24. Daniel dan Aksel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kalila SekJen :

Selamat siang, salam sejahtera.

Kepada Yth. Pengurus BEM Kabinet Supernova.

Kami mengundang rekan-rekan sekalian untuk menghadiri kegiatan rapat yang akan dilaksanakan pada:

Hari : Kamis

Waktu : 19.00 WIB sd. selesai

Tempat : Ruang BEM

Agenda Kegiatan : Evaluasi Kinerja & Progress Program Kerja.

Demikian undangan ini kami sampaikan. Terima kasih.

Tertanda,

Sekjen

Tembusan:

1. Presiden Mahasiswa

Mungkin punggung Daniel sebentar lagi bolong jika sorot mata Dio benar-benar berubah jadi laser. Tersisa mereka berdua di ruang BEM seusai rapat dan Jimmy pulang lebih dulu. Bangkai busuk kelihatannya belum pas untuk menerjemahkan cara pandang Dio terhadap sahabatnya. Ia bahkan tidak sudi menganggap lelaki sampah itu sebagai teman. Harusnya laki-laki berengsek itu mendekam di penjara, bukan malah berdampingan dengannya mengurus kemajuan program.

Baik tangan maupun mulutnya sudah gatal ingin memukul dan mencaci maki. Dio sudah cukup sabar selama tiga hari belakang. Setelah menemukan video sampah di email Rendra. Ia bangkit dari duduk, dengan sengaja menendang kursi di depannya hingga Daniel yang tengah membereskan berkas berbalik. Laki-laki itu memandangnya sambil mengernyit.

"Daniel," panggil Dio.

"Ya?"

Ini bukan pertama kali mereka berdiri berhadapan. Akan tetapi, entah mengapa aura yang terpancar dari Dio Anggara Cokroatmojo malam ini tampak mengerikan. Seolah-olah sahabatnya itu baru saja tertempel arwah pembunuh berdarah dingin. Memang ada yang terasa aneh sejak liburan semester berakhir, sikap Dio yang pada dasarnya memang tidak banyak bicara kecuali sesuatu yang penting, sekarang semakin dingin. Entah hanya Daniel yang merasakan itu atau semua orang-orang dalam Kabinet Supernova juga merasakannya.

Bugh!

"Kok lo nonjok gue?" Suara Daniel otomatis meninggi. Ingin langsung memukul balik, tetapi logikanya masih berjalan dengan baik.

Dio kembali melayangkan pukulan hingga Daniel tersungkur menabrak beberapa kursi di belakangnya. "Apa tujuan lo jadi teman gue?"

Sebelah alis Daniel terangkat tinggi-tinggi. Ia menyeka darah di sudut bibir. "Apa sih maksud pertanyaan lo? Kesurupan?"

Baru saja Daniel mencoba berdiri, tetapi Dio sudah menarik kerah kemejanya. Laki-laki itu pun melayangkan pukulan lagi. "Jangan pura-pura idiot!"

Daniel tersentak. Seratus persen ia yakin Dio bukan tipikal orang yang jarang berkata kasar. Kecuali dalam keadaan emosi yang tidak terkendali. Hanya saja apa yang membuat Dio Anggara dalam keadaan emosi yang tidak terkendali sekarang? Ia merasa tak memiliki masalah apa pun dengan sahabatnya itu.

"Kita punya masalah? Kalau iya, kita selesaikan sekarang!"

"Ternyata benar apa yang selama ini keluarga gue anut. Orang yang paling berbahaya itu bukan penembak jitu jarak jauh, tapi musuh yang sedekat nadi."

Daniel menautkan kedua alis. "Maksud lo apa?"

"Lo pura-pura baik sama Caca supaya dosa sialan lo itu lenyap."

"Jadi ini cuma tentang Caca?" Selama ini Dio salah paham tentang kenapa ia kadang-kadang perhatian terhadap Caca? Daniel berdecak. "Gue enggak suka sama dia! Lo tembak aja, kenapa jadi kayak orang gila?"

"Jangan mengalihkan pembicaraan." Daniel belum pernah melihat sorot mata penuh emosi semacam itu dari temannya. "Kenapa lo perkosa kakaknya Caca dengan cara menjebak Ditha?"

Bugh!

Daniel memukul Dio tepat di rahang. Ia tidak peduli dari mana Dio tahu tentang video sialan itu, tetapi yang jelas laki-laki itu berhasil menyentil egonya.

"Gue sayang sama Fella! Jaga ucapan lo!" Sudah kepalang tanggung, Daniel mencengkeram balik kerah kemeja Dio. "Lo enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi! Gue enggak pernah terlibat, jadi jangan kayak anjing!" seru Daniel, napasnya tersengal-sengal.

Dio malah menyeringai sembari mengangguk lamat-lamat. Itu benar-benar bukan khas dari seorang Dio Anggara yang Daniel kenal. Sahabatnya tidak pernah memiliki ekspresi seberengsek itu.

"Gue tanya, siapa yang kayak anjing di sini?" Suara lantang Dio cukup memekakkan telinga. "Di video itu jelas-jelas lo pelakunya! Orang yang katanya lo sayang, mati gantung diri!"

Daniel memukul Dio hingga tersungkur. Jangan salahkan Daniel yang bisa melakukan hal semacam itu kepada sahabatnya sendiri. Ia tidak terima dengan apa yang Dio katakan. "Pelakunya itu Aksel!"

"Iya, lo satu komplotan sama dia dan Rendra!"

Dio menerjang Daniel lagi dengan tinjuan di rahang dan hidung berkali-kali. Mereka saling menyerang balik tanpa ada yang mau mengalah. Ruang BEM kini berantakan bak kapal pecah.

"Aksel itu saudara kembar gue!"

Mereka berdiri berhadapan bersama wajah yang tak keruan. Jarak mereka sekitar dua meter. Selain rambut, Almamater kebanggaan pun ikut kusut.

Dio tertawa sinis. "Lo pikir gue idiot?"

"Kita memang semirip itu. Lo enggak percaya? Ayo ke rumah gue sekarang juga." Daniel mengembuskan napas keras. "Sia-sia kalau lo bonyok cuma gara-gara kesalahpahaman doang."

***

Dio tidak menyesal mengikuti kata hati dan menyisakan secuil kepercayaan pada sahabatnya. Dalam keadaan bonyok serta emosi memuncak mereka pergi menuju rumah Daniel. Selama menimba ilmu di kampus yang sama, mereka tak pernah mengunjungi rumah satu sama lain. Wajar saja kalau ia tidak begitu mengenal latar belakang keluarga Daniel Adithama.

Kunjungan Daniel ke rumahnya pertama kali adalah ketika Ditha meninggal. Sementara ini kunjungan pertama Dio ke rumah sang sahabat. Ia tercengang karena foto keluarga, akta lahir, serta ijazah yang Daniel tunjukkan secara terang-terangan. Sekitar setahun lebih Aksel Adithama tinggal di panti rehabilitasi karena pemakaian narkoba. Mereka sepakat meluruskan fakta masa lalu kelam di jembatan layang Pasar Rebo.

"Sorry."

Dio mengulurkan sebotol air mineral kepada Daniel. Jajaran motor yang berhenti di jembatan layang ini mayoritas pasangan lovey-dovey. Hanya mereka berdua, sesama laki-laki yang duduk bersampingan di atas motor. Terserah apa kata orang, mereka butuh angin malam untuk menyegarkan pikiran. Sekali lagi Dio tidak menyesal mengikuti kata hati kecil. Jika ia memilih untuk terus bungkam dan menahan diri, mungkin ia tidak akan tahu kebenaran fakta yang sesungguhnya dari Daniel.

"Aksel memang sebenci itu sama gue. Dari kecil, Bokap sering membandingkan kami berdua dan kebetulan gue selalu lebih dari Aksel."

"Sama kayak Rendra berarti. Nyokapnya sering kali membandingkan dia sama gue. Sampai akhirnya dia lebih memilih termakan doktrin bokapnya yang memang punya rasa enggak suka sama bokap gue. Meski mereka kakak-beradik, persaingan tetap persaingan. Dunia bisnis enggak mengenal kata keluarga. Padahal bisnisnya bisnis keluarga." Dio tertawa miris setelahnya.

"Parah juga ya."

"Sering kali beberapa orang tua enggak sadar kalau membandingkan anaknya sendiri dengan orang lain itu hal paling menyakitkan dan membahayakan."

"Bener banget. Dia tahu gue punya pacar rahasia. Si mantan ketua OSIS angkatan ke enam belas itu."

"Oh, jadi lo sama Fella backstreet?"

Daniel mengangguk. "Gue susah banget ketemu Fella setelah kejadian itu." Sekarang Daniel tersenyum getir. "Habis itu gue dengar kabar dia meninggal. Video itu sampai ke tangan nyokap gue, kita sempat bertengkar hebat karena di video itu Aksel pakai seragam gue. Enggak lama bokap Ditha datang ketemu bokap dan masalah itu hilang begitu aja. Terus keluarga Fella juga memilih merahasiakan kematian anaknya dengan bilang kalau Fella masuk rumah sakit setelah kecelakaan."

Dio tidak ingin membahas campur tangan Herdian Cokroatmojo. Sekalipun kebencian mengalir deras, ia tak akan mengupas kejelekan sang ayah di depan orang lain. "Cuma ..., lo beneran 'kan enggak ikut campur?"

"Sumpah demi Tuhan, gue enggak sama sekali ikut campur. Aksel yang ngelakuin, Rendra yang rekam."

Dio menepuk sebelah bahu sahabatnya. Bisa jadi ia langsung membunuh kembarannya, jika berada di posisi Daniel. "Lo hebat, bisa waras sampai saat ini."

Daniel tertawa keras. "Pas SMP gue pernah masuk kelas akselerasi. Coba lo pikir, kenapa kita bisa satu angkatan? Harusnya kan gue kakak tingkat lo." Daniel memberi jeda untuk sekadar menghela napas. "Gue break selesai lulus SMA. Nilai gue merosot semua. Otak gue rasanya enggak bisa lagi dipakai."

"Iya, gue ngerti." Setelah ini Dio mungkin juga akan melewati fase yang tidak jauh beda dengan Daniel. "Jadi lo satu SMA juga sama Caca?"

"Gue enggak pernah lihat dia sih. Caca masuk SMA setelah gue kelas tiga kayaknya. Cuma enggak tahu deh ..., saat itu kan gue lagi di antara ada dan tiada dalam raga gue sendiri."

Kali ini Dio yang tertawa keras. Raut wajah Daniel lucu ketika berkata dirinya antara ada dan tiada dalam raga.

"Aksel sama Ditha yang di SMA Tarakanita," lanjut Daniel.

"Kalau gue sama Rendra dari SD udah di Sekolah Alam binaan Atmojo Group sampai SMA."

Daniel mengangkat sebelah alisnya. "Bosan parah pasti."

"Gue enggak cocok sama kurikulum dinas."

Sekolah Alam memang tidak menggunakan kurikulum dinas pendidikan. Mereka memiliki kurikulum sendiri. Selain itu Sekolah Alam lebih bergerak menggali minat dan bakat muridnya. Nilai ujian nasional pun bukan tolok ukur bagi target sekolah.

"Kelihatan sih dari muka lo." Daniel berdeham. "Kalau bisa, Yo, perusahaan keluarga lo jangan sampai ada di bawah kepemimpinan Rendra yang enggak waras itu. Lo harus bisa mengubah cara berpikir mereka dengan jadi pimpinan utamanya."

Dio mengangguk sebelum meneguk minumannya. "Omong-omong, gue udah lama jadian sama Caca, dari sebelum Ditha meninggal."

"Hah?" Daniel menandaskan minumannya. "Serius lo?" Ia menggeleng cepat, matanya hampir jatuh ke jalanan. "Sumpah, kalian cuma kelihatan sering adu mulut doang tiap BEM ngadain rapat sama kegiatan!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro