31. Jalan Dialog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kakak tahu dari mana kami pernah menjalin hubungan?"

"Dio cerita sehabis nanya kejelasan tentang orang-orang di video itu. Kita sempat tonjok-tonjokkan loh, Ca. Saya pikir dia cemburu karena saya beberapa kali perhatian sama kamu."

Caca tak berminat melanjutkan topik yang Daniel buka. Tak seorang pun yang mau terus-menerus membuka luka lama. "Kak berhenti di sini aja. Aku mau balik ke GWW."

"Nanti saya antar kamu pulang. Minum dulu yuk? Haus banget nih."

Sebuah angkutan umum menepi dan klakson panjang memekakkan telinga menggema. Daniel merupakan salah satu penyumbang klakson tersebut. Caca mengedarkan pandangan ke segala arah, lalu menyandarkan punggung. Kemacetan tak pernah lepas dari huru-hara para pengendara yang mau menang sendiri. Belum ada tiga detik, Daniel membunyikan klakson karena pengendara motor yang menyalip sembarangan.

"Yuk?" ajak Daniel seraya mengetuk kaca jendelanya.

Caca menoleh ke kanan dan kiri. Ia masih memeluk buket bunga pemberian Dio. Seakan-akan bila buket itu jatuh, bunga-bunganya akan menangis tersedu-sedu. "Aku masih pakai toga. Kak Daniel aja yang keluar."

Daniel menarik senyum tipis. "Ya udah tunggu sebentar."

Mereka berhenti di sebuah kafe bertema hitam putih. Lewat kaca besar, Caca melihat kursi-kursi kecil berwarna putih bersanding dengan meja bulat hitam. Dinding kafe dan meja kasir pun berwarna demikian. Ada lampu-lampu berbentuk kerucut yang menggantung di plafon. Kalau dalam kondisi normal, Caca bersedia saja duduk berjam-jam di sana ditemani novel fantasi. Sekian puluh menit berlalu, Daniel kembali bersama dua paper cup red velvet.

"By the way, ini tempat nongkrong kita kalau Dio habis menang tender atau lukisan saya kejual. Kata Dio tempat ini punya magis yang bikin dia cepat nyusun coding. Hari-hari biasa mah kita nongkrongnya di warteg, Ca. Soalnya kita bokek." Daniel menyerahkan satu paper cup pada Caca. Senyumnya melebar. "Uang orang tua itu digunakan hanya ketika kita hampir mati tak berdaya. Haha enggak ngerti lagi saya sama si Dio. Enggak tahu juga kenapa mau-mau aja jadi pengikut prinsip sesatnya."

Caca memandangi lagi kafe tersebut. Kenapa Dio tak pernah mengajaknya kemari?

"Dio enggak mungkin ngajak kamu kemari. Karena saya sama Jimmy pasti bisa mengendus jejak kalian kalau nge-date-nya di sini," tukas Daniel setelah duduk di sampingnya. Laki-laki itu membiarkan kursi kemudi kosong, tetapi mesin mobil menyala.

"Makasih buat minumannya, Kak." Caca mengangkat paper cup, menyesapnya sedikit.

"Ca, aku pacar rahasia Fella semasa SMA."

"Udah tahu, Kak."

"Dio pasti udah kasih tahu kamu." Daniel mengurai tawa. "I love her, Fella bukan cinta monyet saya ternyata, Ca."

Caca malah tertawa sinis. "Oh ya?"

"Sehabis Aksel kasih tahu video itu, untuk pertama kalinya saya enggak bisa mengendalikan emosi. Biasanya fisik Aksel lebih bagus dari saya, tapi hari itu dia masuk rumah sakit karena saya pukulin. Orang rumah udah pada angkat tangan." Daniel menyedot red velvet-nya sejenak. "Mungkin enggak ada artinya juga saya cerita ini. Waktu enggak akan bisa terulang."

Kalimat terakhir mengingatkan Caca pada ucapan Dio ketika mereka di rooftop Atmojo Group. Hari di mana rahasia besar terbongkar dan bom waktu menghancurkan segala hal yang mereka miliki. Waktu tak akan pernah kembali. Waktu terus bergerak maju, sedangkan perasaannya masih terjebak. Ia pikir Dio akan ada di sini. Tiga tahun sudah mereka berakhir, apa yang mau ia harapkan? Dio Anggara Cokroatmojo datang bersama senyuman menyejukkan dan berkata mari kita mulai semua dari awal?

"Orang yang selalu bawa baby's breath ke makam Kak Fella—"

"Iya, itu saya. Memangnya siapa lagi, Ca? Saya yang pertama dan terakhir buat dia, begitupun sebaliknya."

Terserah Daniel mau membuat pernyataan bagaimana. Bagi Caca pertanyaan yang hinggap lama di kepalanya lebih penting. "Kenapa enggak jujur waktu itu?"

"Saat itu saya cuma mikir, ngapain juga jujur, kamu enggak akan ngerti dan pasti sulit menerima faktanya." Daniel menatap Caca intens. "Benar 'kan? Kamu aja enggak bisa terima Dio, apalagi saya?"

Pertanyaan tersebut berhasil membungkam Caca yang langsung menunduk. Heels berwarna khaki lebih menarik dipandang.

"Dio enggak salah, Ca—"

"Aku tahu, tapi coba Kak Daniel mikirin posisi aku. Rumit. Aku sama dia bukan anak SMA yang memenangkan ego di atas segalanya."

Daniel mendengkus. "Kisah kalian jelas rumit, tapi ternyata prinsip dan isi kepala kalian lebih rumit dari yang saya kira." Laki-laki itu menggaruk sebelah alis. "Gini ya, Ca. Sebenarnya hidup saya jauh lebih penting dibanding perasaan kalian berdua. Saya di sini karena kasihan aja sama teman. Ya, Dio memang bisa hidup tanpa kamu. Buktinya dia bisa lulus tepat waktu. Meski ada beban organisasi, akademik, perusahaan keluarga di pundaknya sama kamu di kepalanya."

"Aku enggak pernah bermaksud membebani dia." Caca menyingkirkan helai rambut di dahi. Bola matanya mengarah ke ujung kanan atas. "Lagian Kak Dio enggak separah itu juga selama dua tahun belakangan."

Seketika Daniel menjentikkan jari di depan wajah Caca. "Tuh 'kan, kalian aja masih saling memantau. Mau menyangkal sampai kapan, Ca?"

"Kak Daniel enggak akan ngerti. Ini bukan cuma tentang aku sama Kak Dio, ini tentang keluarga kami kalau seandainya—"

"Kalian udah bikin janji bakal nikah habis lulus ya?" Daniel mengangkat sebelah tangan saat Caca membuka mulut. "Jangan disela, tahan dulu, Bos. Gini, Ca, pernikahan memang menyatukan dua keluarga. Cuma yang menjalani kan kalian berdua. Kamu nikahnya sama Dio, bukan sama bapaknya, Ca." Daniel mengangkat tangan lagi begitu Caca hendak protes. "Oke, enggak apa-apa kalau kalian enggak berniat menikah. Saya cuma—"

"Manusia punya hati dan pikiran, Kak. Hati aku selalu memenangkan dia, tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku enggak mau melukai Kak Fella atau orang tuaku dengan cara seperti itu. Aku yakin Kak Dio ngerti kenapa kemarin-kemarin aku bersikap kayak orang asing." Caca menarik napas panjang, lalu memandang Daniel bersama senyum samar. "Ada dua hal yang enggak bisa kita tebak di dunia ini, Kak. Pertama, takdir. Kedua, isi hati dan pikiran orang. Mungkin takdir aku sama Kak Dio begini adanya."

"Seenggaknya jangan bikin Dio merasa bersalah atas kesalahan yang enggak pernah dia lakukan, Ca. Kalaupun ada orang yang patut disalahkan itu saya. Seharusnya saya enggak pernah datang ke hidup Fella."

***

"Tadi kamu ke mana?"

Caca melirik Bunda yang berjalan mendekat, kemudian mematut diri lagi. Ia tidak bermaksud mengabaikan, tetapi bingung harus memulai dari mana. Demi mengulur waktu, ia melepas gelungan rambut, menyisirnya susah payah. Hair spray benar-benar merusak kelembutan rambut.

"Sebenarnya Gilang mau ngejar kamu, tapi ditahan sama Ayah."

Caca meneguk ludah susah payah, seolah ada kulit duren tersangkut di kerongkongan.

"Tadi itu bunga dan surat dari Dio 'kan?"

Gerakan Caca terhenti, matanya membulat sempurna. "Bun—"

"Jangan bohong, Bunda tahu."

Caca menunduk, menghindari kontak mata dengan Bunda. Wanita paruh baya yang kini bersedekap sambil memicingkan mata adalah pembaca raut wajah dan sorot mata yang ulung.

"Cuma Dio yang bisa bikin anak Bunda nangis berhari-hari. Cuma Dio yang bisa bikin kamu banyak melamun. Cuma Dio juga 'kan yang tahu kamu suka lily putih selain Bunda? Iya, cuma anak itu aja yang bisa bikin kamu lari kencang, padahal kamu benci olahraga." Bunda menggaruk pelipis yang tak gatal. "Kalian habis dari mana? Kenapa Dio enggak antar kamu pulang?"

Caca menggeleng, masih belum berani bertatapan dengan Bunda.

"Jangan bohong, Nak."

"Ayah marah banget ya? Tadi diam aja pas aku sampai rumah," ujarnya lirih sambil memainkan jemari.

"Iya, Ayah marah karena kamu main pergi aja terus enggak kasih kabar. Kamu pergi ke mana sama Dio?"

"Bun, aku enggak ketemu Kak Dio. Dia masih pendidikan di US. Aku pergi sama Kak Daniel tadi. Sebenarnya aku mau kasih kabar, tapi HP Kak Daniel lowbat. HP aku masih dipegang Bunda dari awal masuk gedung."

Akhirnya Caca memberanikan diri mengangkat kepala. Bunda mengembuskan napas panjang, kemudian memeluknya erat.

"Aku enggak bohong, Bun."

"Terus kenapa Daniel enggak antar kamu pulang, Nak?" Bunda mengusap-usap rambutnya. "Siapa dia? Bunda baru dengar namanya."

"Kak Daniel antar aku pulang pakai taksi, Bun." Caca mengusap pelan punggung Bunda. "Dia kakak tingkat, sama kayak Gilang. Tadi kita ngobrol di kafe aja kok sama ngabisin waktu mengarungi kemacetan."

"Ya udah, kamu istirahat ya?" Bunda merelai pelukan mereka, lalu menepuk sebelah pipinya. "Jangan banyak pikiran, Bunda enggak mau kamu sakit."

Caca mengangguk seraya membalas senyum lembut Bunda. "Bunda juga istirahat. Maafin aku untuk hari ini ya, Bun?"

"Iya, Nak." Bunda melirik buket bunga di meja rias. "Bunda boleh tahu isi surat dari Dio?"

Mereka sama-sama diam membisu sejenak. Setelah mengangguk, Caca menarik laci meja rias dan menyerahkan secarik kertas pada Bunda. Ia sudah berjanji tak akan menyembunyikan apa pun pada hari Fella dimakamkan. Hatinya cukup hancur melihat sang ibu memohon kepadanya bersama linangan air mata.

"Ca, Bunda sama Ayah enggak pernah membenci Dio meski tahu apa yang papanya lakukan dulu dan apa yang juga kakaknya lakukan ke Fella setelah kamu cerita. Kami percaya Dio laki-laki baik, karena dia mau ngasih tahu semuanya ke kamu." Bunda menangkup kedua pipi Caca. Sendu berpendar dari sorot mata tuanya. "Semua orang tua pasti mau lihat anaknya bahagia dengan apa pun pilihan anaknya, Ca."

"Bun ...." Suara Caca terdengar bergetar. Ia menggigit bibir bawahnya sebelum melanjutkan, "Aku enggak balikan sama Kak Dio, demi Tuhan. Bunga itu dititip ke Kak Daniel dan isi paragraf terakhir bukan Kak Dio yang tulis."

Bunda mengangguk, kemudian air matanya ikut berderai. "Bunda tahu kamu masih menyimpan rasa itu, tapi Dio bukan orang biasa, Ca. Maksud Bunda keluarganya—"

"Aku enggak akan melukai Kak Fella, Bun," tegas Caca.

"Kamu berhak bahagia, Nak. Kalau kamu meninggalkan Dio karena Kak Fella, itu salah besar. Bunda enggak pernah mengajarkan kamu jadi orang pendendam."

Bunda mengguncang bahunya pelan, mereka saling menatap tanpa suara. Caca berusaha keras menahan bendungan di pelupuk matanya supaya tak runtuh. Namun, sedetik kemudian ia menghambur ke dalam pelukan sang ibu. Caca tak ingin bicara apa pun tentang Dio Anggara Cokroatmojo. Ia tak akan membiarkan laki-laki itu memenuhi kepalanya lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro