Bagian 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bel pulang sekolah adalah sesuatu yang paling dinantikan setiap siswa. Terlebih lagi, siswa seperti Elang.

Ketika guru sudah keluar, Elang meraih tasnya dan melompati satu persatu meja di kelas. Sehingga, teman-temannya sekelasnya meneriaki nama Elang saking kesalnya. Terutama gadis-gadis.

Saat sampai di pintu, Elang berbalik dan melambaikan tangannya. "Jangan kangen!"

"Najis!" teriak gadis-gadis itu dengan kompaknya.

Kadang, mereka heran pada kakak kelas, adik kelas, sampai teman seangkatan mereka yang bisa naksir pada manusia semacam Elang.

Tukang cari masalah, tidak pernah mau mengakui kesalahan, tukang cengengesan, kadang ... Dia juga ketus jika tengah diajak bicara.

Hanya saja, jika dilihat dari paras ... Elang bisa dibilang tampan. Mungkin, itu yang membuat mereka suka pada Elang.

Kembali ke Elang. Lelaki itu saat ini berjalan di koridor bersama Gara dan juga Galang.

Ketika menuruni anak tangga, senyum di bibir Elang mengembang kala mendapati Maurin yang sudah menunggu di anak tangga terakhir.

Elang memberikan tasnya pada Galang. "Titip, besok bawa, ya!"

"Elang! Anjir!" Galang mendengkus kesal. Lagi dan lagi, tas yang setiap harinya berisi satu buku itu dititipkan padanya.

Sedangkan si pemilik, sudah berlari menuruni anak tangga dan merangkul gadis yang sudah menunggunya di bawah sana.

Saat hendak melangkah, Elang melambaikan tangannya pada Galang dan Gara. "Bay bay!" ujarnya seraya menggoyangkan pinggulnya.

Maurin mencubit pinggang Elang seraya melotot. Elang sontak saja berhenti. Matanya memicing menatap Maurin. "Apa, sih?!"

"Jalan cepetan!" Maurin melepas rangkulan Elang dan beralih menarik lengan seragam cowok itu.

Elang menghela napas pelan. Dia memilih mengikuti langkah Maurin dengan pasrah.

Siswa dan siswi yang masih berada di koridor sontak saja menatap ke arah mereka.

"Lang, cosplay jadi kucing lo?" teriak salah seorang siswa yang tengah berkumpul bersama teman-temannya.

Tentu saja Elang mengenal mereka.

"Bacot lo!"

Maurin menampar bibir Elang hingga membuat cowok itu mencebikkan bibirnya.

Sampai akhirnya, mereka sampai di depan motor milik Elang. Cowok itu meraih kunci motor di dalam baju seragam dan memilih naik.

"Bensinnya abis, Rin," kata Elang.

"Yaudah, nanti beli dulu!"

"Duitnya di tas. Tasnya di Galang."

Maurin memutar bola matanya malas. Gadis itu memilih naik ke jok belakang. "Bilang aja minta diisiin bensin."

"Tau aja."

•••

Keduanya tidak langsung pulang. Elang mengajak Maurin untuk jajan cimol di taman kota.

Nyatanya, Elang bohong soal uangnya yang ada di tas. Padahal, jelas-jelas dompetnya dia simpan di saku celana. Uangnya juga tidak sedikit, memang pada dasarnya saja Elang pelit.

"Plester lo belum diganti?"

Elang yang semula terfokus pada anak-anak kecil yang berlarian, langsung menoleh ke arah Maurin. "Belum."

"Kenapa? Mau gue lagi yang ganti? Lo tuh bisa gak sih sekali aja pentingin diri sendiri. Jangan nunggu gue terus. Suatu hari nanti, kita tuh bakal pisah, Lang. Gue bakal nikah enggak selamanya gue bakal ada di sisi lo terus." Maurin mengomel seraya menyimpan cimol yang ada dalam plastik itu di pinggir tasnya.

Kemudian, dia beralih meraih kotak P3K kecil yang berada di dalam tasnya. Maurin memang selalu membawanya ke mana-mana. Katanya, untuk jaga-jaga. Dia tidak tahu dalam kondisi dan situasi bagaimana Elang akan babak belur seperti sebelum-sebelumnya.

"Mumpung masih deket, Rin. Dimanfaatin sebaik mungkin. Kalau lo udah punya suami kan enggak mungkin gue bisa repotin lo terus. Biar lo inget sama gue." Elang meringis kala Maurin melepas plester di pipinya dengan tidak manusiawi.

Cowok itu mencebikkan bibirnya sebal. "Lo mah gitu, nolongnya enggak pernah senyum."

"Serasa punya anak gue, Lang!" Maurin membersihkan pipi Elang terlebih dahulu oleh kapas. Setelahnya, dia kembali menempelkan plester baru.

"Ya biarin, itung-itung latihan."

"Latihan pala lo. Latihan mah ngurusnya dari yang orok beneran. Bukan orok gede kayak lo."

Elang mengedikkan bahunya tak acuh. Dia memilih kembali memakan cimolnya dengan mata yang lagi dan lagi tertuju pada anak kecil yang berlarian.

Maurin memperhatikan Elang. Sorot matanya menunjukan jelas ada kerinduan di sana.

Merasa tidak tega, Maurin akhirnya menepuk pundak Elang dengan pelan. "Mau pulang sekarang?"

"Nanti, ya," jawab Elang pelan. Suaranya terdengar sangat lirih.

Maurin mengangguk. Elang sering begini jika menemuikan anak kecil. Tapi, sampai saat ini, Maurin sama sekali tidak tahu alasan Elang selalu mendadak jadi pendiam seperti sekarang.

Maurin juga paham. Biarpun mereka bersahabat sudah sangat lama, bukan berarti Maurin harus tahu segala hal tentang Elang.

Ada banyak hal yang mungkin cukup untuk Elang simpan sendiri. Maurin yakin, jika dia sudah tidak tahan ... Lambat laun, Elang pasti akan bercerita atas apa yang dia rasakan.

"Rin," panggil Elang.

"Iya?"

"Besok lo ulang tahun, ya?"

Maurin diam beberapa saat. Sebelum akhirnya, dia mengangguk. "Iya. Kenapa? Mau kasih kado?"

"Berarti besok malem, temen-temen kelas lo ... Dateng ke rumah, ya?" tanya Elang lagi tanpa menjawab bercandaan Maurin.

Maurin menghela napas. Gadis itu mengangguk. "Iya."

Elang diam. Dia menunduk seraya menusuk-nusuk cimol yang ada di dalam plastik.

Melihat itu, Maurin berdecak pelan. "Jangan bilang lo enggak mau dateng lagi? Udah berapa tahun sih kita temenan, Lang? Lo enggak pernah mau dateng tiap kali gue ulang tahun."

"Maaf ...."

"Yaudahlah. Udah biasa gue." Maurin meraih tasnya, kemudian dia gendong.

Gadis itu beranjak, matanya terasa panas. Bukan itu yang ingin Maurin dengar dari Elang. Maurin hanya ingin Elang mengatakan bahwa dirinya akan datang.

Sebentar saja. Setidaknya sampai potong kue. Maurin ingin mengatakan pada Elang, bahwa dia adalah orang paling spesial setelah orang tuanya di hidup Maurin.

Dia sahabatnya, dia yang selalu ada untuk Maurin. Biarpun dia merepotkan, tapi Elang juga tidak pernah merasa keberatan menemani Maurin ketika dia meminta.

"Pulang aja, yuk. Kayaknya udah mau hujan, gue takut jadi dugong." Elang terkekeh pelan. Dia beranjak dan meraih tangan Maurin untuk melangkah meninggalkan taman kota.

Bahkan, dia tidak merasa bersalah sedikitpun atas apa yang dia ucapkan tadi. Elang bersikap seolah kata maaf tadi tidak ada arti apapun.

Sampai keduanya duduk di atas motor Elang yang melaju membelah jalanan, Elang seperti biasa melempar candaan.

Candaan kali ini, entah kenapa membuat dada Maurin sesak. Maurin tidak mengerti alasan Elang enggan datang ke pesta ulang tahunnya. Maurin tidak mengerti mengapa Elang bisa dengan mudahnya berubah sifat seperti saat ini.

"Lang ..."

"Rin ...."

Elang menghela napas pelan. Tangannya terulur meraih tangan Maurin yang berada di pinggangnya untuk dia genggam di atas pahanya sendiri.

Di atas motor, Elang melirik ke arah Maurin lewat kaca spion sebentar. "Rin, gue akan selalu ada buat lo di situasi apapun. Lo tau itu."

"Lo gak pernah ada saat ...."

"Gue ada."

Maurin memilih diam. Dia menyandarkan pipinya pada bahu Elang. Gadis itu menangis.

Genggaman tangan Elang semakin mengerat namun tak menyakiti Maurin. Genggaman itu, seolah memberitahu bahwa tak ada satupun orang yang boleh menyakiti Maurin.

Itu artinya, apapun situasinya, Elang akan selalu ada untuknya. Hanya saja, tidak semua langkah Maurin akan Elang awasi secara terang-terangan. Dia punya cara tersendiri untuk menjaganya.

Elang membiarkan Maurin menumpahkan segala kekesalannya di bahu milik Elang.

Sesekali, Elang menghela napas pelan.

Sampai motor berhenti tepat di depan rumah Maurin, gadis itu masih menangis. Tangannya sudah melingkar pada perut Elang.

"Nyaman banget ya, Rin?"

"Diem! Gue lagi nangis! Gak usah ganggu. Gue nangis gara-gara lo, ya!"

Elang menghela napas. Tangannya terulur mengacak puncak kepala Maurin dengan lembut. "Besok malem, lo nikmatin pesta aja sama temen-temen lo. Lusa, gue ajak lo main, deh. Ke mana aja gue turutin," rayu Elang.

"Gue maunya lo dateng."

"Gue gak bisa, Rin." Suaranya terdengar sangat lirih. Mendengar itu, Maurin akhirnya melepas pelukannya pada Elang.

Maurin sepertinya egois sudah memaksa cowok itu untuk mengikuti kemauannya.

Akhirnya, Maurin mengusap air matanya dengan tangan. "Janji ya lusa temenin gue!"

"Iya."

"Ke mana pun?"

"Iya."

"Tapi gue gak mau ya kalau gue disuruh bayar. Bayarin!"

"Iya, Maurin."

Maurin lagi-lagi menghela napas. "Yaudah, deh. Sekarang masuk dulu, kita makan. Kalau lo makan di rumah enggak akan jauh-jauh dari makan mie instan. Nanti lo bisa usus buntu, Lang!"

"Ya habis gue gak bisa masak apa-apa lagi." Elang turun dari atas motor. Begitupun Maurin.

Maurin mendelik. "Duit lo kan banyak, pesen kek apa kek kan bisa!"

"Kan ada masakan lo. Kenapa mesti repot-repot beli, sih? Selama ada yang bisa gue repotin, ngapain repotin diri sendiri?"

Maurin memukul pundak Elang dengan kesal. Setelahnya, dia menarik lengan seragam Elang seperti saat di sekolah tadi.

Maurin membuka pintu, keduanya berjalan masuk ke dalam rumah yang nampak sepi.

"Besok-besok tasnya di bawa, Lang. Jangan dititipin ke Galang mulu."

"Biarin. Biar dia ada kerjaan."

"Kebiasaan!"

"Marah-marah mulu kenapa, sih? Tadi disuruh masuk sekarang dimarahin." Elang mencebikkan bibirnya kesal.

Cowok itu memilih duduk di atas sofa dan meraih remot televisi dan menyalakannya. "Rin, laper, cepetan," rengek Elang.

Maurin mendengkus. Gadis itu melepas sepatunya di samping Elang. Membuka dasi, geseper, kemudian mengeluarkan bajunya dari rok.

"Di kulkas tinggal ada sayuran doang. Gak papa?"

"Kenapa enggak bilang? Tau gitu mampir ke supermarket tadi."

"Gak usah banyak protes! Mendingan makan sayur daripada makan mie instan terus!" Maurin memilih berjalan ke arah dapur seorang diri.

Melihat itu, Elang tersenyum tipis. Biarpun Maurin galaknya tidak ketulungan, Elang tahu dia menyayangi Elang sama seperti dirinya menyayangi Maurin.

Siapapun lelaki yang bersama Maurin nantinya, Elang yakin dia adalah pria yang sangat beruntung.

Tapi!

Elang akan menyeleksi lelaki itu terlebih dahulu. Enak saja langsung bawa Maurin begitu saja!

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Maurin

Elang

Galang

Spam next di sini

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro