XXVIII. | Sengau

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika mereka kembali ke Rumah Pohon, mereka berlima mendapati Karen dan Celia tengah duduk di meja serbaguna di ruang tengah. Karen tampak baik-baik saja, lebih sehat ketimbang tadi pagi ketika dia tak ada bedanya dengan mayat. Fiore tetap memasang ekspresi tidak puas melihat Karen, yang hanya bisa memalingkan muka dan berulas senyum antara 'maaf' dan 'aku bosan jadi aku di sini'.

Fiore melempar pandang ke Celia yang membalasnya dengan senyum cerah seperti tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Fiore tidak mengerti kenapa bisa ada orang dengan hati besar seperti Celia.

"Ceritanya kami bawakan kamu kue," Alicia menenteng sebuah kantung yang berisi sekotak kecil kue yang Fiore pilih untuk Karen. Karen sudah memerhatikan kue itu, tampak sejenak tidak tertarik tapi dia sepertinya nggak jaim. Gloria benar tentang Karen yang jadi perajuk kalau dia sedang sakit, tapi baik dia, Val dan Alicia tidak menggodanya, memastikan Karen nyaman saja.

"Mau kusuapin nggak?"

"Nggak mau." Karen segera mengambil kotak kuenya sebelum Alicia sempat menodongkan garpu. Celia, yang mungkin seharian sudah berhadapan dengan Karen, sekedar tersenyum penuh arti.

Setelah tahu Karen suka manis karena Hana yang menyebutkan, Fiore jadi membuat kebiasaan kecil untuk memastikan mereka punya stok snack bagi mereka berempat, baik itu sekedar berupa energy bar yang Alicia selalu punya di perlengkapannya, atau Val yang punya permen dan coklat.

Mungkin ini kebiasaan yang aneh baginya, dia jujur tidak terbiasa mengamati apa yang orang lain inginkan dan mencoba memenuhinya. Dulu sebagai pengamat dia cenderung lebih diam, pasif, sekedar melakukan apa yang jadi tugasnya dan puas dengan itu. Terkadang dia ingin seperti Muriel, mampu menebak apa yang jadi keinginan teman-teman mereka atau segera melakukan sesuatu yang bisa membuat orang lain nyaman.

"Yang masak hari ini aku ya?" Nadia bertanya pada Celia. Celia mengangguk. Mereka berdua kini sekedar bertukar sapa saja dan Nadia sudah bergegas ke dapur. Val menoleh ke arah Fiore, Fiore pun menyusul ke dapur untuk membantu Nadia sementara yang lain seperti biasa saling membantu kalau penghuni Rumah Pohon itu memerlukan sesuatu atau tidak.

"Oh?" Nadia melihat Fiore yang tengah menyingsingkan lengan. "Kamu yang bantu, bukan Lena?"

"Lena takut dia salah bumbu," ungkap Fiore, menggestur soal kacamata Val. Nadia pun mengangguk saja. Fiore mulai mencuci dan memotong sayur, sementara Nadia mengupas kentang. Nadia tidak bilang dia akan masak apa, Fiore mengikuti arahannya saja.

"... Nggak usah ngerasa ga enakan." Nadia mengecilkan suaranya ketika dia menaruh potongan kentang di dalam panci yang berisi air mendidih.

"Maaf, tapi—"

"Aku juga tahu kalian sempat dengar tadi pas aku ngobrol sama Miss Marcus." lanjut Nadia lagi. Gaya bicaranya tidak seperti tengah memojokkan Fiore, sekedar memberitahukan kalau dia sadar soal itu, lagi itu membuat Fiore seperti ditusuk-tusuk jarum.

Fiore pun mengulum bibir, bingung baiknya berkomentar apa.

"Ini pilihannya, dan aku sudah bilang kalau aku nggak akan memaafkannya."

Fiore terbelalak, berusaha menyembunyikan kekagetannya sambil terus memasak. Sepertinya Nadia akan bikin sup kental untuk Karen, dan mungkin sisa sayurnya akan dijadikan oseng-oseng sayur dengan ikan bilih keringan.

"Ekstrim ... sekali?"

"... Ekstrim?" Nadia terkekeh. "Aku cuma menyatakan kalau ada hal yang nggak akan bisa kumaafkan."

"Dan kalian masih bisa ngobrol normal seperti biasa, wow ..."

Fiore tidak habis pikir akan jadi seperti ini. Dia sudah menduga akan ada sedikit jurang di antara mereka bertiga, lagi Fiore sudah membayangkan perang dingin, bukan kondisi mereka yang membuat kesepakatan seperti ini - atau bahkan bisa dibilang tidak pernah ada kesepakatan, hanya masing-masing mereka sudah 'tahu'.

Bukan berarti itu juga sesuatu yang patut dicontoh, sih.

Di antara ketiga anggota Kelompok Belajar Avalon, Celia paling pandai urusan memasak, Sharon di urusan mengurus rumah, sementara Nadia bisa melakukan apa saja, lagi tidak menonjol di mana-mana. Dia bukan wanita kaya yang berlaku arogan bak pemilik status tertinggi, lagi bila dibilang dirinya merendah layaknya rakyat jelata, bukan juga. Nadia tidak bisa dibandingkan dengan Lucia yang menyembunyikan identitasnya, atau Gloria yang memang tidak terlalu ingin dikaitkan dengan nama keluarganya yang besar.

Pantas saja bila Nadia bisa dibilang sulit untuk ditebak.

"Bukan berarti aku menyukai situasi seperti ini, kok, Fiore." Nadia menaikkan bahunya. Dia kembali mengaduk sup setelah meneteskan sedikit krim, mengecek kekentalannya dengan tes sendok, mengetes rasanya, dan terus fokus memasak. Fiore mengikuti pergerakan Nadia, membantu mencuci perabot yang sudah terpakai. "Aku tahu Celia punya alasannya, dan mungkin kalau kamu yang menentukan taruhannya, dia tetap akan melakukan itu."

Fiore terhenti sejenak, "Kamu tahu?"

Nadia mengecilkan api saat sup di panci sudah mulai bergelembung. Dia memastikan kuahnya tidak memisah dan tidak terlalu panas ketika dituang ke dalam mangkuk. Nadia lalu menyerahkan mangkuk itu ke tangan Fiore, "Buat Karen duluan."

"O-Oh iya, terima kasih, Nadia." Fiore tergopoh-gopoh ke arah meja untuk menghidangkan sup itu duluan. Celia yang mendampingi Karen sepertinya sudah paham dan membiarkan Karen makan duluan, tidak memanggil mereka yang bertugas beberes Rumah Pohon.

Fiore kembali lagi ke dapur untuk melihat Nadia sudah hampir selesai menyajikan seluruh makanan, dia hanya terus mengaduk isi panci agar tidak menggumpal.

"Aku tahu kalau Celia selalu melakukan sesuatu untuk kebaikanku dan Sharon."

Ucapan Nadia membuat Fiore tertegun. Karena dapur yang letaknya dibatasi oleh dinding dan para pemberes cukup ribut di luar sana saat membelah kayu bakar, suara kecil nan lembut Nadia itu seperti tergerus oleh suasana.

"Walau itu menyakitkan untuk kalian?" tanya Fiore. Dia teringat seseorang yang sangat tak peduli, lagi dia-lah yang memilih untuk menjadi penyelamat mereka semua. Celia berbeda, Celia terlihat sangat mengayomi, dan melihat mereka bertiga yang sangat dekat, tentu yang Nadia dan Sharon rasakan adalah kekecewaan yang mendalam.

"Makanya aku bilang aku nggak akan memaafkan Celia." Nadia membuang muka. "Nantinya dia juga ... tidak di sini lagi. Mungkin kita akan bertemu lagi setelah aku dan Sharon lulus. Keputusan ini sudah final."

Fiore tertegun. Dia bukanlah seseorang yang bisa menghibur orang lain, dan dia juga salah satu 'alasan' perpecahan di antara mereka bertiga secara tidak langsung.

"Hei, aku cerita begini bukan pengin lihat kamu kayak kucing hilang," sembur Nadia sambil tersenyum. "Apa yang kamu lihat cuma sekedar bagaimana sesuatu bisa berubah saja dalam saat yang mendadak. Lagi, waktu akan terus berjalan dan tidak akan menunggumu."

Dengan berkata seperti itu, Nadia terlihat tegar, lagi juga dia tetap tidak menerima keadaan ini dan tidak bisa melakukan apa-apa. Sungguh pilu. Seperti yang dikatakannya, waktu akan terus berjalan—dan masa tenggang tugas mereka akan menjadi semakin sempit.

Turbulensi Sihir. Perang Megah Para Peri. Aira yang adil lagi tumbuh dalam ketidakadilan.

Bagaimana baiknya mereka melangkah?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro