Bagian 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maurin tertidur. Ketika Elang menanyakan keberadaan Papanya Maurin pada Shanna, dia bilang, Papanya Maurin tengah ada urusan di luar kota. Sehingga, dia tak bisa pulang karena baru berangkat satu hari.

Dan kini, di koridor rumah sakit, Elang duduk bersama Tomi. Tomi sudah menawarkan diri untuk mengantar Elang pulang. Namun, Elang menolaknya.

Dia bilang, dia ingin menunggu Maurin di sini.

"Lang, Mamanya Maurin emang enggak sadar ya sama muka lo yang babak belur gini?"

"Udah biasa kayak gini. Bukan hal aneh."

Tomi menggaruk tengkuknya. Benar juga. Selama dia berteman dengan Elang, wajah babak belur yang ada padanya bukanlah hal aneh. Wajar saja Mamanya Maurin tidak bertanya.

Mungkin, dia mengira luka itu sudah ada sejak tadi.

"Terus soal anak-anak yang ngeroyok lo tadi, enggak ada niatan buat nyari tahu siapa dalangnya?"

"Enggak usahlah. Nyari masalah doang. Males, ribet."

"Yaudah, kalau ada niatan buat nyari tahu, gue siap 24 jam buat kawal lo. Nanti gue bawa pasukan gue."

Elang menggelengkan kepalanya pelan. Jika dirinya mencaritahupun, dia akan mencarinya sendiri. Melibatkan orang lain, sama saja memperkeruh keadaan menurutnya.

Mereka yang awalnya mengincar Elang, lama-lama pasti mengincar teman-temannya juga.

"Iya-iya. Ngebet banget lo jadi babu gue." Elang tertawa.

Tomi mendengkus. Dia beranjak dari duduknya. "Gue mau balik. Kamar kos gue seprainya banyak darah lo. Gue harus beres-beres."

"Makasih ya."

Tomi mengangkat satu tangannya. Setelah itu, dia memilih pamit pergi meninggalkan Elang sendirian di koridor.

Setelah Tomi pergi, Elang menghela napas pelan. Cowok itu menyentuh perutnya yang masih terasa begitu sakit.

Elang tidak tahu dalang dari semua ini siapa. Elang juga tidak tahu salahnya apa. Seingatnya, dia tidak pernah membuat masalah atau berurusan dengan orang-orang tadi.

Bahkan, bertemu saja baru pertama kali. Sungguh perkenalan yang sangat berkesan.

Elang berdiri. Kemudian, kakinya melangkah menuju kamar rawat Maurin.

Hal pertama yang dia lihat ketika membuka pintu adalah, Maurin yang masih terlelap di atas brankarnya.

Shanna juga tertidur. Namun, posisinya duduk di kursi sebelah brankar. Sehingga, kepalanya dia sandarkan pada lengan milik Maurin.

Melihat mereka tertidur, sepertinya ... Elang bisa pulang sebentar untuk membersihkan badannya.

Akhirnya, Elang memilih melangkah pergi meninggalkan kamar inap Maurin.

•••

"Bentar ya, Pak. Saya ambil uangnya dulu." Elang turun dari dalam taxi.

Ketika dia menapakkan kakinya pada teras, alisnya berkerut melihat pintu rumah yang sudah terbuka.

Dia lantas menengok ke arah garasi. Ternyata, Papanya sudah pulang.

Elang akhirnya memilih masuk ke dalam rumah. Namun, betapa terkejutnya Elang ketika mendapati Papanya yang terbaring tak berdaya di lantai.

"PAPA!" Elang sontak berlari mendekat. Dia bersimpuh dengan lututnya dan membawa kepala Papanya ke pangkuan.

Kemeja yang dia kenakan berlumuran darahnya sendiri. Darah mengalir di pelipis, hidung, dan sudut bibirnya.

"Pa, bangun, Pa!" Elang menepuk pipinya dengan pelan.

Namun, tak ada reaksi apapun. Kemudian, tangannya terulur mengecek denyut nadi di tangannya.

Tubuh Elang melemas kala tak merasakan denyut apapun. Dia menunduk, memeluk Papanya dan menangis.

"Pa, Papa janji enggak akan ninggalin Elang. Bangun, Pa! Bangun! Elang mohon, bangun!" Elang menekan dadanya berkali-kali.

Namun, tak ada pergerakan apapun. Dan ini sudah menjelaskan bahwa Papanya ... Telah pergi.

Pergi meninggalkan Elang sendiri.

Elang terisak. Darah milik Papanya ikut menempel di jaket milik Tomi.

Mengapa harus secepat ini?

Siapa manusia yang begitu tega merenggut nyawa Papanya begitu sadis?

Bahkan, di saat terakhir Papanya, tak ada satupun orang yang menemaninya. Dia sendiri, terbaring tak berdaya bersama darahnya sendiri.

"Maafin Elang, Pa. Maafin Elang." Elang terisak.

Sumpah demi Tuhan! Elang yakin kematian ini direncanakan. Tidak mungkin Papanya membunuh dirinya sendiri.

Jika iya, seharusnya ada benda tajam di sini. Namun, apa yang Elang dapat? Kosong. Tak ada apapun. Itu artinya, Papanya memang sengaja dibunuh.

"Mas, Maaf ... Asstagfirullahalazim."

Supir taksi yang menunggu uang dari Elang, menyusulnya. Dia masuk ke dalam rumah dan terlihat begitu panik.

Namun, Elang hanya diam. Dia masih memeluk Papanya, air matanya masih menetes. Namun pikirannya sekarang dipenuhi oleh dendam.

Dia bersumpah akan mencarinya. Dia bersumpah akan membalasnya dengan hal yang setimpal dengan tangannya sendiri.

"Den, kenapa diem aja. Ayo bawa ke mobil, saya antar ke rumah sakit."

"Percuma, Pa. Papa saya udah enggak ada." Elang menjawab dengan nada datar.

"Inanillahi wainailaihi Roji'un."

Supir taksi itu ikut berlutut di sisi lainnya. Tangannya terulur menepuk pundak Elang dengan pelan. "Den, kalau gitu Aden tenang dulu, ya? Coba hubungi keluarga Aden. Biar bagaimana pun, Papa Aden harus segera di makamkan."

Elang mengepalkan tangannya. Siapa? Siapa yang harus dia hubungi sekarang?

Neneknya? Tantenya? Om? Siapa? Bahkan selama ini keluarga Elang satu-satunya hanyalah Anggara.

Jika sudah begini, harus pada siapa Elang meminta tolong?

"Den?"

Elang beranjak. Cowok itu berjalan ke arah laci dan mengambil uang. Setelahnya, dia memberikan uang itu pada supir taksi tadi. "Pergi," kata Elang.

"Den, gak papa. Enggak usah dibayar, saya—"

"Saya gak suka dikasihani. Pergi."

"Den, tapi Papanya—"

"Pergi."

Supir taksi itu memilih pergi. Kini, Elang sendiri. Menatap jasad Papanya dengan pandangan kosong.

Tangannya terulur meraih tangan Papanya. Dia genggam begitu erat, dan air matanya lagi-lagi menetes.

Elang memeluk lengan itu. Kemudian, punggung tangannya dia cium dengan sopan. "Elang harus apa, Pa?" tanya Elang lirih.

"Ayo, Pak. Tolong."

Elang menoleh. Sedikit terkejut ketika di belakangnya sudah banyak warga yang berdatangan.

Supir taksi yang Elang usir, dia mengarahkan orang-orang untuk mengurusi jasad Anggara.

Elang berdiri. Dia mundur selangkah. Kini, orang-orang mulai mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan.

Elang terjatuh, berdiri dengan lututnya, kemudian menutup wajahnya dengan telapak tangan.

Bodoh, di saat terakhir Papanya, Elang hanya diam mematung tanpa bergerak. Benar apa kata keluarganya.

Elang pembawa sial.

Dia yang menyebabkan kesialan yang terjadi pada orang-orang terdekatnya.

Dirinya.

"Den, enggak papa. Yang sabar, ya. Minum dulu."

Supir taksi itu masih berbaik hati padanya. Dia memberi sebotol air mineral pada Elang.

Elang mendongak, menatap supir taksi itu. Kemudian, Elang menerima air mineral itu dan meminumnya sedikit.

Sepertinya, setelah ini ... Ada sesuatu yang harus Elang lakukan selain mencari dalang kematian Papanya.

Akan tetapi, dia juga harus menjauh dari orang-orang yang dia sayangi. Elang tidak pantas bersama siapapun.

Karena kini, semuanya terbukti. Dirinya ... Hanya sekedar manusia pembawa bencana.

•••

Sampai esok pagi, rumah Elang dipenuhi oleh orang-orang kompleks yang akan mengantar Papanya menuju tempat peristirahatan terakhir.

Namun, semua mendadak bubar setelah Papanya diantar dengan selamat sampai tempat terakhirnya.

Tidak hanya itu, Galang dan juga Gara kini turut hadir sejak semalam. Entah dari mana mereka tahu. Tapi sepertinya, salah satu temannya yang berada di kompleks ini yang memberitahu mereka.

Dan kini, di samping makam Papanya, Elang terduduk. Menatap batu nisan itu dengan pilu.

Plak!

"Kamu! Enggak puas kamu bunuh menantu saya? Sekarang anak saya juga kamu bunuh?!"

Elang memejamkan matanya kala sebuah tamparan melayang tepat di pipinya.

Dan, pukulan kini mendarat di tubuhnya secara bertubi-tubi. Tidak cukup dengan tangan, Omahnya kini membawa kayu dan dia pukulan pada tubuh Elang.

Gara dan Galang berusaha menahan. Namun, Omahnya Elang memiliki tenaga yang tidak biasa.

Bahkan, sampai Elang terjatuh pun, pukulan itu tak kunjung berhenti.

"Nek, udah! Nenek bisa bunuh Elang!" Galang menahan tangan Neneknya Elang.

"Dia ... Pembunuh! Pembunuh! Pembawa sial!"

Elang tak bereaksi apapun. Pandangannya benar-benar kosong. Jiwanya seolah melayang entah kemana.

"Lang, lo oke, kan?" Gara membantu Elang untuk duduk.

Elang menunduk. Dia tertawa, namun ... Sorot matanya tak bisa berbohong bahwa dia benar-benar terluka. "Lo denger, Gar? Lo denger? Gue pembawa sial. Hahahaha!"

Gara terpaku. Untuk pertama kalinya, dia melihat Elang begini. Untuk pertama kalinya, dia melihat Elang meneteskan air mata di depannya.

Ternyata, dia tidak sekuat itu. Dia tidak sekuat kelihatannya.

"Gue ... Pembunuh. Gue! Semuanya salah gue!" Elang menepuk-nepuk dadanya keras berusaha menyalurkan rasa sakit pada hatinya.

Rasa sakit di tubuhnya seolah tak ada apa-apanya.

"Lang, udah!" Gara menahan tangan Elang. Kondisi fisik Elang sudah terlihat jelas dia tidak baik-baik saja.

Kondisi batin pun sudah jelas menunjukan begitu. Kemudian, tatapan Gara beralih pada Galang yang masih menahan Omahnya Elang.

"Dia cucu Nenek, lho." Galang kembali berbicara.

Bukannya tenang, kini ... Wajah Elang diludahi. Elang memejamkan matanya. Elang yang awalnya tertawa mendadak diam.

"Kalau aja kamu enggak lahir ke dunia, semua enggak akan sekacau ini!" Kini bagian Tantenya Elang yang menyahut.

Gara mengajak Elang berdiri. Dia juga menarik Galang untuk berdiri di sebelahnya. "Sahabat saya enggak pernah minta untuk lahir ke dunia. Dan asal Tante tau, di sini bukan hanya kalian yang merasa kehilangan. Sahabat saya juga!" Gara yang biasanya tidak pernah angkat bicara, kini mendadak membela Elang.

"Asal kamu tau, sahabat yang kamu sebut sahabat itu enggak sebaik yang kamu pikir!"

Gara dan Tantenya terus saling membalas ucapan. Tantenya yang menghina Elang, dan Gara yang membela Elang.

Kejadian ini, persis seperti saat makan malam. Papanya ... Gara seperti Papanya yang membela Elang.

Bahkan, di saat jasadnya sudah terkubur, Papanya masih harus menyaksikan perdebatan ini.

"Berhenti!"

"Lo, berhenti bela gue. Dan Tante, berhenti ngata-ngatain Elang."

"Kamu—"

"Anjing!" Elang mengumpat. Setelahnya dia memilih pergi meninggalkan pemakaman dengan langkah lambat.

Tangannya jelas-jelas memegang perutnya sendiri.

Gara dan Galang diam. Kini ... Mereka menemukan sesuatu yang tidak pernah Elang tunjukan pada siapapun.

Dia ... Terluka.

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Buat yang mau lihat trailer cerita Elang, bisa di cek di akun tiktok Wattpad.oncom, ya. Disematkan paling atas😌

Ada yang ingin disampaikan untuk Elang

Maurin

Papanya Elang

Omahnya Elang

Aku

See you!

Spam next di sini

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro