Intermission 001: Yang Terus Menanti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fajar sudah menyingsing, padahal rasanya baru sebentar dia memejamkan mata.

Tak disangka Gloria, dialog empat matanya dengan Karen berjalan cukup mulus. Gloria mengira mungkin emosinya akan meletup dan tidak terkontrol, atau Karen cenderung tetap tertutup. Dua tahun ini sudah benar-benar merubah cara pandang mereka berdua. Ketakutannya tidak terbukti, dan benar kata Fiore, dia sudah benar untuk tetap mempercayai Karen, karena Karen membuat pilihan sesuai dengan apa yang diyakininya, dan dia tidak ingin melukai siapa pun.

Memang masih ada banyak hal yang dipertanyakan dari teman kecilnya itu, walau motivasinya sudah jelas. Keterpaksaan-lah yang membuatnya menjadi anggota E8, walau sepertinya 'tugas' yang diberikan sang Ratu Putih baginya sudah selesai dan dia tidak menerima tugas baru. Gloria tahu Karen tidak berbohong ketika mengatakan itu, Fiore juga sudah memastikan saat perekapan malam kemarin selepas makan malam kalau Karen tidak ada sangkut pautnya dengan E8 setelah Perang Sipil Angia.

Kondisi Karen pun sudah cenderung terkontrol dengan keberadaan pengaman yang dibuat oleh Fiore. Karen bilang dia cenderung tidak mengalami demam bulanannya lagi setelah itu, walau memang dia tidak bisa memaksakan diri meskipun ada pengaman.

Setelah beberapa lama berguling di kasur tanpa membuahkan hasil, Gloria akhirnya memutuskan untuk bangun tidur saja. Dia segera turun dan memeriksa rumah sewaan itu. Baik dapur, dipan, ruang tamu kosong melompong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya ada matahari pagi yang mulai menghangatkan ruangan di tengah musim dingin yang sebentar lagi berakhir. Belum ada yang terlihat sudah bangun saat fajar itu di sana—

—sampai Gloria mendengar ada suara gesekan antara benda tajam dengan angin dari arah teras. Gadis berambut kemerahan itu hanya bisa geleng-geleng dengan senyum terkembang di bibirnya.

Tentu saja, pikirnya. Pasti sudah ada mereka maniak pedang yang terbangun untuk mengayun pedang lebih awal, walau sebagai tentara mereka pastinya sudah terjaga di pagi-pagi buta.

Gloria melirik ke arah teras untuk menemukan sosok berambut pirang. Pandangannya lurus menatap pelataran teras, memunggungi arah pintu. Lengan kemejanya ia lipat rapi dan tangannya dengan giat mengayun pedang secara teratur. Sabetan dimulai dari atas kepala, mengayun ke bawah dengan indah. Seakan lokasi berdiri sang pengguna pedang tidak bergerak sama sekali karena gaya, dia mengayun bilah tajamnya di tempat yang sama, terus-menerus tanpa henti. Ritmenya bahkan sama, hampir orang bisa mengira robot tengah melakukan hal monoton itu tanpa bosan.

"Hilde?" tanya Eris tanpa menoleh. Benar-benar, mau langkahnya dia sepelan apa pun, Eris tetap menyadari ada orang di belakangnya.

"Ah, maafkan kelancangan saya Ratu, saya dari Spriggan." kekeh Gloria.

Eris berkacak pinggang. Dia segera menyarungkan pedangnya dan mendengus, "Apaan, sih, Gloria."

"Lagian, langsung nodong Hilde aja," Gloria mencibir. Dia mendekat dan menepuk pundak sang ratu. "Lucia, kek, gitu?"

"Lucia tadi sudah keluar rumah, katanya mau jogging," ucapnya. "Kebetulan tadi ada Hana juga, jadi Hana ikut nempel-nempel ke Lucia."

Gloria berseri-seri. Melihat satu atau dua hal tidak berubah di antara mereka dari masa belajar membuatnya larut dalam nostalgia. "Selalu ya, monster macam kalian itu tiada dua."

Eris nyengir saja. "Sebentar lagi juga paling Muriel tiba-tiba sudah bangun, dan dalam kedipan mata tiba-tiba kita sudah bisa sarapan."

Gloria melirik ke arah pintu. Dia menangkap sayup-sayup suara denting perabot, sepertinya dari arah dapur. Hanya ada satu peri dapur yang akan siap-siap jam segitu bagi mereka. "... Iya juga, ya. Memang monster-monster di kelas kita sangat tiada dua."

Eris menunjuk sisi teras untuk mereka berdua duduk. Di sana sudah ada handuk baru yang masih dilipat, begitu juga sebotol besar air minum. Eris menatap benda-benda itu sambil menghela napas, Gloria menyenggol lengan Eris.

"... Artinya, Hilde juga pasti sudah sempat lewat di sini. Aku terlalu fokus sampai tidak sadar."

"Ratu emang selalu dapat perlakuan spesial dari ajudan favoritnya."

Eris manyun. Rona merah terkembang di pipinya sesaat dia mengambil handuk untuk menyeka keringat di pelipisnya. Dia segera membuang muka. Gloria pun tertawa lepas.

Mereka menepi di teras itu sambil Eris meregangkan badan. Pedangnya dia sandarkan di sisi dinding terdekat. Gloria memerhatikan pedang itu, pedang yang mungkin baru pertama kali dia lihat, tapi sudah ada tanda-tanda cacat dan baret di bagian mata pisau dan pegangannya, alih-alih pedang itu sudah sering sekali digunakan.

"Instruktur memanfaatkan posisimu sebagai ratu, ya, untuk diplomasi ke Pusara." pungkas Gloria, menatap ke arah langit-langit rumah sewaan itu.

"Tidak masalah selama ini akan menjadi sesuatu yang positif, juga ini akan menjadi latihan untukku dalam mengasah kemampuan diplomasi dan negosiasi sebagai ratu." ujarnya sambil tersenyum penuh percaya diri.

"Silau sekali, Ratu!"

"Jangan manggil ratu-ratu mulu, ah! Di sini aku cuma Eris, teman kalian!"

"Iya, iya, bercanda kok," Gloria terkekeh. "Sori, ya, pastinya berat mengemban posisi sepenting itu."

"Kalau dibandingkan denganmu, sih, mungkin jadi ratu tidak ada bedanya dengan pewaris perusahaan terbesar di Angia?" Eris menaikkan kedua alisnya tanda sugestif.

"Nggak salah," Gloria mengiyakan. "Tapi kayaknya masih akan lebih lama sebelum aku bisa mengambil alih Perusahaan Wiseman."

"Kamu tipe ambisius, kah?"

Gloria mengedip sebelah mata, "Aku cuma cinta Warden. Punya perusahaan sendiri adalah nilai plus."

"Heh, salah aku sudah bertanya," Eris menelengkan kepala. Dia meneguk minumnya lagi, sudah hampir setengah botol tandas dalam waktu singkat. "Gimana ngomong-ngomong soal Karen?"

Gloria mengulum bibir, "Kamu lihat ya kemarin malam?"

"Ngg, nggak sih, sekedar ngelirik ke teras, lihat ada kalian berdua, terus ya sudah," pemilik rambut pirang itu mengedikkan bahu. "Kalian baik-baik aja, 'kan?"

Gloria merasa tersanjung karena teman-temannya itu pengertian. Memang mereka semua tipe yang suka mengejek satu sama lain atau bersenda gurau bila ada waktunya, tapi mereka selalu punya kekhasan sendiri ketika memberi temannya sedikit waktu untuk berpikir atau sedikit jeda untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Gloria menjelaskan sedikit kalau dia dan Karen berhasil berdiskusi tadi malam dan sama-sama paham kalau masih ada rahasia di antara mereka yang belum bisa Karen jelaskan. Gloria memahami hal ini dan mengatakan pada Karen kalau dia tidak keberatan menanti hingga Karen siap untuk menjelaskan.

Gloria tetapi tidak menyebutkan soal Karen yang menyebutkan bahwa Gloria di Kaldera akan menemukan sebuah 'kunci' berkaitan dengan Schwarz Schach.

"Gitu, lah, masalah sama teman kecil~" Gloria sekedar merentangkan tangannya di sisi-sisi tubuhnya, meyakinkan Eris kalau dia dan Karen memang baik-baik saja. "Aku iri kadang lihat kamu sama Hilde kayaknya akur banget."

"Oh, ya?" Eris tak pelak menaikkan alis. "Kita pernah berantem hebat, lho. Apalagi setelah aku tahu kalau Hilde punya misi sebagai misionaris."

"Pakai pedang?" maksud Gloria menanyakan itu adalah setengah bercanda, tapi ketika Eris mengangguk, Gloria memucat.

"Pakai pedang."

"... Serius?"

"Di tradisi Bluebeard, ada yang dinamakan Duel Kesetaraan," Eris mulai menjelaskan, matanya menerawang sejenak. "Intinya sih seperti duel sampai mati antara dua petarung yang sama-sama sudah sepakat."

"Kalian setuju untuk duel sampai mati!?"

Eris mengerjap, seakan dia sekedar membicarakan kalau langit itu biru, awan itu putih. Santai sekali. "Eh, iya? Nggak ada yang mati kok ..."

"Bukan itu maksudku!" Gloria masih terbeliak. "Sampai sejauh itu?"

"Kami melakukan duel itu saat di Pulau Penjara, Lucia dan Alicia yang jadi saksinya," Eris menjelaskan lagi.

Singkat cerita, Eris meminta duel itu karena kecewa; kecewa karena dirinya sendiri yang tidak mampu melihat kenyataan yang ada di depan matanya, dan kecewa bahwa dia tidak bisa menjaga Hilde dengan benar. Hilde sekedar menjalankan tugasnya sebagai misionaris Norma, seorang yang ditugaskan untuk 'meluruskan sejarah'.

"Setelah itu kami akhirnya bisa menyatukan pikiran dan ... yah, Hilde memilih untuk jadi ajudan Ratu Bluebeard. Tidak ada perubahan dari statusnya sebagai misionaris, tapi kurasa hubungannya dengan Norma akan sedikit renggang." Eris mengepalkan kedua tangannya. "Tapi sebagai ratu, aku tidak akan membiarkan masalah yang sudah mengakar ini terus berlanjut. Itu janjiku pada Hilde."

"Wow." pekiknya. Gloria tidak habis pikir ternyata Eris dan Hilde yang tampak adem-ayem saja pun harus melewati fase semacam itu.

'Duel' menyangkut 'tradisi' bukanlah hal remeh. Dia tidak bisa membayangkan dia bisa setega itu pada Karen - mengesampingkan apabila mereka berdua berduel sekalipun tidak akan berimbang karena senjata mereka berbeda.

"Nggak semudah itu sih, memang. Rasa percaya itu mahal harganya." Eris menunduk. "Dibesarkan di lingkungan istana membuatmu tetap skeptis ke siapa saja, walau kamu tahu cara melindungi diri sekalipun."

Eris menatap pedangnya, layaknya partner yang dia paling percaya selain teman-teman di sekitarnya.

"Tapi kamu percaya juga dengan Kelas Sembilan; kamu mengangkat narapidana untuk jadi teman belajar, dan kamu bisa menyelesaikan perbedaan dengan Hilde." tukas Gloria.

"Heh, bisa dibilang aneh ya, aku ini? Bilangnya skeptis, tapi aku terlihat gampang percaya sama orang."

"Nggak gitu kok, Ratu!"

"Mulai deh, ratu-ratu lagi." pipi Eris menggembung. "Nanti Alicia bakal ke Aira ya ... terus soal dia yang ternyata ada keturunan di sana ..."

"Ada apa kah?"

"Ah, tidak, aku mengkhawatirkan Alicia akan kenapa-kenapa. Sulit menerima kenyataan ketika kamu sudah lama mempercayai satu hal selama bertahun-tahun lamanya."

Gloria tertegun. Apa yang didengarnya, Alicia ternyata adalah anak keturunan seseorang yang dihukum oleh Aira. Pihak Angia tidak pernah mengetahui detail jelas hukumannya karena itu berkaitan antara kerahasiaan pihak Aira, Angia hanya melaksanakan perintah untuk menampung beliau. Kalau diibaratkan dengan Gloria, mungkin ada hubungannya dengan dia yang tidak percaya Karen akan meminta bantuan pada E8 karena sudah terpojok.

Mungkin, mungkin di saat itu, hanya E8-lah yang bisa Karen mintai tolong. Gloria kecil kala itu belum tentu mampu menolong Karen.

"Ada ketua kelas dan Fiore, sih, dan ada Karen juga. Harusnya aman, 'kan?"

Gloria tertawa kering, "Definisikan aman, deh, Ratu."

Eris sepertinya sudah capek mengingatkan Gloria soal nama panggilannya, dia pun cuma mendecak.

"Omong-omong, kamu siap ngeladenin Hana?" Gloria bertanya penasaran.

Hana bukan berarti makhluk liar yang tidak bisa diatur, tapi diplomasi dan negosiasi bukanlah suatu hal yang mantan tentara kecil itu pahami. Dia juga belum lama bisa baca dan tulis.

Alasan Hana tidak dapat keluar dari Angia adalah kondisi khususnya setelah kejadian luar biasa mereka di Redcrosse. Masih ada kemungkinan organ tubuh barunya yang diimplan tidak akan berfungsi normal bila Hana jauh dari Angia, sehingga masih butuh beberapa tahun lagi sebelum Hana bisa dikatakan pulih total. Berbeda dengan implan otot Muriel, implan organ Hana menyangkut beberapa organ vital. Hana sendiri terlihat normal saja, tapi Gloria tahu betul seberapa sering Hana harus melakukan pemeriksaan setelah kejadian di Redcrosse itu. Itulah juga mengapa dia ditempatkan di Lumis, bukan ikut di Ignis.

"Hilde menggebu untuk membuat Hana jadi Queen's Knight, semacam pasukan pengaman utama ratu," ia menghela napas panjang.

Queen's Knight, menurut penjelasan Eris, bisa dianggap adalah bodyguard ratu yang dipilih secara khusus dalam kriteria tertentu yang disusun oleh Eris sendiri. Katanya itu sudah merupakan keharusan di hirarki penugasan, walau Eris bisa melindungi dirinya sekalipun. Adik kembar Eris, Nyx Malvin, nantinya yang akan mengkoordinasi orang-orang yang bekerja di bawah dan bersama Eris. Hilde sebagai ajudan Eris setara dengan Nyx.

Sepertinya bagian dari Queen's Knight itu juga yang akan membantu Eris dengan urusan Pusara, karena skuadron Lumis hanya beranggotakan tiga orang, tentu dengan persetujuan Instruktur Bathory. Eris sepertinya yakin walau tugas diplomasi ini akan cukup larut, dia siap mengawasi Angia berdasarkan kepercayaan teman-teman mereka, juga melaksanakan tugas skuadron Lumis.

Hana jadi bodyguard Eris rasanya tidak terbayangkan juga bagi Gloria.

"Aku bilang nggak bakal mungkin Hana jadi Queen's Knight karena Hana masuk satuan tentara Angia. Palingan sih, dia bisa jadi pelatihnya aja..."

Gloria tapi tak kuasa terbahak, "Tunggu, tunggu, pelatih? Hana itu jadi semacam instruktur untuk calon penjaga ratu?" ia terpingkal-pingkal, Eris pun turut tertawa.

Tidak terbayang di benak Gloria sosok kecil kurus yang dulu ia temukan di balik kasur barak yang ditinggalkan di suatu tempat di Spriggan kini memegang mantel sebagai pengajar.

"Dia memang ada bakat sih... kuat, dan cukup sparta juga, walau nggak selevel Instruktur Bathory. Orang nggak bakal nyangka dia mantan tentara Spriggan."

"Nah, itu yang aku ingin tonjolkan," ujar Eris. "Aku ingin anggota Queen's Knight yang akan bekerja sama denganku bukan orang-orang angkuh. Bagaimana mereka memperlakukan Hana sebagai instruktur mereka bisa jadi satu sumber penilaianku."

Gloria bertepuk tangan, "Hebat sekali bocah itu sudah bakal dapat kerjaan di kerajaan Bluebeard!"

Eris tergelak, "Bukan ide yang buruk, 'kan? Nanti kalian juga bisa memanggil dia sebagai 'Instruktur Albertine'!"

Mereka berdua tertawa puas sekali. Ada-ada saja memang kemungkinan di masa depan yang tak terpikirkan sebelumnya, malah bisa terjadi.

"Menurut perkiraanmu, kira-kira butuh berapa lama untuk kalian bisa berhubungan dengan Pusara?" topik mereka masih cukup ringan, namun ini merambah sedikit ke ranah yang lebih berat.

"Matron Thalia bilang Keluarga Penjaga Makam, mereka yang memegang Kitab Pusara, sangat tertutup, 'kan? Rasanya setahun juga belum tentu cukup," ucap Eris lirih. "Yah, kalian juga yang langsung ke lokasi belum tentu mampu berhubungan dengan Kitab di sana dalam hitungan bulan juga, 'kan. Rasanya kita pasti selesai dalam kurun waktu yang cukup mepet."

"Teknologi Para Peri yang hilang ya, kata Instruktur? Sayangnya Kaldera anti sihir, aku tidak yakin benar bisa menemukan apa pun berarti di sana, kecuali memang ada teknologi Kaldera yang bisa membantu Angia dan mereka setuju berkoalisi untuk Perang Megah Para Peri." Gloria turut pesimis. "Kita baru akan tahu medannya ketika kita berada di sana. Semoga kita semua bisa mengusahakan yang terbaik."

Eris berulas senyum kecil, "Benar."

Apakah mereka masih diberi kesempatan untuk berharap, ketika waktu yang sempit menekan mereka, dan segala kemungkinan seperti tidak berpihak pada mereka?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro