Bagian 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam ini, malam di mana Maurin mengadakan pesta ulang tahun, dia terlihat sangat murung. Padahal, dia sudah nampak begitu cantik dengan dress yang ia gunakan.

Di balkon kamarnya, dia menatap ke arah kolam berenang di rumahnya yang sudah dihias sedemikian rupa.

Mama dan Papanya juga sudah pulang sejak siang pagi tadi. Mereka juga yang mempersiapkan kekurangan ini semua.

Maurin menunduk, menatap ponselnya yang kini menunjukkan room chat dengan Elang.

Maurin sudah menghubunginya sedaritadi. Namun, tak ada satupun chat darinya yang dibalas.

"Sayang, temen-temen kamu sudah mulai berdatangan. Ayo ke bawah sekarang."

Maurin menoleh, dari arah kamar berjalan menuju balkon, seorang wanita cantik yang terlihat awet muda tersenyum tulus pada Maurin.

Namanya Shanna—Mamanya Maurin. Umurnya 40 tahun. Memiliki rambut hitam dengan panjang sepunggung. Dia sangat manis.

"Anak Mama kenapa?" tanya Shanna seraya menyentuh dagu Maurin dan membawanya untuk menatap ke arahnya dengan lembut.

Maurin menatap Mamanya dengan wajah murung. Gadis itu tidak menjawab. Namun, tatapannya malah beralih pada balkon kamar milik Elang di seberang rumahnya.

Shanna ikut menatap ke arah sana. Wanita itu tersenyum kala mengetahui asal muasal wajah murung Maurin. "Elang gak mau datang lagi?" tanya Mamanya.

Maurin mengangguk. Dia menunduk kembali menatap room chatnya dengan Elang.

"Maurin sedih, hm?"

Maurin lagi dan lagi mengangguk.

Akhirnya, Shanna memilih merangkul bahu putrinya dan merapikan rambut Maurin yang tidak ikut terikat. Wanita itu tersenyum lagi. "Elang juga pasti sedih kalau tau sahabatnya murung kayak gini."

Tak ada reaksi apapun yang Maurin tunjukan. Shanna menghela napas. Wanita itu akhirnya memilih melepas rangkulannya pada Maurin dan beralih menggenggam tangannya. "Yaudah, Mama tunggu di luar, ya. Jangan lama-lama di sini. Kasihan temen-temen kamu udah pada dateng."

Maurin mengangguk lagi. Setelah itu, Shanna melangkah pergi meninggalkan Maurin seorang diri.

Gadis itu berpegangan pada railing balkon dan menatap ke arah balkon di seberang sana. Biasanya, setiap malam, setelah dia pulang dari rumah Maurin ... Elang akan duduk di sana dan tersenyum ke arahnya.

Dia akan melambaikan tangan sebagai ucapan selamat tidur untuk Maurin.

Setelah Maurin masuk, Elang akan ikut masuk ke kamarnya sendiri. Setelah lampu kamar Maurin dimatikan, Maurin juga sering melihat kamar Elang ikut mati.

Dia selalu menunggu Maurin terlebih dahulu. Dia selalu mengawasinya, dia selalu ada untuknya.

Namun, tidak untuk hari ulang tahun. Elang tidak pernah ada.

Kamar Elang menyala. Maurin yakin dia ada di sana.

"Lang, kalau lo masih gak mau bales atau telepon gue, gue habisin petasan lo yang ada di kamar gue." Maurin mengirim voice note di ponselnya pada Elang.

Centang yang semula abu-abu, kini berubah menjadi biru. Tak lama, Elang keluar dari kamarnya. Dia berdiri di seberang sana dan melambaikan tangan pada Maurin.

Maurin diam, saat Maurin hendak mengirim pesan lagi, suara panggilan telepon berdering. Pelakunya adalah Elang.

Maurin dengan cepat mengangkatnya.

"Jangan murung, dong. Masa udah cantik mukanya ditekuk, sih? Enggak lucu banget, tau."

Bibir Maurin bergetar menahan tangis. Apa Elang tidak sadar? Maurin hanya ingin Elang hadir di pestanya.

Maurin masih diam dengan tatapan yang tertuju pada Elang di seberang sana. "Lang ...."

"Gue tau, Rin. Tapi gue gak bisa." Elang menghela napas di sana. Namun, cowok itu kembali tersenyum di sana.

"Turun, Rin."

"Jangan nunggu gue, lo tau jawabannya apa. Jangan berharap sama sesuatu yang lo sendiri udah tahu akhirnya kayak gimana. Itu cuman bikin lo sakit."

Maurin mengigit bibir bawahnya. Elang benar, tak seharusnya Maurin berharap pada Elang ketika Maurin tahu jawaban Elang tidak akan pernah berubah.

"Rin, turun sekarang, ya? Di sini kelihatan banget nih tamu udah pada dateng."

Maurin mematikan sambungannya. Gadis itu menatap Elang sebentar dan memilih masuk ke dalam kamar dengan raut wajah kecewa.

Di seberang sana, Elang melihatnya. Cowok itu perlahan menurunkan ponsel yang tadinya menempel di telinga.

Dia menunduk. Menatap halaman bawah rumahnya yang nampak kosong. Dia mencengkeram railing balkon dengan sangat erat. Matanya terpejam kuat.

Tak lama, Elang memilih melangkah memasuki kamar. Meraih jaket, kunci motor, dan memilih pergi dari rumahnya.

•••

Pesta berlangsung dengan sangat lancar. Semua tamu menikmati acara dengan raut wajah bahagia mereka.

Sedangkan pemilik acara, masih saja mengharapkan seseorang yang masih kekeuh pada pendiriannya sendiri.

Dia tidak datang. Padahal, Maurin yakin dia melihat bagaimana kecewanya Maurin.

"Rin, selamat ulang tahun."

Maurin menoleh. Dia tersenyum kala mendapati Galang yang memberikan sekotak kado padanya.

"Makasih, Lang. Kalau mau makan, makan aja, ya. Ada di sebelah sana. Makasih udah datang." Maurin menerima pemberian Galang dan menyimpannya di meja.

Tatapannya beralih pada lelaki disebelah Galang. Wajahnya manis, memiliki rambut panjang yang diikat rapi, dan memakai Hoodie serta celana panjang yang sobek dibagian lutut.

"Ini Tomi, anak SMA sebelah. Temennya Elang juga." Galang mengenalkan lelaki itu pada Galang.

Maurin tersenyum sebagai perkenalan. Tomi hanya tersenyum tipis dan mengangguk sebagai sapaan balik.

"Dia anter gue doang. Si Gara gak bisa dateng, Rin. Papanya pulang soalnya. Kalau ada Papanya kan, dia paling susah keluar malem. Yaudah gue minta anter dia." Galang merangkul Tomi.

Maurin lagi-lagi tersenyum saja. Dia merasa tidak tertarik dengan pembahasan yang Galang berikan.

"Yaudah, Rin, gue kayaknya langsung balik aja. Kasihan si Tomi soalnya, daritadi digodain mulu sama cewek-cewek di sini."

"Happy birthday, ya!"

Setelah itu, Maurin melihat Galang menarik Tomi dengan tidak sabaran. Maurin memilih duduk di kursi, menatap orang-orang yang menikmati pestanya di sini.

Sampai jam-jam berikutnya, tamu mulai pulang sedikit demi sedikit.

Acara selesai. Maurin memilih masuk ke dalam kamarnya tanpa berniat membuka hadiah-hadiah yang diberikan oleh teman-temannya.

Gadis itu menatap ponselnya lagi. Tak ada pesan apapun yang Elang berikan padanya.

Setelah menelpon tadi, apa lelaki itu tak ada niatan untuk meminta maaf?

Tentu saja tidak! Buktinya, dia tidak mengirim pesan apapun.

Tring!

Elang : Keluar, sini!

Maurin membelalakan matanya. Gadis itu dengan segera melompat dan berlari ke arah balkon. Dia menatap ke arah balkon kamar Elang. Namun, tak ada lelaki itu di sana.

Alisnya berkerut. Namun, dia mendengar suara petasan yang amat bising di bawah sana.

Dia menunduk, Elang tersenyum dan melambai ke arahnya. Sebelah tangannya mengangkat banyaknya petasan yang bermacam-macam.

Senyum di bibir Maurin perlahan mengembang.

"Sini cepetan!" teriak Elang.

Maurin langsung masuk ke dalam kamar, berjalan menuruni anak tangga dan berlari menuju tempat di mana Elang berada.

Ketika dia sampai, langkah Maurin perlahan menjadi pelan. Gadis itu berhenti dan diam menatap lelaki di depannya.

Dia terpaku, matanya memanas menatap wajah Elang yang lukanya semakin parah.

"Nih." Elang mengambil tangan Maurin dan memberikannya satu petasan miliknya.

Maurin menunduk. Air matanya jatuh begitu saja kala melihat darah yang belum mengering dari lengan Elang.

Maurin menepis petasan itu dan mendongak. Tangannya menggenggam tangan Elang dengan erat. "Kenapa bisa gini?"

Elang diam. Tak biasanya Maurin begini.

Bukankah Maurin sudah terbiasa melihat Elang babak belur? Mengapa sekarang dia menangis?

"Kenapa lo sering banget babak belur tanpa sebab gini sih, Lang?" Suara Maurin bergetar bersamaan dengan tangannya yang mengusap kening Elang yang kini menampakan memar.

Belum lagi, lehernya juga terdapat bekas sayatan yang sangat tipis.

"Ini kenapa? Siapa yang mukulin lo?"

"Biasalah, Rin. Gue kan jagoan. Lagian ini mah udah biasa kali. Lo juga tahu gue sering kayak gini. Kenapa—"

"Tadi masih baik-baik aja, Lang!"

Elang memejamkan matanya ketika Maurin berteriak.

Cowok itu membuka matanya, Maurin masih menangis seraya menyusuri luka-luka yang terdapat pada bagian yang terlihat di tubuh Elang.

Elang paham, Maurin menangis semata-mata bukan hanya karena ini. Rasa kecewanya pada Elang, turut ia lampiaskan lewat air matanya sekarang.

Tangan Elang terulur menghentikan tangan Maurin yang tengah mengusap luka di lengan Elang. Perlahan, dia menarik bahu Maurin dan memeluk gadis itu dengan lembut. "Ututu ... Kasihan banget sampai nangis gini," ucap Elang.

Maurin mencengkeram kaos yang Elang gunakan. Dia masih menangis.

"Gue tau lo bukan nangis karena luka gue, Rin. Lo pasti kecewa karena nunggu gue yang enggak dateng-dateng, kan?" ucap Elang pelan. Tangannya perlahan mengusap punggung Maurin dengan sangat pelan.

"Maaf, ya. Setiap kali lo ulang tahun, gue selalu jadi sumber kesedihan lo terus. Harusnya, hari ini lo bahagia ya, Rin?"

"Padahal, setiap gue butuh lo, lo selalu ada tanpa terkecuali. Harusnya gue bisa kayak gitu, tapi gue enggak. Gue jahat banget, ya?"

Maurin tak menjawab. Dia memilih melepas pelukannya dan menarik Elang untuk duduk di teras.

Hidung gadis itu merah. Dia berjalan ke dalam rumah. Tak lama, dia kembali dan duduk di sebelah Elang dengan kotak P3K di pangkuannya.

Dia menarik tangan Elang dan mulai membersihkan lukanya. Dia masih sesegukan. Wajahnya ditekuk, namun, dia sama sekali tidak menghentikan kegiatannya mengobati Elang.

Di matanya, Maurin terlihat sangat lucu, sekarang. Jika boleh, Elang ingin selamanya bisa bersama Maurin.

Jika boleh, Elang hanya ingin Maurin untuk dirinya sendiri.

Jika boleh, Elang ingin selamanya Maurin ada di sampingnya dalam kondisi apapun.

"Lo tuh ...." Maurin menghentikan ucapannya karena kembali sesegukan.

Elang lantas tertawa kencang karena gemas. Cowok itu kembali menarik Maurin untuk bersandar di dadanya. Tangannya mengacak puncak kepala gadis itu. "Lucu banget, sih!" kata Elang.

"Aaaa! Ngeselin!" Maurin memukul dada Elang dan kembali menangis. Dia memberontak ingin lepas.

Namun, semakin Maurin ingin lepas, Elang semakin menahannya. "Lo tuh aneh, lagi marah masih aja peduli. Gimana bisa gue lepas lo buat cowok lain, Rin?"

"Tai! Nyebelin!" kata Maurin.

"Tai? Eh, gue ada petasan tai tikus. Ayok nyalain!" Elang melepas rangkulannya pada Maurin.

Dia beranjak dan meraih apa yang dia mau. Setelahnya, di kembali dan mengambil korek api di sakunya.

Dia menyalakan petasan itu dan dia simpan tepat di depan dirinya dan Maurin. "Tuh, tainya item!"

Maurin yang awalnya menangis kini tertawa.

Di dalam sana, di dekat jendela ... Mama dan Papa Maurin melihat itu.

Ternyata, Elang benar-benar memiliki pengaruh besar bagi putri mereka.

Mereka tidak pernah melihat Maurin tertawa selepas saat dia bersama Elang. Padahal, hanya menyalakan petasan saja.

Elang juga terlihat begitu tulus pada Maurin.

TBC

Haii gimana kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Elang

Maurin

Tomi

Spam next di sini!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro