8. Buta Kencan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semua mahasiswa baru yang menempati asrama, tiap pagi wajib mengikuti social gathering di tiap lorong. Semacam kegiatan untuk saling mengenal teman-teman seangkatan. Pagi ini, ketika soga berlangsung, entah dapat dikatakan sebagai kesialan atau keberuntungan. Caca terpilih sebagai ketua asrama baru atau sebutan akrabnya Bu lurah.

Setiap lorong akan diketuai oleh Bu RT dan setiap gedung diketuai Bu RW. Sayang, Caca sedang tidak memikirkan jabatan barunya. Pikiran gadis itu berkelana bersama Dio. Insiden ciuman di kamar kakak tingkatnya terus berputar di kepala. Kurang ajar memang. Bahkan ia kesulitan fokus terhadap soal test di depan mata sekarang.

Selain jabatan Bu lurah, hari ini Caca harus melewati test shock terapi yang biasa diadakan untuk mahasiswa baru. Beberapa kakak tingkat bertugas sebagai pengawas. Ia mengetuk-ngetuk pulpen ke dahi, mencoba memenjarakan fokus pada jawaban yang sedang ditulis dalam bentuk essay. Tidak sengaja kepalanya terangkat. Salah satu kakak tingkat memandang lurus ke barisannya.

Daniel Adithama.

Mata mereka beradu pandang. Detik demi detik berjalan begitu lambat, Caca mulai risi dan memilih menunduk.

Gue kan enggak nyontek, kenapa harus takut? pikirnya.

Beberapa menit menekuni lembar jawaban. Caca beralih sejenak, mencoba mencari jawaban dengan memandangi dinding putih. Tanpa sengaja ia tertambat oleh sepasang mata milik Daniel Adithama, lagi. Entah perasaannya saja atau Daniel memang memperhatikannya sejak tadi. Caca lantas memalingkan wajah secara refleks.

"Kamu! Keluar sekarang!"

Tatapan Caca mengarah ke depan. Salah satu kakak tingkat menghampiri mejanya. Perempuan itu menyambar kertas jawaban, merobeknya di depan wajah Caca.

"Kenapa dirobek, Kak?" Caca menahan suaranya supaya tidak meninggi. Tangannya menggenggam pensil kuat-kuat.

"Pelanggaran, sekarang kamu keluar," jawab Allea. Caca tahu namanya setelah membaca nametag di dada.

"Loh, saya kan enggak mencontek." Caca bersikeras enggan beranjak dari kursinya sebelum semua soal terjawab.

"Dia enggak mencontek, Lea." Daniel tiba-tiba menarik tangan perempuan bernama Allea itu.

"Gilang, ke sini sebentar!" Allea tetap bertahan di posisinya.

Laki-laki bernama Gilang akhirnya juga ikut menghampiri meja Caca. Kakak tingkat lainnya meminta kelas untuk tetap tenang. Caca menggertakkan gigi, melayangkan tatapan penuh kebencian terhadap Allea.

"Menurut lo kenapa gue robek jawabannya dan menyuruh dia keluar?" tanya Allea pada Gilang.

"Dia melakukan pelanggaran," jawab Gilang.

Allea mengangguk seraya melayangkan tatapan tajam, ia seakan menantang segala argumen Daniel. Allea merasa tidak ada yang salah dengan tindakannya. Ia merasa sudah melakukan hal yang tepat karena mendapat dukungan dari teman sejawat.

"Pelanggaran apa sih? Dia enggak mencontek!" ujar Daniel lirih namun penuh penekanan.

"Menoleh ke kanan-kiri dan enggak fokus termasuk pelanggaran, Daniel." Gilang menyahut.

Posisi paling sial pagi ini adalah menjadi bahan perdebatan antara Daniel dan kakak tingkat lainnya. Caca meniup anak rambut di dahi seraya beranjak.

"Permisi, Kak."

Seumur-umur baru kali ini Caca merasakan jengkelnya keluar kelas karena hal yang sangat sepele. Ia merogoh ponsel dari saku jeans, lalu menarik headset di ransel. Nothing on You menemaninya menyusuri koridor kampus menuju kantin. Belum juga tiba di kantin, Caca hampir tersandung karena tali sepatu sialannya yang terlepas. Entah kenapa, hari ini terasa begitu sial sekaligus menjengkelkan.

Setelah mendesah berat, ia terpaksa berjongkok mengikat sebelah tali converse pink kesayangan. Di antara gerutuan dan sumpah serapah, alis Caca bertaut begitu menemukan sepasang converse hitam-putih berjarak sekian langkah darinya. Orang itu seperti sengaja berhenti. Kakak tingkat yang namanya menari-nari dalam sanubari saat test tadi hadir di hadapan Caca.

Dio Anggara dengan kemeja flanelnya. Tidak ada yang lebih berengsek dari itu bagi Caca. Dunia terasa sunyi seketika. Tidak ada suara lain selain detak jantungnya yang mulai mendendangkan I will fly milik Ten2five.

Dio berdeham sebelum menyerahkan sebuah kotak kecil padanya. "Anting kamu ketinggalan."

Caca ingat akan itu. Ia punya sekotak berbagai macam dan model penghias telinga dari mulai drop earrings hingga dangle earrings. Maka Caca tidak terlalu memedulikan sebelah antingnya yang hilang entah di mana.

"Oh iya, Kak. Makasih," ucap Caca setelah menerima kotak itu.

Seperti biasa, Dio menjawabnya dengan anggukan.

"Hmm ... aku duluan ya, Kak."

Caca baru saja ingin beranjak menyelamatkan kesehatan jantungnya.

"Ca ...," panggil Dio.

Langkah Caca secara otomatis terhenti. "Iya, Kak?"

"Udah makan belum?"

Terdengar berlebihan, tetapi bagi Caca pertanyaan itu setara pengumuman menang lotre. "Belum."

"Mau bareng enggak?"

Sekarang ada dua pertanyaan yang Caca pikir mustahil bisa Dio lontarkan. Ia menggengam erat-erat kotak kecil berisi sebelah anting. Kedua matanya terpejam bersamaan senyum yang mengembang, ia berusaha menahan euforia yang meledak di dalam sana.

***

"Ben!" panggil Dio.

Sangat kebetulan ketika keluar parkiran mencari pinjaman helm, Dio menemukan Beni yang melintas bersama dua kawannya. Laki-laki itu merupakan salah satu teman SMA yang dulu sempat sekelas dengannya. Mereka berada di satu organisasi dan jurusan yang berbeda. Hanya saja masih saling bertukar sapa ketika berpapasan.

"Kenapa, Yo?" Dua alis Beni terangkat. Laki-laki itu mendekat hingga mereka bertemu di satu titik.

"Gue pinjam helm," kata Dio.

"Lo enggak bawa?"

"Gue lupa."

Dio berbohong. Tentu saja yang ingin dipinjam dari Beni bukan diperuntukkan untuknya, melainkan untuk gadis yang sudah berjanji menunggu di parkiran. Ajaib juga, Dio sendiri lupa bagaimana cara mengajak Caca sekian menit lalu. Ajakan spontan tersebut terjadi secara alami. Ia bahkan belum punya rencana mau menawari gadis itu makan di mana. Boleh jadi mengajak Caca makan bersama adalah salah satu rencana dadakan yang belum pernah ia lakukan pada perempuan lain.

Beni mengernyit. "Ambil sendiri ya. Gue malas ke parkiran." Ia menyebutkan nomor plat serta merk motor.

"Oke." Dio mengurungkan niat pergi saat terpikirkan sesuatu. "Lo mau pulang minggu ini?"

"Banyak tugas."

Ternyata keberuntungan sedang mengiringi hari Dio. Jika Beni tidak pulang, maka ia bisa leluasa mengembalikan helm. Selain itu, ia juga tidak perlu buru-buru menghabiskan waktu bersama Caca. Dio mengumpat dalam benak, pernyataan terakhir tercetus sebelum diproses.

"Oh, gue kembaliin Senin ya."

Beni hanya mengacungkan ibu jari lalu berbincang dengan temannya. Dio merogoh ponsel berniat mengabari Jimmy bahwa kemungkinan ia langsung pulang ke rumah. Supaya ketika anggota organisasi mengadakan rapat dadakan dan menanyakan keberadaannya, Jimmy bisa menjawab tepat. Ia mulai menyusuri area parkiran setelah memasukan ponsel. Kondisi parkiran yang lumayan sepi memudahkannya menemukan gadis itu. Ingin langsung menghampiri, Dio memutuskan lebih dulu mencari keberadaan motor Beni.

***

Tarik-buang napas sudah Caca lakukan berulang kali. Ia sudah mirip orang yang mau melahirkan. Sebelah tangannya juga berulang kali merogoh cermin di bagian ransel paling depan. Caca merapikan tatanan rambut, melepas jepitan yang tersemat. Karena posisi poni ditarik habis ke belakang memberi efek pemandangan Gelora Bung Karno pada dahinya.

Merasa puas akan tatanan rambut, ia mengecek kerapian polesan lip gloss serta memberi sedikit semprotan parfum pada bagian kemeja. Barang-barang semacam itu selalu tersedia di tas. Minggu kemarin Caca mengecat rambut menjadi warna hitam dengan tambahan warna pink di ujung. Ia gemar melakukan itu tiap ke salon. Dua sudut bibirnya tertarik. Oke, penampilannya cukup mengagumkan karena warna rambut lucunya. Secepat hujan turun, ia malah mendesah berat.

Ayolah, Dio hanya mengajak makan siang bersama, kenapa ia terlalu berlebihan? Sekarang bibir Caca mengerucut. Bukan Oxafia Djenara Nindyar namanya jika berubah pikiran semudah mengganti cat rambut. Caca menggeleng cepat, menampik segala pikiran buruk yang dapat melunturkan tingkat kepercayaan diri.

Enggak dong! Tujuan gue kan memang berniat jadi cewek yang selalu bisa menarik perhatian dia! seru Caca dalam hati.

Sebuah benda yang dipaksakan terpasang di kepala meluluhlantakkan dinding lamunan Caca. Ia menemukan sang guardian star yang duduk di atas motor. Kapan laki-laki itu muncul? Ingatan Caca mendadak tumpul akibat acara dandan dadakan. Dio malah menunduk, mengaitkan pengait helm. Sial, napasnya jadi tersendat-sendat.

"Kak, aku bisa sendiri! Serius!" serunya terbata.

"Selesai."

Hangat menjalari pipi Caca seketika.

"Kenapa diam? Naik, Ca." Dio dengan santai memakai helm full face-nya. Seolah-olah perlakuan barusan sudah lama menjadi kebiasaan mereka.

"Ini nih ... hng ... tatanan rambut a-ku rusak!" Terselip nada pura-pura jengkel pada kalimatnya. Caca berupaya menghilangkan segala gerakan kikuk yang niscaya membuat kecantikan paripurnanya menurun sekian persen.

"Kamu dikasih helm diam aja. Ya, saya pasang."

Demi meminimalisir kekonyolan perdebatan masalah pasang helm, Caca segera mendudukkan diri di belakang Dio. Hampir saja ia ingin menjatuhkan kening di sebelah bahu laki-laki itu. Bukan apa-apa, penciumannya cukup tajam menghidu aroma parfum yang niscaya sanggup membuai jajaran penggemar rahasia terlelap dalam pelukan.

Oke, jangan sampai pikiran Caca semakin liar.

"Ya udah, jalan, Bang," kata Caca.

Sesekali dirinya ingin tahu, apa benar Dio adalah tipikal orang yang sulit mengumbar candaan?

Dio tertawa kecil dan mulai melajukan motornya. "Sesuai aplikasi ya, Mbak."

Bolehkah Caca berharap kalau barusan Dio menanggapinya? Gadis itu mengulum bibir. Mungkin ia bisa mencoba sekali lagi?

"Kasbon sampai lulus, Bang."

"Oh ... jadi minta diantar-jemput sampai lulus nih?"

Caca rasa pipinya hampir robek hanya karena tersenyum. "Apa sih, Kak? Enggak lucu!" Lantas ia mencubit pinggang laki-laki itu.

"Sakit, Ca," sahut Dio yang menarik sebelah tangan Caca perlahan ke depan.

Kecanggungan sirna entah ke mana. Seharusnya Caca menarik tangannya dalam genggaman Dio. Sayang, kenyataan yang terjadi justru ... ia mengikis jarak. Sekadar berboncengan bukan masalah besar kan? Lagipula Caca takut terjatuh. Wajar-wajar saja kan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro