30. Wrapped Around Your Finger

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jimbaran, Bali, 2016.

"Menurut Kak Dio cinta sejati itu yang kayak gimana?"

Caca sangat tahu pembicaraan semacam ini bukanlah topik favorit Dio. Laki-laki itu pasti akan menjawab bahwa apa pun soal perkara cinta lebih rumit daripada susunan coding JavaScript atau tugas laboratorium. Namun seperti biasanya juga, ia selalu memaksa Dio berpikir keras. Caca tetap ingin melihat apa pun yang ada di dunia ini dari sudut pandang laki-laki itu. Presiden mahasiswa angkatan ke-45 punya banyak sudut pandang yang membuat lagu "Jatuh Hati" milik Raisa benar-benar nyata.

"Sakit ish!" jerit Caca karena Dio mencubit hidungnya.

Laki-laki itu melepas tawa kecil ketika Caca melotot. Bagaimanapun sikap menyebalkan Dio. Laki-laki itu tetap salah satu yang paling berharga setelah kedua orang tua baginya.

"Lebih baik kamu tanya rumus nuklir sekalian."

"Memang kamu tahu?"

"Ya enggak, sama aja sulitnya."

"Jawab aja deh, aku tahu jawabannya udah terangkai apik tuh di otak Kak Dio."

Helaan napas Dio terdengar, sedangkan senja mulai mewarnai langit. Mereka melepas penat di salah satu balkon rumah Deasy. Menunggu matahari yang akan terbenam di ufuk barat, merasakan angin laut yang membuai. Semua orang benci menunggu, tetapi menunggu jingga di garis cakrawala adalah favorit mereka berdua. Karena semua pantai di Bali selalu penuh dengan wisatawan domestik dan mancanegara, maka Caca berhenti mengajak Dio ke sana. Mungkin, mereservasi salah satu pantai bukan hal sulit bagi laki-laki itu. Sayangnya merebut hak fasilitas umum sama sekali bukan gaya seorang Dio Anggara Cokroatmojo.

"Kamu tahu kenapa Bisma Dewabrata mati kena panah Srikandi?"

Pertanyaan Dio membuatnya berhenti memindai langit. Caca tahu yang baru saja laki-laki itu sebutkan merupakan tokoh perwayangan. Hanya saja ia tidak menghafalnya dengan baik.

"Ya, kena panah wajar aja kalau mati, Kak."

Laki-laki itu menyentil pelan kening Caca. "Itu jawaban dari maksud cinta sejati yang kamu tanya. Bisma itu punya keistimewaan. Dia bisa menentukan kematiannya sendiri, tapi dia memilih mati di tangan Srikandi. Wujud reinkarnasi Dewi Amba."

Mata Caca melebar. "Oh iya! Dewi Amba 'kan yang enggak sengaja kena panah Bisma dan akhirnya mati padahal mereka saling cinta. Benar enggak? Aku baru sadar, sebenarnya perwayangan itu ceritanya juga so sweet. Sayang banget, Bisma dan Dewi Amba atau Srikandi enggak bersatu, lalu hidup bahagia."

"Bisma terikat sumpah sama Satyawati yang tamak. Ingat, laki-laki itu yang dipegang janjinya. Kalau dia ingkar, bukan laki-laki namanya." Tiba-tiba Dio berdecak. "Semua perempuan selalu berpikir sebuah kisah cinta harus bersatu supaya sempurna."

"Loh, memang harusnya gitu 'kan? Orang tua kita menikah dan hidup bersama karena cinta."

"Aku mulai pusing nih." Dio malah memijat pelipis Caca sambil tertawa. "Maksudnya tuh, memang enggak ada kisah yang sempurna, Sayang."

Dio jarang, malah hampir tidak pernah memanggilnya dengan panggilan itu. Caca pun enggan memaksa meski ingin. Sebab perlakuan laki-laki itu saja sudah membuatnya cukup percaya tanpa Dio harus mengucapkan panggilan tersebut.

"Nah, Bisma itu contoh sederhana dari yang namanya laki-laki dan cinta sejati. Laki-laki bahkan rela mati meski punya kekuatan super."

"Tumben enggak garing." Caca tertawa karena kalimat terakhir yang Dio ucapkan. "Bukannya laki-laki lebih mengandalkan logika?"

"Ya, logika, tapi realitanya juga tetap bisa kalah sama harta, tahta, dan wanita. Lagi pula, meski Bisma dan Dewi Amba enggak bersatu di dunia. Mereka bersatu dalam keabadian Swargaloka, Ca. Kayak yang tadi aku bilang, enggak ada hal di dunia ini yang sempurna termasuk kisah cinta."

"Iya, tapi dua orang yang saling cinta akan sempurna bila bersatu, Kak."

Dio mendesis sambil mengusap dagu. "Oke, kamu menang."

Sekian detik senyap memeluk mereka. Bersama embusan angin sore, kedua sudut bibir laki-laki itu tertarik sempurna. Jemarinya menyusuri pipi Caca, menimbulkan panas yang tak asing di sana.

"Love you, Ca ..., makasih udah maksa aku ketemu Mama."

***

GWW, 2019.

Dia enggak akan ada di sana, Ca. Tolong berhenti berhalusinasi. Enggak mungkin dia datang ke wisuda mantan yang menganggap dia kayak angin selama dua tahun, rapal Caca ketika keluar gedung, menatap kerumuman orang-orang yang karangan bunga.

Setelah itu lamunan Caca justru melayang ke hari di mana ia dan Dio menonton konser 5 Seconds Of Summer. Salah satu band pop rock asal Australia yang mereka sukai. Mereka terlambat membeli tiket dan mendapat barisan paling ujung, tetapi tak jauh dari depan panggung.

"Capek enggak?"

"Enggak."

Caca melebarkan senyum ketika mereka bertemu pandang. Tepat pada saat 5 Seconds OF Summer melantunkan "Wrapped Around Your Finger" Dio menarik tangannya pelan, lalu menautkan jemari mereka. Malam itu kali pertama Caca melihat seorang Dio Anggara Cokroatmojo bernyanyi.

"You were mine for a night, I was out of mind." Dio mengunci pandangan mereka.

"You were mine for a night, I don't know how to say goodbye ...." Caca melanjutkan lirik tersebut seraya menggenggam erat balik tangan Dio.

"You had me wrapped around your finger. I'm wrapped around your finger." Sorot mata Dio seolah menerjemahkan maksud yang sama.

Bagi Caca tak ada lagi jenis genggaman yang mampu membuatnya terpaku, selain milik Dio Anggara Cokroatmojo. Ia selalu merasa jemari mereka memang tercipta untuk saling mengisi, bertaut.

Yes, I guess, I don't know how to say goodbye since yesterday 'till now.

Usai mengembuskan napas pendek karena Dio berhasil memenuhi kepala. Caca justru menarik tangannya dari genggaman Gilang. Laki-laki yang tak pernah berhenti mencoba meraih apa yang sebenarnya tidak lagi ia miliki. Ada yang sudah membawa hatinya pergi jauh, melintasi benua, dan berbagai negara. Sikap Caca selama pada laki-laki itu hanyalah sekadar. Ia tak mungkin membalas perasaan Gilang.

Setelah pingsan mendengar kronologi penyebab sang kakak gantung diri, Caca memeluk foto gadis itu seharian. Ia kesulitan bicara ketika Bunda terus bertanya apa yang membuatnya begitu. Baik Bunda maupun Fella selalu mengajarkannya untuk jadi perempuan kuat, bukan cengeng. Namun, ketika Caca mendengar laki-laki itu pergi ke US, ia terpaksa mengingkari janjinya.

Caca menangisi kepergian laki-laki itu. Ia menangisi perpisahan yang sudah jauh terlewat di belakang sana. Sekalipun enggan mengkhianati Fella, sejatinya ia tak sungguh-sungguh melepas Dio. Hati kecilnya berharap Dio Anggara Cokroatmojo tetap disampingnya sampai dunia berakhir.

Ayolah, sekarang Caca sudah mewujudkan cita-cita Fella yang pada akhirnya menjadi cita-citanya. Lulus dari Fakultas Ekonomi dengan manajemen sebagai mayor dan agribisnis sebagai minornya. Akan tetapi, kenapa matanya terasa panas memandangi gedung GWW?

Gue tahu ini bodoh banget, but I just wanna hold him tight ... right now, rapalnya dalam hati ketika memandangi GWW.

"Oxafia Djenara Nindyar?" tanya seorang pria berseragam satpam.

"Iya, saya. Ada apa, Pak?"

"Ini ada titipan, Mbak."

Caca menerima sebuket lily putih beserta surat di tengah-tengahnya. Karena penasaran, ia membaca isi surat tersebut tanpa mempedulikan Gilang dan kedua orangtuanya yang bertanya.

Hai,

Mungkin kata itu enggak tepat untuk awal mula surat ini. Aku memang enggak punya stok kata romantis, kamu paling tahu, Ca.

Ini tulisan dia, batin Caca yang menggigit bibir kuat-kuat.

Selamat untuk kelulusan kamu hari ini. Kalau ada orang yang ingin melihat kamu berdiri di atas podium saat pakai toga selain orang tua kamu, itu aku.

Surat ini aku tulis selama tiga hari. Lucu 'kan? Padahal aku enggak lupa bahasa Indonesia. Semoga kamu masih sudi membacanya. Enggak banyak yang ingin aku sampaikan di sini, selain maaf dan terima kasih. Iya, sewaktu di rooftop Atmojo Group sampai sekarang aku belum sempat bilang terima kasih.

Kata orang bijak, terlambat itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Maaf untuk segala rasa enggak nyaman yang terpaksa kamu simpan selama ini. Maaf karena aku enggak bisa mengembalikan waktu dan Kak Fella. Terima kasih sudah mau membaca surat ini. Tadinya aku mau bilang kangen, tapi Gilang pasti lagi di samping kamu. Jadi aku cuma mau bilang,

Selamat tinggal.

Aku belum punya kesempatan mengatakan kalimat itu juga sewaktu dulu. Semoga kamu selalu bahagia. Kalau kamu tanya aku bahagia atau enggak, aku akan jawab, aku di antara keduanya. Bahagia karena lihat kamu bahagia dan enggak, karena aku bukan orang yang ada di samping kamu ketika kamu merasakannya.

Kalau mata kamu terasa panas sekarang, mungkin rasa kita masih sama. Aku enggak akan basa-basi. Tinggalkan Gilang dan aku tunggu kamu di Bandara sekarang.

Dio.

Caca berlari sekencang mungkin macam orang gila. Tidak ada yang gadis itu pedulikan selain ingin melihat Dio detik ini. Matanya bukan hanya terasa panas, tapi bulir-bulir bening telah membasahi pipi dan rahang. Seakan kesulitan mengontrol diri sendiri, ia menghentikan sembarang taksi yang lewat.

"Mau ke mana, Mbak?"

"Bandara Soetta, Pak," jawabnya cepat.

"Siap, Mbak."

Taksi membelah kemacetan jalan, sedangkan Caca terus menyeka air mata yang belum juga berhenti mengalir. Kacau. Satu kata itu cukup menggambarkan kondisi perasaan dan make up di wajahnya.

"Duh, gue kenapa sih?" Caca memukul kening berkali-kali. "Kak Dio 'kan di US, enggak mungkin dia jemput gue di Bandara. Masa gue jadi bodoh total gara-gara surat ini." Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mendekap surat dan buket bunga pemberian Dio.

"Kenapa, Mbak?"

Caca mengernyit. Ia sempat berbicara dengan sang supir tanpa melihat wajahnya. Suara sang supir begitu familier. Begitu bersitatap lewat kaca spion, dugaannya benar.

"Saya pikir cuma Dio Anggara Cokroatmojo yang logikanya jadi mati. Soalnya dia meratapi gantungan tas tiap mau nyusun skripsi dan dompet tiap mau bayar makan." Daniel menoleh sekilas sebelum melanjutkan, "Eh iya, saya lagi jadi supir taksi dadakan ya? Jadi gimana Mbak mau saya antar ke Soetta apa US sekalian? Biar teman saya sembuh. Kasihan Mbak, dia sakit malarindu tahunan. Dianya di US, obatnya nyangkut di Indonesia."

"Jadi suratnya dari Kakak?" Caca bertanya diiringi hidung kembang-kempis.

"Tenang, Mbak. Itu surat yang Mbak peluk naskah otentik, kok. Saya cuma menambahkan satu paragraf terakhir yang bikin Mbak lari kebingungan cari taksi dan akhirnya ketemu saya."

"Maksud kalian apa?"

"Maksud saya sama Dio jelas beda. Dio cuma menitipkan surat dan bunga lewat saya untuk memastikan langsung, kira-kira Mbak buang apa enggak. Kalau saya sih cuma lagi uji coba. Kira-kira hubungan kalian ini bisa enggak berhenti bikin orang geregetan pengin sekap kalian di satu kamar berhari-hari. Supaya ngobrol panjang lebar dari hati ke hati. Mata ke hati, hati ke mata gitu, Ca."

Caca berdecak kesal. "Lagu HIVI! kali, Kak!"

"Nah, itu dia, Ca! Tak pernah kurasakan cinta begitu hebatnya, sebelum ku kenal kamu duniaku kelabu ...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro