4. Kota Hujan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Area Kobaran masih ramai lalu-lalang orang serta pedagang kaki lima. Kepulan asap berbentuk gumpalan besar dari warung sate berhasil ia terobos. Ingar-bingar percakapan remeh mengisi setiap warung tenda, jajaran lampu jalanan pun mengiringi langkahnya. Tugas kuliah yang baru saja Caca selesaikan cukup menguras tenaga dan pikiran. Maka sejenak menghirup udara malam di luar asrama dirasa mampu menyegarkan otak yang kebetulan sudah berasap.

Senandung kecil Caca terhenti begitu melihat plang besar Indomaret. Ia seolah menemukan oase di tengah gurun Sahara. Hitungan lima detik, ia sudah melewati jajaran rak berisi makanan ringan, lalu berdiri di depan cooler. Tidak banyak yang gadis itu beli, hanya satu es krim dan roti tawar.

"Ada lagi, Kak?" tanya kasir begitu Caca meletakkan belanjaan di atas meja. Perempuan itu merupakan satu-satunya yang melayani transaksi.

"Itu aja, Kak." Caca merogoh saku rok. Ia mencari selembar lima puluh ribu yang dikantongi dari asrama.

"Ada lagi, Kak?"

Pertanyaan yang sama membuat Caca mendongak, sebab ia sudah menjawab tadi. Dua botol Pocari Sweat membuat gadis itu mengernyit. Begitu menoleh, sang guardian star gugus Andromeda berdiri tepat di sisi tanpa peduli sekitar. Meski MPKMB berakhir sekitar dua minggu lalu, Caca tak pernah melupakan kejadian di mana ia pura-pura pingsan supaya terlepas dari hukuman.

Caca jarang sekali melihat laki-laki itu karena gedung fakultas mereka yang berbeda dan berjarak jauh. Sekalipun berpapasan, mereka tidak pernah saling bertegur sapa. Padahal ia sangat ingin, hanya saja belum bernyali. Maka ini adalah kesempatan yang langka untuk sekadar bisa mengobrol.

"Kak Dio," sapa Caca, tidak lupa memamerkan senyum madu.

Dio hanya membalas senyumnya sekilas. "Itu aja, Mbak."

"Total lima puluh empat ribu, Kak."

Caca dan Dio serempak mengangkat sebelah alis. Mereka sudah lebih dulu menerka total belanjaan masing-masing. Harga yang disebutkan jelas tidak wajar untuk pembelian satu es krim beserta roti tawar ataupun dua botol minuman isotonik saja. Bersama senyum lima jari yang khas, Mbak kasir Indomaret memasukkan belanjaan mereka dalam satu plastik tanpa konfirmasi. Dio memilih langsung membayar karena malas berdebat. Tentu reaksi dua pembeli itu sangat kontras. Caca baru saja mendoakan Mbak kasir supaya panjang umur dan lekas mendapatkan jodoh impian.

Caca mengambil belanjaan mereka. "Terima kasih, Mbak."

Selesai dengan transaksi, Dio sengaja menahan pintu untuk Caca supaya mereka keluar bersama. Ia mengambil dua botol minumannya dari plastik di tangan gadis itu, lalu menempati kursi panjang yang tersedia.

"Kamu enggak langsung ke asrama?" tanya Dio yang terheran karena Caca ikut duduk bersamanya.

Malam semakin menua. Mereka yang masih tinggal di asrama pasti memilih bergegas pulang. Sebab ada jam Cinderella yang tidak berdentang di pukul 24.00 WIB, melainkan pukul 21.00 WIB.

"Kakak ngusir aku? Ini fasilitas umum loh ... bukan kursinya Kak Dio." Gadis itu merobek bungkus es krim dengan gerakan memutar. "Semua orang yang belanja berhak duduk di sini."

Dio menenggak habis sebotol minuman isotonik, malas menanggapi sahutan Caca. Kota Hujan, tempat di mana ia menimba ilmu memang sesuai julukannya. Kota ini selalu membawa jejak-jejak kesejukan, meredakan emosi dan bara api yang terbawa dari istana Herdian Cokroatmojo. Meskipun rasa enggan menginjakkan kaki di sana menggelayuti benak, ia akan selalu pulang demi Ditha. Bibirnya memang sulit mengungkapkan rasa khawatir untuk Ditha. Maka cara yang Dio lakukan adalah pulang ke rumah, lalu menengok kamar sang kakak.

Embusan angin pertanda hujan tak menyurutkan niat Caca menggigit separuh cone. Baginya, es krim selalu mampu memperbaiki suasana hati. Terbukti sejak di gigitan pertama, gadis itu seolah mendapat suntikan energi. Toping cokelat dan kacang mete yang jadi pelengkap ikut menambah kenikmatan rasa. Dulu, jika sedang duduk di halaman belakang rumah sendirian. Fella akan datang membawa es krim tiga rasa. Mereka berbagi segalanya, lebih dari sekotak es krim. Ada banyak cerita, tawa, dan canda yang bergulir mengisi hari. Caca terenyak kala pandangannya memburam. Sebisa mungkin, ia melepaskan diri dari rengkuhan pilu.

"Oh iya, hampir lupa." Caca menyodorkan selembar uang pada Dio sesudah merogoh saku rok.

"Enggak usah diganti." Dio mendorong pelan tangan gadis itu.

"Beneran?"

"Iya."

Suara kendaraan yang lewat di depan toko mengiringi lamunan panjang mereka. Caca dapat melihat jelas lebam di sudut bibir Dio. Namun, ia tak bernyali melontarkan tanya, hanya terus memperhatikan laki-laki itu. Tiba-tiba saja pandangan mereka terkunci sekian detik. Degup jantungnya seolah mengiramakan sebuah lagu. Lantas hangat di pipi membuat ia memutus kontak mata mereka.

"Mau diantar enggak?"

Caca terdiam cukup lama untuk mencerna pertanyaan itu. Seakan-akan Dio menggunakan bahasa Swahili saat bertanya. Ketika sebentuk hati telah memenangkan sebuah peperangan hebat. Tanpa diminta dua sudut bibirnya pun tertarik samar meski sudah berusaha keras disembunyikan.

"Mau dong, Kak."

Seusai menempatkan diri di belakang Dio, Caca menatap sengit ransel milik laki-laki itu. Harapan untuk sekadar bisa memeluk laki-laki itu musnah karena adanya penghalang. Bahkan belum lama ia duduk, motor yang ditumpangi sudah tiba di depan asrama kampus. Caca seketika merutuki jarak tempuh yang tidak sejauh Jakarta menuju Bandung. Rela tidak rela, ia turun perlahan.

"Ca, kamu bawa KTM 'kan?" Dio melepas kaitan pada helm full face.

"ATM, Kak?" Gadis itu mencoba memastikan pendengarannya.

"KTM, Kartu Tanda Mahasiswa."

Raut wajahnya langsung berubah cemas karena mendengar kartu yang ditanyakan Dio. "Kak, ini belum jam sembilan 'kan?"

Caca tidak memakai jam tangan, apalagi membawa ponsel. Ia meremas tangan saat Dio melirik jam digital. Hatinya terus melambungkan harapan kecil, berupaya melempar segala kemungkinan jelek.

"Jam sepuluh kurang lima menit."

"Mati gue."

Gadis itu tidak lupa kalau jam malam asrama kampus adalah pukul sembilan malam tepat. Seratus persen mahasiswa baru tidak akan berani keluar asrama lewat dari ketentuan jam malam. Selain ketat dan sulit untuk masuk, ada konsekuensi yang harus ditanggung.

"Kamu bawa 'kan? Cepat masuk sana, mau hujan nih." Dio mendongak. Suara petir terdengar di kejauhan. Ia akan segera pergi kalau gadis itu sudah masuk ke asrama.

"Kak ...." Caca menatap wajah Dio dan gerbang asrama secara bergantian.

Dio menghela napas panjang. Ia seolah dapat merasakan kekalutan gadis itu. "Enggak apa-apa, masuk aja. Hukumannya cuma suruh bersihin semua WC di asrama."

Laki-laki itu mengatakannya tanpa beban. Seolah jenis hukuman tersebut semudah dan semenyenangkan menyisir rambut dengan jari.

"Aku enggak bawa, Kak." Caca menggigit bibir sebelum melanjutkan, "Tadi pas keluar asrama enggak bawa dompet sama ponsel. Aku cuma bawa uang aja."

Alis Dio menukik tajam. "Kok kamu bisa keluar asrama enggak bawa dompet sama ponsel?"

"Aku lupa sama jam malam asrama." Caca menatap sendu gerbang asrama. Ia terus meremas jemarinya.

Malam ini Caca benar-benar lalai. Saat ingin keluar asrama pun ia tak menengok jam dinding kamar. Berimbas lagi pada perjalanan ke Kobaran dan makan es krim bersama Dio yang tidak diperhitungkan.

"Kak, aku boleh pinjam ponsel?" Caca hampir menemukan secercah harapan. Sayang, ia malah mengernyit begitu menerima ponsel Dio. Gadis itu berusaha keras menekan tombol di pinggir ponsel. "Ya ampun, ponselnya mati, Kak!"

Dio mengangkat sebelah alis, mencoba mengingat-ingat sesuatu . "Kayaknya kehabisan daya dari rumah."

Sial, padahal Caca hendak menelepon ke nomornya atau menghubungi teman-temannya lewat Facebook. Namun, batal dilakukan karena ponsel Dio yang tidak menunjukkan secercah keajaiban meski Caca menekan tombol power sekuat tenaga. Padahal sekian puluh menit lalu, ia baru saja merasa dianugerahi keberuntungan karena bertemu sang pujaan hati.

Sial, sial, sial! umpatnya dalam hati.

Kalau kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Dalam kondisi ini jelas Caca yang paling resah. Ia tidak ingin tidur di mushalla, bangku terminal, kolong jembatan, apalagi emperan toko.

"Ca, naik lagi aja, gerimisnya deras," ujar Dio ketika mendongak.

Karena sibuk berpikir mencari jalan keluar, Caca tidak sadar akan gerimis. Akhirnya ia duduk di belakang laki-laki itu bersama hati yang resah. Motor Dio melaju meninggalkan asrama seiring dengan gerimis yang berubah menjadi hujan deras.

Caca memangkas jarak mereka. "Kak, kita neduh dulu aja deh. Ini terlalu deras, nanti bisa sakit."

Tak lama, mereka berhenti di depan sebuah toko yang sudah tutup. Karena jas hujan yang Dio bawa hanya ada satu, mereka tidak bisa menembus hujan deras begitu saja. Sangat tidak mungkin jika ia memakai atasan dari jas itu dan Caca memakai pasangan celananya. Akan tampak begitu konyol meski tidak ada orang yang melihat.

Kondisi jalanan sangat sepi, tersisa hujan dan mereka berdua di sini. Beruntungnya teras toko diberi lampu. Dio beralih menatap gadis yang terpaku pada hujan itu.

"Kamu punya teman selain di asrama?" Dio bertanya sekaligus berharap, jawaban gadis itu adalah solusi yang tercetus di otaknya tiga detik lalu.

"Semua mahasiswa baru kan wajib asrama, Kak. Aku enggak punya."

"Saya enggak tahu indekos teman-teman cewek yang saya kenal ada di mana."

"Aku boleh pinjam uang enggak, Kak? Aku mau pulang ke rumah aja." Caca melirik ke kanan sambil meremas jemari.

"Udah larut malam, Ca. Bahaya naik kendaraan umum sendirian."

Entah kenapa perhatian sesederhana itu membuat pipinya menghangat. Pandangan Caca beralih pada laki-laki yang sedang termenung menatap jam digital. Gadis itu membenci hujan lebat di malam hari yang tampak menakutkan. Namun, detik ini, ia menyukai momen bersama gemericik hujan dan Dio.

Hai hujan, tahan kami sampai salju turun di Kota Hujan ya? Benak Caca tiba-tiba melambungkan permintaan konyol.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro