Intro

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dio menarik napas panjang usai melepas masker. Dia memandangi sekeliling ruangan yang dihiasi bak-bak wastafel dan meja-meja kayu berukuran panjang. Hanya dia satu-satunya yang tertahan di ruangan tersebut. Sebab semua teman yang mengikuti praktek di laboratorium sudah bergegas meninggalkan kampus.

"Lebih baik dia dengar dari lo daripada yang lain. Resiko mah belakangan," ucap Daniel sesudah Dio mengutarakan sampah-sampah di otak.

"Gue bukan mikirin itu. Gue juga tahu semua ada resikonya."

"Ya, perasaan Nindya dan hubungan lo adalah resikonya. Itu yang lo pikirin sampai mumet, jadi lo enggak usah berkelit."

Lantas pikirannya yang sempat berkelana kembali ke tempat semula. Dio menatap lekat gadis di sampingnya. Binar mata gadis itu sering kali membuatnya mundur. Berpura-pura bahwa dia tidak tahu apa saja yang ada di balik kepergian Felisha Djenara Nindyar yang mengerikan. Katakan saja Dio egois, dan ya, dia memang egois. Jika harus jujur, dia menyayangi gadis itu melebihi dirinya sendiri.

Terserah, orang mau menganggapnya terlalu dangdut atau bagaimana.

"Ca ...." Dio memangil lembut gadisnya sambil mengubah posisi duduk supaya mereka saling berhadapan.

Hal itu membuat Caca beralih dari jajaran gelas ukur. Dua alisnya terangkat dan senyum yang melengkung bak pelangi setelah hujan itu kembali membuat Dio merasa bodoh. Karena ia tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya tanpa membuat Caca terluka.

"Kita break, ya?" tanya Dio.

Dio tidak bermaksud memutuskan hubungan secara sepihak. Akan tetapi, dia memang butuh waktu untuk mempersiapkan diri menjelaskan hal rumit di masa lalu itu. Dio berani bersumpah tidak pernah ingin meninggalkan Caca, kecuali gadis itu yang meminta.

Dua kata berupa tanya sekaligus permintaan dari laki-laki itu menjadi perekat yang membungkam bibirnya. Caca hanya mengerjapkan mata sekian detik sebelum mengangguk. Sendu bergelayut di sepasang matanya secepat satu tarikan napas. Bendungan rapuh di pelupuk mata gadis itu telah terbangun sempurna. Jika bendungan rapuh itu hancur, sudah pasti penyebab utamanya adalah Dio Anggara Cokroatmojo.

Kemudian satu kata bernama selamanya yang sempat mereka singgung beberapa waktu lalu. Memang sebatas pengandaian indah dalam asa yang Caca gantung di antara kumpulan awan berarak. Nampak begitu indah, tetapi tak teraih.

Usai sunyi merengkuh, jenis suara yang terdengar dari gadis itu adalah jenis suara yang paling tidak Dio sukai sejujurnya. "Semangat terus ya, Kak ...." Gadis itu merapikan almamater dan kemeja Dio.

Selalu, Caca selalu melakukan hal itu ketika mereka sedang berdua saja.

Berdua.

Sayangnya sejak beberapa detik lalu, mereka akan kembali berjalan sendiri-sendiri. Tak lagi bersisian atau beriringan, sebab jeda selalu berujung pada kata berakhir. Entah siapa yang akan lebih dulu memunggungi, entah siapa yang justru menoleh.

Ketika Caca hendak beranjak meninggalkan ruangan, Dio meraih sebelah tangannya. Gadis itu sempat terkejut. Sesudahnya, masih dengan degup jantung yang tidak pernah berubah tiap kali mata mereka terkunci. Dio menyatukan napas mereka, bersama gemuruh dari segala pikiran kacau tentang Felisha Djenara Nindyar yang menghantam logikanya berkali-kali.

Jika teori Big Bang menyatakan bahwa semesta tercipta dari ledakan dahsyat, maka yang terjadi di sini adalah sebaliknya. Ledakan dahsyat terjadi justru setelah semesta mereka tercipta sesempurna.

========== *** ==========

Ditulis: Desember 2019
Selesai: Maret 2020
Revisi: Januari 2021 - Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro