1. Drama Ruang Makan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Denting garpu dan sendok yang beradu dengan piring saling bersahutan lirih. Suara itu merupakan satu-satunya musik pengiring di ruang makan Herdian Cokroatmojo. Predator yang mampu membunuh bisnis dan jabatan orang.

"Makasih ya, Bi," ujar Dio pada pelayan yang menuangkan air ke gelasnya.

Ruang makan mewah yang didominasi cat berwarna putih itu diisi oleh lima orang. Tiga di antaranya tentu saja sang tuan rumah, sisanya adalah pelayan yang bertugas menata makanan dan menuangkan minuman. Meja makan persegi panjang itu dikelilingi sepuluh kursi yang sewarna dekorasi ruangan. Di tengah-tengah meja terdapat beberapa tangkai bunga mawar segar dalam vas bening. Tidak lupa juga dengan lampu gantung kristal besar yang terpasang cantik tepat di tengah plafon.

Lewat segala kemegahan pada ruangan itu sudah mampu mencerminkan apa saja yang ada dalam genggaman setiap penerus Cokroatmojo. Harta, tahta, dan pasangan tanpa celah. Pengecualian untuk kedamaian hidup. Boleh jadi Atmojo Group berdiri atas nama bisnis keluarga. Namun, unsur kekeluargaan justru menjadi hal yang tabu di dalamnya. Ya, begitulah yang terpatri dalam otak Dio Anggara Cokroatmojo tentang perusahaan keluarga besarnya.

"Gimana sama pembangunan cabang di Sulawesi, Mas?" tanya wanita yang duduk berseberangan dengan Dio.

"Mudah-mudah tahun ini beres. Rencananya cabang sana mau dipegang Mas Hermawan. Gimana menurut kamu?"

"Kenapa enggak dicoba? Semua orang berhak mendapat kesempatan 'kan, Mas?"

Sang ayah mengangguk. Beberapa tahun belakangan, ruang makan memang hanya diisi percakapan sang ayah dan wanita itu. Kursi di samping kirinya selalu kosong entah sejak kapan. Padahal sewaktu dulu pemilik tetap kursi itu kerap mengundang tawa dan celotehan remeh di meja makan. Gadis muda pemilik nama lengkap Ditha Anjani Cokroatmojo sudah tak pernah menyentuh meja makan ini. Kakak perempuan satu-satunya yang Dio miliki. Begitu juga dengan kursi yang seharusnya tidak diisi oleh seorang wanita penjilat bernama Silviana.

Waktu terus berjalan dan segalanya berubah, sementara Dio tetap terpaku membeku. Awalnya, sang ibu yang selalu absen hadir di meja makan, lalu lambat laun Ditha pun demikian. Mungkin, bagi kebanyakan orang perkara meja makan hanyalah sebuah benda pelengkap yang digunakan untuk makan. Namun, baginya meja makan memiliki arti sedalam itu.

"Nak, Mama tambah lauknya ya?"

Dio yang menunduk melahap makanan, memang sejak awal tidak minat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari wanita yang duduk berseberangan dengannya. Tidak tahu juga, kenapa wanita itu tak gentar menduduki kursi tersebut, padahal Dio tak pernah menanggapi.

"Mama tahu, kamu 'kan suka sekali udang." Lauk di piring Dio bertambah, tetapi bukan karena ia yang memintanya kepada pelayan di sudut ruangan. "Kamu berangkat besok 'kan? Mama bawakan lauk, ya, untuk dipanaskan."

Dio meletakkan sendok makan, lalu mendorong kursi ke belakang. "Tante tidak perlu repot-repot jadi Mama saya. Cukup jadi istri Papa."

Dio tidak banyak menyentuh makanan di piring, apalagi beberapa hidangan lainnya di meja makan. Sebab, ia memang tidak berniat makan malam bersama supaya mereka terlihat normal. Ia hanya sedang ingin menonton sebuah drama.

Benar saja, berselang sedetik bangkit dari duduk, seseorang menarik paksa bahunya untuk berbalik dan tamparan keras mendarat di wajah Dio. Rembesan darah di sudut bibir membuat lidahnya mengecap rasa asin, bahkan kacamata yang bertengger di batang hidung sudah terlempar entah ke mana. Meski begitu, ia tidak merasakan sakit sama sekali akibat tamparan. Sebab ia lebih terpukul kala menatap pria paruh baya yang kini menatapnya tajam.

"Mas ... sabar, Mas ...." Silviana mengusap bahu pria yang baru saja menampar Dio.

Memuakkan, batinnya.

"Anak kurang ajar itu tidak akan pernah mengerti sekalipun ditampar, Vi!" Jas kantor masih membalut tubuh tegap Herdian. Kacamata yang bertengger di hidung tak mampu menutupi percikan api dari sorot matanya.

Dio tahu, emosi ayah sekarang sedang memuncak. Hal semacam ini sangat lumrah terjadi di rumah. Seperti yang lalu-lalu, ia justru semakin tertantang menguji seberapa bahayanya jika bom itu meledak tanpa si penjinak.

Satu sudut bibir Dio terangkat. "Kalau Papa tahu kenapa harus mengotori tangan?"

Dalam hitungan detik, tangan Papa terangkat tinggi-tinggi bersama napas yang menderu di depan wajahnya. Lagi dan lagi, Dio selalu enggan bergerak seinci pun untuk menghindar. Baginya kemarahan Papa tidak berarti apa-apa dibandingkan rasa rindu pada hal paling mahal di dunia ini. Keutuhan keluarga.

"Mas ... udah, Mas." Silvi terus mengusap bahu Herdian. Wanita yang mengenakan dress floral hitam dan rambut digelung itu beralih ke arahnya. "Nak, kamu ke atas ya?"

Dio mengedikkan bahu tanpa peduli. "Tidak perlu disuruh, Tan."

Laki-laki yang belum genap berumur dua puluh tahun itu melangkah santai meninggalkan ruang makan. Seolah-olah pertikaian barusan tak menyisakan gejolak sama sekali. Setelah tiba di lantai atas, ia memasuki kamar, meraih ransel yang tergeletak di samping tempat tidur. Sejenak ia mengedarkan pandangan, kamar ini masih sama. Satu set drum dan poster band Avenged Sevenfold masih terletak apik di sudut kanan.

Ketika keluar, padangan Dio mengarah pada pintu yang berhadapan dengan kamarnya. Sempat memikirkan berbagai pertimbangan, pada akhirnya ia memutuskan menghampiri penghuni kamar itu. Ia membuka pintu dan langsung disuguhkan pemandangan seorang gadis yang duduk di depan jendela terbuka, padahal kamar ini sudah difasilitasi pendingin ruangan. Selain itu, satu-satunya cahaya hanya berasal dari pemandangan lampu jalanan di luar sana.

Ditha lebih banyak terjebak dalam kamar gelapnya daripada menikmati banyak hal di luar. Entah itu makan bersama di ruang makan, atau sekadar duduk di ayunan taman rumah selayaknya Ditha yang dulu. Gadis itu berotasi begitu cepat, terkadang Dio bertanya-tanya kenapa gadis itu menjadi penyendiri seperti sekarang.

"Bisa enggak sih, lo masuk ketuk pintu dulu?" tanya Ditha yang menoleh ke arahnya.

Meski minim pencahayaan, Dio tahu wajah itu terlihat pucat. Rambut panjang berwarna cokelat itu pun tampak kusut, padahal dulu Ditha tidak pernah absen merawat dan mengecat rambut.

Dio melemparkan dua bungkus roti dari ransel ke tempat tidur. "Gue tahu lo belum makan."

"Jangan sok peduli." Ditha yang sedang duduk dengan kaki menggantung di dinding, melirik sekilas roti tersebut. "Lo mau berangkat lagi? Perasaan lo baru sampai."

"Jangan sok peduli." Dio sengaja mengulang ucapan itu sebelum meninggalkan kamar Ditha.

Entah kapan terakhir kali mereka bicara tanpa sindiran. Ia menapaki setiap anak tangga yang melingkar secepat kilat. Saat sampai di anak tangga terakhir, Bi Ratmi memandangnya gusar. Wanita baya itu adalah ibu keduanya.

"Den, Aden mau ke mana?" Wanita itu menahan sebelah lengan Dio.

"Mau ke kosan Bi." Dio mengulas senyum tipis.

"Ndak besok saja, Den? Sudah malam. Aden baru saja pulang masa mau berangkat lagi."

Tanpa terduga, Bi Ratmi menyerahkan kacamata yang tadi sempat terjatuh di area ruang makan—dengan tambahan perekat di tengah frame. Sekalipun bukan lagi anak kecil, wanita baya itu tak pernah mengurangi rasa perhatiannya. Tidak masalah jika perekat itu membuat hidung kurang nyaman, yang penting malam ini ia masih bisa mengendarai motor sampai indekos. Ia bisa membeli kacamata baru esok hari.

"Enggak apa-apa. Terima kasih, ya, Bi." Dio mengambil kacamata itu, lalu memakainya.

"Aden ... bertengkar lagi ya sama Bapak?" Kali ini Bi Ratmi bertanya dengan hati-hati.

Senyum tipis kembali tersemat di wajah Dio. "Biasa, Bi."

Pertengkaran Dio dengan sang ayah sebenarnya sudah berlangsung lama. Sejak orang tuanya bercerai, juga sejak ayah menikah lagi dan Dio yang tidak mau menuruti permintaan ayahnya. Wanita baya itu menemaninya ke garasi rumah. Ia berhenti melangkah. Netranya tertumbuk pada gadis kecil berusia sekitar lima tahun yang sedang mengelap motornya. Ia tidak pernah banyak bicara dengan anak itu, bahkan sejak Sabrina hadir di tengah keluarga mereka.

"Sabrina, permisi ya ... motornya mau dipakai." Dio menggeser pelan tubuh mungil itu.

Usai menaiki motor dan memakai helm, Sabrina menarik jaketnya pelan. Saat mata mereka bertemu pandang, gadis kecil itu menyodorkan lolypop mungil dari saku rok. Sempat lama berpikir, Dio menerima lolypop itu. Ia memasukkannya ke saku jaket dan mengucapkan terima kasih tanpa berbasa-basi. Mau bagaimana lagi? Ia memang tidak pernah berinteraksi dengan gadis kecil itu selayaknya kakak dan adik. Bukannya menolak kehadiran Sabrina, hanya saja ... mungkin Dio memerlukan lebih banyak waktu lagi. Gadis kecil itu jelas-jelas tidak terhitung ke dalam orang-orang yang menyebabkan kekacauan di sini.

Dalam waktu kurang lebih lima menit, Dio melajukan motornya. Ia meninggalkan kediaman Herdian Cokroatmojo, rumah megah yang bukan serupa rumah baginya. Ia lupa kapan terakhir kali merasa tidak muak dengan warisan nama belakang itu. Cokroatmojo.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro