Tatkala Elegi Bernyanyi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terakhir kali Fiore bertemu dengan para Tetua klan Titania adalah ketika dia hendak berangkat ke Akademi Militer Dresden.

Desa klan Titania adalah desa tertutup yang hanya bisa diakses oleh anggota klan Titania. Tidak ada yang tahu bila mereka terletak di dekat pantai, di perbukitan, atau entah di bagian mana pelosok Leanan itu, tapi mereka sudah eksis sejak masa ketika Sylph 'pergi' dari Angia.

Klan asimilasi mewarisi elemen inti Sang Peri, dalam hal ini adalah angin. Angin selalu datang membawa kabar. Angin selalu menjadi penyejuk ketika situasi mencekam. Angin adalah elemen yang dekat dengan Sylph itu sendiri.

Fiore, dan beberapa anak lainnya yang terpilih untuk nantinya mengemban sebuah tugas dari Tetua Desa, diajarkan untuk menguasai sihir dari usia dini. Selain itu juga, mereka kenal dengan Kitab Kejayaan Hampa, mengenal jargon Sylph sebagaimana Kota Suci mengumandangkannya, juga mereka belajar memainkan alat musik berupa dawai untuk menyiarkan lagu Sylph bersama angin.

Fiore Angelica Alba nantinya terpilih menjadi agen untuk menghentikan kejadian di 'luar sana' - sebuah bencana yang nantinya melanda di tanah Angia.

Ini bukanlah sekedar bencana alam. Bukanlah sekedar manusia berulah, ungkap Tetua Desa ketika Fiore bersimpuh di hadapan altar. Busur panah yang sudah diberkati oleh kekuatan Sylph merupakan hadiah tertinggi yang pernah dianugerahkan desa itu, kini ada di hadapan Fiore. Fiore akan menjadi 'tuan' bagi dawai dan panah itu, yang nantinya akan digunakannya untuk menghentikan 'racun' yang akan membuat Angia porak-poranda.

Di desa itu, mereka mengikuti sebuah ajaran kuno yang katanya bisa ditilik dan ditafsirkan dari Lukisan Pertama dan sabda yang tersirat dari Kitab Kejayaan Hampa. Mereka mengenali Sylph sebagaimana darah mengalir dalam urat nadi, dan Fiore juga merasakan getaran yang sama ketika Tetua menyampaikan segala pesannya sebelum Fiore berangkat menunaikan tugasnya.

Ia akan membasmi racun yang akan membahayakan Angia, dengan itu dia sudah melaksanakan baktinya sebagai asimilasi dari Sylph. Meski Sylph tidak lagi ada bersama Angia, seru salah satu Petinggi Desa, mereka harus tetap menjadi penjaga Angia hingga akhir.

Tetua bilang racunnya sudah lama mengakar, dan jalan untuk mencapai racun itu adalah dengan mengambil peran sebagai satuan militer. Bukan suatu hal yang sulit bagi Fiore yang cerdas untuk menghadapi satu atau dua ujian masuk, atau berpura menjadi seorang perwira. Dia telah dilatih untuk itu, dia hidup untuk misi, begitu juga anak-anak lain yang sudah dibesarkan sekedar atas nama tugas.

"Setelah tugas ini selesai, Tetua, apa saya harus kembali untuk melapor?"

Jawaban sang Tetua Desa membuat Fiore terperangah ketika itu.

Kamu akan tahu sendiri ke mana harus melangkah, karena cakrawalamu akan terbuka. Angin akan membawamu jauh, dan kamu harus bersiap diri. Kamu mungkin akan kembali bila waktunya tepat—itu juga hanya kamu yang tahu kapan pastinya.

Tentu, bagi seseorang yang dibesarkan sekedar untuk menempuh sesuatu yang terarah dan pasti, itu adalah tamparan bagi Fiore Angelica Alba.

Sebebas itukah angin, sehingga dia harus membawa dirinya bersama angin itu sendiri?


. . .


Fiore sudah jelas meremehkan tugasnya ketika dia masuk sebagai anggota Kelas Sembilan, kelas khusus untuk mereka yang sosoknya ajaib. Dua belas orang dengan latar belakang berbeda dikumpulkan di satu kelas yang bermaksud untuk melatih kepemimpinan mereka untuk ditempatkan sebagai ketua atau kepala pasukan sejenis.

Semakin hari dia melalui hari-harinya sebagai seorang pelajar, semakin Fiore mempertanyakan arah tugas yang diembannya. Memangnya dia akan sampai pada 'racun' kalau begini caranya? Bukankah Angia sedang dalam bahaya, kenapa dia berleha-leha?

Mungkin kalau dirinya yang saat itu bertanya pada sosok dirinya di masa depan, dirinya sekarang menyayangkan sifatnya yang naif dan terburu-buru.

Di Akademi Militer Dresden, tidak hanya mereka diajarkan disiplin, tetapi juga bagaimana bekerja sama, menjalin hubungan antara mereka yang latar belakangnya tidak sama atau sikapnya liar, juga memberikan dirinya pengetahuan seputar dunia di luar Desa Penyihir.

Membuka cakrawala, Tetua Desa sudah benar akan satu hal. Tapi beliau tidak menyebutkan kalau nantinya Fiore akan serepot itu.

Repot menghadapi kelakuan teman sekelasnya yang tidak karuan.

Repot dihadapi dengan sesuatu yang berkebalikan dengan kemampuannya, utamanya Warden.

Repot mengimbangi dirinya dengan latihan-latihan 'keras' khas kemiliteran.

Repot dengan perasaannya sendiri.

Siapa sangka, ternyata 'racun' yang selama ini dicarinya ternyata sangat, sangat dekat?


. . .


PROGENITOR. Sebuah mahakarya alkimia yang akhirnya disegel pada sebuah homunculus karena penciptanya tidak ingin karyanya digunakan untuk kekerasan.

Lagi, sifat rakus dan tamak manusia tidak mengenal batas. Perang Sipil Angia pun meletus karena ada yang berhasil menjangkau teknologi itu untuk menghasilkan boneka-boneka yang bisa dikuasai sebagai alat perang.

Perang bisa teratasi dengan pengorbanan mereka yang tidak sedikit, lagi bukan berarti mereka menang.

Ann Knightley memilih menyerahkan dirinya agar tidak ada lagi yang bisa menggunakan Progenitor. Dia juga yang menjadi jaminan kalau mereka yang terdampak pada perang itu akan baik-baik saja.

Mereka bersebelas sepakat untuk mencari cara agar Ann bisa digantikan. Mencari cara agar mereka mampu mensubstitusi fungsi Progenitor.

Kini, di Aira, Fiore tentu dia merasa jauh dari jawaban itu, tetapi juga dia begitu dekat dengan Sang Peri Air.

Peri Air dengan segala kemurkaannya hendak menghempaskan amarahnya pada manusia—atau entah pada siapa—dengan menghimpun segala teknologi yang ada pada kontinen-kontinen selain Aira. Peri Air memanfaatkan Angia juga dalam konspirasi besar yang sudah beliau lantunkan selama bertahun-tahun lamanya. Dia dan antek-anteknya pun paham kalau Fiore dan Karen adalah 'anak Sylph'.

Tidak dipungkiri lagi, Peri Air seperti tengah menabuh genderang perang, menanti saat segalanya pecah dan dia bisa menggeser bidaknya ke arah skak mat.

Memori tentang Nymph. Ialdabaoth. Danau kering dan tetesan pertama. Nymph yang kemudian mengambil alih dengan kuasanya.

Apakah ini adalah sekedar pembuka dari Perang Megah Para Peri?



Istirahatnya memang tidak pernah nyaman, tapi baru kali itu rasanya Fiore terbangun dengan keringat dingin mengucur di pelipisnya.

Pagi belum sempurna datang ke ruangan itu yang cuma dihuni dirinya sendiri. Val yang tadi saat dia masuk ke ruangan masih tidur, mungkin sudah lama bangun. Fiore dapat mendengar suara-suara gaduh di bawah sana, mungkin mereka masih saja berdiskusi ketika waktu memungkinkan.

Fiore duduk di atas kasur, mengatur napasnya perlahan, menenangkan dirinya sendiri.

Dia seperti baru saja dipanggil menghadap Tetua Desa untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukannya dalam tahun-tahun terakhir.

Fiore tidak pernah kembali ke Desa barang satu kali pun. Selain karena dia merasa gagal akan tugasnya untuk menumpas 'racun', dia berpegang pada ucapan Tetua kalau dia tidak perlu kembali, atau dia akan kembali di saat yang tepat.

Tidak ada hal berarti di Desa Penyihir selain konsentrasi energi sihir di sana yang sangat tinggi. Tempat itu seperti sebuah lokasi khusus yang terkunci, menyimpan rahasia turun-temurun mengenai Sang Peri Angin dari masa ke masa, terutama setelah Perang Seratus Hari di Era Kekuatan.

Setelahnya, anak-anak dari Desa Penyihir dikirim ke seluruh penjuru kontinen dengan tugas mereka menjaga kedamaian dan menjaga tanah Angia. Mereka yang mendapat misi mulia itu diberkahi juga dengan segala kemampuan dan kebolehan. Mereka yang merupakan anggota klan asimilasi Sylph, Titania, diperbolehkan untuk menggunakan sirkuit sihir mereka secara utuh. Mereka juga diperbolehkan memperlihatkan 'rahasia' klan apabila diperlukan.

"Darah harus dibayar darah ..."

Fiore bergumam, mengelus kalung berbentuk kupu-kupu yang ada di lehernya. 'Rahasia klan', klan Titania memiliki dua senjata: sirkuit sihir mereka yang kaya dan selalu berkembang seiring bertambahnya usia dan pengalaman, juga salah satu warisan lain yang katanya tidak pernah digunakan oleh siapa-siapa semenjak Perang Seratus Hari.

Senjata itu bukan sekedar memaksakan sirkuit sihir mereka, tetapi juga menggunakan energi sihir mereka sampai habis, melebihi kuota yang pernah Fiore gunakan saat Perang Sipil Angia. Andaikata Karen masih bisa diletakkan pengaman untuk sihirnya, kekuatan alamiah klan Titania lebih dari itu.

Tentu, 'ongkos' untuk menggunakannya tidaklah sedikit.

Jika tiba saatnya dia menggunakan itu untuk melawan Nymph, maka—

Fiore menampar kedua pipinya. Sedikit merasa gusar. Dia mulai melihat sekeliling sekarang, mendapati ruangan itu begitu tertata dibanding ketika sebelum dia memutuskan untuk beristirahat.

Jaket seragamnya tergantung di dinding dengan rapi, sepertinya ulah ketua kelas yang melihat jaket itu sengaja dilipat di sampingnya di tempat tidur, alih-alih siap dipakai kalau tugas memanggil. Fiore pun tak pelak menyunggingkan senyum kecil.

Dia masih belum ingin beranjak dari sana, masih memerlukan sedikit waktu sendiri yang dipunyainya untuk berdiam diri dan berpikir.

Sejauh ini, situasi mereka cukup terkendali, walau mereka tidak punya banyak pilihan. Rumah Pohon berada dalam kondisi aman, dan selepas Nymph menghilang dari sana dan Freya Nadir Romania tidak tampak lagi batang hidungnya, tidak ada yang mencoba mengusik mereka.

Antara Nymph memang meremehkan mereka atau Nymph sudah tahu apa pun yang akan mereka lakukan tidak akan terlalu berarti.

Mereka hanyalah manusia bila dibandingkan Sang Peri, tentu saja kondisi ini dirasa mustahil.

Fiore memejamkan mata, menarik napas panjang sekali lagi saat dia memanggil busur panah ke tangannya. Dawai yang sempat digantinya di kapal ternyata berguna sekarang, dia bisa memetik nada-nada untuk membuatnya tenang.

Biasanya, Fiore akan rutin memainkan busur itu setiap pagi, utamanya ketika dia mengamati latihan sihir Lucia saat masa sekolah. Terakhir kali dia memainkan itu di depan Lucia adalah pagi saat Ann pergi dari Dresden, sebuah elegi pilu yang mungkin hanya akan didengar oleh Lucia saja.

Dari banyak lagu yang Fiore bisa mainkan, atau yang dia cukup familier, utamanya adalah lagu-lagu tidur khas Angia yang memuat kisah-kisah lama. Selain itu, banyak lagu yang merupakan impromptu, dia mainkan saja sekedar mengisi sepi, atau pada saat ini, ketika dia merasa kurang tenang.

Fiore sudah lama terlepas dari rutinitas dawainya itu ketika sibuk Wajib Militer, dan barulah saat ini, dia memainkannya lagi seakan dia rindu.

Saat ini, apa yang sedang dilakukan Ann? Dia masih hidup, 'kan?

Apa kita sia-sia saja melakukan ini? Tapi kalau dunia ini hancur oleh Para Peri, maka Ann juga—

Apa manusia tidak akan pernah punya kuasa dengan mereka yang mempermainkan keadilan?

Seharusnya, mereka sudah mundur dari Aira. Situasi yang tidak menyenangkan ini tentunya merugikan mereka, belum lagi karena salah satu anggota mereka tidak boleh bersenjata.

Mereka mungkin satu langkah dari kebenaran, tapi mereka bisa saja mundur dibanding mempertaruhkan nyawa.

Tapi ini adalah jalan yang diyakini Fiore. Ini yang dipilihnya. Dia akan melihatnya sampai akhir.

Tidak ada usaha yang akan percuma.

Fiore membuka mata menanggapi suara ketukan di pintu. Pemilik rambut perak bermata merah menjulurkan kepalanya dari ambang pintu. "Maaf, apa ini waktu yang kurang tepat, kepala skuadron?"

Fiore pun segera menggeleng, menurunkan panahnya, "Ada apa, Karen?"

Karen menyerahkan sesuatu ke telapak tangan Fiore, sebuah selongsong kecil. Bentuknya mengingatkan Fiore pada kaleidoskop yang dimiliki Ann, tempat kakak tirinya menaruh memorinya untuk Ann lihat.

Kaleidoskop adalah sejenis tabung yang kalau diintip bisa memancarkan kerlap-kerlip warna, namun ini adalah salah satu instrumen yang digunakan untuk menyimpan memori. Cukup dialirkan sihir saja, memori yang disimpan dalam kaleidoskop akan terlihat.

"Jadi Selen sudah selesai mengekstrak semuanya, ya." Fiore segera menyimpan kaleidoskop itu di tempat aman dengan Cincin Peri-nya. Dia mendapati Karen masih punya pesan untuk disampaikan.

"Tapi sayangnya, kita harus bergegas sekarang. Kita tidak bisa melihat isi memori ini sekarang."

Fiore menghela napas panjang, "Ada apa? Apa Nymph sudah bergerak?"

"Nona Marcus sudah menemukan cara untuk menyambungkan garis ley di Hutan Penyihir dengan bantuan Nadia dan Celia," Karen memulai. "Mereka menyetem sebuah pohon yang ada di dekat tempat teleport, ternyata memang nadanya berubah. Sekarang Nona Marcus tengah berusaha mencari sisa-sisa dari garis ley yang sempat terputus."

"Entah kenapa aku bisa merasakan ada 'tapi' di kalimatmu."

Karen menarik lengannya, "Ayo kita ke luar, Fiore," serunya. "Aurora muncul di langit Aira."



Aurora. Fenomena langit ketika kondensasi aliran energi sangat kental di darat hingga mempengaruhi langit.

Fiore sekedar mendengar hal itu sebagai sekedar teori, karena tidak mungkin ada energi besar yang bisa menggerakkan langit.

Lagi, apa yang disaksikannya adalah nyata.

Nona Marcus tengah melacak cepat sumber munculnya aurora ini, menemukan kalau fenomena ini terjadi di seluruh penjuru Aira secara serentak pagi itu. Tidak mungkin bagi mereka menyambung koneksi di saat seperti ini dengan situasi energi garis ley yang sangat kacau.

"Angin surya," gumam Fiore melihat langit berpendar aneka warna di pagi hari. Mungkin bila situasi mereka sedang tidak gawat, itu adalah sebuah keajaiban untuk disaksikan.

Lagi mereka tahu bahaya sudah semakin dekat. Badai energi ini menandakan bahwa ada seseorang—atau satu entitas—tengah memanfaatkan garis ley Aira dan hendak menghimpunnya untuk tujuan tertentu.

"... Ketemu," desis Marcus. "Benar sepertinya bermula dari Cosmo Ostina."

"Sayap Peri," decak Alicia. "Aku nggak suka kalau teori kita jadi nyata satu persatu."

Val menggelengkan kepala, "Artinya kita harus segera ke Cosmo Ostina—tentunya tidak bisa pakai jalan instan, ya, Bu Marcus?"

"Terpaksa pakai kapal kecil dari sini, ya. Segala bentuk komunikasi saat aurora tidak mungkin dilakukan kecuali telepati jarak dekat. Bakal lumayan jauh dari sini ke Ostina, tapi bisa diakali," Marcus menunjuk Nadia dan Celia. "Aku perbolehkan kalian memakai arus ombak di perairan Aira."

"Arus ... ombak?" Fiore mengernyitkan dahi, dia memandang Nadia dan Celia yang saling bertatapan, menaikkan tongkat-tongkatnya dengan antusias.

"Kalian nggak ada yang mabuk laut, 'kan, orang Angia?" tanya Celia.

Mereka berempat saling berpandangan, sementara Selen segera menggelengkan kepala.

"Kalau begitu, ayo kita segera berangkat ke Cosmo Ostina!" sahut Nadia.


.

.

.


Dunia ini sudah jauh dari keadilan, aku ingin mengubahnya saja kalau bisa.

Kalimat yang dilontarkan Sharon Tristania itu tak disangkanya akan membawanya, dengan Freya Nadir Romania sebagai pemandu, untuk bertemu dengan Nymph.

Pagi itu, Sharon bangun terlebih dahulu seperti biasa dibanding Nadia dan Celia. Dia lalu diajak oleh guru mereka ke sebuah danau yang letaknya tidak jauh dari Rumah Pohon.

"Selamat datang di sumber nada dunia," ucap Sang Profesor, menunjuk muka danau kecil nan dangkal itu. "Ini adalah tempatku untuk bertemu dengan Nymph. Beliau ingin sekali mengubah dunia ini, begitu juga denganmu."

Sharon tampak takjub. Ternyata apa yang selama ini ada di pikirannya turut didengar oleh Sang Peri—ternyata dia tidak pernah seorang diri, pikirnya. Rasanya dia ingin menceritakan ini pada yang lain, menceritakan bahwa guru mereka sudah mengajaknya bertemu dengan Sang Peri, lagi Freya Nadir Romania sudah mengarahkan jari telunjuknya di bibir Sharon.

"Saya harap kamu bisa jaga rahasia karena ini adalah kontrak yang diberikan Nymph padamu, orang yang sudah selalu bersabda dengan Peri Air," Miss Nadir mengedip. "Nantinya, kamu akan diberkahi oleh Sang Peri sendiri saat beliau menata ulang dunia ini."

"Menata ulang?" tanya Sharon.

"Artinya kamu—kalian bertiga, tidak akan hidup kesusahan lagi di dunia yang nanti Sang Peri ciptakan." ungkap Miss Nadir. "Kamu tentu sudah paham bagaimana orang-orang di Aira selalu menindas mereka yang tidak punya. Menindas mereka yang tidak memiliki kesempatan."

Sharon mengingat hari-harinya di jalanan. Hari di mana dia begitu murka. Hari ketika dia dipermalukan sekedar untuk mengambil sepotong roti ketimbang dia kelaparan. Semua adalah salah mereka yang congkak, mereka yang menganggap sihir adalah barang mahal, padahal seluruh orang di Aira bisa sihir.

Kalau Sang Peri sebaik itu, mengapa manusia-manusianya pelit?

Buat apa dia menderita bertahun-tahun lamanya?

Kalau dia bisa menulis ulang keadilan, mengapa tidak?

Mengapa dia harus dihukum karena membela dirinya, tapi butuh dihakimi habis-habisan, padahal bangsawan penyihir itu tidak?

Sharon Tristania sudah muak dengan ini semua.

"Baik," Sharon memantapkan langkahnya. "Saya akan melakukan kontrak ini atas nama Peri Air."

"Bagus sekali, nak." Freya Nadir Romania bertepuk tangan. Dia mengulurkan tangannya, meminta Sharon untuk menjabatnya. "Mulai sekarang, kamu akan kulatih sambil kalian menyelesaikan tugas akhir kalian—ilmu tematik sang dirigen atas nama Sang Peri! Pas sekali bukan, ilmu yang hendak kalian pelajari dari Kitab Harapan Palsu ini bisa menjawab semua harap kalian?"

Sharon menjawab jabatan tangan itu dengan mantap, percaya kalau Sang Profesor dan Nymph akan membawanya ke mimpi yang sudah diinginkannya sejak lama. Keadilan.

"Atas nama Sang Peri."

.

(Hari itu, Celia Gawaine dan Nadia Loherangrin tidak tahu, kalau teman mereka telah lama hilang. Lenyap tak bersisa ditelan sebuah janji.)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro