih sering sedih dan menangis, terus Bang Bisma juga sekarang sering pulang malam-malam terus, Apa ini alasannya?' Pikiran positif dan negatif terus berperang dalam otakku. Bayang wajah Teh Gina yang sendu selalu tercetak jelas setiap harinya. Entah kemana Teh Gina yang ceria dan bawel. Aku kangen.

"Ngelamun apa sih, Ndis?" tanya Geri sembari menjetikkan tangannya di depan wajahku.

"Mikirin Bang Bisma," jawabku malas.
"Ngapain mikirin Bang Bisma. Dia kakak ipar kamu Ndis. Mending sama aku, cowok jomblo grade A."

"Ngaco kamu! Tuh lihat siapa yang di FO depan itu," kataku sembari menunjuk Bang Bisma bertepatan dengan perempuan yang ditunggunya sudah keluar. Wajah perempuan itu begitu semringah disambut senyuman oleh Bang Bisma. Senyum perempuan itu manis, meski kulitnya sawo matang. Rambutnya yang panjang tergerai dengan indah, terbawa semilir angin hingga mengenai wajah depannya. Dengan anggunnya perempuan itu, menyibakkan rambutnya dengan jari telunjuk bak adegan slow motion. Dan, Bang Bisma merapikan rambut perempuan itu, Mesra banget kan! Gimana aku tidak curiga mereka ada affair di belakang Teh Gina.

Geri memicingkan matanya, seperti yang aku lakukan tadi. Ekspresinya juga terlihat tidak percaya akan apa yang dilihatnya.

"Gendis, itu beneran  Bang Bisma? Apa mungkin selingkuh?" tanya Geri yang berpikiran sama denganku.

"Tuh, kan kamu juga berpikiran sama kayak aku. Aku udah melihat mereka tiga kali lho, Ger. Kamu mau ya, bantu aku menyelidikinya. Tahu nggak sih, Teh Gina itu, sekarang sering nangis Ger. Apa ini ya penyebabnya," aku menghela napas kemudian melanjutkan kembali bicara, "Orang habis ngelahirin harusnya bahagia kan, Ger. Tapi Teh Gina nggak gitu. Aku malah pernah mergokin Teh Gina mukul dan ngebentak baby Zio. Aku sedih ngelihat Teh Gina kayak gini."

"Coba kamu ajak ngobrol dulu, Gendis. Siapa tahu ada masalah. Tapi kalau kamu memang butuh teman untuk menyelidiki Bang Bisma aku siap. Asal ... ada imbalannya buat aku, gimana?" tanya Geri sambil menaik-turunkan alisnya bak jungkat-jungkit dan senyuman smirk yang aneh padaku.

"Apa?" tanyaku singkat.

"Kalau misi kita berhasil, baru aku kasih tahu, deal?" tanyanya seraya menyodorkan tangan untuk bersepakat, dan tanpa pikir panjang aku pun menyambutnya, "Deal."

***

Suara tangisan baby Zio terdengar hingga depan rumah padahal kamar Teh Gina berada di lantai dua. Suara tangisan bayi itu begitu kencang hingga memekakkan telinga.

Buru-buru aku berlari ke lantai atas, dan menuju arah suara tangisan Sio keponakanku tersayang.

"Astaghfirullah ... Teh, Teh Gin, kenapa diam aja, itu Zio nangis, Teh," ucapku panik melihat Zio yang sudah dekat diujung kasur tanpa  penghalang apapun untukmelindungi agar tidak jatuh.

Segera aku ambil Zio dari kasur dan menimang-nimangnya. Tapi tangisnya tak kunjung reda. Mungkin dia haus, pikirku. "Teh, ini Zio ...." aku tak tahu, mengapa Teh Gina disaat anaknya menangis seperti ini hanya terdiam. Tak ada respon layaknya seorang ibu pada umumnya. Sedangkan aku sendiri, hanya remaja ingusan yang tak tahu apa beda susu UHT dan susu bubuk. Lha, ini aku dihadapkan pada kondisi harus bikin susu buat bayi. Duh, Gusti!! Akhirnya aku beranikan diri saja, untuk bicara pada Teh Gina, kutepuk pelan pundaknya, "T-teh, ini Zio nangis, mungkin dia haus."

Semenit ...

Tiga menit ...

Lima menit ...

Teh Gina masih mematung, pandangannya masih sama, kosong.
Hingga akhirnya aku mendengar deru suara sepeda motor laki-laki yang aku lihat di FO tadi.

"Gendis, Zio nangis ya? Sini, biar Abang yang gendong," ucapnya dengan nada tersengal-sengal seperti habis maraton lari sepertinya karena tangisan Zio yang kencang.

"Bang Bisma udah cuci tangan dan kaki belum? Mending Bang Bisma bersih-bersih dulu, sama minta tolong buatin Zio susu, aku nggak bisa bikinin susunya takut salah."

"Oh, ya udah. Kalau gitu sebentar ya nggak akan lama kok. Jalu, sebentar ya, Ayah bersih-bersih dulu sama bikin susu. Yang anteng sama ateu Gendis ya." Bang Bisma berkata dengan lembut pada anaknya.

Kemudian dia masuk ke kamar, dan mengecup kening Teh Gina begitu dalam, lalu entah berbisik apa, tak dapat kudengar. Tapi apa yang ia lakukan pada Teh Gina, tak luput dari pandanganku.

'Tumben Bang Bisma pulang cepet, apa tadi beneran lihat aku di kafe ya? Jadinya, Bang Bisma takut aku bilang yang iya-iya ke keluarga, terutama Teh Gina?' lagi-lagi logika dan perasaan ku dua kutub yang tarik menarik. Mana yang benar dan salah aku tak tahu. Tapi satu yang pasti aku tahu, mencari tahu kebenaran.

***

Zio sudah tenang dalam gendongan Ayahnya. Bahkan, bayi ganteng itupun sudah wangi bayi yang lembut dan segar dari minyak telon dan cologne yang dipakainya.

Kini, Zio diajak Ayahnya kongkow-kongkow depan rumah. Saat sedang asyik Ayah dan Bayi itu bersenda gurau dengan bahasa bayi, ada ibu-ibu yang lewat depan rumah dan menyapa Ayah dan anak itu. Posisiku sendiri sedang berada di balkon lantai dua, sedang asyik nonton ulang drakor Hi, Bye Mama!

Drama yang menguras air mata dan tawa bersamaan. Tapi aku yang sedang asyik nonton, terganggu dengan pembicaraan orang-orang di teras rumahku ini.

"Eh, Zio sudah wangi dan ganteng ya," sapa ibu berjilbab pink.

"Zio ganteng ya, tapi sayang kurus, padahal minumnya formula lho, bukan ASI," sahut ibu berjilbab hitam.

"Iyah ya, kurus ini Zio untuk ukuran bayi sufor. Harusnya bisa dikombinasi Nak Bisma. Bilang ke istrimu, buat makan sayuran yang banyak, jadi biar badannya berisi dan ASI-nya lancar," ucap si ibu berjilbab pink lagi. Kayaknya ini udah mulai nyinyir deh kata-katanya.

"Iyah, mungkin istrimu kurang sehat dan agak stress. Katanya kalau orang lahirannya operasi caesar sembuhnya lebih lama lho, Gina kan kemarin operasi waktu lahiran Zio." Fix ibu-ibu ini mulai mau menyerang negara api.

Segera aku berlari ke bawah dan menyusul Bang Bisma dan Zio. Aku tahu Bang Bisma tidak akan melawan omongan mereka karena ya laki-laki mana yang bisa balas omongan ibu-ibu macam keong racun itu.

Saat aku hendak membuka engsel pintu, aku tertegun.
"Kami memang memutuskan operasi kok, tante-tante. Ini semua untuk keselamatan ibu dan bayi. Masalah susu, andai pria juga memiliki ASI, saya mau gantiin para istri untuk menyusui. Sayangnya saya hanya punya buahnya tak memiliki susunya.  Andai pula buah saya bisa ngomong, pasti dia pengen bilang, "walau aku tak punya air susu, tapi aku bisa memberi nikmat."

What!! Ternyata Bang Bisma menjawab omongan julid bin nyinyir dari duo Bu Tejo itu.

Setelah mengatakan itu pada duo Bu Tejo itu, Bang Bisma masuk ke dalam rumah. Tampak sekali wajahnya menggeram kesal dan menahan diri untuk tidak memuntahkan amarahnya.

"Kenapa, Bang?" tanyaku pura-pura tak tahu.

"Cuma fansnya Zio," jawabnya dan ia tertawa tipis.

***

"Tahu nggak, Ger. Tadi ada Bu Tejo di depan rumahku," ucapku pada makhluk manusia ciptaan Tuhan bernama Geri di seberang telepon sana.

"Hah? Ada artis datang ke komplekmu? Ada syuting film gitu? Kok tadi pas aku anter kamu pulang, nggak ada rame-rame kru film."

Aku mendengus kesal atas ucapannya. Tuhan, kenapa ada makhluk ganteng-ganteng tapi tulalit macam dia, sih.

"Ih, maksud aku tadi itu ada ibu-ibu nyinyir banget omongannya tentang Teh Gina dan Zio. Aku jadi kesel deh. Untung tadi pas aku mau labrak itu ibu-ibu, Bang Bisma bikin mereka kicep duluan."

"Gendis, kamu masih pengen jadi detektif anti pelakor?" tanya Geri.

"Iyah dong, aku harus tahu apa yang terjadi pada rumah tangga Teh Gina. Aku nggak pengen kehilangan kakak aku lagi, seperti aku kehilangan Mas Galih," ucapku lirih.

"Nggak pa-pa, Gendis. Oh ya, tentang Teh Gina coba kamu searching tentang baby blues.  Tadi aku ingat ada syndrome ini yang sering dialami oleh para ibu pasca melahirkan. Eh, yapi ingat lho, bantuanku nggak gratis. Kamu harus membayarnya nanti, kalau misi kamu sudah selesai."

Aku yakin dia saat mengatakan ini sambil senyum-senyum lebar selebar mulut kuda, karena aku bisa dengar suara tawa tipisnya.

"Beres deh. Besok kita mulai misi yaa," kataku mengingatkan akan misi kami dan jam dimulai operasi misi.

"Siap, Manis."

"Udah, ya Assalamualaikum,"
"Eh, Gendis t-tung ...." ucapannya terpotong karena aku secara tiba-tiba memutuskan panggilan. Sudah kubilang kan aku geli dipanggil 'manis' oleh Geri.

Tapi tampaknya ada satu perkataan Geri yang sangat terngiang "baby blues" aku harus segera cari informasi tentang ini.

***

Hasil temuanku dari mesin pencari internet Google tak bisa aku tarik kesimpulan. Iyah, karena aku bukan ahlinya. Hanya ahli-lah yang bisa menentukan vonis dari gejala-gejala yang dialami Teh Gina dan pengobatannya. Tugasku adalah mencari tahu kebenaran dari semua ini, dan mengembalikan senyum Teh Gina lagi. Terutama untuk Zio, bayi kecil itu tak memiliki kesalahan apapun. Tapi ia harus merasakan jauh dan tak diinginkan oleh ibunya sendiri.

Aku memutuskan untuk mengikuti gerak-gerik Bang Bisma. Dari tempat kerjanya hingga pulang kerja. Dari dua minggu hasil penyelidikanku dengan Geri, kami menemukan beberapa pola.

Pertama, Bang Bisma masuk kerja pukul 09.00 pulang kerja pukul 15.00, karena ada pembatasan jam kerja bagi karyawan. Akibat dari virus Covid-19. Narasumbernya adalah satpam dan penjual warung kopi yang sering jadi tempat nongkrong sementara setelah para karyawan pulang kantor.  Sedangkan si pencari berita adalah Geri.

Kedua, Bang Bisma tidak bertemu setiap hari dengan perempuan itu. Tapi hanya pada hari Selasa, Rabu, dan Jum'at. Dan hal ini berulang di hari berikutnya. Aku pun teringat saat bertemu dengan Bang Bisma di FO itu adalah hari Selasa. Karena aku dan Geri pergi janjian ke kafe waktu itu pada hari itu.

Ketiga, tempat mereka bepergian selalu sama. Studio foto yang terletak di jalan Pahlawan, beberapa distro, FO dan kafe, juga pusat sablon di Bandung yang ada di kelurahan Cihaurgeulis.

Keempat, yah mereka memang cukup dekat.

Dan selama pengintaian kami ala detektif itu, rasanya nano-nano macam permen kesukaan anak tahun 2000-an kata Teh Gina. 

Kami menghentikan proses penyelidikan tepat di hari ke lima belas. Karena Bang Bisma memergoki kami sedang mengintainya.

***

Malam ini aku harus menyampaikan apa yang sudah aku ketahui. Tentu saja aku tidak akan tinggal diam, bila mengetahui sebuah fakta tapi harus diam. Aku tak ingin menjadi adik yang gagal seperti aku membiarkan kepergian Mas Galih saat itu. Aku tak akan biarkan Teh Gina terus terpuruk.

Malam ini seperti biasa, kami makan malam bersama lengkap minus Mas Galih. Mamah dan Papah, orang tuaku adalan PNS. Mamah merupakan PNS di kantor pajak yang kantornya di jalan Asia Afrika. Sedangkan Papah, adalah PNS di Bappeda atau Badan Pendapatan Daerah. Klop kan! Dan jantungku berdegup kencang, ada rasa was-was dan khawatir akan tak sesuai harapan. Tapi niatku sudah bulat untuk melaksanakannya.
Kutarik napas dalam-dalam kemudian embusannya yang berat kukeluarkan dengan pelan agar tak kentut nantinya bisa merusak suasana dan jadi tengsin kan.

'Mah, Gendis mau bicara," ucapku pelan namun serius.

"Apa," sahut Mamah masih dengan tenang.

"Mah, Gendis sering mendengar ocehan ibu-ibu julid yang terus berkata buruk dan jelek pada Teh Gina. Hm ... Menurut Gendis apa Teh Gina tidak pindah rumah saja, Mah," ucapku pelan-pelan karena selain takut dengan Mamah yang lebih galak dari Papa,

Ting-ng! Bukan ini bukan suara bel, tapi adalah suara piring yang  berdenting seolah mengatakan sedang siap-siap marah.

"Gendis, kalau Teteh kamu pindah, dia sama siapa kalau Bisma kerja. Disini ada Bi Narti yang membantu mengurus Zio. Ditambah lagi Teteh kamu tidak perlu untuk mengontrak dan mengeluarkan biaya. Bisa buat ditabung untuk keperluan lainnya," jawab Mamah, entah mengapa Mamah tiba-tiba marah.

Aku menggaruk leherku sebelah kanan, tak gatal sih, tapi aku gugup, harus bicara apalagi. Aku pandangi satu persatu anggota keluargaku yang duduk di meja makan, lalu aku melanjutkan kembali diskusi kami ini.

"Mah, tapi tetangga-tetangga itu pada julid banget. Mereka bicara seenak udel mereka tentang Teh Gina dan Zio. Teh Gina butuh suasana baru yang mendukungnya Mah, bahkan, Teh Gina perlu ke dokter. Apa Mamah tak melihat Teh Gina selalu sedih. Sering menangis. Teh Gina dan Bang Bisma ingin mandiri dengan mengontrak tapi Mamah tidak ijinkan, dengan alasan biaya dan tak ada yang membantu. Tapi apakah disini kita membantunya? Toh, ketika tengah malam Zio bangun, Bang Bisma dan Teh Gina yang terbangun dan mengurus Zio. Toh, dari pagi hingga sore Teh Gina dan Zio selalu berdua. Apa kita membantu? Apa Mamah dan Papah menghibur?
Apa Mamah dan Papah tahu, Teh Gina sering membiarkan Zio menangis sendiri, karena Teh Gina juga sedang menangis."

Air mataku sudah luruh entah karena apa. Rasanya sudah tak tertahankan lagi. Dari hasil penyelidikanku bersama Geri, Bang Bisma tidak selingkuh. Perempuan yang bersamanya Muti sepupu Bang Bisma, yang membantu usaha yang dirintis Bang Bisma sejak satu tahun lalu sebelum Covid-19 menyerang. Bahkan, Teh Gina juga sangat kenal dan dekat dengan Muti. Aku juga telah berbicara dengan Teh Gina, saat itu kami untuk pertama kalinya kembali curhat-curhatan seperti dulu. Sayangnya tidak Mas Galih yang ikut dalam sesi curhat tangis kami waktu itu.

Bang Bisma memang ingin mengontrak rumah sendiri yang bisa dibayar per bulan. Akan tetapi Mamah tidak mengijinkan. Bahkan saat Bang Bisma mengatakan Teh Gina harus operasi caesar, Mamah yang justru ibu kandung kami, menyarankan untuk tetap normal. Selain karena biaya yang tidak murah, melakukan proses operasi caesar dianggap Mamah sebagai ibu yang tak sempurna. Dan hal inilah salah satu penyebab awal Teh Gina mengalami depresi pasca melahirkan. Sudah beberapa kali Bang Bisma minta ijin untuk membawa Teh Gina ke psikiater, tapi lagi-lagi Mamah menganggap itu tak perlu dan memalukan. Entah aku juga tak mengerti apa yang dipikirkan Mamah. Tapi aku yakin Mamah hanya ingin melindungi anak-anaknya.
Kutatap kembali wajah kedua orang tuaku. Sungguh tak ada niat untuk membangkang, hanya saja aku harus berani berkata benar bila benar bukan. Meski aku masih berusia 17 tahun, bukan berarti aku tak memiliki prinsip dan tujuan.  Salah satunya adalah mengembalikan keluargaku secara utuh.

"Maaf Mah, Pah. Gendis ingin Mamah dan Papah tak memaksakan kehendak lagi seperti pada Mas Galih. Gendis ingin Mas Galih juga bisa pulang kembali ke rumah ini. Untuk itu, Gendis mohon, bila waktu adalah hal yang sangat sulit Mamah dan Papah berikan pada kami. Cukuplah kepercayaan Mamah dan Papah sebagai hal berharga yang akan kami jaga."

Tangisku pecah sudah, mengingat kembali sesak saat Mas Galih kakak laki-lakiku tertampan dan tersayang itu, memutuskan pergi dari rumah karena tidak disetujui untuk kuliah di jurusan seni rupa. Karena Mamah dan Papah ingin Mas Galih masuk di STAN, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Sekolah tinggi yang prestisius, dan orang tuaku adalah alumnus dari STAN. Dan, hingga saat ini Mas Galih tak pernah pulang, bahkan dia telah melewatkan dua kali lebaran. Aku dan Mas Galih kami hanya sering bertemu via WA dan video call.

Aku tahu bicaraku sudah diluar batas. Tapi aku harus menyuarakan gundah gelisahku sebelum terlambat.

Tampak Mamah menahan tangisnya, dan Papah, beliau tertunduk aku artikan mungkin Papah sedikit menyesal. Teh Gina sudah menangis dalam pelukan suaminya. Aku pun memutuskan kembali ke kamar.

'Maaf, maaf sudah merusak kenyamanan Mamah dan Papah. Maaf , Gendis sudah bicara kurang ajar. Maaf ...' hanya itu kata-kata yang terus aku dengungkan dalam hati dan pikiranku. Tangisku pun tak berhenti, saat ini aku membutuhkan dia, teman   jahilku, untuk menghiburku. Saat hendak aku menelpon Geri, pintu kamarku terbuka,

Tiba-tiba tubuhku direngkuh dalam dekapan hangatnya. Dekapan hangat yang lama tak pernah kurasa, kini aku rasakan kembali. Tangis kamo berdua mengisi ruangan kamarku yang terlalu luas. Ada rasa lega tangis malam ini keluar begitu deras. Dan aku pastikan esok adalah tangis bahagia yang akan keluar dari air mata kami semua. Bukan lagi tangis penyesalan.

"Gendis, maafkan Mamah," ucap beliau Mamahku tersayang. Aku melihat Papah yang berada di samping Mamah. Papah pun mengelus puncak kepalaku dengan sayang dan begitu lembut.

"Terimakasih Gendis," kata Mamah dan Papah kembali.

Aku hanya menjawab dengan anggukan dan pelukan yang semakin erat.

***

Teh Gina dan Bang Bisma akhirnya mengontrak rumah kecil. Selain untuk tempat tinggal rumah itu juga akan dijadikan kantor dan gudang untuk usaha Bang Bisma, memproduksi paper bag, dan kresek daur ulang yang ditawarkan ke sejumlah toko dan online shop.
Teh Gina sudah dibawa periksa pula ke psikiater untuk pengobatan atas depresinya. Ternyata benar ya, kelahiran tak hanya membawa kebahagiaan, tapi juga duka bila tak sesuai dengan orang-orang sekitar dan pemahamannya. Hal ini sangat berpengaruh sekali pada Teh Gina, yang menjalani kehamilannya tak sesuai dengan perencanaan yang telah dibuatnya. Rasa kecewanya begitu besar saat itu, sehingga mengalahkan rasa bahagia atas kedatangan malaikat kecilnya yang sudah ia jaga selama 9 bulan.

Hal yang mengejutkan lagi adalah Mamah dan Papah mengunjungi Mas Galih di kota Yogyakarta, tempat Mas Galih kuliah dan bekerja saat ini. Dan, itu adalah awal dari jalan kami untuk membawa kembali Mas Galih pulang ke rumah.

Aku tersenyum dengan awal yang cukup indah untuk keluargaku saat ini. Tapi lamunan indahnya buyar ketika suara jelek dari cowok satu ini menginterupsi.

"Ehem ... sudah beres dong ya, misinya. Jangan lupa, jangan lupa, bantuanku tidak gratis, hehehe," ucap Geri sambil tertawa menyeringai seperti setan. Sayangnya aku tidak takut kalau setannya seperti dia.
"Iyah, cepet kamu mau aku bayar berapa nih, traktir apa? Jangan mahal-mahal lho!" kataku sembari memberengut, tapi aku mengerucutkan bibirku ini dengan wajah dan ekspresi yang menggemaskan.

"Bayarnya, delapan tahun lagi kamu harus nikah denganku. Aku anggap ini sebagai janji. Dan janji adalah hutang. Deal! Tanpa penolakan! Titik!"

Cup! Geri , dia berlalu begitu saja sambil mengecup pipiku, untung tidak terlihat oleh keluargaku yang  saat ini sedang heboh dengan Zio yang sudah mulai bisa mengoceh lucu.

Ya Allah, jantung, jantungku loncat-loncat. Pipiku memanas tiba-tiba. Perutku mulas, tapi bukan ingin buang hajat besar, tapi rasanya perut dan dadaku bergerak seirama. Ia berdegup kencang dan terasa indah, karena makhluk Tuhan teraneh bagiku, Geri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro