6. Not A Bad Thing

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Caca menyisir rambut dengan jari. Ia mencari keberadaan cermin besar, tapi nihil. Kaus yang dipinjamkan Dio sedikit kebesaran. Biar begitu, tentu saja lebih nyaman dibanding pakaian basah. Pandangan gadis itu tertambat pada sosok yang sudah tidur dalam keadaan tertelungkup, bedcover digunakan sebagai alas demi meminimalisir dinginnya lantai.

Sejauh mata memandang, keadaan kamar sekarang jauh lebih rapi dibanding dua puluh menit lalu. Meja belajar tidak lagi dipenuhi kacang kulit, melainkan satu pop mi dan secangkir susu cokelat. Caca berjalan mendekati meja belajar, ia menepuk-nepuk pipi pelan. Kira-kira bolehkah ia merasa spesial karena hal ini?

"Kak Dio, enggak makan?" tanya Caca yang menyampirkan handuk pada kursi meja belajar.

"Udah." Dio menjawab tanpa membuka mata.

Hari ini cukup melelahkan dan Dio lebih ingin tidur. Usai mengerjakan tugas di laboratorium, ia menghadiri rapat BEM yang lumayan pelik. Perdebatan muncul dari berbagai divisi, mereka membahas evaluasi kinerja dan program kerja.

Sepulang dari kampus, Dio melajukan motor menuju rumah orang tuanya. Keadaan Ditha masih seperti terakhir kali mereka bersua. Kepala Dio pun ikut mencetuskan tanya akan beberapa bungkusan aneh yang ditemukan dari kamar gadis itu. Layaknya hari kemarin, ia bertanya tapi Ditha mengabaikan. Saat duduk di ruang keluarga, Papa malah membicarakan perusahaan setan bernama Atmojo Group. Segala saham dan kedudukan penting yang harus diraihnya.

Jadi, tanpa butuh pertimbangan tentang apa yang dinamakan menghormati orang tua, Dio pergi meninggalkan rumah begitu saja. Tak peduli makian Papa di belakang punggung. Karenanya bedcover terhampar di lantai sudah cukup menjadi tempatnya pulang, mengistirahatkan pikiran sejenak. Mungkin, menjelang pagi nanti Dio bisa bergelut bersama rumus coding. Ada pesanan yang harus dikejar.

"Kakak enggak ganti baju?" Caca berlutut di samping Dio. Tangannya hendak menyentuh punggung laki-laki itu, tapi urung dilakukan.

"Saya mau tidur, Ca."

Caca mengedikkan bahu atas jawaban Dio. Ia menduduki kursi meja belajar. Aroma pop mi seakan memanggil-manggil perut keroncongannya. Garpu plastik sudah menggulung mi sebanyak mungkin. Caca membuka mulut lebar, tapi batal memakan karena mengingat sesuatu.

"Kak."

Sempat ada jeda hening sebelum Dio bertanya, "Apa lagi, Ca?" Meski kantuk menguasai, ia tetap mendengar suara gadis itu.

"Kakak enggak dingin tidur di situ?" Caca benar-benar khawatir laki-laki itu bisa masuk angin jika tidur beralaskan bedcover. Cuaca Bogor baru dilanda hujan deras, sama sekali bukan pilihan bagus.

Mendengar pertanyaan itu, Dio bangun dari posisi tidur. Ia mengenakan kacamatanya, penasaran dengan ekspresi gadis itu. "Terus kamu mau kita sekasur?"

Caca berpikir sesaat, matanya mengarah ke sudut atas. "Kalau Kakak mau, aku bisa tidur di bawah."

Senyum tipis Dio terukir. "Kamu sadar enggak? Barusan itu ambigu."

Hampir saja Caca tersedak susu cokelat, ia menyadari ke mana maksud pembicaraan Dio. "Aku yang tidur di lantai pakai bedcover, Kak, astaga!"

Caca memutar bola mata. Lucu juga bagaimana sebuah kebetulan menyajikan jalan cerita konyol. "Kakak tidur lagi aja, aku mau makan."

Setelah melontarkan kalimat ketus demi menghilangkan kegugupan, ia menyantap pop mi dengan lahap. Sayangnya rasa gugup tetap menjalar. Laki-laki yang masih terduduk di sana, menatapnya lekat. Caca dapat merasakan itu meski duduk membelakangi. Macam-macam tempelan pada meja belajar menjadi fokus pandangan Caca. Hatinya mengucap syukur sudah mengerjakan tugas ekonomi mikro sebelum terjebak di tengah hujan. Bila terlewat, kekacauan pikirannya bisa bertambah tiga kali lipat.

***

"Not A Bad Thing" yang dipopulerkan Justin Timberlake menemani lamunan kala menatap langit-langit kamar. Pada akhirnya mereka tidur bersampingan dengan bedcover sebagai alasnya. Baik Caca maupun Dio merasa tidak adil jika salah satu dari mereka tidur nyenyak di kasur. Ipod berwarna hitam menambahi batas jarak selain satu jengkal.

"Aku suka banget lagu ini," kata Caca.

No I won't fill your mind with broken promises

And wasted time, and if you fall

You'll always land right in these arms of mine

"Tidur, kamu cuma punya waktu tiga jam dari sekarang," sahut Dio. Padahal ia juga memperhatikan lirik lagu tersebut.

"Posisi begini bikin aku ingat sama Kak Fella." Caca menyisipkan tawa kecil seraya membawa jejak-jejak kenangan bersama kakaknya. "Kita sering tidur di karpet berdua, berbagi headset yang full memutar lagu Justin Bieber."

Dio sengaja berpaling demi menemukan wajah damai Caca yang masih menatap langit kamar. "Tidur, Ca. Kita harus keluar sebelum subuh."

"Enggak bisa, Kak ...." Entah sebuah kebetulan atau bukan, gadis itu ikut berpaling.

Mungkin ini terdengar konyol, Caca benar-benar menikmati waktu di mana mata mereka saling bersirobok. Perpaduan wajah si pemilik kamar sama sekali belum menimbulkan setitik kejenuhan. Ia menyukai kedua alis tebal, terutama sorotan mata yang meneduhkan milik Dio. Nilai sembilan puluh diberikannya secara cuma-cuma untuk laki-laki itu.

There's only one thing that'll do

I'd fly away on this pair of wings with you

"Mata kamu minus?" Lirik tersebut mengiringi pertanyaan Dio.

Dua alis Caca menyatu. "Enggak, kenapa?"

"Sayang aja kalau mata secantik itu minus." Seketika Dio mengumpat atas kegagalan rem bibirnya.

"Barusan Kakak ngerdus?"

"Barusan saya jujur." Merasa tertangkap basah, Dio memindai langit-langit kamar yang beruntungnya tidak dihiasi jaring laba-laba.

"Eh, Kak. Sini deh tangannya aku ramal," ujar Caca sesudah mengumpulkan sekian ton keberanian.

"Buat apa?"

"Udah sini."

"Aneh-aneh aja cewek mainannya." Dio diam saja ketika gadis itu menarik tangannya.

"Ini bukan mainan. Serius aku bisa meramal!" Caca mencoba menahan senyum.

Kemudian posisi tidur mereka berubah tertelungkup. Dua buah bantal dijadikan sebagai penyangga tubuh. Masih dengan headset di sebelah telinga masing-masing dan ditemani cahaya lampu kamar. Caca mulai menangkup tangan Dio, ibu jarinya menelusuri garis telapak tangan laki-laki itu.

"Hmm ... Kakak akan jadi orang yang sukses banget sih ...." Caca sempat menatap Dio penuh keyakinan sebelum fokus lagi membaca telapak tangan. "Tapi ... Kakak akan kehilangan salah satu orang yang disayang, dan ... ini nih. Urusan cinta Kakak agak bermasalah. Enggak rumit sih, cuma perlu diperjuangkan jauh lebih keras aja."

"Udah?"

Caca mengiakan lewat anggukan. Di antara kesunyian, mereka beradu pandang. Dio tidak pernah menatap perempuan dalam jarak sedekat ini, tepatnya hingga bahu mereka menempel. Entah karena udara yang dingin atau kantuk mulai menghilangkan separuh kesadaran. Dio kesulitan fokus pada sepasang mata sang dara detik ini. Ia terus mengikis jarak wajah mereka.

Lagu "Dia" dari Maliq & D'essentials merupakan pengiring degup jantung Caca ketika laki-laki itu menciumnya. Pertama, ia tak menyangka Dio memiliki lagu tersebut dalam playlist. Jika melihat kepribadian, sangat tidak mungkin. Kedua, gadis itu sulit percaya, dirinya bisa seberani itu membalas. Ketika mata mereka terbuka, secara bersamaan separuh kesadaran yang sempat terbang bersama kupu-kupu di perut pun lenyap.

"Sorry, Ca," ucap Dio lirih sebelum beranjak mengambil botol minum dari ransel.

Kecanggungan seketika menjadi atmosfer dalam kamar. Ayolah, itu bukan ciuman pertama. Dio pernah mencium teman perempuannya saat berperan dalam drama putri tidur demi pengambilan nilai bahasa Indonesia sekaligus seni budaya sewaktu SMP. Ia lupa kalau skenario yang harusnya mencium pipi, justru melenceng akibat rumus coding memenuhi ruang kepala. Tentu saja si lawan main tak dapat melayangkan tamparan. Skenario sudah setengah jalan dan penilaian sedang berlangsung. Konyol. Sama halnya dengan tadi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro