23. Bahan Tiruan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langit biru cerah, awan berarak. Bosan dengan mall yang isinya tak pernah berubah, mereka mengunjungi taman Wiladatika. Taman tersebut kerap kali digunakan untuk lokasi syuting. Udara sejuk, pepohonan besar, jembatan kecil, serta pendopo menambah komposisi keindahan. Beberapa sekolah kerap mengadakan acara pelepasan siswa di sini, kadang beberapa orang menyewanya untuk foto pre-wedding. Pertama kali memasuki area, mereka disambut sebuah air mancur besar dikelilingi tangga undakan, persis wujud negeri dongeng kecil.

Caca berhenti menggulir ponsel. Laki-laki itu tak menanggapi ocehannya sejak tadi. Padahal ia bercerita panjang lebar tentang presentasi tugas Manajemen Operasional yang nyaris gagal total. Apa yang sedang laki-laki itu pikirkan? Sampai-sampai urat di pelipisnya bermunculan?

"Kak Dio kok diam aja? Aku 'kan cerita dari tadi."

Dio meringis, menggaruk-garuk pelipis. "Tadi kamu cerita apa?"

Caca mencebikkan bibir, kemudian menempelkan punggung tangan ke dahi laki-laki itu. "Pantesan, anget banget."

"Aku sehat, Ca." Dio menyingkirkan tangan Caca, membawanya ke pangkuan. "Jangan khawatir."

Mata gadis itu malah menyipit. Sekarang ibu jarinya mengusap lembut bagian bawah mata Dio. "Pola tidur kamu berantakan lagi, Kak. Kamu ngerjain projek apa sih? Jaga pola tidur sama makan itu penting. Kamu bisa sakit kalau keduanya berantakan," gerutu Caca panjang lebar.

Dio tersenyum kecil. Bagaimana jikalau tak ada lagi Caca di akhir pekannya nanti? Sepertinya ia sulit merasa baik-baik kalau harus mengulang fase kehidupan sebelum gadis itu muncul. Pasti aneh kalau menyusun coding tanpa bolak-balik membaca gerutuan gadis itu di aplikasi perpesanan. Ah, picisan sekali, laki-laki macam apa yang menggantungkan hidup pada perempuan? Bukan, bukan, perumpamaan tadi teramat sederhana. Caca telah menempati sebuah ruang tersembunyi, ruang yang sulit terjamah. Bilamana terkunci rapat, Dio kurang yakin bisa menemukan si kunci. Pintunya mungkin akan berkarat sekian abad.

"Kan aku harus cari uang buat semesteran, kos, sama makan, Ca," ujar Dio lirih. "Bukannya enggak peduli nasihat kamu."

Sendu berpendar dari bola mata Caca. Perlahan ia meraih tangan Dio. "Sesekali biarin aku yang traktir ya? Please."

"Ca, maksudku—"

"Kak Dio, please. Masa aku diam aja sih pas tahu pacarku kesusahan?"

"Aku dapat kiriman tiap bulan dari Mama, cuma nanti aja dipakainya. Kalau aku benar-benar udah enggak bisa cari uang. Belakangan ini aku ngerjain banyak proyek, entah itu yang sendiri atau gabungan sama senior." Dio menatap lekat gadis itu. Ia menyingkirkan helai rambut yang menghalangi mata cantik favoritnya. "Makanya aku kurang tidur."

"Tapi 'kan—"

"Cukup temenin dan dukung aku, bisa?"

Lagi-lagi sendu menggelayuti bola mata Caca. Sepanjang tarikan napas panjang, ia mendadak dilingkupi rasa takut yang aneh. Kenapa? Ketika berhasil mengenyahkan ketakutan sesaat, ia mengusap lagi kantong mata Dio. "Masa yang kayak gitu perlu ditanya?"

Alih-alih tersinggung, senyum tipis menghiasi wajah Dio. "Selasa besok aku ke Solo buat ikut RUPS."

Mata Caca seketika berbinar. "Kamu baikan sama Papa? Aku senang dengarnya." Ia mengulas senyum dan menyodorkan susu kotak cokelat dari tas.

"Aku bukan anak kecil."

"Ih, pabrik susu tuh bikin susu bukan cuma buat balita. Pernah nonton iklan enggak sih?" Caca menusuk gemas sedotan ke susu kotak. "Minum enggak? Minum cepat!" serunya sambil melotot, mengarahkan sedotan ke mulut laki-laki itu.

Sontak Dio memundurkan kepala. "Persis ibu tiri, Ca."

"Makanya cepat minum atau ibu tiri akan bawa Papa kamu pergi! Cepat!"

Tawa kecil Dio berderai. "Iya, iya, ibu tiri. Bawa aja Papa saya pergi yang jauh sana." Ia mengambil susu kotak tersebut, menandaskannya dalam tiga kali sedot.

"Haus 'kan, Pak? Makanya jangan gengsi." Baru mengangkat tangan, Caca sudah memukul bahunya duluan. "Jangan coba-coba ngacak rambutku, susah payah di-blow tahu!"

"I'm sorry, Your Majesty." Kekehan Dio disambut bibir manyun Caca. Ujung-ujungnya Dio tak bisa menahan tangannya untuk tidak mengacak-acak rambut gadis itu.

"Sini coba kuacak-acak balik rambut kamu!" Gadis itu menjulurkan tangannya, lalu secara brutal mengacak-acak rambut Dio. Seakan-akan tengah menumpaskan dendam kesumat.

"Ca, kamu bebas deh acak-acak rambut, asal jangan hidup aku yang kamu acak-acak," ucap Dio di tengah-tengah tawa mereka.

Tiba-tiba Caca mematung bersama kerutan di dahi. "Sumpah, kayaknya Kak Dio sakit beneran. Horor banget, Dio Anggara-ku yang asli tuh enggak bisa gombal." Ia menepuk-nepuk kedua pipinya sendiri.

"Kamu yang ngajarin, Ca." Dio mencubit pipi gadis itu, sedangkan sang empunya tak mau kalah mencubit balik. Mereka saling menarik sebelah pipi satu sama lain hingga memerah. "Kamu yang bikin aku berubah."

"Power Ranger kali!" seru Caca, mencoba menepis cubitan di pipi.

Dio mendongak. Warna langit tak menunjukkan tanda-tanda hujan akan turun hari ini. Semoga nanti video karya Ditha yang menjadi saksi bisu dapat ditemukan. Sejak kemarin Dio berusaha meretas email Rendra. Sebab Ditha telah menghapus jejak video tersebut dari gadget-nya. Kantuk sekarang tengah menyerang, matanya terasa berat. Ia melepas hoodie, menjadikannya bantal di pangkuan Caca. Tak terdengar protes apa pun hingga matanya terpejam.

"Kak, Trophospere itu puisi Kak Daniel ya?"

Pijatan ringan Caca pada pelipisnya menambah beban kantuk. Dio berada di ambang batas kesadaran dan alam mimpi. "Iya ..., kok, kamu tahu?"

"Kak Daniel itu satu sekolah sama Kak Fella. Kakak tahu enggak?"

***

Dio menahan diri untuk tidak menertawai papan ukiran di sana. Hari ini ia menghadiri rapat pemegang saham yang diadakan di Danadyaksa, rumah kakek buyutnya. Setiap rapat penting semacam itu justru tidak dilakukan di kantor pusat Atmojo Group, melainkan di sebuah bangunan rumah megah kuno yang dijaga satu juru kunci. Danadyaksa, atau dalam bahasa sansekerta, penjaga kekayaan. Entah siapa yang menamai rumah ini dengan artian yang kelewat norak menurutnya. Ia berjalan memasuki ruangan setelah melewati pintu utama. Belum ada tanda-tanda jejak para sepupu serta Om dan Tantenya. Mungkin mereka pergi ke ruang rapat.

Atmojo Group menganut semboyan yang menggunakan salah satu peribahasa Jawa, yakni adigang, adigung, dan adiguna. Adigang diumpamakan seperti sifat cepat tangkas dan tidak tertandingi. Adigung adalah sifat yang meninggikan pangkat, jabatan, derajat, keluhuran, dan keturunan kebangsawanan. Sementara Adiguna adalah sifat yang mengutamakan kepandaian dan akal. Secara tersirat, peribahasa tersebut menyampaikan makna supaya jangan mengandalkan serta menyombongkan kelebihan diri sendiri. Oleh karena itu, kakek buyut mereka secara lisan ke lisan menyampaikan supaya Atmojo Group dijalankan oleh tujuh laki-laki dari setiap generasi sebagai pion utama. Ya, Atmojo Group dan semboyannya adalah hal paling kontras menurut Dio.

"Ternyata lo datang hari ini."

Dio tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang berdiri di sampingnya. Ia masih sibuk membenahi kancing kemeja batik berlengan panjang. Mereka sekeluarga mengenakan batik keris khusus tiap rapat. "Gue kira lo di US."

Laki-laki itu tertawa sinis. "Enggak. Lo aja masih di Indonesia."

Dio menyuguhkan tawa yang sama. "Ternyata lo masih menjadikan gue bahan tiruan."

"Tujuan gue adalah lebih dari lo."

Dio mengangkat bahunya. "Kalau begitu harusnya lo kuliah di US. Bukan ngikutin gue menetap di sini."

"Gue cuma berupaya membaca setiap gerak-gerik musuh. Karena yang paling bahaya itu bukan penembak jitu jarak jauh, tapi musuh yang sedekat nadi."

"Kalau boleh kasih saran, lo harus cuci muka pakai air suci." Dio melayangkan tatapan mengiba sembari menepuk bahu Rendra. Malas meladeni orang gila, Dio melangkah menjauh.

"Pacar lo cantik juga, dia bikin gue ingat sama seseorang."

Langkah Dio langsung terhenti. Ia tak segan-segan mencengkeram kerah kemeja Rendra kuat-kuat. Sorot matanya setajam samurai yang siap memenggal kepala siapa saja. "Berani lo sentuh ujung rambutnya sama dengan selangkah di depan neraka!"

"Wow, gue enggak perlu repot-repot mengotori tangan dan nama gue, Yo. Bentar lagi dia bakal tahu benang merah yang udah menghilangkan nyawa kakaknya." Rendra menyeringai dengan ekspresi wajah yang begitu picik. "Gue jadi merasa punya kuasa. Karena apa yang gue lakukan di masa lalu ternyata memang seperti takdir buat lo. Hebat 'kan? Sekarang gue punya kendali atas nasib cinta monyet lo."

"Karma itu berlaku. Lo cuma punya ambisi dan gue punya segalanya." Dio meninju rahang laki-laki itu hingga tersungkur.

"Lo cuma punya penderitaan dan sisa kehancuran!" seru Rendra.

"Kita lihat, siapa yang sebenarnya ada di posisi itu," sahut Dio dari balik bahu.

Tidak, ia tidak akan membiarkan Rendra menemui Caca. Rahasia itu hanya boleh terungkap dari bibirnya. Jangan sekarang, jangan dalam waktu dekat ini. Dio masih ingin menghabiskan sisa-sisa kebersamaan mereka untuk direkam oleh ingatan. Senyum, tawa, dan celotehan gadis itu. Dio ingin menyimpan semuanya sebagai teman di kala jenuh mendera atau kesendirian mengunci raga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro