14. Favorite Song

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bang, bubur ayamnya satu-"

"Enggak pakai kacang sama kuah, tapi banyakin daun bawang."

Caca berhenti mengetik balasan chat. Ia terbelalak sejenak, itu merupakan ciri khas bubur pesanannya. Setelah berbalik, sosok laki-laki dengan hoodie berwarna navy tengah mengembangkan senyum tipis sesejuk embun pagi. Memang, hari terbaik itu harus diawali dengan yang manis-manis.

"Kak Dio?" Bola mata Caca mengarah ke sudut kanan sekilas. "Tahu aja pesanan aku."

"Pernah dengar lebih dari sekali."

Mereka berdua memilih meja paling ujung. Waktu masih menunjukkan pukul 06.00 WIB. Keadaan kantin kampus sangat lowong, nampaknya mahasiswa yang punya kelas pagi memutuskan sarapan di kelas. Dio datang pagi-pagi bukan sekadar untuk sarapan bubur, ia hanya ingin memenuhi permintaan gadis itu.

"Kak Dio beneran enggak sibuk 'kan?" Caca bertanya sesudah Dio menduduki kursi di depannya.

"Enggak, kamu sendiri?"

Gadis itu menatap Dio cukup lama, lantas tersenyum lebar. "Aku mau kasih ini."

"Apa ini?" Dio meraih kotak kecil yang Caca berikan.

"Bukan barang mahal sih." Caca meringis, ia mengingat jelas sewaktu menginjakkan kaki di rumah laki-laki itu. "Tapi Kakak belum beli lagi jam tangan yang waktu itu mati kan?"

Dio menggeleng sembari membuka sedikit tutup kotak tersebut. Terdapat jam digital berwarna hitam, ada surat juga di dalamnya. Ketika ingin mengambil surat itu, Caca buru-buru menutup kotaknya. Ia hanya mengulas senyum kecil kala mata mereka mengait.

"Isinya cuma ucapan selamat karena menjabat sebagai presma, kok." Gadis itu menggumam panjang dengan mata yang bergerak ke kiri dan kanan. "Jadi bacanya nanti aja, ya?"

"Iya."

Pipi Caca entah kenapa menghangat karena cara laki-laki itu menatapnya. "Ke ... napa?"

"Tangan kamu dingin." Dio menarik dua sudut bibir saat melirik tangan Caca yang bertumpu di atas tangannya.

"Oh ...." Gadis itu menarik tangannya buru-buru, lalu tersenyum kikuk. "Ya ... wajar dong 'kan masih pagi. Udaranya dingin, Kak."

Dio mengangguk lamat-lamat, sorot mata jenakanya menjengkelkan. "Makasih hadiahnya."

"Kembali kasih."

Caca mulai melahap bubur yang sudah disajikan sang penjual, sementara laki-laki itu beranjak memesan nasi kuning. Ia melirik sekitar, beruntung kondisi kantin masih juga sepi. Tidak ada yang memperhatikannya bicara dengan Dio sejak tadi. Terutama paparazzi kampus kurang kerjaan. Langit yang menaungi kota Bogor nampak mendung, kontras dengan hatinya. Tak lama Dio datang bersama sepiring nasi kuning lengkap bertabur kerupuk. Mereka melahap sarapan masing-masing. Sepanjang itu pula Caca menahan rambutnya di leher supaya helainya tidak menutupi mata atau mulu.

"Kak Dio, suka merancang program ya?"

"Iya."

"Keren sih, Kak." Caca tersenyum manis. "Kak Dio 'kan anak biokimia, tapi bisa merancang program begitu."

Segala hal tentang Caca sanggup menarik perhatian penuhnya, tak terkecuali makanan di piring. Caca bukan orang pertama yang menanyakan tentang hobi Dio, tapi orang pertama yang membuat ia mudah membicarakan hal-hal bersifat privasi. Kenapa begitu? Belum tahu juga.

"Lumayan pusing pas awal-awal belajar bahasa pemrograman. Karena penasaran, ya digali terus sampai bisa."

Sekarang Caca menambah poin kekaguman untuk kakak tingkatnya. Sebelah pipi laki-laki itu kembali penuh, lalu mengunyah makanan tanpa rasa canggung meski mereka masih saling bertatapan. Sekalipun Dio lebih sering bersembunyi di balik layar laptop. Caca tahu banyak juga yang mengagumi raut wajah serius milik laki-laki itu selain dirinya. Belum pernah ia menemukan Dio bergumul bersama diktat dan buku perpustakaan. Ia selalu menemukan laki-laki itu di taman atau selasar rektorat bersama benda pipih yang layarnya penuh deretan coding.

Laptop, laptop, dan laptop.

Kapan tuh gue bisa menggantikan posisi laptopnya? Yang lebih sering dilihat, diperhatikan, dielus-elus gitu kan, batin Caca mulai berceloteh tanpa batas.

"Berarti lebih sering jualan program dibanding baca diktat ya?" goda Caca.

Dio menyeringai. "Hobi yang satu ini susah dikendaliin."

"Terus kalau belajar?"

"Di kelas doang sama tiga puluh menit sebelum kuis."

Caca terbelalak, secara refleks ia menarik sebelah tangan di depannya. "Serius? Kok bisa sih, Kak?" Sepasang alis gadis itu bertaut, tapi sudut-sudut bibirnya terangkat sempurna.

Ada banyak hal tidak rasional di dunia ini menurut Dio. Contohnya detik ini, ia melepas sendok begitu saja. Entah otaknya mati fungsi atau bagaimana, ia menggenggam balik tangan gadis itu dan tangan mereka saling bertumpu. "Iya, serius."

Gila, sengatan bertegangan tinggi muncul lewat sentuhan ringan itu. Kontak fisik yang terjadi sebenarnya bukan hanya ini. Akan tetapi, sorot mata di balik kacamata frame sederhana itu memaku Caca.

"Kita ... ngobrolin apa sih, Kak?" Caca bertanya cukup lirih. Matanya lagi-lagi bergerak ke kanan dan kiri.

"Menurut kamu ngobrol tentang apa?"

Caca menggeleng pelan, sulit rasanya memalingkan wajah. "Apa yang aku pikirkan kemungkinan berbanding seratus delapan puluh derajat sama Kakak."

Dio membuang jauh-jauh kekhawatiran akan segala persepsi yang tercetus dari gadis itu. Mungkin ini terdengar gila, sejujurnya ia tak menyiapkan apa-apa selain spontanitas gerakan. Sungguh. Kendati demikian, pantang mundur sama sekali bukan gayanya.

"Kita uji seberapa besar perbandingannya." Dio menyodorkan ponsel yang sudah terpasang headset. Terakhir kali platform musik pada ponsel memainkan salah satu lagu favoritnya.

Caca menyipitkan mata sejenak, lalu ia memasang headset tersebut. Sedetik, dua detik. Telinganya berfungsi sangat baik. Aliran suara pada headset berhasil membekukan waktu. Bumi yang seharusnya berputar dan membuat detik pada jam bergulir, seketika berhenti di porosnya. Percakapan ringan yang mengisi tiap sudut meja menghilang, membiarkan jantung gadis itu mengiramakan kegilaan tanpa ampun.

Gadis itu membawa sisa helaian rambut ke belakang telinga. "Ini J-Rocks ...."

"Falling in love," timpalnya. Bagi Dio lagu tersebut cocok menggambarkan keseluruhan lukisan abstrak di benak tiap kali gadis itu didekatnya. "Saya ... mau ngomong tentang ...." Ia mengembuskan napas keras, lalu berdecak.

Ah, kenapa gue jadi mendadak bego! seru Dio dalam kepala.

"Gini, Ca-"

"Aku ngerti, Kak," potong Caca.

Senyum simpul yang Caca tahan akhirnya mengembang juga. Mungkin sekarang pipinya nyaris robek. Mereka terdiam lama. Seolah-olah mulut mereka hanya bisa digunakan untuk mengulas senyum. Dio menatap lurus gadis itu, berharap tak ada secuil pun penolakan setelah hal yang agak memalukan ini. Harusnya kata-kata picisan semacam aku suka kamu mudah dilontarkan. Ah, tapi kenapa lidah bodohnya terasa-

"Jangan pernah bosan nunggu telepon dari saya, bisa?" pinta Dio dalam satu tarikan napas.

"Bisa kok! Bisa banget!"

Bersama rintik gerimis, mereka tertawa tanpa saling beralih. Sesederhana itu mereka mengawali sebuah pondasi dari sebuah rasa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro