3. Guardian Star

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

BRUK!

Dio menangkap tubuh mungil gadis itu seraya berdecak. "Kalau mau cari alasan itu yang cerdas, jangan pura-pura pingsan. Saya masih bisa lihat mata kamu berkedut."

Tidak ada respons sama sekali.

Panitia MPKMB kabinet Nitrogen menempatkan Dio sebagai guardian star-sebutan untuk kakak pendamping-di gugus Andromeda. Tema MPKMB kali ini adalah seputar bintang beserta galaksi. Di mana nama-nama bintang semacam Sirius, Vega, Canopus, dan lain-lain adalah nama kelompok yang terdiri dari beberapa mahasiswa baru. Galaksi Andromeda, Sunflower, Sombrero, dan lain-lain adalah nama untuk gugusnya.

"Yo, itu junior kenapa? Bawa aja ke ruang kesehatan!" teriak Salsa salah satu guardian star lain di gugus Andromeda.

"Enggak apa-apa!"

Dio menatap junior dalam pelukannya. Name tag bertuliskan nama Caca dengan pulpen glitter warna pink nyentrik itu tidak terhitung dalam SOP. Jam tangan berbentuk panda warna hijau pisang di pergelangan tangan gadis itu rasanya lebih cocok dikenakan anak TK. Tidak lupa juga parfum aroma strawberry yang menyeruak indra penciuman Dio sudah cukup menjadi bukti. Si Caca ini adalah tipikal gadis manja yang belum tahu kerasnya kehidupan.

"Jangan harap saya mau bawa kamu ke ruang kesehatan. Justru saya mau lempar kamu ke danau dekat kampus. Saya hitung sampai tiga dari sekarang."

Tidak ada respons juga.

Dio berdecak seraya mengangkat kedua kaki Caca, menggendongnya ala pengantin menuruni tangga gereja. Ia tak pernah bermain-main dengan ucapannya, apalagi soal hukuman. Sudah dapat dipastikan juga gadis itu tak akan bisa melarikan diri begitu saja. Ia sengaja menguji sampai mana gadis itu berani berbohong. Mereka melintasi halaman GWW diiringi berbagai jenis tatapan dari panitia dan peserta MPKMB. Ekspresi mereka pun bermacam-macam dari mulai mulut menganga, dahi berkerut, sampai meringis. Mungkin teman-teman yang berada di organisasi BEM menganggap ini adalah langkah besar bagi seorang Dio Anggara Cokroatmojo yang lebih sering berdua dengan laptop.

"Satu."

Sekalipun bobot tubuh Caca tidak seberat tumpukan dosa para pion Atmojo group. Dio tidak bersungguh-sungguh akan melempar gadis itu ke danau. Jarak dari GWW menuju danau yang terletak di dekat perpustakaan dan FEM bisa disamakan dengan perjalanan Biksu Tong mencari kitab suci.

"Dua, saya enggak pernah main-main sama ucapan saya." Dio menghela napas pendek. "Ti ...."

Tidak lama Caca menggeliat dan terjatuh. Rambut gelombang sepunggung yang diikat pita bendera merah-putih itu bergoyang indah. Saat pandangan mereka terkait, Dio mematri iris mata secokelat mahoni itu dalam memori tanpa sadar. Pahatan kedua alis tersebut bukan buatan, nyaris sempurna. Kemudian komposisi bibir mungil yang menampilkan deretan gigi rapi menyambutnya. Bias mentari pun seakan menimbulkan kilau pada ujung kepala hingga kaki Caca.

"Ampun, Kak, ampun!" seru Caca setelah berdiri bersama kedua telapak tangan yang disatukan. "Jangan lempar aku ke danau! Mending dipeluk aja seharian-" Seketika ia membekap mulut dengan sebelah tangan, lalu meringis.

Apa katanya?

Dio menggulung lengan almamater ke siku. Belum satu jam mereka bersama, ia sudah berulang kali menghela napas. "Lari tiga puluh putaran!"

Mata gadis itu membulat sempurna ditambah mulut menganga. "Ya ampun, Kak, banyak bangeeeeet! Enggak ada diskon?"

"Sekarang!"

Sempat meringis, gadis itu akhirnya menyusul beberapa peserta MPKMB yang berlari mengelilingi halaman. Dio mengedarkan pandangan, menghitung jumlah junior gugus Andromeda yang terlambat.

"Kejam juga lo. Anak orang belum sarapan disuruh lari," kata Daniel yang datang menghampiri.

"Siapa?"

Dio membaca ulang rundown acara yang dipegang semua panitia. Setelah selesai di bagian pemeriksaan atribut, Daniel dan Jimmy bertransformasi sebagai time keeper. Maka dari itu Dio harus membuat para junior yang berlari tersebut memasuki GWW sebelum pengisi materi hadir. Daniel menunjuk seorang gadis dengan dagu saat ia menoleh.

"Si Oxafia."

Tiba-tiba Dio mengikuti arah pandang Daniel. Gadis yang mereka bicarakan adalah gadis yang tadi pura-pura pingsan. Berdasarkan penampilan fisik, sudah pasti Caca masuk ke dalam jajaran pujaan senior. Entah kenapa Dio jadi menarik satu sudut bibir.

"Lo kelihatannya peduli banget."

Kedua bahu Daniel terangkat disusul dehaman lirih. "Ya ... muka dia pucat, kali aja belum sarapan."

"Lo suka?"

Sebelah alis Dio terangkat seketika. Pertanyaan tadi muncul begitu saja tanpa proses logika. Berhubung mereka sudah cukup akrab, pertanyaan semacam itu bukanlah hal yang tabu dibicarakan. Terutama jika salah satu dari mereka tertangkap basah memperhatikan seorang gadis secara terang-terangan.

"Kalau iya?"

Mendengar pertanyaan yang dianggapnya sebagai pernyataan terselubung, Dio mengangguk lamat-lamat. "Bukan urusan gue."

Dio merogoh ponsel di saku almamater. Sebuah pesan masuk dari seseorang yang menanyakan pemesanan software. Ia menggaruk pelipis karena mengingat rancangan coding di JavaScript yang baru separuh jalan. Nampaknya malam ini ia akan bekerja dua kali lipat lebih keras. Software pesanan itu harus selesai sebelum isi ATM Dio sekering dan setandus gurun Sahara. Banyak yang harus dituntaskan dengan digit pada ATM, mulai dari biaya indekos sampai iuran komunitas programmer.

Tiba-tiba saja Daniel tertawa kecil. "Hati-hati, gue mencium jejak-jejak aroma cinta lokasi." Laki-laki itu menepuk sebelah bahu Dio.

Ucapan Daniel sontak membuat Dio mengangkat kepala. "Teori dari mana?"

"Teori gendong maba cantik dong." Daniel menaik-turunkan alis, lalu terkekeh.

"Ngaco! Gue ngelakuin itu supaya dia berhenti drama."

"Kalian berdua tadi memang kayak drama Korea kok." Daniel mengibaskan sebelah tangan sambil berdecak. "Udah ah, gue mau ke markas sebentar sama Jimprak."

Karena malas melanjutkan perdebatan tentang si mahasiswa baru, Dio menyahut, "Ancam si Jimmy, kunci kos jangan ditinggal di warung burjo."

Kemudian Daniel hanya menyisakan tawa yang masih dapat ditangkap telinga Dio. Teman mereka yang memiliki nama lengkap Jimmy Prakoso dan panggilan nista Jimprak itu kerap meninggalkan kunci indekos di warung burjo. Nama lain dari warung bubur kacang hijau. Dio selalu berangkat lebih dulu dan lupa membawa kunci cadangan. Jimmy berangkat setelahnya. Laki-laki itu punya kebiasaan singgah di warung burjo.

Mereka bertiga merupakan mahasiswa rantau asal Jakarta. Hanya saja Daniel berbeda indekos dengan Dio dan Jimmy. Pertemanan mereka bertiga berawal dari segelas kopi susu saat malam keakraban mahasiswa atau bahasa lainnya makrab. Di mana segelas kopi susu itu diminum bertiga.

Ketika hendak kembali memperhatikan peserta MPKMB yang tengah menjalani hukuman. Seorang junior memberitahu ada salah satu mahasiswi yang pingsan. Tanpa basa-basi, Dio segera mendatangi kerumunan di tengah halaman. Dahinya mengernyit saat melihat gadis yang terkulai lemas di jalanan con block.

Dia lagi, dia lagi, batin Dio.

"Kamu pura-pura pingsan lagi?" Dio berjongkok di dekat gadis itu.

Caca tak menjawab sama sekali, lantas Dio meminta semua mahasiswa memasuki GWW karena sudah waktunya mereka menerima materi. Dengan agak ragu ia memegang dahi gadis itu. Hangat. Usai kerumunan terpecah, ia memboyong gadis itu menuju ruang kesehatan sementara yang disediakan panitia. Ruangan tersebut terletak di salah satu kelas milik fakultas pertanian. Jika menilik wajah Caca yang jauh lebih pucat dan tubuhnya yang benar-benar terkulai lemas. Gadis itu jelas-jelas tidak sedang bersandiwara.

Dio jadi merasa bersalah telah memberi hukuman lari tiga puluh putaran yang seharusnya dijalani sepuluh putaran. Gadis itu mungkin memang sedang kurang sehat. Belum apa-apa ia sudah gagal menjadi pendamping.

"Pingsan kenapa, Yo?" Siska bertanya begitu Dio memasuki ruang kesehatan. Perempuan itu mengekorinya ke sebuah brankar kosong. Ia merebahkan Caca perlahan, menyingkirkan helai rambut pada dahi gadis itu.

"Enggak tahu, dia lagi jalani hukuman tadi."

Dio melirik jam digital pada pergelangan tangan dan berdecak. Ia harus kembali mengurusi tanggung jawab lain. Baru juga hari pertama MPKMB, ia sudah dua kali menggendong anak orang.

"Gue titip Caca ya, mau urus yang lain dulu."

Siska mengangguk singkat. "Yo, dia enggak punya riwayat sakit parah kan?"

Pertanyaan itu menghentikan langkah Dio yang hendak mencapai daun pintu. Perasaan khawatir menghinggapi benak. "Mudah-mudahan enggak," jawabnya agak ragu.

Dio harus memastikan gadis itu baik-baik saja, nanti setelah waktu melonggar.

***

Caca mengerjap pelan kala aroma minyak kayu putih terhidu. Cahaya menyilaukan menerobos pandangannya. Ia masih saja lemas seperti saat terakhir kali berlari, meski sakit di perut sudah berkurang. Nyeri itulah yang membuat Caca kehilangan keseimbangan dan tak ingat apa pun lagi setelahnya. Ia berusaha mendudukkan diri.

"Jangan dipaksa."

Begitu menoleh, Caca mendapati sang guardian star duduk di sisi brankar. Terdengar begitu perhatian, tapi ia tak mengindahkan ucapan Dio dan tetap memilih duduk. Laki-laki itu tampak begitu mengesankan hanya dengan kemeja flanel hitam. Lagi-lagi, tatapannya berubah seperti kali pertama mereka bertemu di halaman asrama. Bak pohon rindang yang menaungi dari terik. Bagaimana bisa terjadi perbedaan yang signifikan hanya karena almamater BEM tidak melekat di pundak?

"Kamu ... butuh sesuatu?" Dio melirik sekitar, lalu menatapnya lekat. "Tadi teman kamu keluar beli makan."

Caca menggeleng pelan. "Enggak, Kak."

Saat beralih pada bagian rok span hitam yang ia kenakan tadi pagi, matanya membulat. Almamater BEM yang entah milik siapa menutupi bagian roknya.

"Itu almamater saya." Dio seolah menjawab tanya yang baru saja tercetus di kepala Caca.

"Oh ...." Gadis itu mengangkat kepala dan tersenyum. "Kakak yang antar aku ke sini?"

Dio berdeham kecil. "Iya. Maaf saya enggak tahu kalau kamu sakit."

"Enggak apa-apa, aku cuma sakit perut. Makasih ya, Kak," ucap Caca dari lubuk hati terdalam.

Dio mengangguk singkat. "Kayaknya udah enggak panas." Ia menyodorkan segelas teh manis hangat yang terletak di meja.

Entah karena kepulan dari gelas teh manis di depan wajah Caca atau bukan. Sekitar pipinya menghangat, seketika ia beralih menatap almamater di pangkuan. Demi menepikan segala rasa aneh, Caca meneguk pelan teh manis yang telah berpindah ke tangannya. Satu petugas kesehatan yang tersisa keluar begitu saja tepat pada tegukan ketiga. Ruangan ini lantas menyisakan mereka berdua bersama kesunyian.

Caca hanyut ke dalam danau hening yang berupaya menenggelamkan mereka. Sama sekali tidak mencekam, justru begitu damai dan menyenangkan secara bersamaan. Ia tidak lagi menatap Dio yang duduk di sisi brankar. Namun, ia beberapa kali memergoki laki-laki itu pun memperhatikannya lewat sudut mata. Hampir saja terbuai bersama kenyamanan yang bersemayam secepat gugurnya dedaunan diterpa angin. Tiba-tiba pintu terbuka dan menampilkan Mia.

"Ca, gue bawa siomay nih," ucap Mia seraya mengangkat plastik di tangan. Ia melangkah mendekat.

"Hehe ... makasih ya." Caca menerima pemberian Mia.

Sejurus kemudian ia dapat merasakan Dio yang beranjak. Kalau boleh jujur, ia sangat ingin laki-laki itu tetap di sini hingga senja terkikis habis oleh birunya langit malam.

"Saya pergi ya, Ca," kata Dio usai berdiri di hadapannya.

"Hati-hati, Kak."

Sepotong kalimat itu hanya disambut anggukkan singkat oleh Dio.

"Kak," panggil Caca dan langkah Dio terhenti. "Almamaternya ketinggalan."

Sempat tersisip jeda hening sebelum Dio berbalik. "Tinggalin aja di sini kalau kamu mau pulang atau lanjut MPKMB."

Di antara senyum yang sengaja disembunyikan, Caca menatap punggung Dio hingga lenyap di balik pintu.

I think you are the real guardian star and Im ... a falling star, batinnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro