II. | Yang Jauh Nan Dekat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua tahun telah berlalu semenjak Perang Sipil Angia dan Fiore Angelica Alba masih kelewat paham kenapa dia bisa gagal dalam tugas awalnya.

Fiore kini memilih untuk tetap bersama teman-temannya, sepuluh orang yang Fiore anggap hanya akan menjadi asing setelah dia menempuh misinya sebagai klan Titania. Kenyataan yang menampar kenaifannya, juga pengorbanan yang harus dilakukan mereka semua, itu membuat mereka berkembang dan memilih jalan ini.

Fiore tidak lagi memikirkan atas nama klan, dan klan Titania pun tidak menuntut Fiore terhadap hasil. Mungkin mereka juga tidak lagi menganggap Fiore dan tetap tinggal pada tempat persembunyian mereka, jauh dari peradaban dan tangan-tangan teknologi Angia.

Atau malah, mereka—Para Tetua itu—sudah bisa menduga apa yang akan terjadi selanjutnya?

Fiore bersama dengan Lucia bertolak menuju Dresden dari barak terakhir mereka di Leanan setelah mendapat surat bebas tugas. Kota Folia tidak terlalu jauh dari kota kecil tempat mereka ditugaskan, tapi mereka berdua memilih untuk datang seawal mungkin. Yang lainnya yang ditugaskan di antero jauh mungkin sudah berangkat lebih cepat agar sampai tempat waktu, mereka semua mengirim via Cincin Peri kalau mereka akan membahas hal-hal lain selama kurun waktu dua tahun ini saat mereka punya waktunya.

"Pertama kali saya ke Folia, saya bertemu dengan Ann di stasiun." pungkas Lucia saat ia duduk manis di seberang Fiore di kursi kereta yang berhadapan itu. Mereka berdua menenteng tas masing-masing di kursi panjang, tidak menaruhnya di kompartemen atas.

"Oh? Jadi kalian berdua jalan bersama ke asrama?"

"Iya, kayaknya waktu itu naluriah saja jadi kita berdua masuk bareng ke asrama dan bertemu Matron Thalia," Lucia mengingat-ingat, senyum terkembang di bibirnya. "Tak disangka ternyata kita berdua sekelas."

"Ada ya, memang, saat-saat aneh macam itu."

"Takdir, kah?" mata Lucia berbinar.

"Ngg, kayaknya nggak sampai situ, deh, Lucia."

Tiga stasiun berlalu dan pembicaraan mereka masih belum habis seputar dua tahun ini, atau soal kehidupan di asrama saat masa belajar. Biasanya, Fiore tidak terlalu suka topik nostalgia macam ini. Kalau di klan, kebanyakan Tetua dan Orang Berkepentingan akan berfokus saja pada tujuan, dan mereka akan lebih berkonsentrasi pada kultivasi sihir sebagai ras asimilasi Sylph. Klan Titania mampu menarik energi dari garis Ley tanpa bantuan Cincin Peri, tapi Fiore sudah menguasai cara 'berpura' menggunakan Cincin Peri untuk mengelabui semua orang. Sekarang dia tetap mengenakan Cincin Peri sebagai alat komunikasi, juga pengingatnya pada Kelas Sembilan.

Sama dengan kalung kupu-kupu yang diberikan Ann saat mereka berjalan-jalan di kota Redcrosse.

"Ada yang kamu kangenin selain Ann?"

"Apa sih," Fiore mencibir. "Yah, aku kangen semuanya, sih. Kebetulan juga kita nggak perlu jadwalin reuni, eh kita akan ketemu semua."

"Walau pastinya ada tugas yang menunggu," Lucia berulas senyum. Fiore hanya tertawa kering.

Instruktur mereka percaya pada mereka karena Kelas Sembilan terkait erat dengan Kitab Kejayaan Hampa dan kesaksian mereka yang mengetahui rahasia di balik Perang Sipil Angia sangat berharga. Seorang seperti beliau tidak akan sekedar mengumpulkan mereka untuk reuni setelah dua tahun tidak bertemu muka, pastinya ada yang ingin beliau sampaikan atau ada tugas yang ingin beliau berikan.

"Saya kangen banget sama Hana, sih."

"Hah, emang dia punya bakat ngagenin, ya, bocah satu itu," Fiore menggeleng-geleng. Terlepas dari kejadian di Redcrosse yang melukai Hana, Lucia memang cukup gemas dan perhatian dengan teman sekamarnya itu. Setelah dipikir-pikir, mantan tentara Spriggan dan pewaris ilmu pedang Leanan adalah kombinasi yang cukup seram. "Apa jangan-jangan nanti dia lebih tinggi dariku?"

Sunyi sejenak, Lucia seperti berusaha untuk tidak berucap apa pun yang dapat menyinggung. Fiore tersenyum kecil saja.

"Muriel ... mungkin lebih bersahaja," Fiore berpangku tangan. Lucia mengangguk setuju. "Eris dan Hilde tidak berubah banyak, sepertinya, sesuai yang kita lihat kemarin di layar."

"Mereka sudah ada perkembangan belum ya?"

Fiore menaikkan alis, "Maksudmu?"

"Paling tidak, Eris nggak lembek sama Hildegard, gitu." Lucia memutar bola matanya.

"Kayaknya bakal lebih parah. Hilde jadi ajudan Ratu, 'kan berarti?"

"Hmm, ada benarnya."

Mereka pun tertawa lepas membayangkan Eris yang tetap maniak pedang, namun sekarang bergelar ratu, dan tetap ajudannya lebih galak dari ratunya.

"Soal Karen," Lucia mengulum bibir. "Kalian lebih akrab di masa akhir studi karena Karen berkonsultasi denganmu soal sihir, ya?"

"Ya, sejauh ini dia mengikuti saran yang kuberikan," Fiore mencoba menggambar beberapa lingkaran di udara. "Ini nanti yang akan kujelaskan ke kalian semua, tapi aku akan beritahu padamu dulu mumpung lagi setopik."

Fiore menggambar total empat lingkaran, masing-masing dia beri nomor dalam angka romawi I hingga IV. Lucia mengamati dengan saksama lingkaran-lingkaran itu.

"Karen memiliki sirkuit sihir khusus yang membuat penggunaan sihirnya boros energi, walau outputnya dahsyat," Fiore memulai. "Kalau kuberi umpama mungkin orang seperkasa Muriel tapi seukuran Hana."

Lucia tergelak. Fiore berdeham untuk melanjutkan penjelasannya.

"Karen yang tubuhnya lemah kalau penggunaan sihirnya dibiarkan seperti ini dalam jangka waktu yang lama akan berbahaya bagi dirinya, jadi aku membuat semacam pembatas agar Karen mampu terbiasa meregulasi sihirnya," Fiore menunjuk lingkaran itu. "Lingkaran ini kubuat di lengan Karen, kami menamainya sebagai Muspell Counter."

Wanita muda di depannya mengangguk, "Jadi dari skala I sampai IV, IV berarti Karen di kekuatan penuh?"

"Benar," Fiore menghapus lingkaran itu dari udara. "Tapi Karen bilang untuk merahasiakan ini dari semuanya sebelum dia siap menjelaskan. Aku bilang kalau dia masih belum memutuskan, aku-lah yang akan menjelaskan ketika kita semua bertemu lagi."

"Semua itu juga termasuk pada Gloria?"

Fiore tertegun, paham mengenai implikasi yang tersirat dari Lucia. Gloria sebagai teman kecil Karen seperti tidak pernah dekat dengannya, atau Karen tidak mempercayakan informasi tertentu pada Gloria. "... Iya."

"Dia memang tidak pernah berubah ya, selalu dengan rahasianya."

Fiore tidak menanggapi komentar pedas Lucia, sekedar mengangguk saja. Bukan urusannya untuk mengatur teman dan apa yang mereka sembunyikan, walau mereka sudah saling percaya satu sama lain. Fiore hanya berharap akan tiba waktunya untuk Karen menjelaskan apa yang sudah disembunyikannya dari Kelas Sembilan, atau bahkan pada teman kecilnya Gloria sekali pun.

Yang mereka ketahui, Karen ada sangkut pautnya dengan kelompok yang pernah berselisih dengan mereka, E8, sekelompok profesional berbahaya yang mereka masih belum ketahui motif pastinya. Koneksi Karen dengan E8 membantu mereka saat Perang Sipil Angia, lagi Karen tidak memberitahukan siapa-siapa mengenai keterkaitannya dengan kelompok yang sudah hampir membunuh Hana.

"Ketua kelas, ah, pastinya dia akan lebih taktis. Dia sangat detail kalau soal senjata dan perencanaan, dia mungkin sudah lebih mahir sekarang, atau bisa saja masih panik ..." Lucia mengangguk-angguk.

"Saya kurang bisa menebak Alicia. Status tahanannya sudah dicabut, tapi mungkin dia tidak bisa jauh-jauh dari Bluebeard atau Norma, ya?"

"Kita bisa tanya itu ke Eris nanti." ujar Fiore. Anggota kelas mereka yang aneh bin ajaib latar belakangnya tak pelak membuat Fiore kehilangan rasa kagum dan takjubnya. "Lalu ... Gloria, mungkin tidak jauh-jauh dari kita berdua perkembangannya, ya."

"Saya berpikir dia sudah mau tancap gas kembali ke rumah untuk memeluk Warden bila tidak ada panggilan ini."

"Kamu dan imajinasimu suka kejauhan, deh." Fiore nyengir.



Ketika mereka sampai di kota Folia, mereka sontak langsung melihat stasiun yang lebih rapi. Perkembangan perkeretaapian di Angia cukup pesat sehingga pembaharuan stasiun dilakukan di jalur utama, membuat aksen lebih futuristik dengan rangka aluminium dan besi ringan. Tas yang mereka bawa diperiksa saksama, terutama tiga pedang yang dibawa Lucia dan panah dan dawai milik Fiore. Mereka segera keluar dari area stasiun sebelum mengundang lirikan mata orang yang berlalu-lalang karena mereka berseragam lengkap tentara.

"Kamu tidak pernah memainkan dawai itu lagi, kah, Fio?"

Fiore mengerjap, "Kok kamu tahu?"

"Saya pernah melihatmu sering memainkannya di sesi latihan pagi kita saat sekolah, senarnya soalnya berbeda."

"Kamu jeli sekali," Fiore tertawa kering. "Iya, aku belum sempat memainkannya lagi."

"Begitu..."

Andaikata Lucia tahu atau bisa menebak alasan Fiore tidak lagi memainkan dawai panahnya itu, Lucia tidak mengatakannya.

Karena masih ada banyak waktu sebelum pertemuan, mereka pun melihat-lihat kota kecil yang kini menjadi salah satu destinasi wisata di Leanan. Kota yang ada di perbatasan antara ujung timur Leanan dan ujung barat Bluebeard itu sangat terkenal dengan perkebunan apelnya. Sepertinya turisme mendatangkan pendapatan besar bagi kota Folia karena jalan setapak yang dulu mereka ingat berupa bata kini disulap menjadi jalanan aspal. Bahkan penanda jalan dan papan informasi yang ada di dekat stasiun sudah diperbarui menjadi lebih besar dan lebih jelas.

Mereka menangkap dua orang berseragam tentara tengah mengamati papan informasi, Lucia-lah yang duluan berlari menghampiri mereka.

"Ratu Bluebeard!" pekiknya.

"Ampun!" seru Eris. "Aduh, kenapa, sih kalian semua modelannya begini!?"

Hilde yang berdiri di sisi Eris hanya tertawa saja menanggapi Lucia yang mengagetkannya. Fiore sekedar melambaikan tangan sebelum turut menghampiri mereka berdua.

"Kalian tidak sama Alicia?"

"Dia ditugaskan di Bluebeard selatan, mungkin masih di perjalanan," jelas Hilde. "Dia sudah dibebaskan bersyarat, tapi tetap hanya boleh bertugas di Bluebeard."

Ketika Eris dan Lucia sudah sibuk berbincang soal pedang (tentu saja), Fiore mengajak Hilde dan yang lain menepi seraya mereka menyambung obrolan. Sepertinya memang kalau sudah lama tidak bertemu, ada saja topik yang mereka bicarakan, termasuk Lucia yang sudah bersama Fiore di penugasan akhir.

Sesuai perkiraan mereka, Eris dan Hilde tidak jauh berbeda dari saat masa sekolah, walau gaya rambut mereka cenderung diikat satu di belakang punggung. Mereka senantiasa sedia dengan pedang mereka masing-masing, sama dengan Lucia dan pedangnya. Fiore sempat mengingatkan kalau Lucia tidak perlu bawa tiga pedang sekaligus karena akan menarik perhatian banyak orang, untungnya Lucia mau menurut.

"Gimana rasanya jadi ratu?" tanya Fiore penasaran.

"Nggak gimana-gimana, kok. Pemahkotaan lebih bersifat simbolis, dan aku tidak akan masuk ke pemerintahan Bluebeard sebelum berusia 25 tahun," sergah Eris. "Toh sepertinya di era perubahan begini, kesepakatan itu bisa berubah, apalagi karena aku termasuk satuan tentara Angia."

Hilde menyela, "Tetap saja mereka tidak akan membiarkan ratu kemana-mana kalau sudah waktunya menjabat penuh."

Eris manyun. Lucia tak pelak terkekeh. Tertebak juga dugaan mereka kalau Hilde masih tegas seperti biasa.

"Apa ada yang lain sudah datang?" tanya Lucia pada Eris dan Hilde.

"Ah, kami juga belum lama sampai, tapi tadi kayaknya sempat lihat Blair, paling dia sudah keliling-keliling kota," jawab Hilde.

"Mau jalan-jalan dulu? Atau biar kita menunggu saja di sini sampai dekat waktu berkumpul?" saran Eris sambil menunjuk pelataran toko di dekat mereka.

"Kamu nggak takut tiba-tiba mereka gelar karpet merah pas lihat ratu Bluebeard menghampiri toko mereka?" goda Fiore sambil menyenggol lengan Eris.

"Apa, sih, Fio!" wanita berambut pirang pucat itu menggembungkan pipi. Jelas sepertinya banyak yang menggoda Eris tapi sang ratu tetap akan berwajah merah padam seperti ini. "Omong-omong apa kalian tahu alasan Instruktur Bathory mengumpulkan kita semua?"

Fiore segera menggeleng, begitu juga Lucia yang sepaham. Mereka bisa terus berspekulasi, tapi tidak akan ada ujungnya. Eris dan Hilde juga tampak tidak tahu apa-apa seperti mereka.

"Mungkin soal Kitab?" Hilde menahan dagunya.

"Kitab, ya ..." Eris menggaruk pipi. "Terakhir itu soal Perang Sipil. Kalau Kitab memberitahukan kejadian aneh-aneh lagi, bisa apa kita?"

"Tapi kalau kita ditugaskan resmi di kemiliteran bukan hanya sebagai lulusan baru, apa kita bisa mendapat info lebih lanjut soal Ann?"

Ucapan Lucia benar adanya. Eris menjentikkan jari, "Benar juga, walau aku kurang yakin. Aku yang ratu saja tidak bisa tahu apa-apa lagi soal Progenitor—Hilde pun sama, baik dia misionaris Kota Suci."

"Terdengar sangat ganjil sekarang, walau saya mengerti soal Progenitor adalah sejarah kelam Angia dan tabu untuk diangkat topiknya," pungkas Lucia.

Mereka berempat kembali terdiam. Mereka hanya ingin tahu kabar Ann, atau kemungkinan nasibnya bisa digantikan dibandingkan dia menjadi satu-satunya sumber untuk menanggulangi 'dosa' Angia.

Fiore mungkin bisa dianggap sebagai hipokrit karena dia dulu memiliki misi untuk menumpas 'racun', tapi tidak perlu alasan khusus untuk melepas seorang rekan mereka dari kemungkinan pahit. Ann adalah rekan mereka, teman seperjuangan, bukan sekedar 'instrumen' yang 'dibuat' untuk mencapai sebuah 'tujuan'. Ann mengorbankan dirinya sebagai bahan percobaan dan instrumentasi agar tidak ada lagi yang memanfaatkannya, atau Angia menjadi bahaya karena dirinya sekedar berada.

Kalau mereka tidak bisa tahu bagaimana kondisi Ann sekarang, mereka akan berfokus di cara untuk 'membebaskan' Ann.

"Ada ide?" tanya Eris. "Sori, mendadak aku ngerasa buntu."

"Kalau kita coba ke kontinen di luar Angia yang lebih paham soal homunculus?" imbuh Hilde.

"Kita sudah pernah membicarakan ini, Hilde," balas Eris. "Bisa saja, sih, kita ke kontinen lain sekedar menimba ilmu, tapi status agresi Angia belum lama usai, pastinya sulit menuju kontinen lain terkecuali kita ada dalam misi khusus yang resmi."

Lucia menepuk tangannya, "Oh! Bagaimana kalau Eris membuat misi gadungan atas nama ratu?"

"Tolong ya, Lucia, aku belum ada sebulan diangkat jadi ratu dan udah ada aja yang mau kepikiran menyelewengkan kekuasaan!"

"Jadi kalau sudah lebih dari setahun, kamu bersedia melakukannya, Eris?"

"Ya nggak gitu juga caranya hei!"

Hilde dan Fiore tertawa saja menanggapi mereka berdua. Lucia dan ide-idenya memang suka ajaib, walau mungkin maksudnya adalah mencairkan suasana.

"Yah, satu-satunya cara tetap kita masuk dari posisi militer sih, mau nggak mau ..." Eris mengedikkan bahu. "Bakal lama dan panjang, belum lagi birokrasi—"

"Oke, cukup dulu ngomong ribetnya," Fiore melambaikan tangan. "Kalian nggak pada haus?"

"Beli aja di mesin itu," tunjuk Eris. "Aku mau teh, ya. Yang nggak manis."

"Ih, si ratu udah mulai ngebudakin aja," sela Fiore, walau dia sudah berdiri dari tempat duduknya dan mengumpulkan pesanan sebelum Hilde turut serta.

"Aku salah apa sih sama kalian!?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro