Intermission 013: Overture

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Alicia tetap melanjutkan jaga malam setelah dia menyuruh Fiore untuk istirahat atau gantian dengan Karen. Dia sudah menduga Fiore akan menolak, beralasan kalau tidak apa-apa dia tetap di sana beberapa saat lagi, sampai akhirnya Alicia mulai menggodanya.

Fiore akhirnya menyerah, mau juga disuruh istirahat, Alicia pun nyengir saja saat melihatnya mundur teratur, bilang kalau dia akan cari Karen dan memanggilnya untuk jaga malam karena disuruh Alicia.

"Jangan gitu, dong, kepala skuadron~ nanti aku yang dimarahi Karen~" sindir Alicia sambil tertawa lepas.

"Apaan sih, tadi nyuruh istirahat, sekarang nggak mau pas dipakai jadi alasan."

"Bercanda, Fio!" Alicia mengangkat tangan untuk membuat simbol peace dengan dua jari. "Sudah sana!"

Jaga malam mungkin bukanlah keharusan, tapi ini adalah rutinitas mereka sebagai seorang tentara. Memang ada sihir, ada teknologi perangkap yang bisa mereka pakai, lagi sudah menjadi tugas tentara—tugas yang mereka emban—untuk menjaga rakyat sipil sebagaimana dituangkan dalam asas dan peraturan satuan bersenjata Angia.

Mungkin aneh sepertinya ketika ini datang dari seorang mantan narapidana yang seumur hidupnya habis di penjara karena dia lahir di sana, tapi dia senang mematuhi peraturan yang dia tahu sangat bermanfaat dan berguna. Alicia suka keteraturan. Suka ketika semuanya mudah diprediksi dan dikalkulasi, ketimbang dia harus terus-menerus menakar ke depan. Memang, mungkin lebih baik bila seseorang dapat membuat rencana hingga sekian langkah di masa depan sehingga tidak akan mudah terjegal, tapi tidak semua orang memiliki kemampuan itu, atau diberkahi kesempatan untuk berpikir sejauh dan seluas itu.

Bukan berarti dia menganggap dirinya sendiri adalah seorang yang berpikiran pendek. Eris saja sempat memuji Alicia dengan kemampuan kalkulasinya. Itu juga yang jadi pertimbangan Eris ketika memilih orang ketiga dari Bluebeard yang hendak diikutsertakan untuk belajar bersamanya di Dresden.

Alicia menghela napas panjang, dia menerawang lagi. Saat-saat di Aira ini, rasanya dia lebih banyak larut dalam pikirannya sendiri karena segala fakta dan prahara yang menerpa mereka begitu mengejutkan.

Belum seminggu, mereka sudah harus bertaruh dengan keadilan yang tidak adil.

Setelahnya, setelah menghadapi kondisi mereka yang 'pincang', mereka dihadapkan bahwa Ialdabaoth adalah sesuatu yang telah disensor oleh Nymph sendiri.

Sekarang, ketika semuanya berujung pada sebuah benang merah, sudah terlambat untuk mereka melakukan hal preventif. Pilihan mereka adalah melakukan hal represif ketika pihak Nymph mulai menjalankan rencananya.

Alicia menutup matanya sejenak, Ialdabaoth, kaum alkemis yang memiliki kemampuan pengubah yang disebut sebagai teknik dirigen. Dia adalah pewaris dari Ialdabaoth itu, orang yang mungkin tidak seharusnya hidup bila orang yang mengandungnya turut dihabisi, lagi orang itu—pemimpin kaum Ialdabaoth—diasingkan ke Angia atas dasar tertentu.

Tiap-tiap rahasia yang lama tersimpan, kenyataan yang sengaja disembunyikan, sudah mulai terbuka, tinggal sedikit lagi mereka bisa melihat kebenaran atas segalanya.

Sesungguhnya, Alicia bingung bagaimana dia harus menyikapi semua ini, walau bukan berarti dia membenci sosok yang tidak pernah ada di hidupnya. Bisa dibilang, mungkin dia sekedar ingin menganggap sosok yang melahirkannya itu sekedar 'sejarah', satu poin di kehidupan yang membuatnya ada, tapi Alicia tidak bisa menganggapnya sebagai orang tua atau ibu. Mendengar Selen yang sepertinya mengetahui sosok beliau yang begitu lembut atau Nadia yang bilang saat dia melihat memori dari garis ley, Alisha Rudra adalah seorang yang penyayang.

Selain itu, porsi terbesar yang mengganggu pikiran Alicia adalah 'Ialdabaoth' itu sendiri. Sebagaimana dia melihat Blair menggunakan ilmu alkimianya, teknik dirigen Ialdabaoth tampaknya bisa diajarkan, walau untuk kasus Celia, Nadia, dan Sharon, mereka dibantu oleh Kitab Harapan Palsu untuk bisa menggunakan sihir serupa teknik dirigen.

Apa itu artinya dirinya pun bisa menggunakan teknik yang diwariskan itu?

Ketika dia punya waktu untuk diam seperti ini, mengesampingkan perasaannya yang campur aduk karena mengetahui secercah kebenaran, ide itu datang padanya.

"Jangan bengong, Alicia."

"Oh, hai, Karen." Alicia kembali berdiri tegap dari posisinya yang sedikit bersandar di pilar Rumah Pohon. "Ribut dulu ya, sama Fio?"

Karen menatap Alicia tidak nyaman, "Keliatan banget, ya?"

"Aku tahu kepala skuadron kita itu cukup ngeyel, padahal pastinya dia yang paling banyak keluar energi buat nyembuhin Pak Dahna dan Celia, iya 'kan?"

Karen menghela napas panjang, "Tentu saja. Komandan dan kepala skuadron kita itu sebelas-dua belas kalau sudah urusan begini."

"Terus kita nanti ketularan sifat mereka, gimana dong?" Alicia bergurau.

Karen melonggarkan kerahnya, "Agak nggak mau sih, tapi aku paham kalau kita bakal tertular."

"Apa ini waktunya seorang Karen Ray Spriggan mulai bilang, 'ah, rasanya aku malah jadi lembek', begitu?"

Karen menepuk punggung Alicia keras. Alicia mengaduh, kemudian terbahak keras.

"Paling kamu udah di sini, Fio bakal cek-cek Celia dan Pak Dahna lagi."

"Iya, makanya tadi kupastikan dia sudah ikut tidur di ruangan."

Mereka lalu menyusur sekitaran Rumah Pohon. Karen mengaktifkan sihirnya untuk mencari tanda bahaya di radius beberapa ratus meter di sekitar Rumah Pohon, sebagaimana Fiore dan Val utamanya akan melakukannya dalam interval lima belas menit hingga setengah jam sekali. Sejauh ini, kondisi Hutan Penyihir tenang, sangat tenang—sampai-sampai kamu berpikiran kalau ada yang aneh di kondisi yang merupakan situasi bagus untuk mereka beristirahat dan mengumpulkan tenaga.

"Aku dengar Rumah Pohon ini dibangun oleh Freya Nadir," sahut Karen ketika radar sihirnya tidak menangkap apa-apa. "Anggota Avalon tidak ada yang tahu ternyata ada orang yang bakal hidup di tengah hutan begini, di rumah berbentuk pohon yang ternyata nyaman."

Alicia menoleh, menatap batang bercabang di belakang mereka sambil hilir mudik. Konstruksi seperti ini tentu hanya mungkin dibuat dengan sihir, karena cabang-cabang yang menjadi kamar-kamar itu benar-benar berasal dari satu kambium. Bisa dibilang, untuk Alicia yang jarang melihat sihir bekerja, Rumah Pohon itu adalah suatu keajaiban.

"Kalau kamu ngomong begitu, aku jadi turut mempertanyakan kenapa Bu Nadir yang dikenal Nadia dan masa lalunya berbeda, selain pakai teori hapus ingatan," Alicia mengedikkan bahu. "Entahlah, aku nggak lagi mau mikirin itu sekarang."

"Iya, kamu pasti kepikiran banget soal Ialdabaoth."

"Tepat!" Alicia mengacungkan jempol. "Oh ya, omong-omong, kamu pun juga err, antipati sama orang tuamu ya?"

Senyum Karen tulus, "Aku yakin kamu mengerti kalau di dunia ini hubungan sedarah tidak semuanya mulus," ia melanjutkan. "Ada mereka yang memanfaatkan orang tuanya, dimanfaatkan orang tuanya, atau sebaliknya."

Alicia menengadah lagi. Dia yang lahir dan hidup di antara para penghuni jeruji besi itu tentu tidak mengerti konsep keluarga secara utuh. Ya, dia menganggap Kepala Sipir Helga sebagai yang membesarkannya tapi tidak sebagai seorang 'ibu'. 'Orang tua' sendiri adalah konsep yang menurut Alicia cukup sulit dipahami, lagi dia bisa melihat dari orang-orang di sekitarnya kalau hubungan, kekerabatan, atau persaudaraan sekali pun, tidak terbatas sekedar pertalian darah.

"Kamu yang mana, yang memanfaatkan atau dimanfaatkan, atau dua-duanya?" sahut Alicia lagi, dua alisnya naik tanda sugestif.

"Hah, kamu emang ya, topik sensitif begini rasanya kayak lagi ngobrol santai," Karen terkekeh. "Tebak, dong."

"Aku nggak berani tebak-tebakan kalau soal begituan." Alicia mengedikkan bahu. Karen berulas senyum.

Alicia tidak pernah bermaksud untuk membuka aib atau meminta orang lain menjelaskan apa yang menjadi masa lalu mereka, jadi layaknya seperti ini, Alicia memberi kesempatan untuk Karen mengalihkan pembicaraan, walau mereka sudah dalam situasi sama-sama tahu. Karen yang selalu misterius menyembunyikan banyak sekali hal tentang dirinya, karena ia tidak ingin cara pengambilan sikap dan cara berpikirnya diketahui oleh siapa-siapa, itu adalah cara taktis.

Selama mereka semua bisa saling percaya dan tahu mereka memiliki satu tujuan, tidak perlu sampai-sampai harus menguak apa yang tidak perlu, terutama di saat seperti ini.

"Kalau mau lanjut serius, sih, aku cuma bisa bilang kalau metode penghapusan memori itu bisa saja terjadi, apalagi dengan energi sihir yang cukup besar."

Alicia bersedekap, "Menghapus memori, membuat memori palsu sebagai gantinya secara masif?"

"Mungkin saja, 'kan. Apalagi levelnya adalah Sang Peri sendiri, dengan Kitab-nya." Karen menjelaskan. "Nggak baik memang terlalu banyak mengira-ngira, tapi ini adalah penjelasan yang paling masuk akal untukku. Ada kejadian besar antara Ialdabaoth dan Nymph. Nymph menggunakan kuasanya untuk menutupi kejadian itu, sehingga Undine yang merupakan pihak ketiga tidak tahu apa-apa,"

"Aku bisa lihat Selen lumayan terpukul. Dia kesal saat tahu gurunya itu seperti mati sia-sia."

"Hanya sejarah yang tahu benar soal itu," sahut Karen. "Apa pun yang disembunyikan Nymph, nantinya pasti akan terbukti pada waktunya, kurasa."

Ide untuk mengekstrak memori dari garis ley adalah gagasan yang cukup baik. Sembari mereka mencari jejak musuh, di waktu bersamaan juga mereka terus meniti langkah.

Alicia menaikkan dagunya. Langit itu tetap saja gelap, walau sebentar lagi fajar akan menjelang, seakan sebentar lagi badai akan datang.

"Ternyata orang yang mengandungku adalah orang penting, orang penting yang terpaksa mati," Alicia mendecak. "Serius, aku nggak nyangka bisa sampai begini."

"Aku pun masih mempertanyakan bagaimana akhirnya kita sampai di Aira, belum lagi urusan Perang Megah, lalu ternyata Putih ... semuanya sudah 'tertulis' untuk Sang Ratu."

Alicia menatap Karen yang meliriknya nanar, "Menyesal sudah jadi anggota Putih?"

"Iya dan nggak," Karen mendengus. "Kamu kayaknya paham dulu seapatis apa diriku soal Angia."

"Emang sekarang sudah nggak apatis?"

Karen terkekeh, "Masih, sih. Salahkan kepala skuadronmu yang terlalu baik sama orang sepertiku."

"Hei, dia kepala skuadronmu juga!" Alicia menyenggol bahu Karen.

"Aku cuma berpikir untuk menyelesaikan jalan yang kupilih, tetap itu saja." Karen menelengkan kepala. "Yah, balas budi juga sama Fiore."

Alicia sontak nyengir lebar, "Kedengarannya bagus, ya, menyelesaikan jalan yang dipilih, menyaksikan kebenaran dengan mata kepala sendiri," dia lalu membentangkan tangannya lebar-lebar seraya dia maju beberapa langkah ke hamparan rerumputan. "Tapi eksekusinya? Nggak yakin. Kita cuma sekedar bulir melawan Sang Peri. Ini Sayap Peri banget!"

"Aku tetap nggak paham kenapa kamu suka banget mengumpat itu, tapi aku bisa paham," Karen melipat lengannya. "Penjelasannya sangat Alicia."

Alicia hanya bisa tersipu menanggapi ucapan Karen.

"Sialnya nasib kita bakal seburuk itu, iya 'kan?"



Di paruh pagi sesudahnya, Val kini datang menggantikan Karen, karena dia meminta Karen untuk membantu Selen dan Nona Marcus untuk pencarian di garis ley. Dari kesigapan ketua kelas, Alicia menduga kalau Val sudah lama terjaga, mungkin cuma tidur sekian puluh menit sekedar karena adu mulut dengan Alicia.

Karen bertanya kalau mereka butuh minum, Alicia bilang kalau ada kopi mungkin lebih baik. Val segera menginjak kaki Alicia geram.

"Berasa lagi damai aja." cebiknya.

"Selen bisa bikinin kalian kopi," sahut Karen. "Nanti ya."

"Santai saja~" Alicia melambai ketika Karen bergegas masuk ke Rumah Pohon. Dia lalu mengerling. "Nyenyak tidurnya, ketua kelas?"

"Nggak, makasih udah nanya." Val merenggangkan badan. Alicia pun manyun.

Fajar belum lama menyingsing, lagi matahari tidak terasa menyengat, sekedar hangat tapi jauh dari kata terik. Tanpa senjata pun, Val tetap bersiaga selayaknya biasa, memeriksa empat titik di dekat Rumah Pohon sebelum mereka kembali ke posisi awal.

"Kamu sendiri nggak mau istirahat apa?"

"Gampang, gampang. Aku kan pelor—nempel molor," tukas Alicia. "Kamu sama kepala skuadron yang berhak dapat jatah tidur lebih banyak!"

Val tidak berkomentar, sekedar berkacak pinggang tanda tak puas. Alicia sekedar membuang muka, berpura bersiul seakan hari itu cerah.

"Udah marahnya?" tanya Val.

"Hei, aku nggak marah. Emosi itu 'kan banyak spektrum," ucap Alicia ringan. "Yah, bingung sih tentu, tapi jangan sampai bingung-bingung terus, iya 'kan? Toh sekarang ketahuan sudah kalau 'ibu'-ku itu orang baik."

Val menaikkan kacamatanya, "Kalau asalmu ternyata jahat apa kamu bakal tantrum?"

"Ya nggak lah," Alicia tertawa. "Yah, paling berasa seperti 'terjustifikasi' kalau beliau sampai ditahan di kontinen lain saking bahanya di kontinen sendiri."

Komandan skuadron Glacialis itu merengut, "Sayangnya kontinen ini sangat adil."

"Adil sekali~" Alicia balas turut menyindir. "Oh tapi ketua kelas, aku penasaran, apa jangan-jangan aku bisa teknik dirigen juga?"

Wajah Val terlihat sangat kusut, "Hah? Ngide apa lagi kamu?"

"Ya habisnya, 'kan anggota Avalon bisa teknik dirigen karena dibantu Kitab. Nah terus kebetulan aku anaknya kepala kaum," dia mulai menjelaskan, ekspresi Val hanya semakin keruh. "Bagaimana kalau ternyata aku punya *bakat terpendam*"

Val tatkala membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya ketika Alicia mulai mendeskripsikan apa yang ada di pikirannya, alih-alih berhalusinasi.

"... Bisa jadi, sih. Tapi ya, kita juga nggak tahu secara metode alkemis teknik dirigen ini seperti apa, coba ada Chevalier," Val menurunkan bahunya. Giliran Alicia yang terbelalak. "Loh, kok kamu yang kaget karena aku setuju!?"

"Bilang apa gitu, ketua. Bilang aku gila kek, atau ngaco, kek!"

Val menggeram, "Lah, 'kan masuk akal kalau anaknya turut punya keturunan kekuatan—argh! Kamu maksudnya ini serius apa bercanda sih!?"

Pada akhirnya, pipi Alicia pun habis jadi bulan-bulanan cubitan Alena Valerian.

Alicia tahu kalau Val serius akan anggapannya itu. Dia secara tidak langsung adalah keturunan Ialdabaoth, satu-satunya garis yang masih hidup. Memang, teknik dirigen sendiri adalah seni alkimia yang mungkin bisa dipelajari siapa saja, tapi kalau sebagai keturunan langsung bisa mempelajarinya tanpa campur tangan sihir...

... artinya mungkin dia bisa 'membayar' jasa seorang ibu yang tidak pernah dipunyainya.

"Coba nanti kita diskusi sama Nadia, siapa tahu ternyata emang kamu punya ..." Val menaikkan kedua tangannya. "*bakat terpendam*. Lumayan bisa jadi daftar sesuatu yang bisa kamu pakai nanti selain pedang."

"Nah, artinya kamu setuju, 'kan, ketua kelas~"

"Tetap aku bilang ini gila karena kamu yang ngide." Val mendecih. Alicia pun nyengir saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro