Bagian 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sakit!"

Lelaki berusia 17 tahun itu mencebikkan bibirnya seraya menatap seorang gadis yang kini tengah mengobati luka di wajahnya.

Gadis itu membalas tatapan lelaki di depannya. Kedua bola matanya mendelik dengan kesal kala mendengar suara rengekan dari lelaki itu.

"Berantemnya enggak sakit, kan?"

Lelaki itu menepis tangan gadis di depannya dengan kesal. Kemudian, dia beralih mengambil bantal sofa dan menyembunyikan wajahnya di sana. "Lo mah gitu!" ucap lelaki itu.

Namanya Elang Januar. Lelaki berusia 17 tahun yang kini sudah menginjak sekolah menengah atas. Hobinya mencari masalah, tapi, ketika babak belur, dia sendiri yang akan merajuk ketika diomeli orang-orang terdekatnya. Terutama ... Jika yang mengomel adalah seorang wanita.

Ya seperti sekarang ini. Maurin Anastasia—biasa dipanggil Maurin, selalu menjadi tempat untuk Elang pulang.

Apapun hari yang dia lewati, melapor pada Maurin adalah sebuah kewajiban baginya.

Elang masih mengenakan seragam sekolah. Dia tiba-tiba saja datang ke rumahnya dan meneriaki nama Maurin. Setelah bertemu, dia langsung mengadu wajahnya terasa perih karena banyaknya luka lebam di sana.

"Lang," panggil Maurin. Tangannya masih memegang kapas yang masih basah karena alkohol.

Namun, Elang masih menyusupkan wajahnya di bantal. "Gak mau ngomong!"

"Sini dulu, kek. Belum selesai itu!" Maurin berusaha menarik bahu Elang agar dia berbalik ke arahnya.

Namun, Elang semakin mengeratkan pegangannya pada bantal. "Gak mau!"

"Lang! Sumpah, ya. Petasan lo yang ada di kamar gue, gue buang semua, nih!"

Elang langsung menegakkan tubuhnya. Wajah bete-nya masih dia perlihatkan kala sudah kembali menghadap pada Maurin.

Maurin menghela napas pelan. Menghadapi Elang tentunya harus ekstra sabar.

Aneh, sih, di luar jadi preman, di dalam jadi bayi besar. Tukang ngambek pula!

Tangan Maurin terulur meraih dagu cowok itu dan mulai mengobati wajahnya lagi.

Elang masih enggan tersenyum. Bahkan, dia masih saja cemberut dengan mata yang menatap ke arah lain.

"Ini pipi lo kenapa bisa sampai ke gores gini?" tanya Maurin ketika tangannya menekan luka goresan di pipi kiri Elang.

"Gak tau."

Maurin menghentikan kegiatannya. Gadis pemilik tubuh mungil itu memicingkan matanya. "Gue nanya serius, ya!"

"Ya gak tau! Lo kenapa marah-marah terus, sih?" Elang menjawab layaknya anak kecil yang kesal karena terus menerus disalahkan.

Maurin mengusap dadanya pelan seraya mengatur napas. Akhirnya, dia memilih meraih plester dan menempelkannya pada pipi Elang.

"Udah."

"Laper." Elang menatap Maurin.

Maurin menganga tak percaya. Lihat! Sudah dikasih hati minta jantung. Siapa lagi jika bukan Elang Januar?

"Rin, laper." Elang menarik lengan baju Maurin beberapa kali.

"Ya makan lah!"

"Gak punya duit. Duit gue ketinggalan di tas, tasnya ada sama Galang."

Maurin menghela napas. Gadis itu akhirnya beranjak untuk menyimpan kotak P3K.

Setelah itu, dia menoleh pada Elang yang masih setia duduk di sofa. "Di dapur ada kangkung. Mama sama Papa masih di Semarang. Stok makanan habis. Kalau mau, makan aja."

"Lo mau ke mana?"

"Gue ada janji sama Desta buat bikin tugas kelompok."

Raut wajah Elang seketika berubah. Cowok itu melipat kedua tangannya di depan dada. "Berdua doang?"

"Bertiga sama setan!"

"Biar gue yang jadi setannya!" Elang berdiri, kemudian, dia melempar bantal yang tadi dia pegang pada sofa. "Tunggu! Gue bawa jaket dulu ke rumah! Jangan pergi dulu!"

Elang langsung berlari meninggalkan rumah Maurin dengan secepat kilat.

Melihat itu, Maurin lantas menggelengkan kepalanya pelan. Gadis itu akhirnya memilih untuk masuk ke dalam kamar untuk bersiap.

Perlu waktu beberapa menit. Setelahnya, Maurin kembali keluar dengan buku paket yang berada di pelukannya.

Rupanya, Elang sudah menunggu di luar. Pakaiannya juga sudah dia ganti. Mata Elang memicing kala mendapati Maurin yang sudah keluar. "Kancing, gak?!"

"Style, Lang!"

"Gak cocok! Kancing!"

Maurin mendengkus pelan. Gadis itu akhirnya memilih mengancing kemejanya dengan kesal. Setelah selesai, dia memilih mengunci pintu rumah.

"Katanya lo laper, enggak mau makan dulu?" tanya Maurin.

"Nanti aja."

Maurin mengangguk saja. Jika Maurin sudah mengatakan dirinya akan bertemu dengan lawan jenis, Elang akan jadi manusia paling sibuk untuk berada di sampingnya. Apapun keadaannya, apapun aktivitas yang akan dia lakukan, pasti akan dia lupakan.

Katanya, Maurin lebih penting. Jika Maurin kenapa-kenapa, Elang pasti kehilangan percaya orang tuanya Maurin. Jika sudah begitu, mereka akan berjauhan, jika sudah berjauhan, siapa yang akan Elang repotkan setiap hari?

Maurin memilih naik ke atas motor Elang. Setelah itu, motor melaju dengan kecepatan sedang.

Ketika angin menerpa wajah Elang, Maurin bisa mendengar cowok itu sesekali mendesis. Sepertinya, dia merasa perih di bagian wajahnya.

Tangan Maurin berpegangan pada kedua pinggang Elang. Merasakan hal itu, dia melirik ke arah spion dan langsung mendapati senyuman Elang.

Lihat! Dia begitu memesona jika sedang begini. Namun, dia sangat menyebalkan jika sifat kekanakannya sudah keluar.

Motor Elang sampai di cafe tempat tujuan Maurin. Keduanya memilih turun dan langsung masuk.

Ketika mendapati Desta, senyum di bibir Maurin mengembang. "Des, sorry, ya. Bodyguard gue resek."

Elang ikut bergabung dan duduk. Melihat tatapan Elang yang tidak bersahabat padanya, Desta memilih tersenyum kaku untuk menyapa Elang. "Kak," sapanya.

"Apa, lo?!" Elang melotot. Maurin menyikut lengan Elang.

"Apa, sih. Dia sok akrab sama gue, Rin! Gue gak suka!"

"Lo mendingan cari meja lain, deh. Gue mau ngerjain tugas!" Maurin melotot ke arah Elang.

Elang tak terima. Dia memilih melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah yang menoleh ke arah lain.

Selama hampir satu jam setengah, ketiganya baru memesan minuman saja. Selama itu juga, Maurin dan Desta sibuk mengerjakan tugas dan sesekali berdiskusi bahkan tak segan saling melempar tawa.

Sedangkan di samping Maurin, Elang masih diam dengan mode ngambeknya.

Takut diusir Maurin.

"Huh, akhirnya selesai juga. Berarti, besok tinggal presentasi, ya."

"Iya. Eh, udah sore, gue kayaknya duluan deh, Rin." Desta sebenarnya tidak buru-buru. Hanya saja, dia merasa tak enak dengan Elang yang masih bertahan di posisinya.

Terlihat jelas dia tidak menyukai Desta.

"Yah, enggak makan dulu?"

Gik mikin dili, Elang mencibir pelan.

Sadar Elang meledeknya, Maurin meliriknya sekilas. Setelahnya, dia memilih tersenyum pada Desta dan mengangguk karena dia tetap kekeh akan pulang saja.

"Kak, saya duluan, ya."

Elang tak menjawab. Akhirnya, Desta tersenyum tipis dan memilih pergi.

Setelah Desta pergi, Maurin langsung menjambak rambut Elang sekali sampai cowok itu mengaduh dan menatapnya kesal. "Sshh—sakit!" Elang mencebikkan bibirnya seraya mengusap kepalanya pelan.

"Lo kenapa sih gitu banget sama temen gue?!"

"Dia sok asik!"

"Dia baik!"

"Baikan gue!" Elang melotot. Cowok itu langsung memijit hidung Maurin dengan mata melotot.

Maurin mangap-mangap seperti ikan kehabisan air. Melihat itu, malah menjadi hiburan tersendiri untuk Elang.

Elang tertawa keras sampai menjadi pusat perhatian pelanggan yang berkunjung ke cafe.

Merasa kasihan, Elang memilih menjauhkan tangannya.

"Nyebelin!" Maurin hendak beranjak seraya mengambil tas. Namun, Elang menahannya.

"Laper." Elang merengek pelan.

Mendengar itu, Maurin lantas kembali duduk. "Yaudah cepetan pesen!"

"Enggak mau."

"Ya terus maunya apa?!" Maurin melotot.

"Kok lo melotot gitu, sih?! Tadi sama si setan lo ketawa-ketawa. Lo udah gak sayang ya sama gue?!" Elang ikut melotot pada Maurin.

Maurin menghela napas. Sudah lelah karena kerja kelompok, sekarang Elang malah kumat.

"Lang, lo kalau mau makan, pesen. Kalau enggak kita pulang, gue capek!"

Elang akhirnya memilih beranjak. Cowok itu menyimpan uang di meja untuk membayar minuman tadi, kemudian berjalan meninggalkan Maurin.

Maurin lagi dan lagi berdecak kesal. Dengan segera, dia berjalan mengikuti Elang sebelum dia benar-benar marah betulan.

Saat sampai di tempat di mana Elang memarkir motornya, Elang langsung naik dan menyalakan mesin.

Wajahnya benar-benar terlihat bete kala Maurin sudah berdiri di samping motornya.

"Lang, mukanya jangan gitu, lah!"

"Naik buruan! Katanya capek!" Elang menjawab dengan ketus.

Maurin mengalah. Akhirnya dia memilih naik ke boncengan. Saat tangannya sengaja dia simpan di pinggang Elang, Elang menggoyangkan pinggangnya menolak tangan Maurin.

Maurin lantas terdiam. Dia melirik Elang lewat kaca spion. Sorot matanya menandakan bahwa dia benar-benar kesal pada Maurin.

"Gue beneran capek, Lang. Bukan udah gak sayang." Maurin menyimpan dagunya pada bahu Elang.

Elang tak berniat menjawab. Dia memilih fokus mengendarai motornya dengan kecepatan sedang.

Pandangannya lurus ke depan tanpa berniat melirik ke arah spion.

"Lo beneran laper?"

"Mau makan apa?"

"Mampir dulu ke mini market, yuk!"

"Mau gue masakin?"

"Elang?"

Elang masih enggan menjawab. Merasa kesal, Maurin akhirnya mencubit kencang perut Elang.

Elang mengaduh, dia sontak melirik tajam ke arah Maurin. "Apa, sih?"

"Petasan lo beneran gue buang, ya!"

"Eh! Enak aja!"

"Makannya kalau orang nanya tuh jawab!" Maurin menggeser duduknya hingga ke belakang. Memberi jarak dengan Elang.

Melihat Maurin yang marah-marah begitu, Elang langsung tersenyum. Dengan sengaja, dia menekan rem depan sehingga membuat Maurin menggeser hingga ke depan dan memepet pada punggungnya.

"Resek lo!"

"Apa? Biarin, lo juga sama." Elang meraih tangan Maurin dengan tangan kirinya. Kemudian, dia lingkarkan pada perut.

"Duh, sayang banget gue sama cewek yang satu ini."

Mendengar nada gemas Elang, Maurin mengulum senyumnya. Gadis itu tanpa perintah melingkarkan tangan yang satunya pada perut Elang. Dagunya dia simpan di bahu milik cowok itu.

"Lang," panggil Maurin.

"Hm?"

"Kalau gue udah punya cowok, kita enggak akan bisa kayak gini."

"Gue tebas kepala cowoknya!"

TBC

Haiii gimana kesan setelah baca part pertama?

Ada yang ingin disampaikan untuk Maurin

Elang

Desta

Aku?

Spam next di sini

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro