Bagian 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Elang tidak menghampiri Helga. Dia memilih menjalankan hukumannya di perpustakaan.

Lagipula, sekarang masih jam pelajaran. Elang tidak segegabah itu untuk mengacaukan kelas orang.

Kini, cowok itu berjongkok di atas kursi. Tangannya sibuk menyusun buku yang tadi sudah dia bersihkan bersama penjaga perpustakaan.

Sesekali, Elang menggaruk kepalanya merasa lelah dengan apa yang ia kerjakan.

Elang berpikir, mungkin ... Karena dia tidak suka berlama-lama melihat buku. Maka dari itu, kepalanya mendadak pusing dan rasanya ingin mengacak kembali isi perpustakaan.

Bisa jadi, kekesalannya pada Helga juga sebagai pemicu.

Entahlah, rasanya, Elang lelah sekali.

"Bu, kok saya enek, ya?" Elang menyentuh perutnya sendiri.

Melihat itu, Bu Anne—penjaga perpustakaan menggelengkan kepalanya.

Sebenarnya, dia sedikit kaget ketika Elang datang dan berkata dirinya akan beramal baik. Namun, ia malah dibuat tertawa ketika Elang bilang dia disuruh pak Bonar.

Beramal baik yang Elang maksud tak lain adalah menjalankan hukuman.

Selama hukuman berjalan, tak jarang Elang membuatnya tertawa karena tingkah lakunya.

Berlarian di perpustakaan. Bersin berkali-kali ketika membersihkan debu. Terjatuh saat membawa air untuk membersihkan lantai. Tak lupa, dia juga marah-marah pada ember, debu, air, dan juga meja yang menghalanginya berlari.

"Bu, saya istirahat bentar boleh, gak? Badan saya mendadak lemes banget, nih," kata Elang.

Dia tidak berbohong. Badannya terasa sangat lemas sekarang. Padahal, tadi dia masih baik-baik saja.

Pekerjaan yang dia buat juga tidak begitu berat. Namun, baru kali ini Elang merasa dirinya lelah sampai membuatnya terasa lemas begini.

"Kamu kenapa, Lang?"

"Gak tau, Bu. Kurang udara segar kayaknya. Kelamaan di perpustakaan lama-lama bikin saya jadi pinter karena kebanyakan lihat buku." Elang terkekeh pelan.

Akhirnya, dia memilih menghentikan kegiatannya sebentar dan mengubah posisi duduknya.

Punggungnya bersandar pada kursi dengan mata terpejam.

"Gila, ini kenapa capek banget, ya?" gumam Elang.

"Hukumannya udah aja, Lang. Biar Ibu yang beresin. Kamu mendingan ke kantin sana, beli minum."

"Enggak ah, Bu. Nanti Pak Bonar ngamuk, terus, Papa saya dipanggil ke sekolah. Kan kasian Papa saya, harus ngabisin ongkos. Nyari uang susah, Bu. Harus irit." Elang menjawab masih di posisi yang sama.

"Bilang aja saya yang nyuruh udahan. Enggak akan dipanggil kok. Lagian kan udah hampir beres juga."

Elang langsung membuka kedua matanya. Cowok itu berdiri dan mencium punggung tangan Bu Anne sebagai ucapan terimakasih. "Makasih, Bu. Kalau gitu saya pamit. Bay bay!" Elang langsung keluar dari perpustakaan dengan semangat.

Namun, ketika berjalan di koridor, Elang kembali berjalan dengan lemas. Berkali-kali Elang membuang napas pelan.

"Badan gue kenapa, sih? Aneh banget." Elang memijat lengannya sendiri seraya berjalan.

Elang memutuskan untuk kembali ke UKS. Dan seperti dugaannya, Maurin sudah tidak ada di sana.

Sepertinya, ketika Elang pergi ... Gadis itu ikut keluar.

Elang merebahkan tubuhnya di atas brankar untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak.

Yang dia rasakan lumayan nyaman. Namun, tetap saja badannya terasa begitu letih.

"Letoy banget perasaan." Elang menatap langit-langit UKS dengan pandangan lurus.

Ketika sendiri, Elang selalu merasa sepi. Ketika sendiri, bayang-bayang masalalu selalu saja menghampiri.

Tangan Elang terulur menyentuh dadanya. Jantungnya berdetak begitu cepat.

"Pembawa sial!"

"Pembunuh!"

"Pergi dari sini!"

"Lo enggak pantes hidup!"

Elang meringkuk. Tangannya kini menutup kedua telinganya menggunakan tangan.

Debaran jantungnya semakin cepat, dia memejamkan matanya semakin erat. "Enggak, Bang! Enggak, bukan gue!" Elang bergumam pelan.

"Bukan gue." Kalimat itu terucap terus menerus di bibirnya.

Pintu UKS terbuka. Elang sontak duduk dan memundurkan tubuhnya hingga pojok. Napasnya memburu dengan sangat cepat.

Tatapannya langsung berpusat pada satu titik.

Sampai akhirnya, Elang tersadar dan mengusap wajahnya dengan pelan.

"Elang, ngapain lo di sini?"

Elang memilih menyandarkan kepalanya pada tembok. Matanya memperhatikan seorang gadis yang sibuk memoles wajahnya menggunakan bedak yang dia bawa.

"Kebetulan lo di sini. Gue mau ngomong," ujar Elang.

Gadis itu mengerutkan alisnya. Dia berjalan menghampiri Elang dan duduk di brankar sebelahnya. "Tumben. Ada apaan?"

"Sejak kapan lo jadi pacar gue?"

Gadis itu terlihat menegang. Matanya menatap Elang dengan tatapan terpaku. "H-Hah? Hahaha ... A-apaan, sih? Siapa yang pacaran?" Tawanya terdengar begitu canggung.

"Denger, ya, Ga. Gue akui kita deket. Tapi harusnya lo bisa paham deketnya gue sama lo itu sebagai apa. Lagipula, gue enggak merasa pernah perlakuin lo lebih, deh. Bisa-bisanya lo lancang labrak Maurin."

"Lang—"

"Tanpa lo labrak dia, lo udah populer. Semua orang di sini udah tau lo siapa. Mereka udah takut sama lo. Jangan karena Maurin deket sama gue, singkirin dia bisa bikin lo disegani? Enggak. Gue enggak punya pengaruh apapun di sini."

Helga membuang arah pandangnya. Gadis itu mengepalkan tangannya. "Dia enggak sopan sama gue!"

"Dibagian apa sahabat gue enggak sopan sama lo, hm?"

Helga menghela napasnya. Gadis itu kali ini menunduk. "Gue suka sama lo, Lang," ujarnya pelan.

Elang terkejut. "Gue?"

"Gue cemburu lihat lo sama adik kelas itu. Dari awal kita ketemu, cuman lo yang enggak pernah kurang ajar sama gue. Lo perlakuin gue layaknya cewek biasa. Lo bener-bener menghargai gue. Semenjak anak kelas 10 masuk, gue iri lihat lo perhatian sama dia.".

"Lo gak boleh suka sama gue." Elang berkata dengan pelan.

Matanya kini terpejam. "Gue gak suka sama lo," kata Elang.

Helga menaikan pandangannya. Gadis itu menatap Elang dengan raut wajah kecewa. "Karena gue cewek murahan?"

"Karena gue cewek obralan?"

"Karena—"

"Karena gue enggak bisa pacaran sama siapapun! Lo, Maurin, atau siapapun itu ... Enggak ada satupun yang bisa sama gue." Elang menjawab dengan nada tinggi.

Hal itu membuat Helga tersentak. Matanya terpejam bersamaan dengan air matanya yang menetes.

Selama mengenal Elang, tak pernah sekalipun dia melihat cowok itu berbicara dengan nada tinggi. Biarpun ketus, nada ketus Elang biasanya terdengar seperti candaan.

Namun sekarang?

"L-Lang—"

"Mau lo singkirin semua orang yang deket sama gue sekalipun, enggak akan bisa bikin lo bareng sama gue. Berhenti bertingkah seenaknya, Helga."

"Lang—"

"Lo tampar Maurin bikin gue marah."

"Lang—"

"Lo bikin Maurin jauh dari gue. Dan itu bikin gue marah, Ga." Elang memejamkan matanya semakin erat.

Helga tidak paham maksud Elang. Dia tidak bisa berpacaran dengan siapapun. Lantas, mengapa dia begitu peduli pada Maurin?

"Maurin sahabat gue, Ga. Lo nyakitin dia, sama aja lo nyakitin gue." Elang berkata begitu lirihnya.

"Jangan bikin gue merasa gagal jaga dia," sambung Elang.

Tak ada jawaban apapun dari Helga. Sampai akhirnya, Elang membuka matanya dan melihat gadis itu tengah menunduk dan menangis.

Elang menurunkan kakinya dan duduk di tepi brankar.

"Sini," kata Elang lembut seraya menarik pergelangan tangan Helga dengan pelan.

Setelahnya, Elang memeluk gadis itu dengan lembutnya. "Ga, lo boleh suka sama siapa aja. Asal jangan sama gue. Itu cuman bikin lo sakit."

"Gue minta maaf kalau gue nyakitin lo."

•••

Pulang sekolah, Elang duduk di warung depan bersama Galang dan juga Gara. Masalah Helga, gadis itu menghindari Elang saat jam istirahat ke 2.

Setelah menangis di pelukannya, dia langsung pergi. Yasudahlah, yang terpenting Elang sudah memberitahu padanya bahwa Elang tidak akan pernah bisa membalas perasaan gadis itu.

Elang kira, berteman dengan Helga tidak akan melibatkan perasaan apapun. Ternyata Elang salah. Helga malah menyimpan perasaan padanya.

Ternyata benar kata orang. Berteman dengan lawan jenis, kemungkinan terbesarnya salah satu di antara mereka akan ada yang jatuh. Dan itu terjadi pada Helga.

Dan ... Diantara dirinya dan Maurin. Elang yang jatuh cinta.

Tapi, Elang sudah menekankan pada dirinya sendiri. Dia harus menahan perasaan itu, Maurin tidak boleh bersamanya.

Elang tidak pantas dengan gadis itu. Seperti apa kata keluarganya, Elang pembawa sial. Elang tidak mau Maurin malah mendapat banyak kesialan jika mereka menjalin sebuah hubungan.

Itu tidak boleh terjadi pada Maurin dan gadis manapun.

Tring!

Maurin : Lang, gue naik angkot ya sama temen gue. Soalnya kaki gue masih sakit kalau harus naik motor. Gue udah di angkot, lo gak bisa larang. Gue juga masih marah ya sama lo!

Elang menatap pesan masuk dari Maurin. Cowok itu memilih membalas iya.  Sedikit kesal juga karena Elang sudah menunggunya sedaritadi. Eh, tahu-tahu sudah pulang sendiri.

Memang benar-benar gadis itu.

Tapi, Elang bersyukur Maurin mau memberinya kabar lagi. Untunglah, mereka tidak saling mendiamkan terlalu lama.

Setelahnya, di berdiri seraya mengambil satu gorengan. "Gar, bayarin ya. Sekalian tadi gue jajan dua ribu."

"Kebiasaan." Gara mendengkus pelan.

Elang memilih naik ke atas motornya. Namun, ketika Elang hendak menstater motornya, tiba-tiba salah satu temannya datang dari arah jalanan dan menghentikan motornya di samping motor milik Elang.

"Di depan, ada kecelakaan!"

"Hah?"

"Angkot, tabrakan sama bus. Gak ngerti juga, tapi gue lihat sendiri. Angkotnya sampai keseret terus ngeguling gitu."

Elang terdiam. Tangannya refleks meraih ponsel dan mencoba menghubungi Maurin.

Berdering, namun Maurin sama sekali tidak mengangkatnya. Elang mencobanya berkali-kali. Dan selama itu juga, tak ada jawaban yang dia dapat.

"Lang, lo kenapa?" tanya Galang.

"Maurin." Elang bergumam. Tanpa basa basi, dia memasukan ponselnya ke dalam saku celana dan memilih menyalakan mesin motornya.

Kemudian, Elang melajukan motornya dengan kecepatan yang tidak biasa.

Dia risau, pikirannya langsung tertuju pada Maurin.

Motornya berhenti secara mendadak kala melihat lokasi kecelakaan.

Angkotnya benar-benar terguling. Banyak warga setempat yang menyelamatkan korban di dalam angkot.

Elang menurunkan standar. Jantungnya berpacu sangat cepat ketika melihat seorang gadis menangis dengan kaki yang tertimpa oleh angkot.

"Maurin." Elang berlari dengan sangat cepat.

Dia berusaha membantu warga untuk mengangkat angkot itu untuk menyelamatkan Maurin.

Maurin sudah menangis dan berteriak kesakitan. Tidak hanya dia, ada dua orang lainnya yang juga sama seperti Maurin.

"Lang, sakit!" Maurin menangis.

Tangan Elang bergetar hebat. Tubuhnya benar-benar sangat lemas. Tangannya juga terasa sangat kebas.

Sampai akhirnya, angkot terangkat sedikit. Salah satu warga langsung menarik Maurin dan dua orang lainnya.

Setelah dipastikan selamat, mereka menjatuhkannya kembali.

Elang langsung berjalan ke arah Maurin. Dia berjongkok, tangannya mengusap pipi gadis itu yang kini sudah dipenuhi oleh air mata. "Sakit, Lang." Maurin mencengkeram seragam milik Elang.

"Kita ke rumah sakit sekarang, ya."

"Mas, ambulans sebentar lagi datang."

"Lama! Biar saya yang bawa." Elang hendak membopong tubuh Maurin. Namun sayangnya, Elang hampir terjatuh.

Tubuhnya benar-benar tidak stabil.

Tangisan Maurin membuat dadanya semakin sakit. Dia khawatir, dia juga takut. Namun, sebisanya Elang tidak menunjukan apa yang dia rasa di depan Maurin.

"Mas—"

"Saya gak papa." Elang langsung menggendong Maurin tanpa aba-aba.

Sebelum itu, matanya tertuju pada bus yang masih berdiri dengan kokoh. Elang ingin marah, namun tidak bisa.

Ini kecelakaan. Dan bukan waktunya untuk Elang menyalahkan orang lain.

"Bertahan, Rin." Elang memegang kedua tangan Maurin agar melingkari perutnya dengan erat ketika keduanya sudah naik ke atas motor.

Elang melajukan motornya. Sesekali, dia menatap ke arah kaca spion. Maurin masih menangis. Bahkan, tubuhnya kini sudah lemas.

Kakinya tidak baik-baik saja. Dia juga pasti syok berat karena kecelakaan tadi.

Sampai akhirnya, keduanya sampai di rumah sakit. Elang kembali menggendong Maurin dan memanggil suster dengan tidak sabaran.

Setelah Maurin dibawa ke ruangan untuk ditangani. Di saat itu juga Elang ambruk dengan tubuh yang bersandar pada tembok di samping ruangan Maurin ditangani.

Elang terbatuk hebat. Ketika Elang menutup mulutnya, di tangannya ... Terdapat darah.

"Gue ... Kenapa?"

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Elang

Maurin

Helga

Spam next di sini

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro