5. Komet Halley

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ca, mau ...." Dio menggantung sejenak kalimat di udara. Ia sudah berpikir lama dan mempertimbangkan masak-masak. "Ke hotel enggak?"

Sepasang mata Caca melebar sempurna. Kentara sekali gadis itu tengah menahan napas. Lantas segala macam pikiran-pikiran aneh mulai menyambangi.

"Dua kamar. Enggak mungkin kita di sini sampai pagi," lanjut Dio sebelum gadis itu salah paham.

Caca tidak tega meminta diantar pulang ke rumah orang tuanya di Setia Budi, Jakarta Selatan. Selain hujan, raut wajah Dio yang kelelahan juga menjadi pertimbangan.

"Enggak usah, Kak." Meskipun Caca ingin dekat dengan laki-laki itu, ia masih cukup tahu diri. Ia tidak mau menyusahkan Dio, ditambah lagi harus mengeluarkan uang dalam jumlah banyak karena keteledorannya. "Tolong antar aku ke asrama aja."

"Kamu enggak bisa masuk tanpa KTM, Ca. Kita tahu peraturan itu. Dan ...." Dio mengalihkan pandangan pada hujan deras yang entah kapan berhenti. "Saya enggak mungkin ninggalin kamu sendirian."

Dalam kurun waktu sekian puluh menit, cara yang mereka pilih justru lebih gila dibanding tawaran menginap di hotel. Hujan berhenti membasahi bumi, menyisakan rintik gerimis manis. Udara terasa begitu menggigit jiwa-jiwa yang menyimpan rindu pada kasur, Dio adalah salah satu di antaranya. Usai mengedarkan pandangan, ia melirik gadis yang tengah menggosok-gosok kedua tangan.

"Kak, sumpah aku takut banget." Kegelisahan memenuhi sorot mata Caca saat mereka bersitatap.

"Jangan keras-keras." Dio menempelkan jari telunjuk di bibir gadis itu. "Rencananya begini, kita masuk terus kamu sembunyi di balik pintu teralis. Tunggu sampai saya selesai minta kunci ke Abah." Ia menunjuk dinding yang membatasi rumah pemilik dan area indekos putra.

Caca mengangguk paham.

"Satu lagi. Kalau ada yang tanya-tanya, kamu cukup mengangguk atau geleng kepala, jangan bersuara. Udara dingin dan habis hujan begini biasanya mereka keluar kamar cuma buat bikin mi di dapur. Enggak akan ada yang nongkrong di luar," jelas Dio.

"Iya, aku paham."

Kemudian Dio menerobos semak-semak, disusul Caca yang sudah merubah penampilan seratus delapan puluh derajat. Gadis itu sekarang memakai hoodie, topi yang menutupi mata, serta jeans milik Dio. Tiap pulang ke rumah, ia memang selalu membawa pakaian salin. Semua dilakukan demi menyamarkan identitas Caca.

Di bawah langit muram, mereka berjalan beriringan menuju gang sebelah terlebih dahulu. Tempat di mana motor Dio terparkir. Hal remeh semacam letak parkir ikut masuk ke dalam perhitungan. Jalanan benar-benar kosong, sudah pasti udara yang membekukan menjadi sebabnya.

***

Semoga enggak ada yang tahu identitas gue, batin Caca.

Pintu pagar tua itu berderit, padahal Caca sudah sangat hati-hati menariknya. Dio menggiring motor menuju teras depan indekos yang cukup luas. Memang sengaja didorong supaya tidak menimbulkan suara berlebihan. Tepat sekali, tidak ada satu manusia pun yang biasa menyumbangkan suara sumbang diiringi gitar malam ini.

Begitu menginjakkan kaki di teras indekos, gadis itu membaca jelas papan besar yang terpajang di dinding.

Peraturan kos putra Abah Kece:

1. Dilarang keras membawa lawan jenis ke dalam kamar

2. Dilarang keras membawa perempuan ke dalam kamar

3. Dilarang keras membawa wanita ke dalam kamar

4. Dilarang keras membawa gadis ke dalam kamar

5. Dilarang keras membawa cewek ke dalam kamar

6. Wajib menjaga kebersihan

7. Jam malam pukul 24.00 WIB

TTD,

Abah.

Tepat pukul 23.30 Dio mengetuk pintu rumah pemilik indekos, sementara sang dara jelita bersembunyi di balik pintu teralis. Tubuh mungilnya berhasil terhalang pintu teralis dan rak helm. Pria baya yang kerap disapa Abah oleh seluruh penghuni kamar memang sekonyol itu. Biar begitu, beliau tetap ketat dengan peraturan yang terpampang. Ada denda tertentu jika mereka melanggar salah satu saja dari peraturan yang dibuat.

Abah membuka pintu rumah sembari mengusap mata. "Eh, Yo, bade naon?"

"Ini, Bah ... mau ambil kunci kos yang dititip Jimmy." Dio tersenyum kaku. Sekalipun ide gila ini murni berasal dari pemikirannya, ia juga tetap was-was siaga empat lima.

"Tos rapat ti kampus ya?"

"Muhun, Bah." Dio mengangguk. Kali ini ia menyilangkan dua jari di belakang punggung.

"Antosan sakeudap nya."

Abah beranjak masuk. Sejauh ini kegilaan yang Dio ciptakan belum terendus sama sekali. Di balik pintu teralis, Caca tengah berkomat-kamit supaya deretan pintu-pintu kamar itu tidak terbuka. Di tengah-tengah rapalan, tiba-tiba seseorang menepuk bahu Caca pelan. Gadis itu menoleh diiringi debaran jantung yang luar biasa hebat.

"Bro, lo enggak masuk? Dingin cuy," kata laki-laki berambut ikal. Kulitnya sawo matang dengan tinggi badan sekitar 170cm. Wajahnya tampak kusut, mirip rambutnya.

Caca menggeleng pelan, ia menunjuk ke arah luar pintu teralis. Di mana ada Dio yang menunggu kunci dari pemilik indekos.

Laki-laki itu mengikuti ke mana arah tunjuk Caca. Ia berjalan mendekat, lalu menyembulkan kepala. "Oh ... lo sama Dio, Jim. Gue pikir siapa."

Gadis itu kembali mengangguk. Seperti yang Dio jelaskan, ia memang harus menyamar sebagai Jimmy supaya mereka bisa masuk dengan mulus. Tanpa ada masalah atau stigma orang, apalagi denda.

"Eh, lo makin lama makin pendek atau gue yang makin tinggi?"

Kali ini Caca menggeleng.

Laki-laki itu berdecak. "Lo sakit gigi ya enggak bisa ngobrol?"

Sekali lagi, Caca mengangguk. Jika ia kelepasan bersuara, segala strategi ajaib mereka akan rusak. Hancur berantakan, binasa.

"Ya udahlah gue mau lanjut nonton film biru. Mau ikut enggak?"

Caca menggeleng lagi. Semoga laki-laki yang sejak tadi mengajak ngobrol tidak mengendus identitasnya melalui jemari, ataupun helai rambut yang mencuat dari topi. Kalau bisa laki-laki itu lekas pergi entah ke mana yang penting bukan di sini. Karena jika diulur lima menit lagi saja, kemungkinan ia sudah terkapar akibat jantung yang mati fungsi. Laki-laki berambut ikal itu meninggalkan Caca. Tepatnya lenyap di balik pintu yang bertuliskan jangan masuk tanpa sandi kecuali makhluk astral. Ia mengedarkan pandangan lalu menghela napas pendek. Ayolah, kakinya sudah terasa sangat pegal.

Kak Dio tuh ambil kunci di Hongkong ya? Lama banget! jerit Caca dalam hati.

Berselang sedetik, motor milik Dio melewati pintu teralis yang terbuka. Seusai memarkirkan di antara jajaran motor, laki-laki itu mengunci pintu. Ada tiga jajaran pot bunga besar yang menghiasi lorong depan, Dio menyimpan kunci di salah satu pot itu. Tanpa basa-basi, ia meraih tangan Caca. Sempat ada getaran yang nyata, tapi sirna akibat sebuah sapaan.

"Baru pulang, Yo?" tanya laki-laki yang mengenakan sarung mirip maling.

"Eh, iya, Gus," sahutnya ramah.

Gusti menyipitkan mata kala menguliti Caca, sedangkan gadis itu hanya mampu mengeratkan genggaman pada Dio.

"Jim, lo kayak laki kurang se-ons." Gusti bergidik. "Masa pakai sandal Hello Kitty."

Sayangnya tawa Gusti tidak bersambut. Baik Dio maupun Caca terpaku memucat bersama perasaan yang tercerai-berai. Tawa Gusti lebih mengerikan dibanding sambaran kilat.

"Gue duluan ya, basah nih kehujanan." Dio tertawa kaku. Bagaimanapun caranya mereka harus tiba di kamar dengan selamat.

"Yoi."

Dio kembali menarik Caca. Ayolah, perjalanan mereka tinggal dua deret pintu lagi. Kegagalan rencana tidak masuk dalam kamus hidupnya.

"Woi." Gusti memanggil lagi.

Mereka berhenti melangkah dan merapalkan sejumlah sumpah serapah dalam hati. Sesekali Caca rasanya ingin menyuntik bius total laki-laki yang dipanggil Gus itu.

"Kayak homo lo berdua, gandengan tangan erat banget dih!"

Sekali lagi Dio menoleh, menatap datar teman indekosnya. "Mau gue gandeng juga, Gus?"

"Najis." Gusti berbalik, membanting pintu kamar.

***

Dio dan Caca sama-sama mengembuskan napas panjang. Punggung mereka bersandar pada pintu setelah berhasil masuk dengan mulus. Akan tetapi, degup jantung kembali berpacu saat menyadari keadaan kamar yang gelap gulita. Kemudian tatapan masing-masing jatuh pada jemari yang saling bertaut. Detik itu mereka melepasnya secara bersamaan.

Dio meraba dinding untuk menekan saklar lampu. "Sorry, berantakan."

Setelah cahaya menerangi kamar, mereka disuguhkan pemandangan gitar dan beberapa buku berserakan di kasur. Meja belajar dihiasi laptop yang masih terbuka serta kabel headphone yang menjuntai. Jangan lupakan juga sisa-sisa kulit kacang yang berhamburan. Meski begitu, Caca tidak terganggu sama sekali. Karena gadis itu sudah mengira keadaannya akan lebih mengenaskan dari ini. Misal, kaus kaki berserakan di lantai atau hoodie yang menghiasi gantungan di belakang pintu sejak zaman Pithecantropus Erectus. Hingga aromanya dapat membunuh sekelompok badak betina.

"Never mind, Kak. Aku yang berterima kasih karena udah ditampung."

Gadis itu mengangkat topi, rambut yang sewarna pohon mahoni ikut jatuh tergerai menutupi kedua sisi bahu. Cukup menakjubkan, Dio seolah baru saja melihat komet Halley jatuh menembus lapisan langit bertabur berlian. Sebelum hanyut terlalu jauh, ia segera beranjak ke depan lemari. Caca pasti membutuhkan pakaian nyaman untuk tidur.

"Kamu ganti baju duluan." Dio menyerahkan kaus berwarna hitam pada Caca.

"Makasih, Kak." Baru saja ingin beranjak ke kamar mandi, gerakan Caca tertahan karena laki-laki itu menghalangi di depan pintu.

"Sebentar."

Dio menyembulkan kepala ke dalam kamar mandi dan mengedarkan pandangan. Ia memastikan tidak ada sesuatu yang aneh atau terlihat abnormal. Syukurlah, pagi tadi Jimmy sudah mengantar pakaian kotor mereka ke tempat laundry.

"Mau makan apa?" tanya Dio usai berbalik.

Caca tertawa kecil karena tawaran sang pemilik kamar. Selama masa MPKMB, ia mengenal Dio sebatas guardian star di gugus Andromeda saja. Sekarang mereka justru berada di satu ruangan yang sama, menunggu langit gelap berganti.

"Aku yakin di sini cuma ada pop mi. Jadi itu aja."

"Memang harusnya kamu enggak meminta lebih." Seringaian terbit di wajah Dio.

"Jadi?" Pertanyaan itu menutupi kegugupan Caca. Ia tak pernah menyangka bisa melihat ekspresi semacam itu dari sang senior.

"Basa-basi."

Oke, satu kejutan lagi. Ternyata si pemilik kamar sudi juga berbasa-basi dengannya. Caca mengintip kamar mandi di balik punggung Dio. Tadi laki-laki itu sempat memeriksanya entah untuk apa. Ada sesuatu yang aneh mungkin? Kemudian ia bertanya, "By the way, Kak Dio enggak punya CCTV di dalam sini kan?"

"Enggak perlu. Lubang kunci sama ventilasi itu udah cukup." Dio menunjuk lubang ventilasi dengan dagu.

"Kakak enggak serius kan?" Kali ini nada khawatir terselip dalam pertanyaan Caca.

Laki-laki itu hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.

"Kak!"

Mata Dio membulat, ia buru-buru membekap mulut Caca. "Jeritan kamu bisa bikin saya kena denda bayar kos setahun penuh dua kali lipat, paham?"

Bersama kelopak mata melebar, gadis itu mengangguk cepat.

"Saya enggak akan ngapa-ngapain," lanjut Dio.

***

*Eh, Yo, bade naon: Ada perlu apa, Yo

*Tos rapat ti kampus nya: Habis rapat di kampus, ya

*Muhun, Bah: Iya, Bah

*Antosan sakeudap nya: Tunggu sebentar, ya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro