Bagian 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah hampir satu jam, namun Dokter tak kunjung keluar. Setelah sampai rumah sakit, ketika tubuhnya terasa lemas, Elang langsung menghubungi Shanna—Mamanya Maurin, dan memberitahu kejadian yang menimpa Maurin.

Shanna langsung bergegas kemari. Wanita itu datang sendiri. Dan kini, di kursi koridor ... Elang dan Shanna duduk seraya menatap cemas pada pintu ruangan yang masih tertutup.

Elang sudah membersihkan darah di tangannya. Dia tidak mau Shanna cemas perihal luka kecil yang terjadi pada dirinya.

"Lang, kamu mendingan pulang dulu. Bersih-bersih. Kalau ada apa-apa sama Maurin, Tante pasti kabarin."

Elang diam beberapa saat. Namun detik selanjutnya, dia menggeleng. "Enggak, Tan. Elang mau nunggu Maurin."

"Lang, kamu kelihatan capek. Nurut sama Tante. Maurin pasti gak papa." Tangan Shanna terulur mengusap puncak kepala Elang layaknya seorang Ibu.

Elang lagi-lagi diam. Shanna, dia juga termasuk alasan Elang ingin selalu bersama Maurin.

Wanita itu, seperti sosok pengganti seorang Ibu di hidupnya. Biarpun Shanna jarang sekali bertemu dengan Elang karena tidak sering berada di rumah, tapi setiap bertemu ... Dia selalu memperhatikan hal-hal kecil pada Elang.

"Kalau Elang ikutan sakit, Maurin pasti sedih. Elang pulang dulu, ya. Bersih-bersih, makan, istirahat sebentar. Muka kamu pucet banget, Lang." Tangan Shanna turun membelai lembut pipi kanan milik Elang.

Akhirnya, Elang mengangguk pelan. Cowok itu beranjak dan mencium punggung tangan Shanna. "Kalau Maurin sadar, langsung kabarin Elang ya, Tan."

"Iya."

"Kalau gitu, Elang pulang dulu."

Setelah mendapat anggukkan dari Shanna, Elang memilih melangkah menyusuri lorong demi lorong rumah sakit.

Sampai akhirnya, langkahnya berhenti di samping motornya sendiri. Dia mendongak, menatap gedung rumah sakit yang menjulang begitu tinggi.

Helaan napas berat terdengar.

Elang memutuskan naik ke atas motornya dan melaju membelah jalanan yang nampak begitu ramainya.

Pikirannya melayang ke mana-mana. Segala kekhawatiran langsung menyerang begitu saja di pikirannya.

Hatinya cemas, tidak tenang, dan risau.

Rumah sakit, Elang benar-benar takut dengan gedung itu. Traumanya masih belum hilang, dia juga belum sepenuhnya percaya pada orang-orang yang berada di dalam sana.

Tidak semua orang bisa mereka selamatkan.

"Maurin kuat, Lang." Elang bergumam dengan tatapan kosongnya. Tangannya yang memegang stang motor, mengerat.

Sampai tiba-tiba, di sebuah jalanan komplek yang jarang dilewati orang-orang, Elang diberhentikan begitu saja oleh para pemuda yang tidak dia kenal.

Mereka mengenakan seragam dengan jaket yang membalut atribut mereka.

"Berhenti, berhenti!"

Elang tersadar dari lamunannya. Cowok itu sontak berhenti dan menatap orang-orang di depannya dengan heran. "Permisi, gue mau lewat," kata Elang.

"Lewat? Sini, gue kasih jalan lo buat lewat." Tiba-tiba saja Elang ditarik untuk turun dari motor.

Sontak saja motor milik Elang langsung jatuh begitu saja. Untungnya, mesin motor sudah Elang matikan, tadi.

BUGH!

Elang tersungkur akibat serangan mendadak itu.

Elang mendongak, dia masih berbaring di atas aspal. Darah sudah mengalir di hidungnya.

Tangan Elang terulur menyentuh hidungnya sendiri. "Mau apa lo dari gue? Gue enggak merasa punya masalah sama kalian!"

Perut Elang di duduki. Kerah seragamnya di cengkeram oleh cowok berbadan lumayan besar untuk ukuran anak SMA.

Di mulutnya terdapat tusuk gigi. Matanya menatap Elang begitu remehnya. "Gue udah yakin banget kalau lo enggak sekuat itu. Pengecut!"

Elang memejamkan matanya kala wajahnya diludahi.

"L-Lo siapa?" Elang ingin melawan. Tapi kondisi tubuhnya benar-benar sedang tidak sehat.

Seharusnya, Elang bisa membalas mereka. Namun, Elang tidak tahu sebenarnya apa tujuan mereka mencegat Elang di jalanan sepi begini?

Bukan jawaban yang Elang dapatkan. Melainkan sebuah pukulan bertubi-tubi yang mendarat di wajahnya.

Cowok itu berdiri, kemudian sebuah tongkat baseball kini sudah berada di tangannya.

BUGH!

BUGH!

BUGH!

"Arghhh—" Elang meringkuk di atas aspal. Tangannya memegang perutnya sendiri.

Darah yang berasal dari mulutnya menetes di atas aspal. Namun, tak ada satupun di antara mereka yang berniat menghentikan aksinya.

Elang di injak, dipukuli. Berkali-kali Elang meminta berhenti, tawaan yang terdengar sebagai jawaban.

Mereka seperti iblis. Menikmati penderitaan orang lain tanpa belas kasihan.

Sampai akhirnya, kesadaran Elang mulai menipis. Dia sudah pasrah. Untuk berteriak pun tenaga tak lagi ada.

"Woi!"

Elang mendengar teriakan itu. Dia terbatuk hebat kala orang-orang jahat itu berhenti menyiksanya.

Mereka menjauh. Mata Elang terpejam begitu rapat merasakan sakit di seluruh tubuhnya.

"Bangsat lo, beraninya keroyokan!"

Siapapun dia, Elang akan sangat berterimakasih karena dia sudah menolongnya. Dan di saat itu juga, kesadaran Elang menghilang.

•••

"Ssshh—"

Elang membuka kedua matanya. Hal pertama yang dia lihat adalah, langit-langit kamar yang sangat dia kenal.

Elang menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang dengan susah payah.

"Udah sadar?"

Elang menoleh. Namun, cowok itu kembali meringis kala perutnya terasa begitu perih.

"Jangan banyak gerak dulu." Dia memberikan sebuah es batu yang dibalut oleh handuk.

Elang menerimanya. Kemudian, dia menempelkan es batu itu pada perutnya yang telanjang.

"Lo punya masalah apa sampai dipukulin sama anak-anak SMA Taruna?" tanya cowok itu.

"Gue gak ngerti, Tom. Mereka halangin jalan gue gitu aja." Elang masih belum sadar dengan situasi apa yang sebenarnya dia alami.

Terakhir yang dia ingat, dirinya dicegat dan disiksa oleh mereka. Kemudian ... Dia mendengar teriakan orang yang menghentikan aksi siksaan itu dan sampailah Elang di sini.

"Lo yang nolong gue, Tom?" tanya Elang.

Orang itu adalah Tomi si anak STM yang kemarin membuat dirinya galau karena membonceng Maurin.

Tomi menggeleng. "Bukan gua, anak-anak sekolahan gua. Kebetulan kita-kita mau jenguk temen gua yang lagi sakit. Eh, malah lihat orang dikeroyok. Gue kira bukan lo, Lang."

"Makasih, ya. Gue gak tau deh kalau lo sama temen-temen lo gak lewat situ. Udah di neraka kali gue." Elang terkekeh pelan.

"Yaudah lah. Udah gitu jalannya kali. Lagian lo kayak enggak bisa ngelawan aja. Tumben banget pasrah dipukulin sama orang."

"Lagi ngalah aja." Elang terkekeh pelan menjawab pertanyaan Tomi.

Elang lantas menoleh pada jam dinding di kamar milik Tomi. Matanya terbelalak. "Jam 5? Berapa lama gue jadi pangeran kodok tidur di sini?"

"Pangeran kodok mata lo."

Elang hendak berdiri. Dia harus ke rumah sakit! Maurin pasti sudah keluar dari ruangan itu! Pasti!

"Anjing!" Elang mengumpat kala kakinya begitu lemas menapak lantai.

Hampir saja dirinya terjatuh. Namun, dengan sigap Tomi menahannya. "Lo rusuh banget sih, bangsat. Mau ke mana? Baru juga melek mata lu." Tomi ikut mengumpat karena dirinya juga kaget dengan pergerakan Elang yang tiba-tiba.

"Gue harus balik."

"Nginep sehari enggak bakal bikin lo jadi babu di sini, ya. Lo diem dulu deh mendingan. Kondisi lo lagi enggak baik-baik aja."

"Gue harus ke rumah sakit!"

"Yaelah lebay banget pake ke rumah sakit segala. Biasanya juga kerokan."

Elang berdecak pelan. Bagaimana caranya menjelaskan pada Tomi? Jika dia memberitahu perihal Maurin pada Tomi, apakah Maurin akan lebih memilih bersama Tomi nantinya?

Namun, Elang berusaha menepis pikiran negatifnya. Ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan soal itu.

Tomi sudah menolongnya. Tidak tahu diri sekali jika dia sudah menuduh Tomi yang tidak-tidak.

"Maurin masuk rumah sakit. Gue harus ke sana," kata Elang akhirnya.

"Maurin? Oh ... Temen si Galang yang kemarin ulang tahun?"

"Yang kemarin lo bonceng!"

"Ya biasa dong, ngegas banget. Kayak orang cemburu, lo." Tomi mendengkus mendengar jawaban ngegas Elang.

Lihat, sudah ditolong masih saja marah-marah.

"Yaudah, yuk. Gue anter. Lo rese kalau lagi naksir cewek. Kayak kucing mau kawin. Bawaannya berisik." Tomi beranjak. Dia membuka lemari dan meraih jaket miliknya.

Kemudian, dia melemparnya pada Elang. "Seragam lo bau ludah si kampret. Gue enek nyiumnya."

"Gue enggak minta lo cium seragam gue." Elang mengenakan jaket milik Tomi.

Akhirnya, Elang dan Tomi berjalan menuju luar dengan Tomi yang membantu Elang untuk berjalan.

•••

Sesampainya di rumah sakit, Elang berjalan menuju ruangan tempat Maurin ditangani. Namun, Shanna sudah tidak ada di sana.

Akhirnya, dia bertanya pada suster yang lewat. Suster memberitahu bahasa Maurin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap.

Setelah mendapatkan kamar yang Maurin tempati, Elang dan Tomi berjalan bersamaan ke sana.

Tomi sedikit kagum dengan Elang. Biarpun kondisinya tengah tidak baik-baik saja, dia masih saja mementingkan Maurin dan kekeuh ingin menengoknya.

Sepertinya, gadis bernama Maurin yang baru Tomi kenal itu benar-benar berarti untuk Elang. Jika tidak, untuk apa Elang repot-repot memikirkan kondisi orang lain di saat kondisinya saja jauh dari kata baik.

"Tante." Elang masuk ke dalam ruangan dan mendapati Shanna yang tengah duduk di kursi sebelah brankar.

Di sana, Maurin diinfus. Wajahnya membelakangi Shanna dengan pipi yang terlihat jelas menampakan bekas air mata.

"Lang." Shanna menoleh.

Elang melepaskan tangannya dari Tomi. Dia berjalan dengan susah payah menghampiri Maurin.

Elang bersimpuh dengan lututnya tepat di mana Maurin menatap. Maurin yang awalnya menatap kosong ke arah depan, perlahan menaikkan pandangannya menatap Elang.

"Kuat banget temen gue." Elang tersenyum lebar. Tangannya terulur menyentuh kepala Maurin dan mengusapnya dengan lembut.

Namun, Maurin tidak menjawab. Dia menatap Elang dengan pandangan terpaku. Air matanya perlahan menetes seolah dirinya ingin mengatakan, bahwa Maurin tidak baik-baik saja.

"Kok nangis, sih? Jelek ah." Elang mengusap air mata Maurin dengan pelan.

Di belakang sana, Shanna menatap interaksi keduanya. Sedangkan di samping Shanna, Tomi berdiri menatap Elang yang benar-benar berubah ketika bersama dengan Maurin.

"Lang, gak mau." Suara Maurin bergetar. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan Elang yang berada di pipinya.

"Gak mau apa, hm? Gak mau dipegang? Yaudah, maaf, ya. Gue enggak pegang, deh. Tapi jangan nangis."

Elang hendak menarik tangannya. Namun, Maurin semakin mengeratkan cengkeramannya. "Gak mau, Lang. Gak mau lumpuh."

Deg

Elang sontak mematung. Pandangannya kini beralih pada Shanna yang tengah menunduk menahan tangis.

Maurin masih menatap Elang dengan pandangan seolah dirinya ingin bercerita dan mengeluh. Sedangkan Elang, dia tidak menyangka Maurin akan mengalami hal ini.

"Kita mau jalan-jalan kan, Lang? Kalau gue lumpuh kita gak jadi jalan-jalan dong. Kemarin kan gak jadi. Terus, kalau gue enggak bisa jalan, gue pasti ngerepotin, kan?"

"Lo juga pasti malu kan bawa gue?" tanya Maurin lagi.

Melihat Elang yang masih diam, membuat Maurin semakin menangis. Gadis itu melepas cengkeramannya pada tangan Elang. Kemudian, dia beralih memukul kakinya sendiri. "Enggak berguna!" teriaknya.

Elang sontak menahan tangan Maurin. Infusan Maurin tersenggol hingga darahnya naik.

"Rin, udah. Enggak papa, kita jadi jalan-jalan. Kan masih ada gue, nanti gue gendong kemanapun lo mau, ya?"

"Enggak, Lang! Kaki gue bisa jalan, pasti bisa!"

"Iya, bisa. Nanti bisa jalan lagi."

Sementara itu, Tomi bergegas mencari dokter untuk membetulkan infusan Maurin.

Maurin masih merancau. Dan Elang masih berusaha menenangkannya. Sesekali dia meringis karena lukanya bekas keroyokan tadi terus tersenggol oleh Maurin yang tidak bisa diam.

Elang berusaha duduk di sampingnya. Dia memeluk Maurin dan membiarkan gadis itu menangis di sana.

"Enggak papa, Rin. Nanti bisa jalan lagi." Elang berucap dengan sangat pelan.

Elang tidak pernah melihat Maurin seterpukul ini. Elang tidak pernah melihat Maurin menangis sampai menyiksa dirinya sendiri.

Maurin bukan orang yang seperti itu. Tapi, melihat bagaimana kondisinya, itu adalah hal yang wajar menurut Elang.

Di syok.

Sampai akhirnya, Dokter dan suster datang. Infusan Maurin dibetulkan. Namun gadis itu tak mau lepas dari Elang.

"Jangan banyak gerak dulu, ya," pesan Dokter.

Maurin tidak menjawab. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada Elang.

Apapun yang akan terjadi kedepannya, Elang janji akan menjaga Maurin sebisanya.

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Maurin

Elang

Tomi

Mamanya Maurin

Spam next di sini

See you

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro