Intermission 014: ch'a' miei lamenti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Nadia seketika merasa kamar itu seperti sudah ditinggal penghuninya ketika ia menuju sisi tempat Celia terbaring.

Kamar yang mereka bagi bertiga selama sekian tahun mereka menempuh pendidikan di Cosmo Ostina itu begitu dingin. Alih-alih sinar matahari pagi yang nantinya akan datang dari ufuk timur pun tidak cukup untuk membuat kamar itu hangat lagi.

Nadia berdiri di ambang pintu, menghela napas panjang ketika pandangannya beralih ke sekeliling kamar itu dari ujung ke ujung. Tirai tertutup yang membatasi kamarnya dan Sharon tetap tertutup, lagi Nadia tahu Sharon tidak ada di sana. Sisi bagian Celia sengaja dibuka karena Nadia butuh memeriksa Celia yang beristirahat dari waktu ke waktu, juga agar Fiore lebih mudah menanganinya.

Fiore bilang, Celia akan baik-baik saja dan tidak butuh waktu lama untuknya pulih karena Celia sudah menyetop sihir Sharon yang mengenainya dengan caranya sendiri. Fiore tidak menjelaskan caranya, tapi Nadia sudah tahu apa yang akan Celia lakukan.

Dua belas tahun mereka bertiga bersama, mereka tahu warna dan teknik sihir masing-masing, hingga mereka hafal segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bila 'Nymph' yang merasuki Sharon menggunakan Permutasi Sharon, pastinya Sharon menyerang Celia dengan selubung elemen kegelapannya. Kalau efek sihir itu mengenai organ vital, atau tidak ditangani seiring waktu berjalan, tentu itu akan menggerogoti Celia perlahan. Satu-satunya cara yang paling cepat untuk menghentikan pengaruh sihir itu adalah menghentikan sumber racun dari mengikis lukanya, dan yang dilakukan Celia adalah menggunakan sihir apinya untuk menutup luka itu paksa.

Nadia sudah sengaja tidak melihat saat Celia diobati agar dia tidak membayangkan rasa sakit itu—rasa sakit ketika seorang terdekat denganmu menyerangmu, walau itu atas pengaruh orang lain sekali pun, tidak bisa diabaikan kalau 'mereka' memakai 'temanmu' sebagai jembatan untuk melukaimu. Rasa sakit ketika api menjalar di luka terbuka, bukan sebuah teknik pengobatan yang seharusnya dilakukan secara gegabah.

Nadia mencengkeram lengannya sendiri hingga bekas tangannya memerah di pergelangan, barulah dia memutuskan untuk masuk ke kamar itu dengan perasaan berat hati.

Dua belas tahun lalu, seorang yang tahu dia akan selalu sendiri karena orang tuanya yang sibuk mengasihi orang lain, mengetahui bagaimana caranya berteman. Berteman dengan anak-anak sebayanya yang tidak melihat Nadia sebatas orang kaya raya yang kesepian.

Memang, sifat altruisme orang tuanya patut diacungi jempol. Tidak ada salah dengan berbagi, memberi, mengasihi, Nadia sekedar ada di antara mereka, mengikuti jalan mereka, Nadia tidak perlu memerdulikan apa-apa lagi. Dia punya segalanya.

Segalanya, kecuali 'orang' yang melihatnya sebagai Nadia Loherangrin, gadis biasa seperti mereka yang ingin juga melihat cerahnya esok hari.

Beberapa tahun setelahnya, mereka melewati kejadian besar yang hampir memecah belah mereka. Saat itulah, persahabatan mereka diuji, dan pada akhirnya mereka berhasil menjembatani perbedaan dengan kompromi.

Setiap orang tidak sama. Tidak semua punya cara yang sama untuk menyikapi sebuah peristiwa.

.

Siapa sangka, dalam sekejap, segala kenormalan itu bisa terhempas, direnggut oleh sesosok yang purnarupa—Sang Peri itu sendiri?

. . .

"Nadia, kamu serius mau ikut saja kami kalau kami tidak diterima di Cosmo Ostina?"

Nadia menaikkan kepala dari membaca buku yang terbuka di hadapannya. Dia kembali ke masa lalu, ketika tiga kasur mereka belum disekat dan mereka masih menyewa sebuah rumah sempit di pelataran kota Asteria sambil berfokus untuk ujian masuk Cosmo Ostina.

Ada banyak sekali materi yang harus mereka pelajari, dan ada banyak buku-buku yang harus dibaca mengenai tiga mata pelajaran utama sihir dan nantinya juga ada ujian praktik. Mereka bertiga yang harus menyempatkan waktu belajar di sela-sela kesibukan masing-masing pun menjadikan malam hari sebagai waktu belajar mereka, agar saat siang mereka akan fokus untuk bekerja (Sharon dan Celia) atau hal lainnya (urusan keluarga Loherangrin).

Mereka masing-masing akan menguasai kasur dengan berbagai buku, mereka akan belajar satu topik bersama di tiga hari awal minggu, baru setelahnya mereka fokus ke bagian yang kurang dari masing-masing.

"Kenapa nggak? Toh masih banyak pekerjaan di kota Asteria. Atau aku bisa jadi manajer kakak-kakak angkatku." sahut Nadia menanggapi pertanyaan Sharon.

Seperti biasa, gadis itu selalu takut—takut akan ketidakmampuannya, padahal dia adalah seorang yang mampu. Sangat mampu. Butuh kekuatan besar untuk bisa kabur dari lingkaran setan dependensi dan kemiskinan struktural.

Celia tersenyum dari sisi kasurnya. Dibanding mereka berdua yang duduk-duduk, dia bertelungkup di kasur, bukunya dia sandarkan di dekat bantal.

"Ya siapa tahu saja, 'kan, namanya juga pasti ada faktor untung-untungan," tentu saja Celia sudah menyambar, membawa sisi positif dari pernyataan yang cenderung negatif barusan.

"Tuh, dengerin Celia, Nona Nadia." sahut Sharon.

"Memangnya aku juga nggak termasuk ke faktor itu?" sahut Nadia. "Atau kamu kira keluargaku sudah bayar orang dalam buat masukin aku ke Cosmo Ostina? Nggak, lah!"

Giliran Sharon yang tertunduk, agak malu. Dia pun cemberut selama lima menit sampai dia bertanya lagi soal rune ke Nadia. Rutinitas malam mereka kurang lebih seperti itu.

"Terus nanti kalau lulus dari Ostina, kalian sudah kepikiran mau jadi apa?" kini Celia yang balas bertanya. Dia membalik halaman bukunya dengan jentikan jari, ia melempar pandangannya ke arah Nadia dan Sharon yang duduk di kasur Nadia, buku tebal rune terbuka di antara mereka.

"Kamu?" Sharon balik bertanya.

"Balik ke peternakan dong~" Celia menjawab pasti. "Pastinya kalau sudah ada lisensi dan sertifikat, lebih mudah kalau kita punya produk olahan ternak."

"Kamu ya, nggak jauh-jauh dari sapi." Nadia terkekeh. Kalau dipikir-pikir, mungkin bila yang lain sadar sosok yang dianggap penyihir terkuat di Cosmo Ostina untuk tahun mereka itu nggak jauh-jauh dari peternakan keluarga dan sapi-sapinya, mereka mungkin akan sangat terkejut.

Toh itu bukan hal yang dapat dianggap remeh. Kecintaan Celia pada usaha keluarganya sangat perlu dipuji. Tidak semua orang suka beternak, apalagi terlahir di keluarga besar peternak. Banyak yang mungkin memandang Celia rendah karena itu, walau Celia tidak terlalu peduli.

Nadia mengerling, "Sharon?"

"Err, yah, kerja? Katanya kesempatannya lebih bagus lagi. Bisa buka usaha sihir juga ..." Sharon menerawang. "Mungkin aku bisa mempekerjakan anak-anak itu biar nggak dicap Anomali lagi."

Nadia menyunggingkan senyum, tentu saja Sharon akan berpikiran ke sana.

Celia menaikkan kepalanya, "Nah, kalau Nadia?"

Nadia menahan dagunya, "Kalau boleh jujur, aku belum kepikiran," ucapannya pun mengundang tatapan penuh tanya dari mereka berdua, Nadia pun bertopang dagu. "Aku bisa bikin usaha sendiri. Aku bisa tetap di keluarga Loherangrin. Atau aku bisa mengambil alih kota Asteria untuk membantu usaha kalian."

"Bentar, bentar, Nona Nadia, kok rasanya kamu bau-bau diktator." Sharon mengejek. Nadia pun memencet hidung Sharon gusar.

"Nanti juga kepikiran kok, aku mau apa. Kalian saja dulu wujudkan impian kalian." sergah Nadia.

Memang tidak mudah, belum lagi Nadia harus berhadapan dengan sifat busuk dirinya sendiri—iri yang merebak karena dia tidak bisa berlaku lebih, juga egonya.

Pada akhirnya, mungkin, dia tidak ingin selalu sendiri. Dia punya banyak sekali pilihan, punya berbagai cara menuju tujuan, tapi dia lebih senang seperti ini.

Menjadi Nadia Loherangrin di antara Celia Gawaine dan Sharon Tristania.

"Nadia."

Nadia tersentak. Dia tanpa sadar sudah terduduk di kursi tepat di samping tempat tidur Celia. Nadia menaruh kursi itu di sana untuk Fiore yang menggantikan perban Celia dan memeriksa keadaan Celia setelahnya.

Luka Celia tidak dalam, tapi luka dari tembakan sihir jarak dekat tentu cukup berbahaya.

"Udah ah, kamu kayak lihat orang mati aja," Celia mencoba duduk di tempat tidurnya, menahan bagian perutnya yang terluka. Biasanya, mungkin Nadia akan segera menyambar bilang kalau tadi Celia jelas hampir mati, tentu itu bukanlah sesuatu untuk dibuat bercanda.

Celia adalah penyihir kuat, tentu 'Sharon' memanfaatkan kesempatan untuk melumpuhkan Celia karena tahu tidak akan semudah itu menghadapinya. Bahkan ketika tadi dua lawan satu dengan Celia dalam kondisi yang tidak prima, 'Sharon' tidak berhasil memukul mundur mereka dengan sempurna.

Masih ada banyak sekali tanya, terutama mengenai kondisi Sharon saat ini. Apakah Nymph menguasai Sharon sepenuhnya? Apa yang sebenarnya sudah terjadi selama ini yang tidak Nadia dan Celia ketahui mengenai Sharon yang selalu bersama mereka? Apa Sharon memiliki kontrak tertentu dengan Pemegang Kitab—Miss Nadir?

"Tuh, aku nggak apa-apa." ucap Celia, memperlihatkan kalau dia sudah bisa duduk sempurna dan berbicara normal.

Nadia mendengus, masih belum mampu berkata apa-apa. Ketika tadi ada orang lain di sisi mereka, baik itu Fiore, Karen, atau Miss Marcus dan Selen, Nadia masih bisa angkat bicara. Namun kini, ketika dihadapkan berdua saja dengan seorang yang selalu tulus, lemas nan loyo walau bukan karena malas, kini dia terluka karena seorang terdekat—

Ah, kenapa Nadia merasa hatinya yang hancur? Bukannya harusnya Celia yang lebih merasa pahit?

"Lihat sini."

Nadia merasakan dua tangan menangkup kedua pipinya dan memaksanya untuk menaikkan kepalanya, menatap mata hijau Celia yang selalu melihatnya lurus.

Celia adalah teman pertamanya, juga objek irinya pada Miss Nadir yang selalu mengagungkan bagaimana briliannya Celia. Sebagai sahabat, tentu Nadia bangga dengan Celia yang hebat, namun sebagai seorang manusia biasa, tentu dia ingin Miss Nadir juga melihat ke arahnya.

Kini, mengetahui Miss Nadir yang 'dikenalnya' bukanlah seseorang yang patut dia percaya, dan mereka yang sudah 'kehilangan' Sharon di tengah konspirasi yang terus berkembang ini, Nadia merasa hilang arah.

Celia menahan dagu Nadia, dua telunjuknya kemudian menarik paksa bibir Nadia dari ujung ke ujung. Nadia pun geram.

"Senyuuum."

"Apa sih, Celia."

"Kamu harus senyum. Aku tahu hari ini kamu paling banyak cemberut-" Celia tersenyum miris. "-atau sedih, lebih tepatnya."

Nadia menatap Celia muram. Dia kembali mengulum bibirnya, enggan berkata-kata. Dia tidak bisa melindungi mereka berdua, atau menghentikan 'Sharon', atau mencapai sosok Miss Nadir yang sudah maha tinggi.

Celia masih bersikeras untuk mendorong bibirnya tersenyum, sambil dia berbisik. "Kita akan bawa Sharon pulang, ya?"

Ah.

Rasanya seperti ada cahaya masuk di dalam gelap malam, menyelubungi kamar itu dengan hangat yang sudah lama hilang. Hangat itu adalah harapan—harapan yang sama ketika saat itu, dua belas tahun yang lalu, mereka menemukan masing-masing. Seorang yang hadir laksana mukjizat, lagi diabaikan orang tua yang terlanjur sibuk. Seorang biasa saja yang ingin menemukan makna kehidupan. Seorang yang diinjak oleh roda takdir dan terus ingin bangkit.

Harusnya—harusnya dia nggak mewek, tapi sialnya, air matanya sudah menetes saja. Nadia pun mulai mencoba menghapus air matanya, dan Celia sendiri terperangah melihat dia malah menangis. Nadia pun menundukkan kepalanya saja, menangis sejadinya.

Tangan Celia yang semula menangkup pipi Nadia pun turun untuk menepuk-nepuk pundaknya. Mungkin kalau Celia tidak terluka, Nadia pastinya sudah dipeluk, tapi Nadia berterima kasih karena Celia masih lebih memikirkan dirinya untuk saat ini ketimbang sekedar menenangkannya.

Nadia tidak ingat kapan terakhir dia menangis, atau bahkan ingat kalau dia ternyata secengeng ini. Dia bisa mendengar ucapannya sendiri menggema di dalam benaknya, ngapain nangis sih, Nadia. Kayak anak kecil saja!

Celia membiarkannya seperti itu, memegang pundaknya, memastikan dia tidak sendirian. Memastikan masih ada yang bersamanya dan mereka akan berjuang bersama.

Mau itu lawannya adalah guru mereka sekali pun, atau Sang Peri yang gila hormat. Mereka akan berusaha untuk membawa teman mereka pulang.

Sama ketika itu, ketika mereka menemukan anak lusuh yang ditindas karena mencuri sepotong roti. Ketika mereka membela anak itu dari kekejaman karena praktik kecurangan ujian yang berujung bahaya.

"Sudah sudah, jangan nangis terus, ah, nanti aku cium lho?"

"Cium aja." isaknya, seperti biasa selalu menantang.

"Beneran?"

Nadia tidak bisa membedakan saat Celia mencoba bercanda. Tidak pernah bisa. Celia memang seperti 'pemalas' tapi itu sekedar sampulnya saja. Celia tidak pernah malas. Dibandingkan dirinya dan Sharon, Celia selalu yang paling cakap, paling pengertian, seseorang yang mungkin tidak seharusnya menjadi objek iri atau objek emosi orang lain.

Nadia menahan napasnya ketika mendadak dagunya ditangkap oleh Celia. Wajah Celia semakin mendekat, dalam satu gerakan mereka kini berada di satu orbit yang sama, dahi bersinggungan dengan dahi. Mata Celia begitu dekat, seakan bila Nadia memaksa untuk mengedipkan mata, apa pun yang tengah mereka berdua amati ketika mereka berdua nyaris bertabrakan, segalanya akan sirna.

Celia menahan tangannya di depan mulut Nadia, mengecup punggung tangannya sendiri. Wanita berambut pirang itu tersenyum, melepas pegangannya dari Nadia dan duduk dengan punggung lurus, menatap Nadia yang sangat, sangat kebingungan.

"C-Celia ...?"

Rona merah melingkupi pipi itu sesaat Celia memainkan ujung rambutnya. Jarang sekali Nadia bisa melihat Celia yang menjaga dirinya itu malu-malu, apalagi ketika mereka sedang bertiga.

"Aku nggak mau mencuri start, nggak begini," ucap Celia seraya dia menghela napas. "Aku tahu kamu ... ah, harusnya kamu sudah sadar sendiri sekarang. Kamu bukan orang yang nggak peka."

Nadia melongo, sebelum akhirnya sebuah hal menjadi jelas, jelas sekali. Seakan tirai yang melingkupi matanya terbuka sepenuhnya. Sekarang dia baru sempurna mengerti mengapa terkadang Celia tampak berbeda—terlihat berbeda.

"Kamu suka Sharon, 'kan? Aku nggak mau curang. Belum lagi kamu bilang kalau kamu nggak akan memaafkanku soal Duel Harga Diri," tambah Celia, sosoknya tegar, tidak seperti seseorang yang tengah menyatakan cinta. "Aku akan merebut hatimu dengan caraku sendiri."

Wajah Nadia tentunya sangat panas, merah mungkin sekarang, tapi dia tidak bisa berkomentar apa-apa seketika Celia sudah turun dari kasurnya, membuka tangannya untuk dia raih.

"Untuk sekarang, yuk, kita pikirkan cara untuk bawa Sharon kembali."

Nadia mengusap air matanya, berusaha tidak menghiraukan hangat yang seperti membekas di bibirnya juga.

"Apa sih, Celia."

Celia terkekeh, "Gitu dong, senyum."

"Gara-gara siapa sih aku jadi salting." cebiknya.

"Nadiaaa."

Ampun, deh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro