Intermission 010: Segelas Kopi Pahit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Bagi seseorang yang mengetahui kota Iberia layaknya telapak tangannya, keberadaan sebuah kedai kopi yang menjorok ke bawah tanah itu adalah penemuan yang tidak biasa untuk Marcus Lowell.

Lagi-lagi Dahna—Messenger Putih kesayangannya itu—memanggilnya mendadak ke arah kota ketika kepalanya masih penuh berjejal urusan kemahasiswaan yang rasanya semakin bertambah selepas Duel Harga Diri dilaksanakan saat Turnamen Sihir Aira.

Bukan masalah duel itu melanggar protokol atau membuat orang tidak nyaman, malah sebaliknya. Sepertinya para penuntut itu kini menelan ucapannya sendiri setelah meremehkan mereka yang datang dari kontinen yang terkenal bukan karena sihir. Tentu, orang awam tidak tahu bahwa para anggota skuadron Glacialis dari Angia ini bukan sembarang tentara tanpa latar belakang jelas. Di satu sisi, Marcus puas melihat mereka yang jilat ludah masing-masing, di sisi lain dia harus berurusan dengan hal-hal pasca Duel Harga Diri.

Pertaruhan di duel itu bersifat mutlak untuk menggambarkan kepentingan kedua belah pihak yang melangsungkan prosesi itu.

Alena Valerian kini tidak boleh memegang senjata apa pun selama di Aira dan haknya itu resmi disegel atas nama Cosmo Ostina. Celia Gawaine dicabut dari posisinya sebagai asisten pengajar Freya Nadir Romania juga dianggap status kemahasiswaannya usai. Tidak ada yang dapat mengajukan banding atas keputusan timbangan yang mutlak, dan Marcus juga-lah yang menyaksikan ketika Nadia Loherangrin sebagai ketua Kelompok Belajar Avalon dan Fiore Angelica Alba si kepala skuadron Glacialis menandatangani pakta perjanjian.

Hasil duel ini mengundang kontra dari pihak kemahasiswaan dan pihak akademik, lagi tidak ada kecurangan atau praktik lain antara kedua belah pihak yang menerima perjanjian ini. Pihak penuntut nantinya akan dipertanyakan tanggung jawabnya di hadapan badan akademik, tapi itu bukanlah urusan Marcus.

Persetan dengan mereka dan egonya.

"Jadi, mau apa, Nona Lowell? Kopi atau non kopi?"

Marcus menepuk dahinya. Baru saja dia menempel bokongnya di kursi konter, yang menatapnya di kedai kopi yang sepi itu adalah Dahna. Wajahnya berseri-seri dan dia memakai apron toko seperti tidak berdosa.

"Kamu ngapain sok-sok bisa jadi barista begitu," Marcus menunjuk-nunjuk Dahna dengan kesal. "Pergi dari situ. Kopinya nanti nggak enak."

"Jangan begitu di kedaiku." imbuh wanita rambut hitam yang masih sempurna garis-garis mata pandanya tidak jauh dari wilayah utama kedai. Dia muncul mengenakan apron yang sama, tengah mengelap tangannya setelah mencuci tangan. "Kopi atau non kopi?"

"Kedai ini punyamu?" Marcus mendecak.

"Ada masalah?" cebiknya. Mata birunya menatap tajam Marcus yang menggertakkan giginya. "Yah, aku cuma sekedar membunuh pemilik sebelumnya soalnya dia nggak becus dan tokonya hampir pailit. Orang-orang bahkan nggak sadar pemiliknya ganti saking tempat ini terlalu nyempil. Cuma sekarang banyak yang datang kalo jam siang soalnya kopinya enak."

Dahna tergelak, "Tuh, dengar, Nona Lowell. Dia gila."

"Aku masih skeptis sama si Putih satu ini, kamu yang gila, Dahna! Kita di sini bukan leha-leha!" Marcus menggebrak konter.

"Oke, satu espresso triple-shot buat Nona Pengajar yang nggak henti-hentinya PMS." sahut Selen yang sudah mengambil gelas kopi dengan tangan kiri dan mengatur mesin kopi dengan tangan kiri.

"Kalem, ladies." pria berambut pirang itu menggelengkan kepala. "Lagi sibuk banget ya, Nona Lowell. Sori, tapi ini penting."

Marcus masih kembang-kempis, tapi amarahnya kini sudah mulai pudar. Selen menghidangkannya segelas kopi ke hadapannya. Kopi beneran. Asli triple-shot. Marcus nggak akan mengaku kalau aroma kopinya enak. Rasanya harusnya autentik, tanpa tipu-tipu.

"Intinya ini akan jadi base sementaraku di sini, Selen setuju aja asal aku bawa pengunjung ke sini." jelas Dahna sambil tersenyum. Dia memanggil kamera ke tangan kanannya.

Selen naik ke konter di belakangnya untuk duduk bersandar, menyilangkan kaki dan bersedekap sambil mendengar Dahna menjelaskan alasannya memanggil Marcus ke sana. Dahna membuka kameranya, membentangkan rol film sepia di hadapan Marcus. Marcus tidak bisa melihat apa isi rol itu, tapi ekspresi Dahna yang kini serius membuatnya terkesiap.

"Kukira aku tidak akan melihat Freya Nadir Romania, ternyata dia hadir di tribun penonton saat Duel Harga Diri." tukas Dahna. "Aku cuma sempat mengambil foto-fotonya sebentar, menilik jejaknya beberapa hari terakhir dan hari berikutnya ..."

Dahna membiarkan rol film itu tergulung di hadapannya dengan sihirnya, namun tidak lama, rol film itu terbakar dengan sendirinya di hadapan mereka. Selen menaikkan alis, sementara Marcus memicingkan mata. Sihir itu tidak datang dari mereka yang ada di kedai itu, dan Dahna seperti tahu kalau Marcus mengenali tanda-tanda sihir itu.

"Cih, itu artinya dia tahu kamu ngintilin dia." wanita berambut merah itu menggerutu.

"Ya, tapi aku dapat sedikit info mengenai keseharian dia selain urusan mengajar dari Ostina, cuma sedikit," ucap Dahna, membuat tanda dengan telunjuk dan ibu jarinya. "Ada satu tempat yang kerap jadi tujuannya kalau dia ada waktu senggang."

Dahna menjentikkan jarinya untuk memunculkan peta. Pria itu menunjuk daerah hutan di bagian utara Aira, daerah bukit yang ada tidak jauh dari Hutan Penyihir, Valley of The End—Bukit Akhir.

Sejauh yang Marcus tahu, bukit itu dinamai seperti itu karena menurut sejarah, Nymph dikabarkan sempat bermukim di wilayah itu hingga tahun-tahun berat di Aira usai, sekitar Era Kekuatan.

Era Kekuatan, turbulensi sihir besar itu juga menimbulkan pengaruh yang besar bagi Aira. Di saat-saat itu juga, Nymph mendirikan Cosmo Ostina sebagai institut sihir tertua dan terkemuka di tanah ini.

"Jadi kamu rasa wanita itu ke sana untuk mencari Nymph, atau?"

"Spekulasiku, ya. Dia kesana untuk Nymph. Atau dia ada urusan tertentu yang berkaitan dengan Kitab, misalkan? Atau orang-orang berkaitan Kitab? Kita belum tentu tahu dan kita tidak bisa membuktikan."

Selen angkat bicara, "Jadi kalau kekhawatiran Raja Hitam dipercaya, kalian menyangka Nymph dipengaruhi oleh Ratu Putih, begitu? Dan si Pemegang Kitabnya pun sudah dikuasai si Putih?"

"Aku percaya dengan apa kata Raja. Lagi karena belum seratus persen akurat, aku harus memastikan," Dahna mengangkat bahunya. "Nah, karena itulah mungkin aku akan coba mencari ke sana, Nona Lowell. Aku cuma mau minta sedikit 'asuransi'."

Marcus menaikkan kacamatanya gusar. "Pas gini, aja, pasti deh aku yang dimintai tolong karena kamu takut mati."

"Hei, jangan gitu, dong," Dahna tertawa. "Kemampuanmu bagus andaikan ternyata aku terjebak. Paling tidak kamu bisa selamatkan kameraku kalau aku jadi abu."

Marcus hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia memang ketus, tapi bukan berarti dia tidak punya hati. Kemampuan teleportasinya dan pemanfaatan garis ley yang selama ini digunakan Hitam untuk berkomunikasi bisa membantu bila Dahna nantinya berada dalam bahaya.

Dan Marcus tidak akan menghentikan siapa pun, termasuk Dahna, untuk mencoba mengundi nasib dengan maut.

"... Nona Pengajar, di sini nggak boleh ngerokok." sahut Selen.

"Bawel, ih." decaknya, tapi Marcus tidak menyalakan rokoknya, sekedar menyesap kopi pahit yang sudah disediakan saja sambil mengutuk dalam hati.

Apa yang sebenarnya akan terjadi di Aira nantinya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro