Bagian 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Elang keluar dari dalam mobil bersama Papanya. Anggara tersenyum seraya merangkul putranya dengan bangga.

Namun, kala kakinya menginjak ambang pintu, tatapan semua orang langsung tertuju pada keduanya.

Di saat Anggara tersenyum, Elang sebaliknya. Menelan saliva susah payah, dan ikut melangkah bersama Papanya.

"Sehat, Ma?" tanya Anggara pada Wanita paruh baya yang duduk di kursi seorang diri.

Sedangkan yang lainnya—Keluarga besar Elang, duduk hingga memenuhi ruangan yang ada.

"Baik."

"Omah." Elang mengulurkan tangannya hendak mencium tangan. Namun, yang Elang dapatkan hanyalah tatapan sinis yang membuat Elang tersenyum kecut.

Akhirnya, Elang memilih menarik tangannya yang sama sekali tidak dibalas oleh sang Nenek.

Elang hendak duduk. Namun, kursi sudah sangat penuh. Akhirnya, dia memilih melangkahkan kakinya ke luar dan duduk di teras rumah seorang diri.

Tak ada yang menyusul. Papanya sendiri, kini tengah sibuk ditanyai ini itu oleh Tante dan Omnya yang lain.

Elang meraih bungkusan rokok di saku jaketnya. Dinyalakannya rokok itu, kemudian dia menyalakannya.

Pikirannya menerawang kejadian beberapa tahun lalu.

Dulu, di tempat ini ... Elang masih sama seperti anak lainnya. Bermain dan berlarian bersama sang sepupu.

Dulu, mereka kerap kali tertawa bersama. Menangis, bahagia, namun semuanya berubah dalam sekejap mata karena kesalahan yang bahkan tidak Elang sengaja.

Elang memejamkan matanya kuat.

Tangannya mengepal. Dia menunduk, merasakan sesak dibagian dadanya. Kemudian, tangannya terulur menepuk dadanya. Asap rokok terasa mencekik di tenggorokan hingga membuat matanya terasa perih.

Elang terbatuk. Dibuangnya rokok itu, kemudian dia injak begitu saja.

Ia menghela napas pelan kala sesaknya perlahan mereda. Disandarkannya punggung pada tembok, kemudian matanya terpejam dengan sangat erat.

"Gak tau diri, ya. Udah nungguin daritadi, sekarang malah diem di sini."

Ucapan sinis itu, sontak membuat Elang membuka matanya. Di ambang pintu, sepupunya berdiri dengan tatapan sinis mengarah padanya.

"Oh, maaf. Gue kira masih pada ngobrol," jawab Elang.

Namun, sepupunya itu—Arina namanya. Memilih melangkah masuk ke dalam rumah.

Elang akhirnya berdiri. Dia melangkah memasuki rumah. Saat dirinya sampai di meja makan, orang-orang menatapnya dengan pandangan sinis.

Namun, yang Elang lakukan adalah tersenyum lebar. "Maaf, ya," kata Elang.

"Anak kamu, Ang. Kelakuannya enggak pernah berubah."

Senyum di bibir Elang luntur kala Omahnya tiba-tiba berkata begitu pada Papanya.

Elang sontak mengalihkan pandangannya pada sang Papa. Namun, yang Anggara lakukan hanyalah tersenyum. Dia mengangguk pada Elang seolah mengatakan tidak apa-apa.

Elang memilih duduk di samping Papanya.

"Muka kamu kenapa, Lang? Gue tebak, deh, lo pasti masih suka berantem gitu, ya. Ya, biasalah, manusia sok jagoan kayak lo ... Kerjaannya apa lagi kalau bukan nyari masalah?"

Elang tersenyum mendengar sindiran yang keluar dari mulut sepupunya yang lain.

"Om Anggara pasti pusing banget deh ngurus lo."

"Kok Arina ngomongnya gitu, sayang? Kan yang biayain Elang, Om. Om enggak merasa pusing kok ngurus Elang."

Ungkapan Anggara sontak membuat Arina bungkam. Namun, dia masih saja menatap sinis pada Elang.

Elang menghela napas lelah. Dia ingin segera pergi dari tempat ini. Jika saja Papanya tidak meminta, Elang tidak akan mau berada di sini.

"Itu, tuh, yang bikin dia semakin jadi. Semakin dibiarin semakin jadi beban dia, Ang," sahut salah satu Tantenya Elang.

"Pembawa sial. Lagian kamu ngapain bawa dia ke sini? Emangnya Mama undang dia juga?"

"Dia yang kamu maksud anakku. Maksud kamu apa bilang anak aku pembawa sial, Yul?" tanya Anggara pada Yuli—Kakaknya.

"Lho, memang begitu kenyataannya kok. Kamu enggak inget dia yang udah bunuh Isteri kamu?"

Deg

Elang sontak semakin mematung di tempatnya. Perkataan Omahnya, membuat kejadian masa lalu kembali berputar di kepalanya.

Tangannya mengepal dengan erat.

Elang menunduk berusaha mengatur emosinya. Dia tidak boleh menyakiti siapapun di sini. Cukup mereka saja yang menyakiti Elang, Elang tidak boleh membalas mereka.

"Ma, bukan Elang!" Anggara tak terima atas tuduhan itu.

"Dia juga yang bikin Haikal masuk rumah sakit jiwa." Kini, Arina kembali berkata.

"Gue benci sama lo, Lang."

Elang mendongak. Menatap Arina yang kini tengah menatap ke arahnya juga.

"Berhenti menyudutkan Elang. Anggara ke sini karena Anggara masih menghargai kalian sebagai keluarga. Kalau kalian enggak bisa menghargai kehadiran Elang, Anggara rasa ... Ini hari terakhir Anggara ke sini!"

"Lihat, kurang bukti apa lagi, Ang? Kamu rela ninggalin keluarga kamu cuman demi belain pembunuh dan pembawa sial kayak dia?!"

"Ma! Udah berapa kali Anggara bilang? Elang enggak tahu apapun!"

"Dia penyebabnya Anggara!"

Elang memegang kepalanya yang terasa pening mendengar keributan demi keributan yang menyudutkan dirinya.

Anggara masih mati-matian membelanya. Keributan itu semakin bertambah seiring dengan yang lainnya ikut menyahut.

"Udah, cukup!" Elang menggebrak meja.

Seisi ruangan berhenti, mereka menatap ke arah Elang.

Napas Elang naik turun. Dia berusaha mati-matian menahan sesak di bagian dadanya. "Kalau kehadiran Elang memang bikin enggak nyaman, biar Elang yang pergi. Enggak usah ribut kayak gini."

"Enggak usah paling tersakiti lo, Lang!"

"Lo diem!" Elang menunjuk ke arah Arina.

Arina sontak saja menutup mulutnya. Namun, tangan Elang ditepis oleh Abangnya Arina.

Dia menatap Elang tajam. "Punya nyali segede apa lo berani nunjuk adik gue?!"

Elang mengepalkan tangannya. Dia membalas tatapan Andri—Abangnya Arina dengan tatapan dingin.

"Jawab, bangsat!"

Anggara menahan dada Elang dan menyuruhnya untuk tenang. Dia menoleh menatap Mamanya. "Ma, Anggara pamit. Maaf sudah bikin keributan di sini."

"Ayo, Nak." Anggara berdiri dan mengajak Elang untuk pergi.

Tatapan Elang masih terarah pada Andri. Namun, dengan segera Anggara menarik Elang.

"Cih! Pembunuh, gak tahu diri!" cibirnya. "Sama aja kayak Nyokapnya. Sama-sama gak tau diri."

Elang yang awalnya hendak melangkah pergi, mendadak berbalik dan berjalan ke arah Andri.

Ditariknya lelaki itu, kemudian diberinya bogeman mentah oleh tangannya sendiri.

Suara pekikan yang berasal dari keluarganya memenuhi sesisi ruangan.

BUGH!

"Lo boleh hina gua, tapi jangan sesekali lo hina nyokap gua, anjing!" Elang mengatakan itu dengan napas tersengal.

Namun, pukulannya tak berhenti. Dia terus meninju layaknya memukul benda mati.

Anggara menarik putranya dengan kuat. Jika dibiarkan, Andi bisa mati hari ini juga.

"Lawan gue, bangsat! Jangan cuman modal bacot lo, anjing!"

"Istighfar, Lang, Istighfar." Anggara mengusap bahu putranya masih dengan menahan tubuh Elang agar tidak kembali menyerang Andri yang sudah terkapar.

Anggara memejamkan matanya kuat. Sedaridulu, keluarganya selalu dipandang sebelah mata. Apapun yang mereka lakukan, akan selalu dianggap salah.

Berbeda dengan yang lainnya.

Seperti Andri sekarang. Apa yang dia lakukan sudah termasuk tidak sopan dan tidak beradab. Namun, mereka semua mewajarkan dan masih kekeuh menyalahkan Elang karena kejadian masa lalu yang bahkan sama sekali tidak disengaja.

"Kalau sampai Andri kenapa-kenapa, jangan harap kamu selamat, Elang."

"Gak usah selamat sekalian. Biar dia masuk neraka! Dunia enggak cocok buat setan kayak dia!"

"Bawa anak kamu itu pergi, Anggara! Sudah salah bukannya minta maaf, malah berkata kasar begitu!" Napas Omah memburu.

Dia menghampiri Elang yang masih ditahan oleh Anggara.

Plak!

Wajah Elang menoleh ke kiri. Dia memejamkan matanya. Tamparan itu ... Tepat mengenai luka goresan di pipinya.

"Tidak tahu malu!"

"MA!"

"Pa, udah. Elang yang salah." Elang menahan Papanya yang hendak membelanya lagi.

Akhirnya, Anggara memilih pergi tanpa pamit meninggalkan acara makan malam yang mendadak kacau ini.

•••

"Elang minta maaf, Pa."

Anggara menoleh. Dia tersenyum tipis. Tangannya terulur menepuk puncak kepala Elang dengan pelan. "Enggak papa. Kamu gak salah, kok."

"Gara-gara Elang, Papa jadi jauh sama keluarga Papa."

"Lang, yang nemenin Papa setiap hari itu kamu. Yang tahu susah, senang, capek, dan semuanya itu kamu. Mereka ada di saat Papa susah? Enggak, Lang. Jangan merasa bersalah gitu. Kamu enggak salah, mereka yang enggak mau ngerti."

Elang mengangguk. Dia menyandarkan punggungnya pada jok mobil.

Untungnya, dia masih memiliki Papa yang selalu ada seperti Anggara.

Dia begitu menyayangi Elang. Tak pernah sekalipun dia menyudutkannya atas kejadian masa lalu yang pernah terjadi.

"Makannya, kamu harus jadi orang yang kuat. Buktiin sama mereka, kalau kamu enggak seburuk itu. Papa percaya sama kamu, Lang."

"Makasih, Pa," lirih Elang.

Anggara menghela napasnya pelan. Dia memilih fokus pada jalanan yang lumayan lancar malam ini.

Kejadian tadi, benar-benar diluar dugaannya. Jika saja dirinya tahu akan kejadian begini, dia tak akan memaksa Elang untuk ikut dengannya.

Sekuat apapun putranya, Anggara yakin hati kecilnya menangis akan hal itu.

"Papa udah lama enggak ngunjungin Haikal. Kamu ... Gimana, Lang?"

Elang diam.

Haikal Januar. Kakak lelakinya yang kini berumur 20 tahun. Dia mengalami gangguan pada kejiwaannya karena ulah Elang.

Mereka benar. Elang adalah pembawa sial.

"Elang ... Juga sama, Pa," jawab Elang pelan.

"Mau ke sana?" tanya Anggara.

Elang diam. Dia menatap Papanya dengan ragu. "Sekarang?"

"Kalau kamu enggak siap, kapan-kapan aja. Biar Papa yang masuk, kamu nunggu di mobil."

Elang mengangguk pelan. Elang bukannya tidak siap.

Haikal, selama ini ... Dia yang Elang maksud adalah Haikal. Dia yang kerap kali membuat Elang babak belur adalah Haikal.

Tidak ada yang mengetahui itu.

Bohong jika Elang berkata dirinya sudah lama tidak mengunjungi Haikal. Nyatanya, dia mengunjungi Haikal setiap seminggu dua kali.

Dia selalu datang dengan perasaan bersalah, meminta maaf, dan berakhir dirinya yang disakiti oleh Haikal.

Tak jarang Elang terkena pukulan benda-benda yang Haikal bawa secara acak di ruangannya sendiri.

Kini, mobilnya memasuki wilayah rumah sakit jiwa.

Keduanya turun. Anggara berjalan menuju ruangan anak pertamanya.

Namun, ketika sampai di sana, Elang melihat Haikal tengah tertawa bersama seorang Dokter wanita.

Elang tersenyum tipis. Dia mengenal Dokter itu. Namanya Amanda. Dokter yang sangat baik hati.

"Pa, Elang nunggu di sini aja," kata Elang. Dia takut merusak mood Abangnya di sana.

"Yaudah, Papa masuk, ya."

Elang mengangguk. Dia memilih berjalan menjauh dan duduk di taman sendirian.

Namun, Elang masih bisa melihat keberadaan Abangnya di sana. Kedatangan Papanya, membuat senyum Haikal kembali mengembang.

Dokter Amanda, Haikal, dan juga Papanya tersenyum sangat lebar. Bahkan, Elang selalu melihat tatapan tulus Haikal pada Dokter Amanda.

"Andai kondisi lo enggak kayak gini, Bang. Gue pasti bisa ikutan bercanda di sana, kan?" ucap Elang pelan.

Bang, Maaf atas apa yang menimpa lo sekarang. Kalau gue bisa, gue pengen waktu diulang lagi. Gue mau memperbaiki semuanya, gue mau jadi anak yang baik biar semua orang enggak menyudutkan gue seperti sekarang.

Selain itu, gue rasa, kalau aja dulu gue enggak melakukan kesalahan itu ... Kita masih jadi Abang Adik yang selayaknya.

Gue minta maaf, Bang.

•••

Esoknya, pagi hari sekali ... Elang sudah siap dengan seragam sekolahnya. Cowok itu tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin.

Meraih tasnya, dia melangkah meninggalkan kamar tidurnya yang selalu menjadi tempat ternyaman.

Papanya sudah berangkat bekerja. Katanya, dia ada meeting.

Akhirnya, Elang memilih langsung berangkat setelah mengunci pintu rumah dan gerbang.

Ketika dirinya naik ke atas motor, dia menoleh menatap rumah Maurin. Di seberang sana ... Maurin tengah berdiri menatapnya.

Namun, dia tidak sendiri. Dia bersama Tomi ... Lagi?

Elang mengembuskan napas pelan. Akhirnya, dia memilih menstater motornya.

"Lang!" panggil Tomi di seberang sana.

Elang mengangkat satu tangannya dan tersenyum tipis. Sebelum akhirnya, dia memilih berlalu menjalankan motornya.

Bohong jika Elang bilang dirinya baik-baik saja.

Hatinya benar-benar tidak terima akan itu. Namun, marah pun untuk apa? Elang tidak ada hak akan itu.

Elang sadar, perasaannya pada Maurin bukan sekedar sahabat. Dia memiliki perasaan lebih pada gadis itu.

Namun, dirinya sendiri selalu menekankan agar dia tak menjalani hubungan lebih dengan Maurin atau gadis manapun.

Tak ada satupun di antara mereka yang pantas untuk Elang.

Tidak ada.

Sampai beberapa menit kemudian, Elang sampai di wilayah sekolah. Kali ini, dia memarkirkan motor di parkiran sekolah. Tidak di warung depan.

Cowok itu memilih turun.

"Lang, tumben sendiri. Dedek gemesnya mana?"

"Apa? Mau jadi dedek gemes gue? Ogah ah, enggak cocok. Muka lo kayak Tante girang." Elang menyahut salah satu Kakak kelas yang cukup akrab dengannya.

Namanya Helga. Si Leadis dari anak kelas 12. Dia baik, hanya saja ... Dandanannya betulan seperti tante-tante. Terlalu berlebihan.

"Yeu! Eh, anter gue, yuk ke depan. Gue laper, nih!" kata Helga.

Elang berpikir sejenak. "Bensin belinya pake duit, Ga."

"Yaelah, gue isi full tank."

"Yaudahlah, gas."

Helga langsung naik ke atas motor Elang. Dan akhirnya, Elang memilih membawa motornya kembali keluar kawasan sekolah.

Saat melewati halte, tak sengaja Elang berpapasan dengan Tomi dan juga Maurin.

Maurin terlihat diam. Dia menatap Elang dengan sorot sedih. Tatapan mereka sempat bertemu, sebelum akhirnya ... Elang memutuskan dan memilih menancap gasnya.

Dan tanpa mereka sadari, hubungan yang awalnya begitu terjalin erat, mendadak renggang hanya karena kesalah pahaman yang tidak mau mereka jelaskan.

TBC

Gila ini mah panjang banget part-nya😭

Gimana kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Elang

Maurin

Helga

Papanya Elang

Keluarga Elang

Tomi

Aku?

Jangan lupa share cerita ini juga ya♥️

Spam next di sini

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro