2. Drama MPKMB

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Duh ... ke mana sih tuh jaket?" tanya Caca pada dirinya sendiri.

Gadis itu mengaduk-aduk isi koper tak sabaran. Ia belum sempat merapikan barang-barang bawaannya sesudah menempati kamar ini. Jaket rajut yang tengah ia cari merupakan salah satu barang berharga, pemberian mendiang sang kakak. Caca selalu merasa Fella ada di dekatnya jika mengenakan jaket rajut itu. Meskipun Fella sudah pergi jauh beberapa tahun lalu, Caca sulit melupakan bagaimana langit kelabu bertengger cukup lama di atap rumah mereka.

Fella pergi dengan cara yang begitu mengerikan. Menyisakan kepiluan, rindu, juga sapa tak berbalas. Anggota keluarga inti sebisa mungkin menutupi misteri kematian sang kakak. Hingga detik ini, Caca sendiri tak pernah mengetahui apa alasan kuat yang membuat Fella memilih mengakhiri hidup. Baik ayah dan bunda sudah sepakat untuk tidak lagi membahas kepergian sang kakak. Akan tetapi, sekeras apa pun Caca berusaha. Ia kesulitan melupakan hari mengerikan itu.

"Ayo cari jajan, Ca!" Suara Dahlia berhasil menariknya dari lamunan panjang hanya karena sebuah jaket.

Kampus yang menjadi tempatnya menimba ilmu mengharuskan semua mahasiswa baru untuk mengikuti program Student Dormitory selama setahun penuh. Pihak kampus menyediakan empat ribu kamar untuk ditinggali. Konon, asrama kampus memiliki serangkaian mitos yang lumayan menarik. Mulai dari gedung asrama yang hanya ada gedung A, dan C, tanpa gedung B. Ditambah lagi mitos hantu orang sebelah dan misteri satpam melayang.

Selama tinggal dua hari di sini, Caca belum menemukan keakuratan mitos-mitos tersebut. Asrama putri dan putra berada di satu kawasan yang sama, hanya berbeda gedung saja. Seluruh gedung A milik asrama putri dan gedung C milik asrama putra. Jaraknya pun tidak terlalu jauh. Caca sekamar dengan Dahlia, Vena, dan Mia. Kebetulan setiap kamar dilengkapi dua ranjang tingkat serta dua lemari pakaian.

Karena perut keroncongan, Caca melupakan jaket rajut yang dicari. "Tunggu sebentar, Li." Ia menutup koper, lalu mengekori Dahlia.

Mereka berdua menyusuri lorong asrama yang mempunyai empat sampai lima belas kamar di sisi kiri dan kanan. Masing-masing pintu pun ditempel berbagai hiasan sebagai ciri khas. Entah itu papan motivasi, papan nama berhias glitter, hingga yang terakhir Caca temukan yakni tempelan huruf arab. Sebagai penganut katolik, ia hanya tahu sebatas itu. Untung saja mereka tinggal di gedung A1 yang tidak jauh dari pintu gerbang asrama. Saat hampir mencapai pintu gerbang, seseorang berseru di belakangnya.

"Eh, dompet lo jatuh!"

Caca menoleh dan langsung mendapati laki-laki yang berdiri sekitar dua meter darinya. "Iya?"

Laki-laki itu mengenakan kaus hitam dan celana jeans santai selutut. Tinggi badannya proporsional dan berkulit sawo matang. Kacamata yang bertengger di hidungnya, sama sekali tak memberikan kesan cupu, bahkan perpaduan wajah laki-laki itu cocok dijadikan penghias bunga tidur.

"Dompet lo," ujarnya lagi sembari mendekat, lalu ia mengulurkan sebuah dompet berwarna cokelat.

Caca mengamati dompet yang ia terima. Dari segi bentuk dan warna, dompet itu terlalu maskulin untuk jadi koleksinya.

"Hmm ... ini bukan punya gue." Caca mengangkat wajah, lalu menjumpai tatapan yang begitu teduh milik laki-laki itu. Bagaimana bisa sebuah tatapan saja bak pohon rindang yang menaunginya dari terik?

"Oh ... gue kira punya lo."

"Sebentar." Entah kenapa nada suara Caca berubah gugup. Ia beralih pada teman sekamarnya yang berjalan ke arah mereka. "Dahlia, ini punya lo?"

"Bukan, itu sih dompet cowok," jawab Dahlia usai mengamati dompet yang temannya ulurkan dengan saksama.

Caca menyerahkan kembali dompet itu pada laki-laki yang berdiri di sampingnya. "Kasih satpam aja."

Laki-laki itu menerima dompet tersebut seraya mengangguk. Ada jeda hening tidak kentara ketika mata mereka saling beradu cukup lama. Caca merasa jantungnya berdetak jauh lebih cepat, padahal tangan mereka hanya bersentuhan sejenak karena perpindahan dompet.

"Hati-hati." Laki-laki itu tersenyum tipis.

"Iya."

Caca menarik dua sudut bibir sambil mengatur napas, ia pun menggandeng Dahlia. Dalam hati, Caca mengagumi senyum milik laki-laki tadi. Di detik yang sama, ia juga berharap barangkali mereka bisa satu kelas di satu mata kuliah. Tidak tahu kenapa, ingin saja.

***

"Gue malas banget matrikulasi sama tes shock terapi," kata Dahlia saat mereka mulai melahap batagor di piring masing-masing.

Meja yang Caca pilih kebetulan ditempati oleh mereka berdua saja. Beberapa pembeli memilih membungkusnya daripada makan di tempat. Bagi Caca dan Dahlia, batagor Mang Ujang punya rasa yang lebih enak dan lengkap dibanding penjual lain di sekitar Kobaran. Entah berasal dari mana nama unik tersebut, yang jelas Kobaran merupakan area pasar di dekat asrama. Tempat para mahasiswa baru kerap membeli makan dan perlengkapan.

"Ya memang udah seharusnya, kan?"

"Iya, tapi horor kayak mitos hantu orang sebelah, Ca!"

Mitos mengenai hantu orang sebelah yang hits itu berseliweran di tiap lorong asrama. Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, kejadian itu dialami dua orang mahasiswi yang sedang bergosip di kamar saat hampir tengah malam. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, lalu salah satu mahasiswa tersebut beranjak membuka pintunya. Sesudah terbuka, ternyata yang ada di depannya memang benar orang sebelah. Sayangnya, bukan dalam artian yang tinggal di sebelah kamar mereka.

Caca tertawa. "Dua hari bolak-balik WC tengah malam, gue belum lihat penampakan apa-apa tuh."

Dahlia menyipit dan menudingnya dengan garpu. "Awas nanti kalau benar-benar bisa lihat, jangan pingsan!"

"Jatuh pingsan di pelukan Shawn Mendes sih gue mau-mau aja." Caca mengedipkan sebelah mata.

"Ngawur!"

Baik MPKMB, matrikulasi, dan tes shock terapi memang sudah menjadi paket lengkap. Mereka yang berkomitmen kuliah di sana, harus siap dengan slogan mahasiswa yang mencontek adalah serendah-rendahnya mahasiswa. Pihak kampus berusaha memberikan edukasi anti korupsi lewat kejujuran meraih nilai.

Caca tiba-tiba teringat laki-laki yang tadi menanyakan perkara dompet. "Eh, ngomong-ngomong, cowok tadi gimana menurut lo?"

Wajah Dahlia langsung berubah sumringah. "Lumayan tuh dia, buat digandeng di hari pertama jadi maba."

"Manis kayak Lee Mineral gitu enggak sih?" Caca menaik-turunkan alis, lalu melahap potongan besar batagor.

***

Semua mahasiswa baru pastinya mengenal siapa kakak komdis atau singkatan dari komisi disiplin. Ya, benar, mereka merupakan sekumpulan kakak tingkat yang bertugas menghilangkan senyum merekah bahagia di wajah mahasiswa baru. Hari ini Caca mengenakan kemeja putih dan rok span hitam sebagai syarat mengikuti MPKMB. Ia juga mengikat rambut sepunggungnya menjadi dua bagian dengan pita merah-putih dan mengenakan name tag sebagai tanda pengenal. Sangat disayangkan, meski mentari bersinar terang tanpa hujan dan badai, kesialan tetap saja terjadi. Caca terlambat karena sakit bulanannya. Keringat dingin mulai membasahi pelipis gadis itu.

Sebelum memasuki kelas masing-masing mereka diminta berkumpul terlebih dahulu di gedung Graha Waradana Wisuda. Mereka akan dibekali materi dan peraturan ketat selama MPKMB berlangsung. Pemandangan gedung wisuda kebanggaan kampusnya begitu asri. Terdapat berbagai pepohonan rindang serta rerumputan yang terawat. Kolam air mancur di tengah halaman conblock utama sering kali menjadi tempat berfoto para wisudawan dan wisudawati. Belum juga melewati semester pertama, Caca sudah membayangkan dirinya mengenakan toga kala menatap kolam itu.

Sinar mentari mulai terasa menyengat, gejolak di perut pun bertambah. Sekali lagi, Caca meremas kedua tali ransel. Beberapa mahasiswa yang berbaris di depannya lolos dari pemeriksaan perlengkapan, sementara yang lain diminta menjalani hukuman lari mengelilingi halaman GWW. Matanya membulat saat menganalisis berapa banyak kalori yang akan terbakar jika ia berlari mengelilingi halaman tersebut.

"Kamu!" seru kakak komdis bernama Jimmy. Laki-laki itu menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. "Sebut nama!"

Caca berupaya memaksakan senyum. "Caca, Kak." Suaranya mencicit.

"Yang lantang jangan kayak ayam sayur!"

Seketika jantung Caca seolah lepas dari raga, menari-nari bersama udara kosong. "CACA, KAK!"

"Nama lengkap!"

"Oxafia Djenara Nindyar!" Kalau boleh jujur, napasnya sekarang terputus-putus.

"Apa? Oksigen Senar gitar?" Jimmy menyeringai.

Udah galak, bolot, hidup lagi, gerutu Caca dalam hati.

Caca menghela napas, ia tidak boleh gegabah. Jangan sampai emosi tak terkontrol dari kolaborasi terik matahari dan gejolak pada perut membuatnya mencakar Jimmy tanpa ampun. Ini tidak hanya terjadi sekali selama belasan tahun menghirup oksigen. Nama lengkap Caca selalu masuk ke dalam daftar masalah hidup. Sering kali lidah orang-orang terpelintir kala menyebut nama lengkapnya.

"Ox-a-fia Dje-na-ra Nin-dyar, Kak!"

"Maaf, siapa nama kamu tadi?" Tiba-tiba kakak tingkat lain bernama Daniel Adhitama bertanya.

Laki-laki itu tidak membawa megaphone toa seperti Jimmy. Daniel hanya membawa buku catatan, gaya bicaranya pun tidak semena-mena macam Jimmy. Akan tetapi, ada yang aneh ketika mata mereka bersipaku. Cara Daniel menatapnya seolah menyiratkan arti khusus yang ia sendiri tak mampu memahami lebih jauh. Selain dua kata, yakni lekat dan dalam. Padahal Caca yakin, ia tidak pernah bertemu bahkan kenal dengan laki-laki itu.

Caca kembali menghela napas sembari menunduk. Ia mencoba menghindari tatapan Daniel. "Oxafia Djenara Nindyar, Kak."

Sekali lagi ditanya, gue bawain gelas cantik, batin Caca.

"Oh ... suruh masuk aja, Jim."

Seketika senyum kelegaan menyambangi Caca. Namun, berselang sedetik keganjilan mencuat begitu saja. Caca sadar, ia masuk nominasi jajaran peserta MPKMB yang terlambat. Lantas kenapa Daniel semudah itu membebaskannya? Ia mendongak dan menemukan alis Jimmy yang menukik tajam.

"Dia lolos pemeriksaan gitu aja?" tanya Jimmy.

"Iya, mukanya pucat, Jim. Kasihan kelihatan kurang sehat."

"Daniel, Daniel ... semua lo kasihani!" Jimmy membuang napas sambil berkacak pinggang. "Dia lo kasihani, mantan lo kasihani, pacar orang juga lo kasihani sekalian!"

Jimmy melayangkan tatapan menusuk ke arah Caca. "Gugus apa kamu?"

"Andromeda, Kak."

"Oh, masuk sana! Paling juga habis sama si Dio!" Kali ini Jimmy tertawa mengejek.

Caca sesungguhnya sangat ingin melempar bakiak ke wajah Jimmy. Alih-alih meneruskan sumpah serapah, ia menunduk sopan lantas berlari menerobos beberapa peserta MPKMB yang juga terlambat. Degup jantungnya bertambah cepat saat bayangan kakak pendamping kejam dan bengis terlintas di kepala. Ia mengeratkan pegangan pada tali tas. Di tengah jalan tubuhnya tiba-tiba terputar secara otomatis.

"Gugus apa kamu? Kenapa jam segini masih lari-lari?" tanya laki-laki yang menarik sebelah lengannya.

Caca mendongak dan menyipitkan mata. Ia berusaha menyatukan potongan-potongan ingatan. Laki-laki berbalut almamater biru langit tersebut merupakan seseorang yang pernah menanyakan penemuan dompet jatuh di area asrama. Ia pikir mereka seumuran, nyatanya laki-laki itu adalah kakak tingkat.

"Andromeda, Kak."

Kemudian pandangan Caca mengarah pada name tag yang laki-laki itu kenakan.

Guardian Star of Andromeda, Dio. Oh ... jadi namanya Dio, gumam gadis itu dalam hati.

Ketika mereka kembali bersipandang, Caca berusaha mengulas senyum madu. "Maaf Kak, saya telat karena ...." Kalimatnya sengaja dibuat menggantung di udara.

*MPKMB: Masa Pengenalan Kampus Mahasiswa Baru

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro