Intermission 015: dentro l'infernal porte

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Baru kali itu, selama sepanjang hidupnya, Marcus Lowell merasa seperti buta.

Buta karena apa yang diyakininya selama ini, jalan yang ditempuh dan pilihan yang dia ambil, semuanya seperti terarah pada satu-satunya kemungkinan.

Dia adalah kepala bagian kemahasiswaan di institusi bergengsi se-Aira, Cosmo Ostina. Dia juga adalah salah satu dari anggota pengawal D1, organisasi anak dari Schwarz yang mencoba menyiasati tindak-tanduk Weiss dan agen boneka mereka, E8. Dia pun adalah seorang dari klan asimilasi Peri di Aira, Undine, mereka yang terus menjaga garis ley di Aira dari awal zaman.

Sekarang? Dia tidak ada ubahnya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.

Tidak bijaksana bila dia menghibur diri dengan merokok di tengah kondisi dua orang di sana darurat medis, jadi ketika dia sudah sendirian, dia banyak sekali menggeram, menggumam, memukul meja dengan gusar. Sebagai seorang pengajar, sosoknya jauh dari kata tenang, jauh dari cerminan pendidik yang selayaknya harus bersikap baik.

"Ada apa, sih, wanita aneh?" sergah Selen menangkap Marcus yang masih sibuk berkutat dengan peta miliknya.

Wanita berambut hitam urakan yang garis di bawah matanya banyak seakan dia tidak pernah tahu apa itu tidur sudah turut lagi bersamanya. Buku miliknya di pegang di sebelah tangan, ditaruhnya di meja tepat di depan peta Marcus. Buku itu berpendar dalam cahaya kehijauan, masih menunjukkan tanda kalau sedang beroperasi.

"Tolong ya, sopan sedikit," cebik Marcus mendapati Selen mendekati meja utama itu bersama dengan dua cangkir minuman dari arah dapur. "... Sejak kapan disini ada kopi?"

"Sejak ... aku membawanya dari toko?" ucap Selen, memperlihatkan tas kecil yang dibawanya juga memiliki sebungkus biji kopi yang terlihat legam sekali, seperti belum lama disangrai. "Memang disini nggak ada peralatannya tapi bikin kopi enak itu tergantung kemampuan baristanya."

"Cih, belagu." tapi Marcus tidak menolak secangkir kopi, belum lagi memang kopinya cukup enak. Dia mencoba mencicipi—dan memang tetap enak, walau jelas di dapur Rumah Pohon itu tidak ada peralatan untuk membuat secangkir kopi.

"Itu kata si pemilik kafe Kandela sebelumnya, Ezra." tukas Selen seraya mengedikkan bahu. Dia memegang cangkir miliknya dengan dua tangan, duduk di kursi seberang Marcus sambil mengangkat dua kakinya ke atas kursi.

Kini Marcus yang tertegun, melihat refleksinya dalam pekat air kopi.

Setelah Fiore dan Karen sedikit membantu mereka berdua, baik Selen dan Marcus meminta mereka duluan yang beristirahat dan menjaga yang terluka. Nantinya mereka akan bergantian tidur, sembari mencoba mencari jejak Nymph dan Freya Nadir Romania dengan peta garis ley milik Marcus. Di saat yang sama, Selen juga masih memroses data menggunakan sihir miliknya, sehingga dia mungkin tetap terjaga hingga prosesnya selesai.

Mereka memang bukan orang dewasa yang bersikap paling dewasa di sana, mengingat perseteruan mereka yang tidak lekang, dan perbedaan pendapat mereka. Lagi mereka sama-sama paham: mereka berdua sama-sama berada dalam ketidaktahuan. Sama-sama tidak tahu apa nasib jelas Ialdabaoth setelah kejadian dua puluh tahun silam. Sama-sama mengetahui kalau mereka telah ditipu mentah-mentah.

Ialdabaoth. 'Dosa' para alkemis yang ditutup Sang Peri. Mereka yang dipaksa tuli. Alisha Rudra yang ternyata diasingkan ke Angia.

Sampai saat ini Marcus Lowell tidak habis pikir kalau dia, anggota klan Undine, kecolongan sebanyak itu. Klannya sendiri pun sekedar tahu saja kalau mereka menjaga 'rahasia' Ialdabaoth, tanpa 'mempertanyakan' pada Sang Peri. Pihak Hitam tentu tidak berfokus ke Aira, dang Raja Hitam bilang sendiri kalau ini sudah di luar apa yang bisa dia baca.

"Yah, kalau segampang itu Nymph bisa memanipulasi informasi, hilang dari pantauan garis ley tentunya hal cetek," sahut Selen, menyeruput kopinya dengan tenang.

Marcus menggulung perkamen petanya, dia mulai menenggak kopi itu hingga tandas setengah gelas.

"Brengsek," umpatnya lagi. Selen sekedar memerhatikannya dengan matanya yang terlihat ngantuk itu, memerhatikan Marcus yang masih bermain dengan perkamen peta. "Aku tahu nggak seharusnya aku cuma bisa mengumpat atau menyalahkan keadaan, tapi–"

"Kita sama di situ, kepala kemahasiswaan." tukas Selen ringan. "Siapa sangka kalau ternyata Guru yang selama ini kukira mati ternyata ada di Angia, tempat yang kukunjungi setelah jadi anggota Putih? Ironis."

Marcus yang semula menyandarkan dahinya pada kedua tangannya di atas meja itu menaikkan kepalanya, sejenak penasaran.

"Oh iya, kamu direkrut sebagai anggota Putih dari kapan?"

Marcus menduga Selen tidak akan buka mulut, atau mencibirnya karena sudah mau ikut campur urusan orang, tapi Selen menurunkan cangkirnya. Dia menopang pipinya di kepalan tangannya, menerawang.

"Beberapa tahun setelah aku diusir dari kafe itu kayaknya. Mereka bilang Ialdabaoth mati, tapi kayaknya aku belum tujuh belas. Intinya luntang-lantung lah di jalan, jadi Anomali." Selen menceritakan dengan nada santai, sementara Marcus mulai menggigit bagian dalam mulutnya.

Anak-anak jalanan, mereka yang tidak mampu mengenyam pemerataan 'pendidikan' dan 'perlindungan' untuk menggunakan sihir—mereka adalah Anomali, 'sampah' sistem yang dibangun atas keangkuhan bangsawan dan mereka yang punya kuasa. Sebagai orang yang bergelut di bidang pendidikan sihir, Marcus tentunya tahu sekali dengan berbagai kasus yang dihadapi setiap harinya mengenai Anomali, atau mereka yang sengaja memanfaatkan sistem untuk menginjak mereka yang tidak punya kesempatan.

Lagi, Selen terlihat sangat tenang, seakan menceritakan kisah yang sudah jauh sekali terjadi dan dia sudah menerima apa yang sudah dilakukannya. Mungkin dia sudah tahu apa yang telah dilakukannya sebuah kebodohan, atau dia paham bahwa apa yang sudah terjadi tidak bisa diulangnya kembali.

Guru yang selalu dia agungkan tidak akan hidup lagi.

"Pasti ngerti, lah, orang kayak kami butuh makanan, uang ..." Selen menggelengkan kepala. "Saat itu, aku ketemu cewek kriminal yang suka berantem dan ribut di jalan. Preman? Istilahnya. Sekarang dia senang dipanggil Rook. Dia masih mematuhi 'perintah' Ratu untuknya di Kaldera pas aku bilang aku mau kembali saja ke Aira."

Marcus menunggu sesaat Selen meneruskan ceritanya.

"Aku butuh uang untuk hidup layak, Rook butuh tempat untuk melampiaskan rasa haus darah dan kompetisinya, kurasa kami berdua bisa dibilang tukang pukul dengan biaya jasa termurah di dunia ini - dan itulah saat itu yang dicari Ratu Putih. Kami dipekerjakan melalui tangan-tangan suruhan, sampai akhirnya kami tahu 'tuan' kami adalah 'Sang Ratu'."

Mereka memang bidak dengan posisi, tapi mereka tidak pernah mengenal siapa gerangan Ratu Putih. Sekedar mereka bisa makan, sekedar Rook bisa punya wadah untuk menyiksa orang, mereka berdua terus melaksanakan tugas-tugas dari Ratu Putih yang membawa mereka keliling Endia. Di saat bersamaan, mereka juga diberi segala fasilitas karena mereka adalah perpanjangan tangan Weiss Schach. Selen bisa mendalami sihirnya. Rook bisa punya senjata apa saja dan mengasah kemampuannya.

"Biasanya kami di Kaldera, ke Pusara atau Angia itu sekedar berhubungan dengan agen Weiss di sana," Selen bersedekap. "Yang penting bisa makan, bisa pakai sihir. Cukup, 'kan?"

Marcus tertegun. Tidak salah Selen berpikir demikian—sebagaimana tidak salah bagi hampir seluruh Anomali di Aira ingin bekerja, ingin menggunakan sihir mereka tanpa takut, ingin menghindari praktik kerja ilegal.

Lagi siapa yang membela mereka? Tidak ada.

"Tugas yang membuatku mulai berpikir itu pas ... ah, Angia," Selen geleng-geleng kepala. "Gara-gara aku ditunjuk Ratu buat rekrut Karen. Sekitaran itu juga aku menemani Rook yang ditugaskan buat menghabisi keluarga bangsawan di Angia juga."

"Ini nggak masalah kamu nyerocos urusan dapur begini?"

Selen terkekeh, "Kenapa nggak? Toh kami sudah dibuang, Ratu bentar lagi akan sempurna rencananya, 'kan?" sahutnya sinis. "Karen mengingatkanku kalau aku nggak bodoh. Aku bukan budak yang sekedar iya aja disuruh tanpa tanya-tanya."

Marcus menyilangkan jarinya, "Jadi itu alasan kalian bekerja sama dan karena kalian sudah tidak bersama Putih ..." dia menatap cangkir kopinya. "Oh, uang yang kamu dapat semua kamu pakai buat beli kedai lama itu?"

"Tumben nyambung, kepala kemahasiswaan."

Marcus memukul meja, "Oi brengsek."

"Seriusan kamu pendidik? Mulutmu kayaknya mesti disekolahin lagi nggak sih?"

"Keparat!"

Selen menaikkan tangannya, meminta Marcus meredakan amarahnya sementara dia tergelak karena candaannya sendiri. Marcus setuju tidak setuju, sih. Dia sudah terlalu capek menghamba menjadi sosok manis di kehidupan pendidikan, sepertinya.

Tidak ada yang akan tahu kepala kemahasiswaan yang lemah lembut dengan senyum cerah itu ternyata pengumpat ulung.

"Guru—Alisha Rudra, bahkan bukan penyihir. Dia mengajari kami penyihir cara pakai sihir. Dia tahu kita sihirnya seperti apa dan dia sudah membayangkan kalau nantinya kita bisa pakai sihir kita di mana. Dia yang pertama kali kayak memberi kita harapan kalau ternyata kita ini hebat. Kita bisa kerja layak."

Selen melempar pandangan ke buku yang digunakannya, menepuknya sekali. Keilmuan sihir Selen tidak bisa dipandang sebelah mata. 'Biblica' adalah sihir yang dipakai untuk pengarsipan dan intelijen. Sihir itu digunakan untuk Perpustakaan Utama dan sendi-sendi pemerintahan.

Andai Alisha Rudra masih hidup dan Selen diarahkan oleh beliau, mungkin sekarang mereka berdua, dia dan Selen, adalah kolega di Cosmo Ostina. Memikirkannya membuat Marcus merinding—sebegitu radikalnya jalan hidup seseorang bisa berubah, layaknya sebuah roda.

"Biblica, hmph," Selen mendecih. "Aku bahkan baru tahu sihirku itu punya nama saat Guru mengadopsiku dari jalan. Lalu saat Nadia sebut itu tadi, aku baru ingat kalau sihir ini punya nama. Butuh banget nama, ya. Dulu pas aku jalan sama Rook, aku sudah iya iya aja dipanggil Messenger."

"Namamu bukan Selen?"

"Aslinya bukan, tapi sejak aku jadi Putih, aku membuang nama pemberian Guru. Malu. Malu sama Guru karena aku harus lagi-lagi bertuhan sama uang," tukasnya. "Selen itu nama yang diberikan Karen."

Marcus terkekeh, "Heh, kayak anjing pungut, ganti-ganti nama sesuai majikan."

"Jaga mulutmu, wanita jalang."

Yah, kalau bukan karena situasi mendesak ini, mereka pastinya tetap laksana air dan minyak, tidak akan bersatu. Atau bahkan tidak mungkin minum kopi begini dengan tenang sambil berbagi meja. Giliran Marcus yang nyengir puas, 1-1 untuknya kali ini.

"Apa yang kamu ingat dari Alisha?" tanya Marcus sekarang.

"Nggak jauh beda darimu, mungkin?" jawab Selen. "Sosok yang baik hati. Penyabar. Sama sekali kayaknya ga ada urat marahnya. Nggak ada yang bakal sangka dia adalah kepala kaum Ialdabaoth. Aku pun nggak tahu apa itu Ialdabaoth sampai aku cari sendiri."

Marcus menopang dagunya, "Jadi selama beliau di kafe sama suaminya, dia nggak akan bilang Ialdabaoth ke anak-anak?"

"Kalau dulu kata Ezra, Alisha misal lagi sibuk, dia bisa nggak balik ke kafe seminggu," Selen menerawang. "Biasanya nanti Ezra akan ajak beberapa anak buat bantuin dia bawain baju ganti dan lain-lain buat Alisha di ... di lab? Aku nggak tahu itu gedung apa."

"Lab? Gedung warna putih bentuknya kotak bukan, Cosmo Ostina?" Selen mengangguk. "Itu Pusat Akademik. Sekarang sudah dipugar semua sih, tapi dulu iya gedungnya kayak begitu."

"Dipugar gimana? Perasaan kayaknya Cosmo Ostina nggak pernah ada rusak."

"Diubah gaya arsitekturnya. Cuma gedung itu sih yang gak serupa kastil." Marcus mencoba mengingat-ingat. Saat itu mungkin dia masih sekitar lima belas atau enam belas tahun, dan baru dilantik sebagai perintis—anak-anak yang dilatih untuk nantinya akan bekerja sebagai klan Undine di bawah suruhan Nymph. "Aku cuma ingat ada ledakan kecil aja di sana, udah."

"Ya, itulah." Selen bertopang dagu.

Ezra, Ezra Rudra. Menurut Selen, dia adalah suami dan pemilik kafe Kandela. Seorang penyihir dengan latar belakang biasa-biasa saja. Dari bagaimana Selen bercerita pun, Ezra sepertinya memang tidak berkaitan dengan Ialdabaoth atau punya koneksi tertentu hingga dia mampu menikahi kepala kaum. Mereka sebagai keluarga juga terlihat hidup biasa-biasa saja.

Apa sebenarnya Marcus tidak pernah kenal sosok Alisha Rudra? Tidak mungkin. Kepala kaum Ialdabaoth adalah penggerak proyek. Tanpa Ialdabaoth, proyek besar Nymph tidak akan bisa berjalan.

"Ezra ... kemana setelah itu?"

"Setelah kafe dijarah? Kayaknya dia nggak selamat. Ezra yang menjaga agar kami yang cuma anak angkat bisa lolos," Selen menggelengkan kepala. "Aku nggak tahu hirarki di balik kalian, tapi pas mereka semacam, memaksa ingin menangkap siapa-siapa saja yang terkait dengan Ialdabaoth ... yah."

Marcus memijat dahinya. Rasa kalut meliputinya. Banyak sekali kekerasan, tindak-tanduk aneh yang benar-benar hilang saja seperti ditelan bumi. Tidak mungkin kalau separah itu Undine tidak tahu—tidak mungkin kalau dia yang perintis di sana tidak tahu apa-apa.

Nymph—apa sebenarnya yang sudah dilakukannya pada Ialdabaoth? Apa kesalahan Ialdabaoth?

"Omong-omong, aku nggak yakin Dahna bakal bangun dari koma," sahut Marcus. Kopi mereka berdua kini tandas, dan Marcus sudah mulai membuka gulungan petanya lagi, mencoba kembali mencari. "Aku bukan ahli pengobatan, tapi aku bisa lihat sirkuit sihirnya ada yang putus. Si bocah Sylph itu mungkin bisa menyambungnya, tapi butuh Dahna dalam kondisi lebih baik untuk itu."

"Gila juga si Ratu," sambut Selen. "Aku tahu Freya Nadir bukan sosok yang kebal, tapi kalau levelnya segitu sakti, kita bakal balik compang-camping."

"Kalau masih bisa balik," Marcus menekankan. "Ini saja tidak ada tanda-tanda jejak, atau apa pun yang bisa kita temukan di sini atau di Bukit Akhir. Nol. Bahkan garis ley-nya juga tidak bisa disambung..."

Marcus terdiam sejenak. Garis ley yang tidak bisa tersambung. Sirkuit sihir yang putus.

"Apa jangan-jangan mereka ... memutus sirkuit sihir? Tapi kalau begitu jadinya, harusnya baik tubuh Freya Nadir Romania dan Sharon Tristania tidak akan bisa menggunakan sihir ..."

Selen segera berdiri, "Apa, kamu menemukan sesuatu?"

Marcus segera mencoba membuka perkamen lain, sebuah perkamen kosong dimana dia mulai mencoret-coret rune-rune tertentu. "Nanti saat matahari sudah naik, aku akan mencoba cara ini. Aku akan mencoba 'membuat' sirkuit sihir baru di tempat yang garis ley-nya rusak."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro