13. Pemantik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dio membanting pintu mobil. Patung rajawali di teras depan seolah tengah mengejek. Dua pria botak menunduk ketika ia lewat dan melempar kunci mobil serampangan. Orang-orang tersebut adalah pertanda adanya Herdian di rumah. Entah apa yang ia pikirkan kemarin, sehingga baru menyadari ketidakhadiran Mama. Benar saja, pria paruh baya yang fokus menekuni tablet dan mengangkat sebelah kaki menjadi pemandangan ruang tamu bernuansa maroon.

"Papa tidak memberitahu Mama tentang Ditha?" Kedua tangan Dio terkepal di sisi tubuh, sorot matanya setajam katana yang siap mengiris.

Pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tanpa sedikit pun menghiraukan. "Tidak perlu."

"Kenapa?"

"Bukan hal penting." Herdian mengangkat kepala. Sebelah tangannya bertumpu pada lengan sofa, ia mendorong kacamata yang sedikit melorot dengan telunjuk. Kilat di mata mereka beradu.

"Ditha itu anak Papa atau kami berdua memang tidak pernah dianggap di sini?" Dio menunjuk foto keluarga yang terpajang di samping kanannya tanpa beralih.

Alis Herdian menukik tajam. Ia meletakkan tablet di meja, lalu menurunkan sebelah kaki. "Kalau tidak dianggap, sudah dari lalu-lalu kalian tidur di emperan toko. Paham kamu?"

Dio mengangguk santai, ia memasukkan kedua tangan ke saku celana. "Oh, iya. Terima kasih banyak Bapak Herdian yang terhormat."

"Dio Anggara Cokroatmojo, Papa belum selesai bicara!"

Langkah Dio terhenti tepat di anak tangga kelima, tetapi ia malas berbalik. Rumah ini bisa hancur kalau mereka berdua bicara kurang lebih satu jam ke depan lagi saja. Memancing emosi Papa masihlah hal yang ingin Dio lakukan begitu menginjakkan kaki di sini.

"Cokroatmojo dan saya mengalir dalam darah kamu sampai mati. Begitu juga dengan Atmojo Group, rumah kita."

Atmojo Group merupakan perusahaan yang dibangun buyutnya setelah VOC gulung tikar. Dijalankan oleh tujuh laki-laki dari setiap generasi secara turun temurun sebagai pilar utama. Atmojo Group terdiri dari beberapa bisnis penginapan, properti, dan perkebunan kelapa sawit. Kendati demikian, perusahaan tersebut berdiri tegak bukan hanya karena bisnis-bisnis tadi. Perusahaan itu melakoni bisnis di dunia hitam sebagai pemodal besar para kawanan serigala--sebutan bandar narkoba yang tersebar di tiap kota. Mereka yang memberi akses masuk sekian ton kokain, sabu-sabu, dan pil-pil kebahagiaan lainnya.

Maka bagi Dio, Atmojo Group adalah istana para iblis yang memelihara kawanan serigala. Mereka ujung tombak hancurnya generasi bangsa.

"Berhenti mengelak dan ikuti arus saja," lanjut Herdian.

Bersama gemuruh di atas kepala, Dio berbalik. "Sampai mati pun saya tidak akan bertekuk lutut dan meminta belas kasihan perusahaan keparat itu!"

Setelah itu Dio tidak mempedulikan lagi seruan Herdian yang menggema. Pertemuan mereka selalu diwarnai percakapan sindiran bahkan emosi yang meledak. Mereka seumpama pemantik yang dilemparkan ke tumpukan jerami. Ketika menyatu, hanya ada kobaran api. Usai membanting pintu kamar, ia tidak langsung merebahkan diri. Langkahnya justru menghampiri sepasang drum yang pernah menjadi hadiah ulang tahun di umur 10th. Baru saja menggenggam kedua stik, sebuah memori menyeruak.

"Silakan kamu angkat kaki, tapi jangan bawa Dio ataupun Ditha."

"Mereka anak-anakku! Aku yang melahirkan mereka, aku yang merasakan sakitnya! Kamu ke mana saja? Kamu enggak pernah hadir!"

"Deasy cukup! Kamu yang salah di sini jangan mengelak! Mereka jauh lebih baik bersamaku!"

Bayangan Mama yang berlinang air mata saat memeluknya membuat Dio menabuh drum semakin keras. Masa bodoh akan apa yang orang lain pikirkan. Ia ingin melakukannya sampai lelah, sepuasnya.

Hey mom, hey dad

When did this end?

Where did you lose your happiness?

Who's right, who's wrong

Who really cares?

The fault, the blame, the pain's still there

I'm here alone

Sekelebat isi diary Ditha yang pernah ia temukan juga ikut memperkeruh isi kepala.

***

Speaker yang terpasang pada laptop Daniel memutar salah satu lagu lawas zaman SD, berjudul Cinta Dalam Hati milik Ungu. Ruangan tampak kosong saat Daniel tiba. Satu-satunya cara membunuh waktu sebelum rapat dimulai adalah musik. Ia juga bertujuan memperbaiki isi slide power point.

Sayang, tujuannya berubah drastis begitu membuka sebuah folder berisi foto seorang gadis. Daniel terjebak ke dalam dimensi waktu di mana senyum gadis itu nyata, bukan sekadar foto. Sekian ton penyesalan dan rasa bersalah jatuh menimpa punggungnya secara tak kasat mata. Ia memijat pangkal hidung, bayangan mendiang Fella selalu berhasil mengubah langit mendadak mendung di atas kepalanya.

"Bapak Daniel ... Bapak Daniel ... galau lo memang tiada duanya. Masih tengah hari bolong nih!" Jimmy memasuki ruang rapat BEM bersama seruan sumbangnya.

Daniel berdeham dan buru-buru menutup slide berisi foto Fella. Masa lalu itu cukup dirinya yang tahu. "Sorry gue lagi enggak memanggil tukang pijat ke sini," sindirnya karena kacamata hitam yang bertengger di kemeja Jimmy.

"Mana Dio?"

Daniel mengedikkan bahu. "Yang teman sekamar dan teman tidurnya kan elo, Jim."

"Jangan bikin gue pengin pindah kos! Gue sama Dio udah bayar setahun penuh!"

Daniel tertawa mengejek. Ekspresi wajahnya berubah kontras dibanding tadi, sebelum Jimmy menampilkan batang hidung. Ia bersedekap memandang kawannya dari ujung kepala sampai kaki.

"Ya derita lo lah!"

"Sampah lo!"

Tak lama beberapa anggota BEM berdatangan menempati kursi yang tersedia. Hari ini mereka melakukan kampanye intern terlebih dahulu. Sekarang benak Daniel menggerutu panjang lebar. Seharusnya ia mempersiapkan diri daripada berkelana bersama Fella. Daniel menggulung jas almamater organisasi ke siku. Ia mengembuskan napas keras berulang kali dari mulut.

"Gue malas nih ikut rapat hari ini," bisiknya pada Jimmy.

Laki-laki itu menoleh seraya mengernyit. "Ya elah mau bikin alasan apa lagi lo? Udah setahun juga ngurus BEM."

"Gue malas banget jadi kandidat wakil. Kenapa enggak yang lain aja? Gue cinta organisasi, cuma kalau untuk berada di tim inti, malas banget. Waktu melukis gue pasti bisa benar-benar hilang."

"Kating pasti paham kontribusi lo sejauh mana, makanya lo bisa jadi kandidat." Jimmy menumpukan kedua siku pada lutut, matanya enggan beralih dari barisan di seberang sana. "Udahlah, segala hal yang terjadi di dunia ini sering kali tanpa rencana, Dan. Contohnya, sekarang gue susah berpaling dari Selina tuh. Padahal rencananya gue mau baca diktat sebelum rapat." Dagunya terarah pada seorang gadis bermata sipit yang sedang memakai almamater anggota.

Daniel berdecak, menahan diri memukul kepala Jimmy dengan sepatu. "Selina mulu ah. Ngomong aja lo segudang, maju enggak."

"Eh, Selina bukan semacam cewek random koleksian lo ya! Gue butuh banyak pasokan senjata dan strategi akurat sebelum maju."

"Halah, keburu jadi bujang lapuk!" seru Daniel.

"Belum mulai juga?"

Mereka serempak menoleh ke sumber suara. Dio memperbaiki letak kacamata, kemudian duduk di samping Daniel. Kantung mata selalu menghiasi wajah Dio dan Daniel berani bertaruh kalau sekarang penyebabnya bukan customer aplikasi.

"Tumben lo baru datang," kata Daniel.

Dio merupakan tipikal orang yang menghargai waktu dan terlambat bukan sama sekali ciri khasnya.

"Iya, ada urusan tadi."

"Gue turut berduka cita atas meninggalnya Ditha," ucap Daniel tiba-tiba. Ia beralih ke depan, pandangannya menerawang.

"Lo udah bilang kemarin pas ke rumah."

Daniel berdeham. Kenapa ia lupa akan hal itu? Ah, bodoh. Kakak perempuan Dio pun sama dengan Fella. Membuatnya lupa banyak hal ketika mulai mengingat satu hal. Kini ruang rapat terisi penuh oleh para anggota BEM kabinet Nitrogen yang akan segera berakhir. Barisan-barisan kursi yang membentuk leter U sudah terpenuhi. Jajaran petinggi kabinet Nitrogen menempati kursi paling depan. Acara dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil berdiri.

Tiga dari lima kandidat terkuat calon ketua dan wakil ketua Badan Eksekutif Mahasiswa periode selanjutnya bergantian menyampaikan visi serta misi. Dio kemudian mengajaknya berdiskusi. Sepuluh menit yang mereka miliki digunakan untuk menyatukan pikiran mengenai program-program kerja apa saja yang akan mereka sampaikan sebagai kandidat ketua dan wakil. Sudah hampir sebulan ini wajah Dio dan Daniel terpampang di beberapa mading fakultas maupun website organisasi BEM.

Langkah Daniel tersendat saat beranjak mendekati podium. "Dio."

Laki-laki yang selangkah di depannya menoleh. "Apa?"

"Gue enggak janji nih kita bisa menang. Karena alasan utama gue hadir cuma buat menghormati lo, Kating, dan almamater kita."

Satu sudut bibir Dio terangkat. "Gue paham. Hari ini terjadi memang bukan sepenuhnya karena keinginan kita, tapi karena alasan mereka menunjuk kita jadi kandidat." Ia menepuk sebelah bahu Daniel. "Gue tahu kontribusi dan kemampuan lo. Kating enggak salah pilih wakil buat nemenin gue mewujudkan program kerja, kalau menang."

Daniel menghela napasnya. Ia baru sadar kenapa Dio cocok di posisi pemimpin. Sorak-sorai tim sukses yang diketuai Jimmy mulai menyerukan nama mereka berdua.

*Kating: Kakak tingkat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro