Intermission 012: Berteriak dalam Diam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ketika Sharon sempat diskors sementara karena kesalahannya, Nadia sangat murka. Setelah amarahnya meletus, Nadia bergerak untuk mengurus seputar kejadian itu dan tidak berbicara dengan Sharon sama sekali selama beberapa hari.

Kala itu, Celia-lah yang menjembatani mereka berdua, walau dirinya merasa sangat tersiksa karena kondisi ini terjadi.

Pada masa skors Sharon, dia tetap berada di peternakan milik Celia. Celia-lah yang diminta oleh Asosiasi Sihir untuk mengawasi Sharon berdasarkan persetujuan yang berlaku. Sigil di antara mereka adalah tanda bahwa Sharon harus tetap berada di area peternakan selama masa skors, sementara Celia yang menjadi pengawas harus memerhatikan tingkah Sharon dan menulis laporan.

Nadia yang sudah selesai dari mengurus perkara Sharon kerap datang ke peternakan, tapi Nadia tidak pernah ingin melihat Sharon walau Celia sudah menawarkan. Nadia akan berkilah, nanti, besok saja, aku sibuk, belum sempat, padahal Sharon berada sekitar dua atau tiga ruangan dari ruang utama rumah itu.

Sharon tetap mengerjakan tugasnya di peternakan seperti biasa selayaknya tidak terjadi apa-apa. Dia akan bangun pagi untuk mengisi pakan ternak di kandang, merapikan jerami, memeras susu dan menyusun botolnya untuk nanti Celia periksa, lalu menggembala domba ketika cuaca di Asteria cerah. Kalau masih ada waktu sebelum sif-nya berakhir saat jam makan siang, dia pasti akan diam di kandang ayam, mengisi tempat pelet dan mengambil telur.

Celia kerap melihat Sharon memasang tatapan kosong ketika mereka berdua bertemu, makan siang bersama di dekat kandang ayam, atau memang Sharon yang dipanggil oleh ibunya untuk makan bersama di dalam. Sharon biasanya akan makan cepat dan menyendiri lagi, meninggalkan Celia yang perih hatinya melihat mereka berdua.

Hari-hari itu, Celia sudah menduga semua akan berakhir. Ini tidak akan berujung pada titik temu, dan persahabatan mereka akan berakhir begitu saja.

Sampai Celia akhirnya mengambil kesempatan untuk membuat mereka bertiga duduk di meja yang sama bersama dengan semangkuk besar sup krim dan beberapa potong roti.

"Apa ini? Aku nggak lapar." sahut Nadia. Celia menahan mereka berdua untuk tetap duduk.

"Ayolah kalian berdua. Kalau kalian nggak mau makan, temani saja aku makan."

Benar saja, yang menyendok sup kedalam mangkuk hanyalah Celia, dan Celia yang makan. Nadia dan Sharon sekedar saling bertatapan, melipat kedua tangan mereka di atas meja.

"Kalian sampai kapan mau terus diam?" Celia mulai bicara sambil sibuk mengunyah roti. "Masa skors usai. Kita akan tetap ikut ujian, 'kan?"

"Ya, iya sih, tapi—" Sharon mendecak. "Kalian apa masih membutuhkan seorang yang sudah salah?"

Nadia menggebrak meja, "Apaan, sih! Sudah kubilang kalau itu bukan salahmu!"

"Tapi itu salahku, Nona Nadia. Aku sudah melukai dia!"

"Kamu nggak bakal ngelukain kalau bukan dia yang mulai. Itu namanya melindungi diri sendiri bukan kamu sengaja! Aku cuma marah karena kamu nggak pernah ngomong ke aku atau Celia kalau kamu dihina sampai segitunya!"

"Kamu dengar sendiri mereka selalu mencibir soal aku yang dulunya Anomali, anak jalanan yang nggak bisa diatur—"

"Nadiaaaa, Sharoooon."

Giliran Celia yang menaruh mangkuk keramik itu kuat-kuat di atas meja. Sudah cukup, pikirnya. Dia pun berdiri, seakan lebih tinggi dibanding dua temannya yang tetap duduk, mata mereka masing-masing membulat menanggapi Celia yang mulai menyingsingkan lengan kemeja kotak-kotaknya. Kemeja itu masih bau jerami, lusuh karena sudah berkali-kali dipakai untuk merumput, lagi dia tidak peduli meraih lengan Nadia yang mengenakan gaun mahal, atau lengan Sharon di saat bersamaan.

Celia lalu menangkupkan tangan mereka bertiga bersama di atas meja, diatas sup krim yang mengepul hangat.

"Kamu mau celupin tangan kita kesitu?" tanya Nadia.

"Ya nggak," decak Celia. "Tuh, kalian berdua sudah masing-masing ngomong kalian keluhannya apa. Berarti sudah, dong, urusannya?"

Celia tahu Sharon, walau merupakan panutannya, adalah seorang yang mudah sekali patah semangat. Sharon selalu merasa dirinya kurang dan berusaha untuk terlihat lebih, lagi dia selalu meragukan kemampuannya dan berkutat pada masa lalunya.

Celia tahu Nadia, walau merupakan sosok yang keras, mulut tajamnya itu selalu berujar hal-hal yang baik. Dia tidak pandang bulu dan memperlakukan semua sama, dan tidak keberatan menyuarakan isi pikirannya walau kerap disalahartikan.

Mereka berdua bisa saja terus terkunci dalam ranah salah paham, dan mungkin tidak akan pernah bicara lagi.

Celia tidak menginginkan itu.

Sharon mulai berkeringat, "Celia, boleh udahan? Tanganku panas nih."

"Kalau kalian janji mau berbaikan, baru aku lepas."



Kejadian itu juga merupakan awal dari segala perubahan antara mereka bertiga.

Sharon yang berusaha tidak menggunakan sihirnya apalagi untuk melukai orang. Nadia yang akan berbicara seperlunya terkecuali dia butuh mengutarakan aspirasinya. Celia yang selalu mengalah dan berusaha untuk membuat mereka bertiga tetap bersama.

Lagi rasanya masa lalu itu seperti sebuah hal yang jauh saat ini.

Celia meringis, luka di perutnya itu tidak terlalu dalam, tapi sangat menyakitkan karena ada sihir Sharon di sana. Celia bisa merasakannya, panas yang menjalar ke dalam tubuhnya dari sebuah sumber yang sepertinya adalah racun yang Celia belum tentu ketahui unsurnya.

Pandangannya mengabur ketika dia berusaha melihat lurus. Nadia yang keluar mencari mereka, memanggil nama mereka, dihadapkan dengan tongkat yang mengacung dari Sharon yang—sudah bukan Sharon lagi. Celia bisa melihat ada yang berbeda dari Sharon, lagi Sharon ini bukanlah sebuah klon atau orang lain yang menyamar sebagai Sharon.

Seakan-akan sesuatu merasuk Sharon tiba-tiba, dan dia segera mengambil kesempatan untuk melukai Celia saat Celia lengah.

Sharon tidak akan pernah melukai siapa pun, atau menggunakan sihirnya untuk menyerang orang lain.

Celia menggenggam tanah di dekatnya, berusaha menyeret tubuhnya untuk bangun. Pandangannya mengabur lagi sesaat dia mencoba mengerahkan tenaganya untuk sekedar bersuara, berteriak untuk Nadia kabur atau melawan. Celia tidak mampu mendengar apa-apa kecuali denging di telinganya. Rekam masa lalu yang telah membentuk mereka seakan kini sirna perlahan saat dua tongkat dan dua energi bertemu.

Celia mengonsentrasikan api pada tangannya dan menghujam luka yang terbuka di sisi perutnya. Panas itu membuatnya membuka mata lebih lebar, nyeri itu memaksanya untuk bangkit, dan 'racun' yang sudah menjalar terhalang sementara oleh bara api yang menyengat.

"Sharon—ugh–bukan—kamu bukan Sharon." Celia, setengah meringis, berdiri di atas dua kakinya, mengacungkan tongkatnya seraya tertatih. Nadia menatap Celia dengan penuh kengerian, utamanya karena luka yang dia paksa dengan apinya, sementara Sharon—atau entah siapa dia—seperti takjub. "Nadia. Pergi. Biarkan aku yang menghadapinya."

"Wah, wah." ucap sosok itu, dia pun mengacungkan tongkatnya di antara Nadia dan Celia yang terpaksa melawan balik. "Jadi seperti ini murid-murid Freya sebenarnya."

"'Freya'?" Nadia mengatupkan bibirnya ragu. Celia memanfaatkan momentum untuk mendekat ke arah Nadia, mereka berdua masih bersiaga, lagi sosok di hadapan mereka menatap balik alih-alih mereka sedang bermain-main. "Siapa kamu sebenarnya? Kamu bukan Sharon."

"Aku adalah nada yang hidup. Nada yang nyaring karena amarah jiwa yang berang." ucapnya, seakan menyuruh mereka untuk tunduk. "Kalau kalian bersikeras menjadi penghalang, maka aku tidak akan diam."


--

A/N: ceritanya saya mau up kemarin tapi saya dibikin bengong karena ada seseorang yang namanya tidak diberitahukan ke saya memberikan fanart untuk Elegiac Traveler via artistnya

Fanart yang dimaksud bisa dilihat di sini: https://twitter.com/NivelFloss/status/1827354676540711326

Terima kasih sudah membaca tetralogi ini!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro