Bagian 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Polisi nemu 3 korban. Pertama Helga, satu pengunjung, dan satu lagi ... Mungkin temen lo."

Bayu menunduk. Cowok bertato itu mengepalkan kedua tangannya di atas meja.

Gara di kantor polisi. Setelah membawa Elang ke rumah sakit, dia langsung menghubungi Galang untuk menunggu Elang di sana.

Maurin belum Gara kabari. Gara dengar dari Galang, Ibunya Maurin baru saja meninggal kemarin.

Namun, Tomi mungkin sudah diberitahu oleh Galang.

"Mereka meninggal."

"Gue masih enggak ngerti kenapa lo bisa kenal sama Elang. Gue juga enggak ngerti kenapa lo lakuin semua ini." Gara kembali berbicara.

Bayu menunduk. "Gue salah. Enggak ada alasan buat gue membenarkan diri gue."

"Elang salah apa sama lo?"

"Gue cuman mau selamatin adik gue buat keluar dari sana, Bay. Cuman karena hutang Tante gue ke Bokap lo, dia yang kena imbasnya. Bokap lo enggak punya belas kasihan sedikitpun. Gue udah janji buat bayar hutangnya dengan syarat gue minta Adik gue keluar dari sana."

"Bokap lo enggak kasih. Dia malah minta gue buat jadi mata-mata Elang. Dan berakhir kayak gini. Seenggaknya, gue tenang Adik gue udah enggak dipaksa buat diem di sana." Bayu menghela napas pelan.

Gara memicingkan matanya. "Lo lega adik lo keluar, dan lo ... Udah bunuh temen lo sendiri, Bay."

"Selain itu, lo juga udah bikin Elang sekarat!" sambung Gara.

Bayu mengangguk. "Gue tau. Gue ... Siap buat nanggung semuanya. Sekalipun dihukum mati."

Bayu mendongak. Dia tersenyum dan menepuk bahu Gara beberapa kali. "Tolong sampaikan maaf gue sama Elang."

"Bokap sama Abangnya Elang ... Lo yang bunuh?" tanya Gara.

Bayu mengangguk.

Gara memejamkan matanya kuat. Ingin sekali dia menghajar orang di depannya ini.

Namun, kesalahan utama ada pada Papanya dan wanita bernama Yuli itu. Bayu diancam, Bayu hanya ingin menyelamatkan Adiknya. Namun, jalan dia yang salah.

Semua yang terjadi ... Biarkan polisi yang menangani mereka.

Gara beranjak. "Gue balik."

Setelah mengatakan itu, Gara memilih melangkah pergi meninggalkan kantor.

Barang bukti sudah dia serahkan. Ketika diberi pertanyaan, Gara menjawab dengan jujur apa yang dia tahu.

Bukan Elang yang pembawa sial. Namun mereka yang enggan mengerti.

Bukan Elang yang pembawa bencana, namun semua terjadi hanya karena rasa dendam dan benci.

Semuanya merambat dan mengalir begitu saja. Dendam masa lalu yang tidak Elang lakukan ... Justru malah terbawa sampai masa kini dan membahayakan semua orang.

Pada dasarnya, jika sudah benci apapun yang Elang lakukan ... Selalu salah di mata Yuli.

•••

Gara baru saja selesai melaksanakan shalat subuh di mushala rumah sakit. Cowok itu kini berjalan menyusuri koridor menuju tempat di mana Elang di rawat.

Dia belum sadarkan diri. Galang bilang, kondisinya kritis.

Selain itu, Gara dan juga Galang menemukan satu fakta.

Elang ... Mengidap penyakit kanker paru-paru.

Penderitaan apa lagi yang sebenarnya harus Elang rasakan? Setelah kehilangan Papanya, Abangnya, disiksa oleh Papanya yang tak lain atas suruhan Tantenya sendiri, kini ... Gara malah mendapat kabar seperti itu.

"Semalem, gue nemenin Maurin sama Tomi. Tomi juga bawa ceweknya. Enggak lama, Nenek Maurin datang. Dia mau bawa Maurin pergi dari sini. Gue enggak tau gimana perasaan Elang kalau dia tahu soal ini." Galang tiba-tiba saja berbicara ketika Gara sudah berdiri di sampingnya.

"Tomi udah gue kasih tau soal Elang. Tapi, gue juga udah minta sama dia buat enggak kasih tau Maurin dulu. Kasihan," sambung Galang.

Mata mereka menatap ke arah Elang yang tubuhnya dipenuhi oleh alat medis dibalik jendela yang tidak ditutupi gorden.

"Maurin kecewa banget karena Elang enggak ada. Semaleman dia enggak mau makan."

Gara sudah menceritakan semua yang terjadi pada Galang. Selama ini, Elang benar-benar melewatinya sendirian.

"Elang enggak pernah cerita ke gue, Gar. Waktu di depan makam keluarganya aja, dia cuman senyum. Kita juga enggak akan tau dia enggak baik-baik aja kalau kita enggak lihat Elang dipukul sama Neneknya di depan kita waktu Bokapnya meninggal." Galang tertawa pelan, "Ternyata apa yang dia alami lebih parah daripada itu ya, Gar," sambung Galang.

Gara mengangguk pelan. "Andai gue tau rencana Bokap gue, mungkin ... Kejadiannya enggak akan kayak gini." Gara terkekeh pelan menatap Elang yang terbaring di sana.

Galang menepuk bahu Gara. "Yaudah, yang penting semuanya udah kelar. Tinggal nunggu Elang sadar."

Gara berjanji, setelah Elang sadar ... Dia yang akan berada di sisinya. Gara akan menebus semua kesalahan Papanya, walaupun Gara rasa tak setimpal dengan rasa sakit Elang.

Tapi setidaknya, Gara akan menjaga Elang dan menemaninya agar Elang sembuh dari penyakit yang ada di dalam tubuhnya saat ini.

"Helga ... Gimana?" tanya Galang.

"Jam 6 pagi akan segera dimakamin. Untungnya polisi nemu ponsel punya Helga. Gue juga udah kasih kabar sama Bokapnya. Katanya, dia langsung berangkat ke sini."

"Sekarang ...."

"Helga udah di antar ke rumahnya sama ambulans. Jenazahnya di urus di sana."

Galang menganggukkan kepalanya pelan. Sudah Papanya, Abangnya, Mamanya Maurin, dan sekarang Helga.

"Gue bentar lagi mau ke sana. Lo mau ikut atau nunggu Elang?" tanya Gara.

Galang menatap Elang sebentar. Sebelum akhirnya, dia beralih menatap ke arah Gara. "Gua ikut."

"Gue kabari Tomi dulu."

•••

"Beuh, Nek, si Tomi tuh, ya. Dulu, genit banget. Udah mirip titisan buaya, dia. Semua cewek dia gombalin."

Maurin sedaritadi terkekeh pelan kala mendengar cerita dari Sheilla—Kekasih Tomi.

Sejak semalam, Sheilla yang menemaninya di dalam kamar. Dia berkali-kali meminta Maurin untuk makan. Sesekali, dia menampilkan wajah judes namun terlihat menggemaskan ketika dia memarahi Maurin karena dia tidak mau makan.

Namun, sia-sia. Maurin malah mengharapkan kehadiran Elang yang tiba-tiba saja menghilang setelah dirinya dibawa oleh polisi sebelum Shanna dimakamkan.

Sheilla tentunya tidak menyerah. Dia terus membujuk Maurin dengan segala cara. Dan akhirnya, Maurin mau makan walau hanya sedikit.

Neneknya Maurin sampai kemarin malam. Dia juga sudah mendengar cerita soal Papanya yang berselingkuh dan kini berada di kantor polisi.

Neneknya meminta Maurin untuk ikut bersamanya. Katanya, sekalian menjalani terapi kaki.

Namun, Maurin masih diam. Dia malah memikirkan Elang yang tak kunjung datang.

Kini, di meja makan ... Tomi, Maurin, Sheilla dan Neneknya Maurin duduk dengan ocehan yang terus keluar dari mulut Sheilla.

Tomi tak bereaksi apapun. Dia sudah mendapat kabar dari Galang soal Elang dan Helga sebelum dia pamit pergi dari rumah Maurin jam dua malam tadi.

Dia berpesan untuk tetap menjaga Maurin dan akan terus memberikabar soal kondisi Elang.

"Terus sekarang masih Buaya?" tanya Neneknya Maurin seraya tertawa.

"Masih. Kemarin aja pas Sheilla dateng ke sini, dia lagi usap-usap bahu Maurin. Emang modus dia tuh!"

Tomi mendengkus pelan mendengarnya. Sheilla memang cerewet.

Dia juga selalu menampilkan wajah kesal jika sudah membicarakan soal Tomi. Bahkan, pipinya akan mengembung dan membuat Tomi gemas untuk tidak mencubit atau menciumnya.

Namun, sekarang ada orang lain. Tidak enak juga. Ditambah, pikirannya tengah tertuju pada Elang.

"Pengen banget Sheilla tonjok, tuh. Tapi, yaudahlah. Buat sekarang dimaafin. Tapi, Rin, awas aja kalau lo minjem Tomi lagi. Gak boleh pokoknya!" Sheilla menatap Maurin dengan tatapan marah yang bercanda.

Maurin tertawa. "Enggak, lah. Masa iya minjem terus."

Tring!

Tomi meraih ponselnya. Cowok itu langsung beranjak dan meraih jaket kala membaca pesan masuk itu.

Galang : Gue sama Gara mau ke rumah Helga. Lo bisa jaga Elang di rumah sakit sebentar?

"Anu ... Tomi ke luar dulu sebentar ya, Nek. Ada urusan penting banget!" Tomi mencium punggung tangan Neneknya Maurin.

Setelah itu dia hendak berjalan pergi. Namun, jaket bagian belakangnya ditarik oleh Sheilla. "Terus, gue gimana? Lo tinggalin, gitu? Gue ke sini pake ojeg! Duit gue abis!"

"Tunggu bentar. Nanti ke sini lagi, Yaaang!"

"Enggak! Mau ikut." Sheilla berdiri. Gadis itu meraih tasnya kemudian pamit pada Neneknya Maurin dan juga Maurin.

Setelahnya, mereka berdua pergi. Sesekali Sheilla marah-marah dan Tomi pasrah iya-iya saja mendengarnya.

Maurin yang melihat itu tertawa pelan. "Elang kalau Maurin marahin bukan ngangguk-ngangguk. Dia malah balik marah sama Maurin. Kayak anak kecil." Maurin terkekeh pelan.

Namun, dia mendadak sedih. Sampai hari sudah berganti, Elang tak juga kembali menemui Maurin.

Apa terjadi sesuatu? Begitu pikirnya. Namun, ponsel milik Elang sama sekali tak bisa Maurin hubungi.

"Elang di mana, Rin?"

"Kemarin dibawa polisi. Tapi sampai sekarang engga balik lagi."

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Elang

Maurin

Helga

Gara

Tomi

Sheilla

Galang

Spam next di sini

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro