Bagian 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bagi sebagian anak lelaki, entah hari apapun itu ... Jam 8 malam, adalah jam yang enak dipakai nongkrong sampai tengah malam.

Sama seperti Elang. Saat ini, di sebuah warung yang terletak di pinggir jalan ... Elang tengah duduk di meja dengan bakso cuanki yang tengah dia makan.

Sedangkan teman-temannya yang lain, mereka tengah sibuk dengan game online mereka.

Elang sendiri tidak begitu tertarik dengan itu. Selain tidak minat, dia juga tidak mengerti cara mainnya.

Terdapat hampir 20 orang berada di sini. Mereka menempuh pendidikan di tempat yang berbeda, angkatan berbeda, namun dulunya ... Mereka berada di sekolah menengah dasar pertama yang sama. Dan syukurlah, pertemanan mereka erat sampai sekarang.

Namun, mereka bukan sekumpulan anak geng motor atau apapun itu. Mereka hanya sekedar teman tongkrongan. Tujuannya, hanya untuk mengeratkan tali persaudaraan. Itu saja.

"Mbok, semangkok lagi!"

"Buset, Lang. Laper atau doyan?"

"Doyan." Elang menyerahkan mangkoknya pada si Mbok penjual segala di warung ini.

Sembari menunggu, Elang memilih kembali duduk dan menatap teman-temannya yang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.

"Di sekolah lo ada pelajaran matematika gak, Lang?" tanya salah satu di antaranya. Namanya Tomi, dia memiliki rambut panjang sebahu dan dia ikat dengan rapi.

"Di sekolah lo ada pelajaran yang bisa bikin mikir gak, Tom?"

"Ada, sih. Tapi gue gak mau mikir. Enak banget mereka gue pikirin, mereka aja gak mikirin gue." Tomi menyahut dengan nada acuh tak acuh.

Elang diam beberapa saat. Namun, setelahnya dia tertawa dan mengangguk-anggukan kepalanya. "Bener juga!"

"Contoh manusia yang gampang terhasut sama setan." Galang—salah satu sahabat Elang menunjuk Elang dengan raut wajah menahan tawa.

Mendengar itu, Elang sontak saja menoyor kepala Galang dengan kesal. "Iman gue kuat, yang tadi khilaf. Yang salah setan." Elang menujuk Tomi.

Tomi sontak membelalakan matanya. "Kok jadi gue?!"

"Lah emang elo! Gak ada sejarahnya Elang Januar salah di mata manusia!"

"Kalau gue lo sebut setan, berarti lo bisa salah di mata gue!" Tomi menjawab dengan nada kesal.

Elang lagi-lagi terdiam. Cowok itu mengerutkan alisnya berusaha mencerna apa yang Tomi ucapkan.

Setelah sadar, dia langsung tertawa kencang. "Anjir! Bener juga, ya!"

"Pantesan setiap gue melakukan kebaikan, orang-orang langsung pada sinis ke gue. Terus gue marah-marah, rupanya setan baru ngasih tau kalau gue salah di mata dia."

"Benar begitu, setan?" tanya Elang pada Tomi.

Tomi memijat pelipisnya pelan. Lelaki berusia 18 tahun itu melirik ke arah Galang meminta bantuan.

Namun, yang di tatap malah mengedikkan bahunya dan menggeleng seraya tertawa.

"Nih, daripada ngomongin setan, mending makan cuanki pakai sambel setan." Si Mbok menyimpan mangkuk cuanki di depan Elang. Setelahnya, Elang mengangkat jempolnya. "Bener juga si Mbok."

"Lo mah semuanya aja bener, Lang."

"Enggak, ada kok yang salah di mata gue."

"Siapa? Daritadi lo ngomong, bener juga, bener juga, bener juga. Kayaknya kalau ada yang mau bunuh lo pake alesan gabut, lo bakal jawab 'bener juga." Gara mendengkus kesal kala mengatakan itu.

Selain Galang, Gara juga sahabat Elang. Mereka satu kelas, satu sekolah, dari SD sampai SMA.

Gara sendiri, adalah manusia sinis yang sulit diajak bercanda. Tapi, jika dia sudah bisa diajak bercanda ... Itu artinya, dia merasa orang itu aman dan membuatnya nyaman.

"Bener juga!"

"Eh, tapi lo jangan asal ngomong, ya! Ada yang salah di mata gue. Orang yang berani PDKT sama Maurin! Enggak bener itu orang, perlu gue kasih pelajaran kalau yang kayak gitu!"

Tomi melirik Galang dan mengangkat dagunya seolah bertanya, "siapa Maurin?" Menyadari itu, Galang lagi-lagi tertawa. "Ceweknya," ujar Galang.

"Bukan, sahabat dia. Mana mau si Maurin sama cowok kayak si Elang," sahut Gara.

Elang memicingkan matanya kesal. Akhirnya, dia memilih memakan cuanki dan tak lagi ikut menimbrung.

Enak saja si Gara. Apa katanya? Maurin tidak mau pada cowok seperti Elang?

Memang dirinya kenapa? Ganteng, sudah. Banyak uang? Pasti. Dia juga bisa menjaga Maurin. Sekali senggol, Elang bacok!

•••

Esoknya, siang hari di sekolah, Elang berjalan menyusuri koridor dengan permen karet yang dia kunyah. Lelaki itu sesekali membuat balon dari permen karet di mulutnya.

Bajunya masuk ke dalam. Namun sayang, celana sekolah malah dia pensilkan. Belum lagi, dasi sekolah tidak dia pakai.

Plester menempel di pipi kiri, wajahnya juga masih terdapat banyak lebam. Namun dengan percaya dirinya, dia malah berjalan santai seolah dirinya paling keren di muka bumi.

"Kak Elang!"

Elang menghentikan langkahnya. Cowok itu menatap gadis di depannya dari atas sampai bawah. Alisnya berkerut dengan heran. "Kita kenal?"

"E-enggak, sih. Tapi ... Aku tau kak Elang."

"Lo mau laporan itu doang? Udah kayak kantor polisi gue." Elang menjawab dengan nada kesal.

Namun, bukannya mundur, gadis itu malah tertawa. "Ini, Kak. Aku mau ngasih ini buat Kakak. Oleh-oleh dari Belanda. Aku ...."

"Halah, paling juga belinya di tanah Abang. Tapi makasih, deh. Kebetulan gue laper." Elang mengambil coklat putih yang gadis itu berikan.

Setelahnya, dia memilih melangkah pergi meninggalkan gadis itu.

Kembali melangkah seorang diri, kini langkahnya ditemani oleh sebungkus coklat.

Saat hendak melewati kelas 10 IPA 5, senyum di bibirnya mengembang kala mendapati Maurin yang tengah sibuk membaca buku di kursi koridor.

Elang langsung menghampirinya dan duduk. Cowok itu menyodorkan coklat bekas gigitannya. "Mau gak?"

Maurin menoleh, gadis itu memicingkan matanya. "Tumben jam segini masih di sekolah. Biasanya udah kabur." Maurin mencibir pelan.

Mendengar itu, Elang lantas mendengkus kesal. "Gue rajin salah, gue bolos diomelin. Besok mah gue jadi suami lo aja deh, Rin."

"Dih, amit-amit."

"Rin, hari ini gue dikasih coklat sama orang. Gak kenal sih, tapi gue makan soalnya enak." Elang melapor. Cowok itu kembali menyodorkan coklatnya tepat di depan wajah Maurin agar gadis itu melihatnya.

Maurin menepis pelan tangan Elang. "Yaudah, makan aja, sih. Ribet banget."

"Lo gak mau? Katanya sih oleh-oleh dari Belanda. Tapi gue gak percaya, kayaknya dia beli di tanah Abang." Setelah mengucapkannya, Elang kembali melahap coklat itu dengan mata yang tertuju pada Maurin.

Maurin mengusap dadanya pelan. Dia memilih kembali menunduk untuk membaca bukunya lagi.

Tangan Elang terulur mengambil buku itu, kemudian dia balik ke segala sisi untuk melihat buku apa yang tengah Maurin baca. "Apaan, nih? Angka doang! Jauhin, gue puyeng!"

Maurin sontak saja merebut bukunya kembali. Raut wajahnya terlihat sangat kesal. Menutup buku itu, kemudian dia bawa buku itu untuk memukul bahu Elang dengan keras.

"Aduh ... Yah, jatuh!" Elang menatap nanar ke arah coklat yang kini sudah terjatuh.

Melihat itu, Maurin langsung terdiam. 

Elang menghela napas kasar. Cowok itu beranjak. "Lo, sih!"

"Lo yang ganggu gue duluan, ya!"

"Ya kan enggak usah pakai acara pukul-pukul. Jatuh, kan, coklatnya!"

Maurin memutar bola matanya malas. Gadis itu memilih beranjak dan melangkah masuk ke dalam kelasnya.

Merasa dirinya ditinggal, Elang sontak membelalakan matanya. Cowok itu berdecak pelan. "Yang ngasih gak ikhlas, nih!"

Akhirnya, Elang memilih melangkah meninggalkan koridor kelas 10 tanpa membuang coklat itu ke dalam tong sampah.

Lihat, sudah salah, tidak mau bertanggung jawab pula.

Langkahnya berhenti di tangga menuju kelas 11. Cowok itu duduk bergabung bersama teman-teman angkatannya yang tengah duduk di sana.

"Bagi, kek, punya makanan gak pernah bagi-bagi." Elang merebut gorengan di dalam plastik milik Galang.

Cowok itu kemudian memakannya dengan punggung yang bersandar pada tembok.

"Buset, Lang. Baik-baik kan bisa."

"Gak, lo kalau dibaikin ngelunjak." Elang dengan tidak tahu dirinya menghabiskan gorengan yang tersisa 3 itu sendirian.

Sedangkan Galang, dia hanya bisa menghela napas pelan menyaksikannya.

"Buang, Gal." Elang menyerahkan plastikanya pada Galang.

Galang berdecak pelan. Mau tak mau, dia berdiri dan membuang sampah itu ke tempatnya. Setelahnya, dia kembali.

"Gar, punya duit gak?" tanya Elang.

"Gak!"

"Ilang loh. Gak boleh bohong. Minta seribu, dong. Seret, nih. Pengen tea jus." Elang mengusap tenggorokannya seolah memberi kode.

Gara lantas melirik ke arah Galang. Galang mengedikkan bahunya.

"Duit lo kan banyak, Lang. Kenapa mesti minta, sih?!"

"Halah! Itung-itung lo nabung di gue. Nanti kalau butuh, lo minta aja, gue kasih. Sesama teman harus saling berbagi dan tolong menolong. Serebu doang, Gar." Elang menjawab dengan panjang lebar.

Gara akhirnya mengalah. Dia memberikan uang senilai seribu rupiah pada Elang. Namun, bukannya segera pergi membeli, Elang malah menepuk bahu salah satu temannya. "Din, beli tea jus. Biar sehat."

Elang memberikan uang seribu pada cowok bernama Udin. Tubuhnya lumayan gemuk, itulah sebabnya mengapa Elang mengatakan 'biar sehat' padahal, itu akal-akalan Elang saja yang memang hobinya merepotkan orang lain.

"Ogah, Lang. Serebu doang."

"Nanti diganti yang lebih gede sama Allah."

"Din, buruan, gue bentaran lagi pingsan, nih. Kehausan, kepanasan, gue." Elang mengibaskan tangannya pada leher.

Akhirnya, Udin memilih beranjak dan menuruti kemauan Elang. Jika tidak dituruti, dia pasti berisik dan akan terus-menerus mengoceh.

Galang menggelengkan kepalanya pelan. "Lo besok-besok kalau udah lulus enggak usah cari kerja, Lang. Jadi bos aja. Heran banget, gampang bener nyuruh ini itu sama orang."

"Besok-besok gue coba. Tapi tampang gue emang lebih cocok jadi Bos ketimbang babu. Makasih doanya."

Gara tertawa keras melihat raut wajah Galang yang berubah menjadi datar. Niatnya menyindir, malah dianggap lelucon oleh Elang.

TBC

Haii kangen gak?

Gimana kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Elang

Maurin

Galang

Gara

Udin

Tomi

Spam next di sini!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro