12. Good Night

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kak Dio, makasih udah antar aku pulang."

"Kita masih di depan mobil, Ca."

Dio membukakan pintu untuknya. Caca beruntung bisa bertemu laki-laki itu mengingat rintangan di depan gerbang yang tidak mudah dilewati. Kabar kepergian salah satu anggota keluarga laki-laki itu didengarnya dari obrolan Daniel dan beberapa temannya di kantin. Ia jadi menemukan jawaban kenapa nomor ponsel Dio tidak aktif dua hari belakangan.

Daniel tidak mencurigainya yang tiba-tiba muncul saat laki-laki itu duduk sendiri. Awalnya, Daniel menawarkan Caca ikut rombongan. Hanya saja ia menolak dan berkata ingin pergi sendiri. Suara ketukan pada kaca membuat Caca menoleh ke kanan, terdapat bocah seumuran SD yang memegang gitar.

"Kak, boleh dibuka enggak?"

Dio yang tengah mengamati pergantian lampu menoleh. "Buka aja."

Caca membuka jendela mobil, senyumnya mengembang. Ia mengambil beberapa lembar uang dari dompet. "Halo."

"Permisi, Kak ... mau ngamen."

Bocah itu mulai bernyanyi seadanya diiringi gitar kecil. Kaus lusuh yang robek di bagian leher membuat Caca terenyuh. Ketika hendak mengulurkan uang, Dio menahan tangannya.

"Kasih yang ini aja."

Caca mengangguk seraya tersenyum lebar. Ia menyerahkan nominal uang yang jauh lebih besar pada bocah itu. Lampu lalu lintas berganti warna, teriakan ucapan terima kasih terdengar saat mereka melaju. Caca melambaikan tangan, memamerkan deretan giginya ke arah bocah itu. Wajah lampu merah Indonesia selalu dipenuhi orang-orang yang membantu para pengendara tersadar akan banyak hal.

Salah satunya tukang loper koran yang sempat Caca lihat tadi selain si pengamen cilik. Di zaman serba digital ini, mereka masih setia menjajakan dagangan meski tahu kalau penggemar berita sudah beranjak meninggalkan koran. Satu hal yang Caca yakini karena pemandangan itu, hidup bisa terus berjalan bermodalkan kegigihan dan rasa percaya yang besar. Contohnya tukang loper koran yang gigih menjajakan dan percaya beberapa pengendara akan membeli dagangan mereka.

"Kak, suka deh sama kalimat ini ... life is like an ice cream, enjoy it before it melts," kata Caca saat melewati papan reklame digital.

"Kenapa memangnya?" Dio melirik gadis yang tengah mengamati jalanan di depan mereka.

"Iya, nyambung banget sama istilah nothing last forever, Kak." Kini Caca memiringkan kepala. Bibirnya mengerucut disusul mata yang menyipit. "Jangan sampai satu masalah bikin kita lupa menikmati hidup. Mau manis, asin, pahit, tetap harus dinikmati atau kita bakal menyesal, es krim kita sudah lebih dulu meleleh-"

"Karena hidup ini sesingkat makan es krim."

Dio memotong penjelasan Caca, pandangan mereka saling mengait. Senyum gadis itu merekah dan Dio menyambutnya. Ada banyak hal yang sulit dipahami ketika mereka bicara berdua. Ia bisa mengatakan dan menyetujui sesuatu yang sesungguhnya berhasil menyentil ego.

"Makasih udah datang," lanjut Dio.

"Makasih aja nih?"

Dio tertawa kecil. Ia mengembalikan fokus pada jalan. "Ya udah es krim Indomaret."

Caca mengernyit, tapi dua sudut bibirnya tertarik. "Mana ada, Kak! Adanya tuh ...." Ia menyebutkan berbagai merk es krim.

"Ya pokoknya semua es krim yang ada di Indomaret boleh kamu bawa."

"Bawa pulang? Deal!" Caca mengacungkan jari kelingking. Sorot matanya secerah mentari pagi.

"Bawa ke kasir lah. Kamu mau diteriakin maling?"

Caca memalingkan wajah sambil menyingkirkan helai rambut di dahi. "Ih, sumpah jayus abis."

Mereka sama-sama tertawa kecil. Saat mereda, pikiran Dio berkelana bersama sosok kakak perempuannya yang belum lama dimakamkan. Ditha meninggal di usia semuda itu karena overdosis. Apa Ditha kemarin-kemarin menikmati hidupnya seperti ungkapan Caca tentang es krim? Tiba-tiba rasa bernama sesal hinggap. Sekian dering telepon Ditha yang tak ia jawab hari itu, mungkin menjadi sebuah sinyal. Ditha ingin berbagi tentang apa yang selama ini gadis itu tutupi.

Dio mendesah berat. Setelah ini mungkin tidak ada lagi alasan kuat untuk pulang ke rumah. Ia menoleh sekilas, gadis itu tengah bertopang dagu dengan siku yang menempel ke jendela.

"Kak Dio, berhenti lihatin aku, nanti keracunan."

Obrolan absurd mereka mulai mengalir lagi. Dio mengangkat satu sudut bibir. "Jadi kamu semacam tanaman, serangga, atau makanan beracun nih?"

Gadis itu mengibaskan rambut. "Pokoknya Kak Dio harus hati-hati, karena racun Caca enggak ada penawarnya."

Sekali lagi, Caca dan segala keajaibannya.

"Oh, gitu." Dio mengangguk takzim.

"Ini tuh racunnya enggak main-main. Semacam yang bisa bikin cinta mati loh. Hati-hati, Kak."

Dio jadi tertawa kecil, sering kali tingkat spontanitas Caca batasnya melebihi kata wajar.

"Tuh kan, Kak Dio mulai senyum-senyum sendiri." Telunjuk Caca berputar-putar di samping wajahnya. "Bener deh ... Anda harus berhati-hati!"

"Kayaknya sih udah kena."

Mobil yang Dio kendarai berhenti tepat di depan gerbang rumah gadis itu. Tak masalah, percakapan mereka masih bisa berlanjut di mana saja. Ia menyimpan nomor ponsel dan sosial media gadis itu.

"Selamat, tiga hari lagi Anda akan terjangkit malarindu." Caca yang berusaha melepas seat-belt mengernyit, lalu menunduk. "Kak, seat belt-nya macet."

"Kode terus, Ca."

"Serius!"

Dio melepas sabuk pengamannya, lantas mendekati kursi Caca. Mereka sama-sama menunduk sampai sabuk Caca terlepas.

"Gini doang kamu minta bantuan, Ca."

"Ih, serius! Tadi tuh-"

Kepala mereka saling membentur dan Caca mengaduh kesakitan. Anehnya Dio malah tertawa sembari mengusap kening gadis itu. Begitu beralih ke depan, ia menemukan pria setengah paruh baya yang berdiri tidak jauh dari mobil. Bukan, itu jelas bukan satpam rumah Caca. Pandangan pria yang Dio tebak sebagai ayah gadis di sampingnya menyiratkan tanda tanya besar serta keterkejutan tergambar jelas.

"Eh, itu ayahku."

Caca mendorong pintu mobil disusul Dio. Selama mereka berjalan bersisian, selama itu pula ayah Caca menatapnya dan ke arah mobil bergantian. Mungkin ayah Caca perlu penjelasan lebih mengenai dirinya atau kejadian yang terlihat ganjil di mobil? Dio mengikuti arah pandang pria itu. Ada apa dengan mobilnya? Ia mengamati sekilas, masih sangat layak digunakan. Kondisi mulus ditambah lambang huruf latin A. Khas kepemilikan klan Cokroatmojo yang ikut melambangkan perusahaan keluarga besar. Atmojo group.

"Malam, Pak," sapa Dio.

Pria itu tersenyum sekilas dan mengangguk. Ia beralih merangkul Caca. "Kok tumben weekday pulang ke rumah?"

"Tadi dari rumah Kak Dio, Yah. Memangnya enggak senang kalau aku pulang?"

"Senang."

Pria itu menatap Dio. Mereka terdiam cukup lama, lalu Dio mengulurkan tangan. "Saya Dio, Pak. Teman kampus Caca. Maaf Caca terlambat pulang."

Sedetik, dua detik. Sekian detik terlewat. Jeda yang cukup panjang menurut Dio.

"Oh iya, terima kasih ya sudah mengantar Caca." Pria itu mengulas senyum ramah sebelum menjabat tangan Dio. "Mau mampir dulu, Mas?"

"Terima kasih banyak, Pak. Saya langsung pulang saja."

"Hati-hati ya, Mas."

Laki-laki itu membunyikan klakson dua kali sebelum melajukan mobil. Ayah menggiringnya menuju pintu utama dalam rangkulan. Caca beberapa kali melirik pria setengah paruh baya itu. Ia merasa cukup gugup karena Dio adalah laki-laki pertama yang mengantarnya pulang.

"Ca, nama belakang temanmu Cokroatmojo bukan?"

"Nama panjangnya Dio Anggara. Kenapa memangnya, Yah?"

"Enggak apa-apa." Ayah tersenyum penuh arti.

***

"Halo?" Belum lama Caca menekan tombol hijau di layar, suara Dio yang dalam itu menyapa.

"Kak Dio berhenti di mana?"

Caca memindahkan hairdryer dari tangan kiri ke kanan, lantas menyelipkan ponsel di antara bahu dan leher. Jujur saja, kelas hari ini ditambah pergi ke rumah kakak tingkatnya lumayan menguras energi. Jadi mandi dengan air hangat adalah hal paling menyenangkan agar otot-ototnya rileks.

Di ujung telepon, Dio menyebutkan salah satu nama jalan.

"Memangnya mau ke mana lagi? Kakak tuh baru pulang dari Solo harusnya buru-buru istirahat, besok kan ke kampus."

"Ke Solo kan naik pesawat, Ca. Bukan jalan kaki."

"Tetep aja capek kali, Kak."

Caca tidak tahu alasan lain Dio menepi. Ia sengaja menelepon setelah laki-laki itu memberi kabar lewat chating. Firasatnya berkata laki-laki itu sedang berupaya mengenyahkan sesuatu. Mereka beberapa kali sengaja pergi makan bersama. Pun bertukar pesan singkat lewat fitur chating. Ia mengenal pribadi Dio Anggara lewat semua itu.

"Tell me more, Kak," kata Caca lagi.

"Tentang apa?"

"Tell me more, Kak Dio Anggara. You know what I mean."

Caca mematikan hairdryer, beranjak menuju tempat tidur. Ia mematikan lampu kamar dan membiarkan lampu tidur yang menerangi. Entah Dio mau berbagi banyak hal dengannya atau tidak. Ia hanya ingin menjadi pendengar yang baik.

"Tadi nemu foto lama Ditha sama Mama," ucap laki-laki itu pada akhirnya. "Baru sadar kalau Mama enggak hadir di pemakaman Ditha."

Caca tidak perlu menanyakan lebih lanjut, yang Dio sebut Mama barusan pasti ibu kandungnya. Ia merebahkan diri dan menatap langit-langit kamar. Mencoba menebak ekspresi laki-laki itu sekarang.

"Mama kandung maksudnya, kalau yang di rumah bukan." Dio mengoreksi.

Sesuai tebakannya, ada alasan lain dibalik sekadar menepikan mobil. Entah sejak kapan Caca memahami Dio dengan cara seperti ini. Tiba-tiba saja di satu waktu, ia merasa Dio sedang menyimpan masalah.

"Hmm ... kalau gitu, kabari Mama sekarang."

Caca mengubah posisi tidur menjadi tertelungkup. Sikunya bertumpu pada sebuah bantal ungu. Berulangkali ia membawa helai rambut ke belakang telinga selama menunggu sahutan laki-laki itu. Khawatir pembahasan ini membuat Dio justru semakin tertutup.

"Udah lama hilang kontak."

Sempat ragu memilih susunan kata, Caca menggigit bibir. Matanya mengarah pada cahaya rembulan yang mengintip lewat celah tirai. "Oh ... ya udah sekarang kamu pulang dulu aja, Kak. Nanti masuk angin loh."

"Iya, saya mau pulang. Good night, Ca."

Caca mengarah matanya ke kanan. Ia buru-buru duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Kedua kakinya ditekuk. "Tumben ngucapin itu?"

"Kenapa? Enggak boleh?"

"Enggak apa-apa. Good night too, Kak Dio."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro