Bagian 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Elang berdiri di depan kelasnya seraya menatap ke lapangan. Kebetulan, kelasnya berada di lantai kedua. Sehingga, dia bisa melihat keseluruhan lapangan dari sini.

Di sana, kelas Maurin tengah berolah raga. Jika biasanya Elang akan menggoda gadis itu, kali ini tidak. Dia memilih diam memperhatikan saja.

Kebersamaan Tomi dan juga Maurin masih menganggu pikirannya. Belum lagi, soal kejadian yang menimpa Elang kemarin malam.

Dia sebenarnya tak ingin ambil pusing atas masalah yang ada. Namun sialnya, mereka tidak sopan! Malah muncul begitu saja di kepalanya.

"Lang, tadi pagi gue lihat si Maurin sama si anak STM. Yang suka ikut nongkrong di warung depan itu, yang rambutnya panjang diiket."

"Tomi," jawab Elang.

"Nah! Cocok, ya. Si Tominya kelihatan macho."

"Dih, istighfar lo. Enggak boleh naksir sama sesama jenis, Din!" Elang melotot ke arah Udin yang kini ikut bergabung menatap anak-anak kelas 10 di lapangan sana.

Udin sontak saja menoleh ke arah Elang dengan pandangan tak terima. "Gue gemuk-gemuk gini sukanya sama cewek, Lang. Enggak usah ngadi-ngadi!"

"Ya kirain. Habisnya, lo ngomong si Tomi macho udah kayak cewek yang lagi naksir sama cowok. Kan gue jadi ngeri, Din."

Udin memutar bola matanya malas.

"Tapi, Lang. Beneran macho."

"Anjir, jauh-jauh lo dari gue!" Elang sontak saja melotot dan langsung menjaga jarak dengan Udin.

Udin melepas sepatunya. Kemudian, dia lempar pada Elang dan langsung mengenai pinggang cowok itu. "Kalau pun gue Homo, gue juga pilih-pilih kali, Lang!"

"Gak boleh ngomong gitu, lo! Homo beneran, nanti!"

"Amit-amit jabang bayi!" Udin mengusap perut buncitnya.

Melihat itu, Elang lantas tertawa keras. Tangannya terulur meraih sepatu milik Udin kemudian dia lempar pada pemiliknya. "Perut lo mah enggak ada jabang bayinya, Din. Adanya gorengan beli 4 bayar 2."

"Kampret!"

Elang akhirnya memilih masuk ke dalam kelas meninggalkan Udin sendirian.

Saat masuk ke dalam kelas, dengan percaya dirinya, Elang berjalan layaknya model dengan satu tangan yang dia lambaikan sepeti Miss Indonesia.

"Permisi, Cin, aing mau lewat." Elang menyenggol pinggul sekertaris yang tengah menulis di papan tulis.

Sehingga, hal yang terjadi setelahnya adalah ... Tulisannya tercoret kemana-mana.

Si sekertaris kelas mendengkus kesal. Dengan tidak manusiawi, gadis itu memukul Elang menggunakan sepatu miliknya sendiri.

"Aduh!" Elang mengusap pinggangnya.

"Bukannya nulis, malah kelayapan!"

"Iya-iya, galak banget, sih." Elang mencebikkan bibirnya kesal. Cowok itu memilih berjalan ke arah bangkunya dan memilih duduk.

Setelah duduk, bukannya langsung menulis apa yang ada di papan tulis, Elang malah menyobek kertas dan membuat pesawat kertas seperti biasanya.

Dan hal itu malah menjadi contoh. Bukan hanya anak laki-laki yang ikut-ikutan, bahkan, anak perempuan pun malah ikut-ikutan.

"Pesawat gue namanya Munaroh," kata Elang.

Cowok itu berdiri di atas meja. Kemudian, dia menerbangkan pesawatnya sehingga terbang mengitari kelas. "Munaroh, terbangnya yang lama. Nanti ketemu sama bang Ocit!" teriak Elang.

"Semangat, Munaroh!"

"Yah, Munaroh letoy. Gitu aja udah jatoh lo." Elang berdecak kesal ketika melihat pesawat kertasnya sudah jatuh di atas lantai.

Galang ikut berdiri di atas meja. Cowok itu memperlihatkan pesawat kertas hasil karyanya. "Nih, ini namanya Pesawat kicimpring!"

"Semangat Ceu Edoh!" Galang melepaskan pesawat kertasnya.

Hal itu sontak saja membuat Elang menatap pesawat milik Galang yang sudah terbang bebas di dalam kelas.

"Woi, Tar! Si Munaroh lempar sini, dong!" kata Elang.

Tara mengabaikannya. Gadis itu malah meraih headset dan menyumbat telinganya dengan benda itu.

Elang mengambil buku dan menyobeknya. Kemudian, dia remas dan dia lempar pada Tara. "Budek beneran lo!"

Tara menoleh ke arah Elang dengan pelan. Matanya menyorot tajam pada cowok itu. Kemudian, tangannya terulur meraih kertas yang Elang lempar, dan dia lemparkan balik pada si pelaku.

Namun, yang Elang lakukan adalah menghindar. Cowok itu menggoyangkan pinggulnya ke kanan dan ke kiri seraya meledek Tara. "Enggak kena, enggak kena!"

Brak!

"Lo bener-bener minta gue jual, ya!" Tara beranjak dari duduknya. Gadis itu bersiap membantai Elang. Namun, belum sempat Tara sampai, Elang sudah berlari mengitari kelas.

Hal itu tentunya tidak menganggu siapapun. Karena, teman-teman kelasnya sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.

Elang dan Tara masih sibuk berlarian mengitari kelas. Tentunya, Elang tidak hanya lari. Dia terus meledek Tara dengan perlakuan yang membuat Tara semakin kesal.

"Lari atau jalan, sih. Jauh banget. Makannya kaki agak dipanjangin dikit, Tar!" kata Elang.

Elang berlari dengan wajah yang menengok ke belakang. Tanpa diduga, dia menabrak seseorang hingga dirinya terjungkal di depan kelas.

Seisi kelas sontak menjadi hening dan duduk di kursi secara random.

Begitupun dengan Tara. Entah sejak kapan gadis itu sudah duduk di kursi paling belakang dengan tampang tanpa dosa.

"Nah, bagus, bagus. Aku suruh kau menulis, kenapa pula kau malah lari-lari seperti kerbau begitu?"

Elang mendongak. Cowok itu menelan salivanya susah payah kala melihat Pak Bonar.

Guru berusia 50 tahun dengan tubuh lumayan berisi dan kumis tebal. Jangan lupakan tampangnya yang garang dan suaranya yang lantang.

Beliau berasal dari Medan. Gaya bahasa yang digunakannya pun sudah pasti menggunakan logat tempatnya berasal.

"Eh, Bapak."

"Berdiri."

Elang berdiri. Dia mendengkus kala mendapati Galang yang tengah tertawa puas di kursinya.

"Aduhhh!" Elang memekik kencang kala telinganya ditarik tanpa aba-aba.

Dia meringis pelan seraya mengusap telinganya yang terasa panas setelah dilepaskan oleh Pak Bonar.

"Kau ini, satu hari saja aku minta kau tidak merusuh di kelas. Tidak bisa?" tanya Pak Bonar lagi.

"Iya, Pak. Enggak-enggak lagi. Ini terakhir," kata Elang seraya menunduk. "Kalau gak khilaf," gumamnya pelan.

"Ini, baju kau."

Elang kembali memekik kala pinggangnya dicubit satu kali namun begitu terasa kencang.

Elang cengengesan canggung. Dimasukkannya baju seragam ke dalam celana masih dengan dirinya yang ditatap oleh pak Bonar.

"Kau mau aku hukum?"

"Enggak, Pak. Janganlah."

"Tapi beramal baik, tidak menolak, bukan?" tanya pak Bonar. Kini, dia bicara diiringi dengan cengirannya dan kedua alis yang terangkat.

Bahkan, tangannya sudah merangkul bahu Elang.

"Aduh, Pak. Saya bukan orang baik," jawab Elang.

"Belajar jadi anak baik. Sekarang kau ke perpustakaan, aku lihat penjaga sedang bersih-bersih tadi. Daripada kau merusuh di sini, lebih baik kau bantu mereka, kan?"

"Loh, kok gitu, Pak. Kan—"

Pak Bonar mengangkat satu tangannya meminta Elang berhenti. "Aku kasih keringanan. Mana buku catatan kau. Kalau kau sudah menulis, aku biarkan kau tetap di dalam kelas."

Elang menghela napas pasrah. Pak Bonar ini memang sudah tahu kelakuan Elang seperti apa.

Ini bukan pertama kalinya Elang merusuh di dalam kelas.

"Yaudah, deh. Otw perpustakaan, Pak." Elang berhormat dengan lemasnya.

Melihat itu, tangan Pak Bonar terulur menepuk pundak Elang. "Nah, kan, sudah aku duga kau tidak mengerjakan tugas lagi."

Elang tercengir lebar. Lantas, dia mencium punggung tangan pak Bonar dan berlari meninggalkan kelas.

Kini, Elang berjalan menuruni anak tangga untuk sampai ke perpustakaan yang letaknya di lantai bawah. Selain itu, dia juga harus melewati lapangan.

"Lang, kelayapan mulu, lo!" sapa anak kelas lain yang sepertinya tengah mendapati kelas kosong. Mereka teman-teman tongkrongannya.

Tengah bermain volly bersama anak-anak kelas 10 yang tengah berolahraga.

"Biar orang-orang tahu gue masih hidup," jawab Elang.

Dia memilih meneruskan langkahnya. Sesekali, membalas sapaan teman-temannya.

Saat langkahnya melewati pohon rambutan, tatapannya tak sengaja bertemu dengan tatapan Maurin.

Gadis itu tengah meluruskan kakinya. Dia tidak sendiri, disampingnya ada teman-teman kelasnya.

Namun, ada yang aneh. Teman-temannya justru terlihat sibuk memperhatikan kaki Maurin yang entah kenapa.

"Anjir, gak usah diteken!" Maurin memukul seorang siswi laki-laki yang menekan kakinya. Bahkan, tatapannya dengan Elang sampai terputus.

Elang yang pada dasarnya tidak bisa berjauhan dengan Maurin, memilih menurunkan gengsinya dan berusaha melupakan kejadian kemarin.

Cowok itu berjalan menghampiri Maurin. Dia berjongkok di depannya. "Kenapa?" tanya Elang.

Seluruh teman-teman Maurin sontak saja mendadak diam dan menatap ke arah Elang tanpa terkecuali.

Begitupun Maurin. Dia kaget.

"Gak papa," jawab Maurin cepat. Dia membuang arah pandangnya enggan menatap Elang.

Kini, Elang memperhatikan lutut Maurin yang sedikit kebiruan dan juga terdapat luka di sana.

Elang menaikan tatapannya. "Ayo ke UKS," ajak Elang.

"Apaan, sih. Lo pergi aja, deh. Gue bisa sendiri, kok." Maurin merasa malu karena kini dirinya menjadi pusat perhatian.

"Bawa aja, Kak. Daritadi susah banget tuh di ajaknya." Salah satu teman sekelas Maurin mengompori.

Kini, hampir semua teman-teman Maurin memintanya untuk menyetujui permintaan Elang.

Akhirnya, Maurin pasrah. Dia berdiri dengan kaki yang sedikit pincang.

Merasa kasihan melihat gadis yang dia sayangi sulit berjalan, Elang akhirnya berjongkok di depan Maurin. "Ayo, naik."

"Lang, malu, ah."

"Lo malu deket sama gue?" Elang berbalik menatap Maurin dengan kesal.

Maurin memutar bola matanya malas. Wajahnya sudah terasa panas melihat teman-temannya yang menggoda Maurin secara terang-terangan.

Akhirnya, Maurin memilih menarik Elang untuk kembali berdiri.

"Ayo, jalan aja," ujar Maurin.

Elang pasrah. Dia memilih mengikuti kemauan Maurin. Agak sedikit khawatir juga melihat lutut Maurin yang terluka begitu.

•••

"Sakit, pelan-pelan, dong!"

"Ini udah pelan, Rin."

Maurin menepis tangan Elang yang tengah memegang kapas. Akhirnya, gadis itu memilih mengobati lukanya sendiri.

Elang berdecak pelan. Dia tidak bisa diam. Tangannya terulur menyentuh pipi Maurin yang kini terlihat sedikit membiru.

"Ini kenapa?"

"Gak tau. Tanya aja sama cewek lo!" jawab Maurin ketus. Tangan Elang ditepis olehnya.

Elang mengerjapkan matanya merasa bingung. Cewek? Siapa juga yang memiliki kekasih? Bahkan, pacaran saja tak akan pernah terjadi di dalam hidupnya.

"Kok cewek gue, sih?"

Maurin tak menjawab. Memilih sok sibuk dengan mengobati luka di lututnya sendiri.

Elang menghela napas pelan. "Gue kan gak punya cewek. Cewek gue gimana ceritanya coba?"

"Bohong banget."

"Gue beneran, Maurin. Yang ada lo tuh yang pacaran sama si Tomi. Aneh juga, kenal di mana coba? Bisa-bisanya gue gak tau."

Kini, bagian Maurin yang menatap tak terima ke arah Elang. Gadis itu memukul bahu Elang dengan kencang.

"Shh—" Elang meringis. Cowok itu memejamkan matanya menahan sakit.

Raut wajah Maurin seketika berubah panik. Tangannya kini memegang punggung tangan Elang yang berada dipundak tepat Maurin memukulnya. "E-Eh, bahu lo kenapa?" tanya Maurin.

"Gak papa." Elang menepis lembut tangan Maurin.

Cowok itu menjauh dan duduk di brankar lain. Dia berusaha mengontrol raut wajahnya menjadi biasa saja.

"Bahu lo kenapa, Elang?"

"Gak papa."

"Lo kok nyebelin, sih? Gue nanya beneran, tau!"

"Kemarin, waktu gue nanya lo kenapa, lo juga gak mau jawab." Elang menatap Maurin kesal.

Gadis itu melepas sepatunya kemudian ia lempar pada Elang. Elang berhasil menangkapnya. Cowok itu menjulurkan lidahnya. "Meleset nih, yee!"

Maurin memutar bola matanya malas.

Lama keduanya terdiam. Elang bahkan sampai lupa tujuannya keluar kelas untuk menjalankan amal baik yang diperintahkan oleh pak Bonar.

Maurin juga sama. Dia bingung harus mengatakan apa. Sejujurnya, dia senang ternyata Elang sama dengan dirinya. Mereka tidak bisa berjauhan lama-lama.

"Kak Helga pacar lo ya, Lang?" Maurin akhirnya membuka suara.

"Eh, buset." Elang tertawa keras.

Melihat Elang tertawa, Maurin mendengkus kesal. Matanya memicing. "Gue nanya serius!"

"Lo dapet gosip dari siapa, sih lagian?" tanya Elang heran.

"Tau ah."

Tawa Elang seketika berhenti. Tadi, ketika Elang bertanya dari mana luka pipi Maurin berasal, Maurin bilang ... Tanya cewek lo. Dan sekarang, Maurin bertanya Helga pacarnya Elang atau bukan.

Jangan bilang ... Helga yang melabrak Maurin kemarin?

"Helga ngapain lo?"

"Hah?"

"Pipi lo, pasti gara-gara dia, kan?" tanya Elang.

Elang baru ingat. Selain Helga sering menongkrong dan bergabung dengan anak laki-laki, dia juga tersohor menjadi tukang labrak di angkatannya.

"Dia bilang apa aja?" tanya Elang. Nada suaranya tak lagi santai.

Maurin tak berani menatap Elang. Gadis itu menunduk menatap ubin ruangan UKS.

"Jawab gue, Rin."

Maurin masih diam.

"Kalau lo gak mau jawab, jangan harap Helga masih baik-baik aja hari ini." Elang berkata begitu semata-mata karena dia tahu Maurin adalah orang yang tidak tegaan.

Biarpun terlihat jutek, gadis itu memiliki hati yang sangat lembut.

"Dia bilang, gue kegatelan. Gue disuruh jauhin lo. Dia juga bilang, dia pacar lo. Dia juga bilang, sebelum gue masuk sekolah ini, dia yang lebih dulu deket sama lo."

"Terus? Pipi lo?"

"Dia nampar gue waktu gue bilang, gue lebih dulu kenal lo daripada dia. Dia enggak terima."

Elang menghela napas kasar. "Kenapa enggak bilang dari kemarin, sih?"

"Gue takut lo nyakitin dia, Lang."

"Dia juga nyakitin lo, Maurin!"

"Dia cewek, Lang. Mau sejahat apapun dia, dia bukan tandingan lo! Lo enggak boleh nyakitin cewek!"

Elang mengusap wajahnya dengan kasar. Akhirnya, cowok itu memilih beranjak dan keluar dari UKS.

"ELANG, LO MAU KEMANA?!"

Elang tak menjawab. Dia sudah berlalu pergi.

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Elang

Maurin

Spam next di sini

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro