7. Mantan Terindah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langit masih menggelap, udara luar biasa dingin. Caca tetap saja menggigil, padahal ia sudah mengenakan hoodie pinjaman Dio. Ia tak ingin melupakan momen dini hari dan tadi malam seumur hidup. Dimulai dari menanti hujan reda, mengendap-endap ke dalam indekos, obrolan tidak jelas, dan upaya mereka melarikan diri.

"Ca, kalau mau salat nanti di masjid aja ya."

"Hmm ... itu, Kak." Caca menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga. "Aku katolik."

Sempat terdiam, Dio mengulurkan sebelah tangan saat gadis itu berjongkok di jendela kamar untuk bersiap melompat.

"Cepat, Ca."

Laki-laki itu memindai sekeliling, sedangkan Caca terus menatap punggung si pemandu jalan. Dio masih setia menarik sebelah tangannya supaya berjalan lebih cepat menyusuri celah samping indekos. Mereka melewati beberapa jendela kamar yang masih tertutup rapat. Berbagai macam spekulasi mencuat kala Caca menatap pagar menjulang tinggi di depan mereka.

"Aku bingung cara memanjatnya, Kak."

Hal yang paling malas Dio dengar. Ayolah, ini satu-satunya jalan. Mereka bukan makhluk astral yang bisa menembus dinding. Ia menghela napas panjang. "Kamu naik pakai kaki kanan dari situ, terus ke sini, ke atas, selesai." Telunjuknya mengarahkan setiap langkah.

Caca menimbang-nimbang pilihan. Rasanya kembali ke kamar Dio dan tidur nyenyak di sana jauh lebih menyenangkan, ketimbang berkeliaran menerobos udara dingin ditambah lagi memanjat pagar. Bukan apa-apa, akan sangat disayangkan jika rok selutut biru pastel kesayangannya robek akibat tersangkut. Mencoba mencari keberanian, Caca melekatkan tatapan pada laki-laki itu. Entah kenapa, sekalipun belum begitu mengenal seorang Dio Anggara lebih dari guardian star. Ia merasa aman dan nyaman-nyaman saja.

"Kamu nunggu apa lagi? Nanti jalanan keburu ramai, terus ketahuan Abah."

"Iya, iya."

Mau tidak mau Caca memegang batangan besi dingin, mencoba memanjat dengan kaki kanan. Tidak lama Dio mengikuti, gerakannya super cepat. Sekejap mata Dio sudah berdiri di balik pagar sana. Mungkin laki-laki itu memiliki banyak pengalaman memanjat pagar rumah atau sekolah. Caca sendiri butuh usaha keras, bakatnya menjadi maling nol besar.

Sesudah menapaki tanah, Dio kembali mengawasi keadaan sekitar. Jam digital yang melingkari pergelangan tangan menunjukkan pukul empat pagi.

"Kak, pinjam tangan dong."

Posisi Caca masih menempel pada pagar. Ia menggigit bibir sambil mengulurkan sebelah tangan. Gadis itu langsung melompat tanpa tahu diri usai Dio menyambut ulurannya, jelas-jelas pagar ini lebih tinggi dari jendela kamar. Ia menangkap tubuh gadis itu demi meredam jeritan yang niscaya membangunkan seluruh penghuni. Tolong garis bawahi ini.

Lampu jalan berwarna kuning menemani perjalanan selain lampu teras rumah warga. Keadaan masih sangat sepi. Sesekali Caca mencuri pandang ke arah laki-laki yang mengenakan celana training dipadu hoodie warna hitam. Cukup serasi dengannya yang memakai hoodie warna putih. Ia sudah berencana untuk tidak mengembalikannya.

Perjalanan menuju asrama kampus berakhir, ditandai oleh gerbang tua besar berkarat. Jajaran jendela kamar masih tertutup rapat. Para penghuninya pasti sibuk memeluk bantal, kontras dengan mereka yang hampir membeku di tempat. Bukan disebabkan dinginnya udara Bogor ketika pagi buta, melainkan hal sialan bernama degup jantung. Kalau bisa, Caca sudah melepas salah satu organ yang katanya berguna mendeteksi radar jatuh cinta itu.

"Ca, coba hubungi teman-teman kamu." Dio menyerahkan ponselnya.

"Iya, Kak."

Jari Caca berselancar membuka akun Facebook. Ia membombardir Vena, Mia, dan Dahlia lewat inbox. Ia belum hafal ketiga nomor teman-teman dekatnya, maka salah satu cara terbaik adalah meneror media sosial mereka. Bunga biru bernama Clitoria ternatae menjadi pengalihan Dio selama menunggu.

Sekian menit terlewat, teman-teman Caca tak kunjung menampakkan batang hidung. Entah mereka mati suri sewaktu tidur atau perjalanan menuju gerbang seberat menggeret kapal Titanic di kaki. Sekuat mungkin Dio menahan terpaan kantuk. Rindu memang berat, apalagi terhadap kasur. Seolah ada perekat yang membuat kelopak mata Dio rapat. Sepuluh menit lagi angin membuai manja dan teman Caca belum juga muncul. Dapat dipastikan ia akan menggelar hoodie di pinggir jalan sebagai alas tidur.

"Kak ...." Suara Caca menyelamatkannya dari kantuk berat. "Aku masuk ya? Makasih banget."

Dio hanya mengangguk sebagai jawaban, lantas memperhatikan Caca yang perlahan menghilang di balik gerbang bersama dua temannya. Sayang, otak sialannya malah memutar adegan ciuman ... serta-merta Dio menendang secara serampangan setiap batu kerikil di jalan setapak. Ia benar-benar butuh tidur demi mengembalikan kewarasan.

***

"Omong-omong, Yo. Pas gue tidur di kasur, kok gue nemu anting cewek ya di bedcover?" Jimmy membuka percakapan. Ia mengeluarkan sebelah anting dari saku jaket, mengangkatnya di depan wajah. "Lo bawa cewek ke sini?"

Daniel yang hari ini bertandang untuk mengerjakan tugas langsung mengangkat kepala. "Gila sih, padahal wilayah kekuasaan Abah ketat, banyak ranjau." Setelah itu ia menyeringai, saling bertukar pandang dengan Jimmy.

Baik Dio maupun Jimmy punya jadwal pulang ke rumah masing-masing pada akhir pekan. Pagi tadi Dio sudah mengecek setiap sudut sebelum Jimmy, menghindari adanya jejak Caca yang tertinggal. Alih-alih menjawab, Dio hanya mengambil anting dari tangan Jimmy. Ia kembali mengulik aplikasi Java sebagai pengalihan pikiran, supaya suntuk mengolah rumus pada buku ikut tercerai-berai.

Selain mencintai laboratorium, Dio juga mencintai perangkat lunak pemrograman seperti Java dan PHP. Sejak SMP, ia mengisi waktu luang dengan autodidak mengenai susunan rumus pembuatan aplikasi serta website. Berawal dari kecanduan game, timbul pula rasa penasaran bagaimana cara membuatnya. Sekarang Dio memang masih disebut programmer kelas teri, tetapi ia memiliki cita-cita bisa mencapai tahap yang setara Mark Zuckerberg atau Bill Gates suatu hari nanti.

"Punya siapa?" Jimmy bertanya lagi sambil menaik-turunkan alis.

"Enggak tahu." Dio meraih ponsel di samping buku. Ia berniat menghubungi klien. Sayang, sudah beberapa kali menekan tombol power, layar masih menggelap.

"Enggak tahu tapi disimpan, Tong, Tong," sahut Jimmy lagi.

Dio berdecak karena baru mengingat ponselnya lupa diisi daya sejak kemarin. Begitulah, sering kali ia lebih peduli pada persenan baterai laptop dan abai terhadap ponsel. Mau bagaimana lagi? Laptop merupakan sarana mencari uang. Entah lewat penjualan website maupun aplikasi yang ia buat. Contohnya sistem pengisian KHS, pesanan dari sebuah kampus kecil yang membuka kelas khusus karyawan.

"Mau tahu enggak cara menguji tingkat keberengsekan lo?" tanya Daniel tiba-tiba. Wajahnya menunjukkan aura keberengsekan yang nyata.

"Kumat nih si Daniel," ujar Jimmy diiringi gelengan.

Di sela-sela kesibukan tugas kuliah dan kegiatan organisasi. Mereka bertiga selalu meluangkan waktu berkumpul, seperti sekarang. Entah sekadar bermain PlayStation bersama di indekos Dio atau ikut bermain futsal dengan teman-teman sekelas. Intinya tetap formasi tiga sekawan. Obrolan remeh penuh kekonyolan pun tak luput dari keseharian, meski dibarengi kegiatan mengulik rumus pada buku. Mau bagaimana lagi? Siklus kehidupan mahasiswa berputar pada tiga hal. Kuliah, praktik, dan laporan.

Biasanya mereka bertiga mengungsi ke selasar rektorat saat musim banjir tugas. Sayang, hari ini mereka sedang malas menyeret kaki ke sana. Selasar rektorat sendiri menjadi area kegemaran semua mahasiswa yang butuh koneksi internet cepat tanpa batas. Jika ada yang berinisiatif berjualan kopi atau pisang goreng, mungkin omsetnya hampir setara penjual sayur di depan komplek perumahan. Jangan pernah remehkan pekerjaan apa pun itu, karena kita tidak pernah tahu persis pasang-surutnya. Siapa sangka penjual sayur memiliki penghasilan lebih tinggi dibanding pegawai kantoran enam sembilan? Keluar rumah pukul enam pagi, tiba di rumah pukul sembilan malam.

"Lo coba deh one night stand sama cewek random. Kalau lo enggak bisa melupakan dia, bahkan adegan kalian malam itu melekat jelas di otak. Berarti lo enggak berengsek," lanjut Daniel.

"Maaf Bapak Daniel, itu teori dari mana ya?" Jimmy menggaruk pelipis disertai dahi berkerut dalam.

Daniel malah mengangkat bahu dan menjawab, "Tanya Dio yang udah nyoba lebih dulu."

"Gue cuma nolong dia," sahut Dio. Lama-lama telinganya ikut gatal karena ocehan Daniel.

"Cuma nolong yang punya anting tadi?" tanya Jimmy.

Sebisa mungkin Dio menutup rapat-rapat cerita tentang Oxafia Djenara Nindyar yang menginap di kamar ini semalam. Bukan apa-apa, salah satunya tentu demi kebaikan mereka berdua. Oke, mungkin tidur bersama bukanlah hal tabu bagi laki-laki seumurannya. Hanya saja logika berhasil membungkam mulut Dio.

"Jangan percaya! Bayangin Jim, hujan, udara dingin. Terus dibawa ke kamar, cuma berdua lagi! Enggak mungkin bangetlah ... secelup, dua celup pasti terjadi," sanggah Daniel. Baginya anting yang tertinggal di bedcover sudah cukup menjadi saksi bisu apa yang Dio dan kekasih random-nya lakukan semalam.

Lima puluh persen ucapan si curut benar. Tunggu ... apa itu secelup, dua celup? Sampah emang, umpat Dio dalam diam.

Jemarinya bergerak cepat di atas keyboard, menimbulkan suara ribut yang sangat disengaja. Namun, dua kawan sialannya masih saja berulah.

"Benar juga!" Jimmy mengangguk penuh keyakinan, sedangkan jari telunjuk mengarah ke langit kamar. "Gue pikir orang yang cuma kuat nonton blue film lima belas menit macam si Dio itu suci."

Dio mengembuskan napas kasar. Akibat penemuan sebelah anting saja obrolan ini merembet ke mana-mana. "Terserah lo. Gue masih ingat punya Sabrina."

Beruntungnya dua manusia sontoloyo itu berhenti bertanya lebih jauh tentang siapa yang menginap semalam. Daniel mengetuk pensil yang terselip di jari berulang kali ke buku. Pikirannya bekerja keras mencari jawaban soal.

"Berarti lo berengsek, Yo. Lo udah berbuat dua kali!"

Ya, Daniel dan segala pernyataan setengah warasnya.

"Sabrina 'kan adiknya, bego." Jimmy tiba-tiba berdecak keras. Laki-laki itu memang lebih mengenal keluarga Dio dibanding Daniel.

"Astaga! Lo incest, Yo?" Melirik buku sejenak, Daniel mengumpat karena salah memasukkan rumus. "Ah, gara-gara si Dio sama cewek random-nya nih! Gue jadi susah fokus!"

Secara otomatis, Dio berpaling dari layar. Wajah tenangnya berbanding terbalik dengan pertanyaan, "Jim, pisau di mana?"

Daniel tertawa lepas. "Omong-omong, cewek pas pertama kali dicium mungkin bakal nampar kita bolak-balik. Setelah dua sampai sekian kali, segalanya pun bisa terjadi."

Si Bocah Edan benar-benar melupakan tugas kuliah. Dia masih berani menaik-turunkan alis laknat, ketika sorot mata Dio nyaris mirip ujung samurai bila diibaratkan.

"Lo mending diam deh." Jimmy mengusap kedua telinga. "Kuping gue gatal dengarnya."

"Lo 'kan memang kaum lemah. Terlihat jelas. Gue sama Dio yang pejantan tangguh," sahut Daniel sambil menepuk sebelah dada, tingkahnya kelewat jumawa.

Tak terima atas pernyataan Si Bocah Edan, Jimmy menggebrak buku. Telunjuknya teracung di depan wajah Daniel. "Halah sampah! Lo aja manusia gamon! Saking saktinya tuh racun mantan terindah lo!" Ia menuding wajah Dio menggunakan pensil. "Dio lagi, dia aja alergi punya nama ningrat. Padahal kalau nurut sama bapaknya, doi berangkat kuliah naik helikopter kali!"

Kalau mengikuti arus emosi, Dio ingin sekali menendang Jimmy sampai terjungkal. Kenapa nama ningratnya begitu bermasalah bagi orang-orang?

Sewaktu masih kecil dan belum mengenal Atmojo Group, nama belakang Dio memang terasa begitu sakti. Segala macam permintaan terwujud melalui jentikkan jari saja. Hanya saja, ketidakharmonisan yang kini terjadi antar sang ayah membumihanguskan kesaktian nama belakangnya. Penyitaan berbagai fasilitas sampai ATM, menyebabkan Dio memutuskan tinggal satu kamar dengan Jimmy. Sebuah area indekos yang bisa dibilang sangat jauh dibanding kamar di rumah. Kendati demikian, ia pun tidak butuh apartemen sekelas Daniel.

Bukan apa-apa, bagi Dio, sang ayah terlalu banyak mencampuri pilihan hidup. Salah satu yang terparah adalah melarangnya keras berkecimpung di jurusan biokimia. Pria paruh baya itu menginginkan Dio menggeluti jurusan bisnis kampus binaan Atmojo Group. Hal itulah yang terus memicu perdebatan mereka.

Kerumitan lainnya, mereka sama-sama membawa api di kepala tiap kali berpapasan. Kalau bukan karena si ibu sambung, motor kesayangan bernama Miranda mungkin tak akan menemaninya mengarungi jalanan. Secuil ego terpaksa diturunkan atas Miranda tercinta. Biar begitu, Dio tak pernah merasa takut kelaparan, apalagi menjadi gelandangan selama otak masih berfungsi. Begitulah Dio, jarang ada yang percaya bahwa ia salah satu anak dari anggota DPR sekaligus pion utama perusahaan keluarga konglomerat.

"Bokap gue dan saudara-saudaranya yang tajir. Gue sih miskin dan enggak menganut hedonisme." Ia mencoba mengoreksi pola pikir Jimmy. "Lagi pula menurut gue mantan terindah itu perumpamaan paling enggak masuk akal. Kenapa dijadiin mantan? Kalau memang lo tahu dia yang terindah."

Daniel kelihatan sangat menyangkal kuat-kuat pemikiran Dio tentang mantan terindah. Ia sendiri memiliki pengalaman yang cukup membekas dengan seorang gadis. Seseorang yang sempat membawa seluruh logika terbang menembus lapisan atmosfer. Sampai-sampai Daniel kebingungan, tepatnya gila.

"Lo enggak akan ngerti, Yo. Sampai lo punya alasan buat julukan itu," ujar Daniel.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro