9. Jet Black Heart

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jet Black Heart" milik 5 Second Of Summer menemani perjalanan Ditha. Ia mematikan mesin seusai memarkirkan mobil. Lucu juga, entah berapa lama kakinya baru berpijak lagi di tempat ini. Ragu sempat menahannya untuk keluar mobil. Orang sepertinya tidak pantas memasuki tempat semacam itu.

Sejauh mana manusia bisa menyadari berapa banyak pelanggaran yang mereka lakukan seumur hidup? Ditha menyadari banyak hal yang fatal selama menghirup napas kurang lebih 23 tahun. Masa lampau mengakibatkan insiden kecil berubah menjadi malapetaka. Bagi orang lain, juga baginya. Kebodohan di usia muda kerap kali menyambangi pikiran pendek para remaja. Pada akhirnya, Ditha membuka pintu mobil dan melangkahkan kaki. Hari ini langit kelabu menaungi kota Jakarta.

Kepalan tangannya mengerat seiring dengan degup jantung yang berubah dua kali lebih cepat. Ditha mengembuskan napas keras, menghilangkan semua rasa khawatir dan takut. Barisan kursi panjang berwarna cokelat menjadi yang pertama kali menyapa netranya.

"Dit, Fella meninggal!"

Mengerutkan alis seakan sulit percaya, Ditha bertanya, "Fella? Maksud lo Fella yang ...."

"Iya! Dia gantung diri di kamar."

Ditha sontak membeliak sempurna, sedangkan kaki bergetar hebat. Embusan napasnya terasa berat. Belum ada hal yang mampu membuat Ditha setakut ini. Karena rasa takutnya sanggup sirna sekalipun tangan ayah melayang di depan wajah.

"Enggak mungkin, enggak mungkin, ini hoax kan?" Ditha bertanya lagi, suaranya bergetar.

Ariel—sahabatnya sejak SMP—mengeluarkan ponsel dari saku seragam. Gadis itu mendekatkan layar ponselnya ke wajah Ditha. Ia memejam erat usai membaca deretan kata pada layar ponsel Ariel. Bersama napas memburu, Ditha melangkah cepat meninggalkan sahabatnya.

"Dit, lo mau ke mana?" teriak Ariel.

"Gue mau cari Fella!"

"Lo gila? Gerbang udah ditutup!"

Ditha tak mengindahkan kata-kata Ariel. Ia terus berlari menuju parkiran, lantas buru-buru memasuki mobil dengan gusar. Gerbang SMA Tarakanita sudah tertutup rapat. Namun, Ditha terus memberikan klakson hingga satpam menghadangnya.

"Pak, tolong buka gerbangnya!" Ditha menurunkan kaca mobil. Kekesalan tergambar jelas pada raut wajahnya.

"Sudah jam masuk."

Ditha mendengkus sembari memutar bola mata. "Buka aja, Pak!"

"Ini sudah peraturan."

"Sialan." Ditha mendesis dan membunyikan klakson membabi buta. "Saya bisa minta orang Papa saya supaya Bapak dipecat hari ini." Ia membuka kasar pintu mobil.

Ditha Anjani Cokroatmojo. Satpam itu pasti sangat tahu nama belakang yang disandang Ditha bukan sekadar nama biasa. Ancaman kata pecat pasti terdengar lebih menyiksa dibanding cambukan. Benar saja, satpam tersebut akhirnya membuka gerbang lebar-lebar.

"Ditha Anjani! Mau ke mana kamu? SP satu saya kirim hari ini kalau kamu keluar gerbang!" Suara lantang seorang guru menyapa telinga.

SP lima sekalipun Ditha tak akan berbalik. Ia mengibaskan sebelah tangan lantas menyentak pintu mobil. Rasa kalut dan takut yang bercampur aduk dalam benak menemani perjalanannya mencari Fella. Ia sebatas mengenal gadis itu sebagai penyelamat nyawa kedua. Ya, memangnya apa lagi?

Ditha mendatangi semua tempat yang memungkinkan Fella kunjungi. Meski telah berusaha keras sepanjang hari, Ditha tak pernah bisa menemukan Fella. Berita yang Ariel sampaikan adalah sebuah kenyataan. Sekilas ingatan yang terputar membuatnya terpaku di depan bilik pengakuan dosa. Bibirnya terkatup rapat.

"Ada apa?" tanya seseorang yang Ditha tidak tahu siapa. Karena ia hanya terus menunduk.

Pilihan yang Ditha pilih pada akhirnya bukan mengakui. Ia menggeleng, lalu setengah berlari meninggalkan gereja.

***

Tepukan pada bahu membuat Dio menggantungkan headphone di leher. Satu alisnya terangkat. "Apa?"

"Ponsel lo kedip-kedip." Jimmy mengarahkan dagu ke arah karpet. Tempat di mana Dio meletakkan barang-barangnya sepulang kuliah.

"Getarannya 5SR, Yo," canda Daniel.

Jelas-jelas ponsel Dio selalu mode silent dalam situasi apa pun. Tanpa nada dering. Tanpa getar. Ia akhirnya membungkuk, meraih ponsel yang digeser Jimmy. Dua kawannya masih setia duduk di karpet, beberapa lembar kertas berserakan sejak kapal VOC tenggelam. Mereka baru ingat akan ada kuis hari ini, jadilah belajar kelompok diadakan dadakan. Selain mengurusi tugas kuliah dan belajar, mereka memperjuangkan setiap program yang BEM kabinet Nitrogen gawangi. Entah itu kegiatan sosial, seminar, rapat, pensi, MPKMB, dan sebagainya.

Alasan yang sangat wajar kalau ingatan mereka tumpul, kan?

Nama Ditha tertera pada layar ponsel, alis Dio menukik tajam melihat banyak panggilan tak terjawab dari sang kakak.

Tumben, batinnya.

Dio malah memasukkan ponsel ke laci meja belajar. Banyak yang harus ia kejar hari ini selain kuis. Ada powerpoint berisi bahan rapat BEM, ditambah program baru yang sedang ia rancang.

"Enggak ditelepon balik?" tanya Jimmy.

"Ditha. Paling iseng," jawab Dio.

Mendengar nama Ditha disebut, Daniel menghentikan kegiatannya menggores kertas. "Gimana kabarnya?"

"Ya begitu." Dio mendorong kacamata. Ia mencoba mengenyahkan rasa khawatir tidak jelas yang tiba-tiba mencuat.

"Udah berhenti nge-drugs?" tanya Daniel lagi.

Berulangkali mencari tahu, Dio tak menemukan adanya hubungan spesial antara Daniel dan kakaknya. Satu hal paling masuk akal, ia menganggap Daniel Adithama memiliki rasa simpati dan peka yang terasah sangat baik. Pada beberapa obrolan serius mereka, Dio sempat membahas sedikit tentang Ditha. Sebab ia sedang butuh tempat untuk berbagi.

Baik Daniel maupun Jimmy sudah hafal tabiat si programmer kelas teri. Dio cukup pandai menyembunyikan apa yang membebani pikirannya. Maka ketika laki-laki itu mau membuka sedikit masalah keluarganya, mereka akan menjadi pendengar yang baik.

"Belum sepenuhnya, setiap pulang gue masih suka buang barangnya ke selokan."

Daniel mengangguk lamat-lamat. Kini ia sibuk mencorat-coret rumus pada lembaran kosong, sedang telinga menyimak baik-baik kabar terbaru Ditha Anjani Cokroatmojo. "Sebenarnya tanpa sadar kalian itu masih saling peduli."

Satu sudut bibir Dio tertarik, ia mulai mengetik paragraf baru pada slide Power Point. "Mungkin."

Terdiam sejenak, Dio mengingat cuplikan di mana mereka menghabiskan waktu dengan stick play station setiap malam Minggu. Permainan guitar hero merupakan salah satu hal yang dapat menghentikan perdebatan tidak mutu di antara mereka. Juga, ketika serial anime Hunter x Hunter tayang di saluran Space Toon. Ditha akan sukarela membagi Oreonya. Dio percaya, sangat percaya. Ditha juga masih peduli padanya.

Tersisa mereka berdua di Medan perang Herdian Cokroatmojo. Harusnya mereka saling menguatkan satu sama lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro