Bagian 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Elang tersenyum kala melihat lampu di kamar Maurin sudah dimatikan. Cowok itu memilih duduk di balkon kamarnya sendiri seraya menyalakan sebatang rokok.

Dia bersandar pada kursi dan menatap langit malam. Sesekali, dia mendesis pelan merasakan perih dibagian wajah dan seluruh tubuhnya.

Dia menunduk, menatap tangannya sendiri yang kini sudah terdapat plester yang dipasang oleh Maurin.

Senyum di bibirnya perlahan mengembang. Namun, detik selanjutnya kembali luntur.

"Gue bisa jaga Maurin, tapi gue enggak akan pernah bisa buat milikin dia untuk diri gue sendiri." Mengingat kenyataan itu, membuat dadanya sesak seketika.

Elang kembali menyesap rokoknya. Kini, matanya kembali menatap ke arah balkon kamar Maurin.

Setelah menemani gadis itu bermain petasan, Elang langsung menyuruhnya untuk beristirahat. Namun, sebelum itu, Maurin bersih keras ingin mengobati luka Elang terlebih dahulu.

Selalu saja begitu.

Elang beralih menatap telapak tangannya yang terbuka. Dia selalu menghalangi siapapun yang mendekati Maurin. Tapi, dia sendiri tak ada niatan untuk menjalani hubungan lebih dengan gadis itu.

Elang bersikap posesif pada Maurin, semata-mata karena dirinya ingin Maurin mendapatkan lelaki yang baik. Walaupun dirinya sendiri sadar betul bahwa dia tidak akan pernah bisa ikhlas melihat Maurin bersama lelaki lain nantinya.

"Rumit," gumam Elang.

Cowok itu memilih mematikan rokoknya dan dia buang pada asbak. Dia berdiri, menatap kamar Maurin sebentar, sebelum akhirnya memilih masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Baru saja dirinya menutup pintu balkon, dia dikejutkan dengan kehadiran Papanya di ambang pintu masuk.

Elang berdecak kesal. "Ngagetin, Pa," katanya.

"Papa ngecek doang, Lang. Kirain udah tidur," ujar pria itu.

Namanya Anggara. Biarpun rambutnya sudah ditumbuhi uban, wajahnya masih terlihat tampan. Badannya juga terlihat sehat karena setiap pagi masih suka berolahraga.

"Muka kamu kenapa?"

Elang diam kala Papanya masuk ke dalam kamar dan memperhatikan wajah Elang yang dipenuhi oleh lebam dan beberapa plester yang menempel.

Cowok itu menghela napas pelan. Dia memilih duduk di tepi kasur dan menunduk. "Gak papa. Kayak enggak tahu anaknya aja. Elang kan jagoan, Pa."

"Jagoan sih, jagoan. Kalau tiap hari muka kamu bonyok terus, bukan jagoan namanya." Anggara ikut duduk di samping putranya.

"Lagian kamu ributin apa sih sampai bisa dapet lebam gini terus-menerus?" tanya Anggara lagi.

Elang diam beberapa saat. Elang lantas tersenyum lebar. "Ributin yang enggak ada, Pa. Olahraga, biar kuat!"

"Kamu ini. Berhenti main-main. Kalau kamu jelek, Enggak akan ada yang mau sama kamu nanti." Anggara beranjak, tangannya mengacak puncak kepala putranya beberapa kali.

Elang tertawa pelan. "Iya, Pa. Enggak janji. Habisnya, dia tuh yang iri sama Elang. Kayak enggak puas kalau muka Elang mulus, glowing, kayak keteknya Isyana Sarasvati."

Anggara ikut tertawa. Ya, yang dia tahu ... Elang bukanlah anak yang rajin di sekolah. Dia memaklumi karena dulu, dia pun sama seperti Elang. Dia membiarkan anaknya mencari jatidirinya sendiri.

Namun, asal muasal luka yang sering Elang bawa pulang, Anggara tidak tahu ini betulan karena putranya sering bertengkar atau bukan. Elang tidak pernah membuka mulut soal itu, dia selalu bilang 'dia'. Sampai sekarang, Anggara sendiri tidak tahu dia yang dimaksud Elang itu siapa.

Dan Anggara yakin, mungkin ... Elang memiliki musuh yang membuat keduanya sering terlibat pertengkaran. Yasudahlah, urusan anak muda.

"Besok malem, ikut Papa ke rumah Nenek, ya. Kita ada acara makan malem."

Elang diam. Wajahnya yang semula ceria mendadak kaku. Cowok itu beralih melepas sandalnya dan naik ke atas kasur kemudian merebahkan tubuhnya.

Menaikkan selimut, dan memeluk bantal guling. "Elang ngantuk, Pa. Gimana besok aja, ya."

Anggara menghela napas dia mengangguk. Tangannya beralih mematikan saklar dan menyalakan lampu tidur.

Sebelum keluar, dia menyempatkan diri mengusap puncak kepala putranya. "Papa keluar, ya."

"Iya. Malam, Pa."

Anggara tersenyum membalasnya. Sebelum akhirnya, dia memilih pergi meninggalkan kamar Elang.

Setelah Anggara pergi, barulah Elang kembali duduk bersandar pada kepala ranjang. Dia memejamkan matanya kuat.

•••

Esok harinya, seperti biasa. Di atas motor yang melaju lambat di atas aspal, Maurin dan juga Elang saling melempar canda.

Pagi ini, terasa begitu dingin. Kedua tangan mungil itu melingkar di perut milik Elang bersamaan dengan tawa yang membuat wajahnya terlihat semakin manis.

Elang menikmati momen ini. Suara bising klakson yang meminta Elang menyingkir untuk tidak menghalangi jalan karena lajunya yang lambat, membuat Elang menepikan motornya sedikit memberi ruang untuk mereka.

"Jadi, pulang sekolah mau ke mana?" tanya Elang kembali memulai topik yang lain.

Maurin menyimpan dagunya di bahu kanan milik Elang. Diliriknya wajah manis yang tengah berpikir itu lewat kaca spion.

Tangan besarnya, kini terulur mengusap punggung tangan sahabatnya yang masih melingkar erat di perutnya.

"Ke mana, ya? Bingung," jawabnya.

"Jangan ke tempat mahal. Sayang uang," ujar Elang.

Gadis itu mendesis kesal. Dicubitnya perut Elang sehingga menimbulkan tawa yang begitu nyaring dari cowok itu. "Sakit, jangan cubit-cubit, dong! Nanti jalan-jalannya enggak jadi," ujarnya sedikit merengek.

"Berarti lo ingkar janji!" Maurin cemberut.

Hal itu tentu saja masih menjadi bagian favorit Elang. Ah ... Memang, bagian mana sih yang tidak menjadi candu yang ada di dalam diri Maurin bagi Elang?

"Ya makannya jangan disiksa terus guenya."

Obrolan mereka terus berlanjut. Sampai akhirnya, mereka tiba di kawasan warung belakang sekolah.

Maurin turun dari atas motor Elang. Sapaan teman-teman Elang dibalas sapaan juga oleh Elang.

Namun, Maurin masih sama. Dia tidak pernah merasa nyaman ketika berada di tengah-tengah banyaknya lelaki yang tengah berkumpul.

"Jalan terus, jadian enggak."

"Sahabat gue, ini. Mana ada jadian-jadian, jangan ngadi-ngadi!" Elang merangkul Maurin seraya tertawa membalas ucapan teman-temannya.

Maurin mendelik kesal. Gadis itu memilih diam menunggu Elang yang masih sibuk bercanda dengan teman-temannya.

"Yaudah, Rin, sama gue aja, yuk!"

Elang sontak saja menenggelamkan wajah Maurin di dadanya. Dia melotot dengan jari telunjuk yang mengarah pada salah satu adik kelasnya. "Enak aja, gak boleh! Gue jual ginjal lo!"

"Yaelah, Bang. Posesif amat!"

"Kenapa? Enggak pernah diposesifin sama orang, lo?! Kasihan banget!" Elang memasang wajah songongnya.

"Sialan lo, Bang!"

Elang tertawa. Setelahnya, dia memilih berpamitan pada teman-temannya yang tengah berkumpul itu dan mengajak Maurin untuk melangkah menuju wilayah sekolah.

Ketika keduanya berjalan memasuki gerbang, banyak sekali gadis-gadis yang menyapa Elang. Maurin tidak suka itu.

Matanya mendelik dan menatap sinis ke arah mereka.

"Matanya biasa aja, Neng. Takut banget cowoknya ditikung? Gue tikung beneran, nih!" ujar salah satu di antara Kakak kelas yang berdandan menor di pinggir lapangan.

Maurin sontak saja melingkarkan lengannya pada lengan milik Elang.

"Sok cantik banget!" Sindiran itu lagi dan lagi tertuju pada Maurin.

"Lang, ceweknya dijaga. Matanya enggak bisa santai, tuh!" teriak salah seorang gadis yang memang mengenal Elang.

Lagipula, siapa sih yang tidak kenal Elang di sekolah ini? Apalagi teman-teman seangkatan dan Kakak kelasnya. Kebanyakan, anak-anak perempuan mengincarnya.

"Iyalah, guenya mau direbut sama tante-tante kayak lo. Mana bisa cewek gue santai?" kata Elang seraya tertawa.

"Sialan!"

Elang terbiasa bercanda dengan siapa saja. Mereka juga pasti paham Elang bercanda.

Namun, kebanyakan orang mengetahui jika Maurin adalah kekasih Elang karena mereka seringkali melihat bagaimana posesifnya Elang pada Maurin.

Padahal, jika mereka kenal Elang lebih dekat, mereka akan tahu status Maurin dan sebenarnya hanyalah seorang sahabat.

Saat sampai di depan kelas Maurin, Maurin berdiri menatap wajah lelaki itu. "Pulang sekolah janji, ya! Jalan-jalan, lo yang traktir!"

"Iya-iya, kapan sih gue ingkar janji sama lo?"

"Awas aja kalau ingkar. Gue enggak mau masakin lo selama seminggu, enggak mau obatin luka lo, enggak mau berangkat sekolah sama lo, petasan lo gue buang, terus ...."

"Emang bisa?" tanya Elang.

"Apa?!"

"Bisa gitu jauh-jauh dari gue?"

Maurin menendang tulang kering Elang tanpa manusiawi. Elang sontak melompat. "Sakiitt!" Elang mencebikkan bibirnya sebal.

Maurin memilih masuk ke dalam kelasnya tanpa memperdulikan Elang.

Elang mendengkus kesal. Akhirnya, dia memilih berjalan menuju kelasnya.

Saat sampai di dalam kelas, Elang langsung memilih duduk di bangkunya sendiri. Mengambil kertas, di kolong meja, kemudian dia membuat pesawat kertas.

"Wing!" Elang melepaskan pesawat kertas itu sehingga berterbangan di kelasnya.

"LANG! KEBIASAAN YA LO!" teriak seorang gadis yang tengah menyapu kelas.

Elang melambaikan tangannya seraya tercengir lebar. "Yang bersih ya Bi Apong," kata Elang.

Gadis itu menghela napas kasar. Bukannya berhenti, Elang malah kembali mencari kertas di kolong meja. Kemudian, dia membuat pesawat kertas lagi.

Hal selanjutnya yang terjadi adalah, Elang dikejar oleh gadis yang tengah piket kelas itu. Namanya Tara.

Keduanya berlarian sampai koridor dengan tangan Tara yang membawa sapu saking kesalnya pada Elang.

"PAPAAA!" teriak Elang. Dia sudah masuk ke dalam kelas lain. Bahkan, dia bersembunyi pada salah satu siswa yang bertubuh gempal.

"Tuh, Sugiono, Maemunah minta jatah sama lo. Marahnya malah ke gua!" kata Elang seraya menunjuk Tara.

"Nama gue Asep!" kata cowok bertubuh gempal itu dengan kesal.

"AAAAA—" Elang berteriak dan langsung naik ke punggung Asep kala satu pukulan sapu yang Tara bawa mendarat tepat di bokongnya.

"Sep, maju, Sep! Singa betina marah, Sep!"

"SEPIII GOO!"

"Bangsat, gue disamain sama sapi." Asep bergumam kesal.

"Awas ya lo!" Tara melotot pada Elang. Sebelum akhirnya, dia memilih melangkah pergi meninggalkan kelas si Asep.

Elang menghela napas lega. "Cewek kok kalau diisengin galak-galak banget, ya, Sep?"

"Turun lo!" kata Asep tanpa memperdulikan ucapan Elang.

"Tapi—"

"Lang, cewek lo dilabrak noh."

Elang mengerutkan alisnya kala seorang gadis masuk ke dalam kelas. Dia salah satu anggota kelas ini.

"Serius lo?"

"Tadi waktu gue lewat, di depan kelasnya rame. Pas gue lihat ternyata Maurin yang lagi dilabrak."

Elang sontak saja turun dari punggung Asep sebelum akhirnya, dia berlari menyusuri koridor untuk sampai ke kelas Maurin.

Sialan! Siapa yang berani melabrak Maurin?!

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Maurin

Asep

Elang

Papanya Elang

Spam next di sini!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro