XLIX. | Requiem of Reconchestra, bagian kelima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langit yang seharusnya cerah, terang-benderang, kini mendung dan berpetir karena pengaruh sihir Undine. Aurora yang semula berkasnya masih terlihat jelas pun terganti oleh cahaya petir, seakan menggambarkan kontestasi antara air langit dan air bumi.

Fiore menatap langit yang memayungi mereka dengan perasaan haru bercampur pilu. Tidak dikiranya ia akan melihat kuasa Sang Peri dalam seumur hidupnya, namun kini juga pertaruhan antara hidup dan mati pun dimulai.

Langit Aira bergejolak, begitu juga bumi Aira. Loncatan energi dan bagaimana mereka berkutub, berlomba-lomba untuk mencapai puncak. Fiore dapat mendengarnya. Fiore menyaksikan dengan matanya yang telah diberikan sabda oleh angin. Kekacauan yang selama ini hanya dirasakannya yang peka sihir kini dilihatnya secara jelas, dan itu membuatnya semakin sedih.

Untuk apa—untuk apa Peri mengutuk manusia?

Freya Nadir Romania yang turut menyambangi langit bersamanya terlihat berang. Dia sudah mengeluarkan pelbagai lingkaran sihir, menggaungkan nada-nada yang kemudian menari di sekitar mereka layaknya lingkaran pembatas. Nada-nada itu kemudian menjadi lagu, lagu yang dipahami Fiore memiliki asal bahasa sama dengan sabda Sang Peri itu sendiri. Sayapnya mengepak sesaat menginderai kemungkinan serangan yang datang. Bongkah es. Bilah cahaya, satu demi satu lagu itu kemudian menjadi senjata yang diarahkan Freya Nadir Romania—Nymph—padanya.

Fiore memerhatikan mata Nadir, mata yang selalu menyiaratkan ketenangan, kini dia dapat melihat sesuatu didalamnya, emosi yang seperti api yang menjilat-jilat, tak berbeda dari seseorang yang tengah menginginkan pembalasan dendam.

Lagi, Fiore mengerti itu bukan ditunjukkan padanya, melainkan pada 'kekuatan' yang ada bersamanya.

Fiore menghindari serangan, membalas panah sihir yang mengikutinya di udara, meliuk dan bermanuver menjauh sebisanya.

"Mengapa kau begitu takut dengan Sylph, wahai Peri Air?"

Sejenak seperti langit membeku sesaat Fiore melayangkan pertanyaan itu. Nadir terhenti, tawanya menggema di belantara langit berpetir.

"Salamander sudah bodoh percaya dan mengorbankan dirinya untuk manusia," decaknya. "Lalu Sylph, Sylph pun turut tergerak hatinya untuk membela manusia, memperkirakan kalau nanti akan ada bencana lain yang akan dihentikannya."

"Bencana ... maksudmu Perang Megah?" Fiore mengulum bibirnya. "Dan kau tidak ingin dihentikan oleh Sylph?"

"Oh anak Sylph yang naif," cebiknya. "Sebagai Dia yang memiliki Mata, memiliki Tugas untuk Mengamati Endia ... tidakkah badan kecilmu itu kira, aku belum memetakan segala kemungkinan untuk menghentikan satu-satunya Dia yang bisa menghentikan balas dendamku?"

Fiore merasa matanya berkedut, berusaha menafsirkan maksud di antara ucapan itu sebisanya.

Artinya hingga saat ini, Nymph belum bisa menghentikan Sylph, walau Sylph tidak tahu keberadaannya di mana, dan ketika Nymph sudah menghimpun kekuatan segini besarnya—yang hanya akan memuncak bila Turbulensi Sihir tiba.

Ataukah Nymph hendak mempercepat proses itu dengan kuasanya, apalagi setelah mendapat 'hadiah' dari proyek Ialdabaoth?

"Tentunya, aku tidak mengindahkan Salamander yang selalu bilang untuk tidak meremehkan manusia," kekehnya. "Dua puluh tahun lalu, manusia juga yang menjegal langkahku."

Dia menunjuk tubuhnya, lalu dia menunjuk kuasanya; lingkaran-lingkaran sihir yang tidak berhenti berpendar di belakangnya, tidak berhenti mengeluarkan senjata sihir baik itu berupa bentuk fisik maupun pancaran elemen, lalu juga mereka menyanyikan pujian-pujian untuk Sang Peri Air.

"Lalu sudah saatnya aku mengikuti apa kata Salamander—memanfaatkan manusia."

Fiore menatap sosok itu kecut. Sesosok iblis yang mengenakan mantel peri—serigala berbulu domba tengah memburunya di langit, membenarkan segala upayanya laksana misi suci.

Fiore pun memanggil panah sihirnya bertubi-tubi, terus menghindar, terus menjaga jarak, menemukan celah untuk menyerang dan menggertak pandangan Nymph sebisanya.

Layaknya segala bentuk kekuatan, apa yang dipunyai Fiore memiliki batas, lagi batas itu tidak terlihat untuknya, berbeda dengannya yang memasang 'penanda' bagi sihir Karen. Sayap peri yang dianugerahkan Sylph untuk klan Titania adalah pamungkasnya, dan dia hanya berkesempatan menggunakannya sekali.

Kini, paling tidak Fiore tahu kalau Sylph masih 'hidup' dan dia tidak pernah sekali pun meninggalkan Angia. Angin tidak menjawabnya di ketinggian itu, tapi Fiore tahu angin selalu bersamanya.

Lingkaran sihir dan jerat nada itu sejenak sumbang sesaat Nymph mulai mempercepat gerakannya. Simfoni yang semula indah kini menunjukkan keburukan yang tersembunyi di balik nada-nada palsu.

Fiore mengencangkan busur, mengarahkan panahnya tepat ke arah Nymph tanpa ragu. Angin sudah menunjukkan jalannya. Angin sudah membimbingnya kemari untuk bersanding dengan Dia yang Tidak Terlawan.

Sayapnya mengepak lebih cepat sesaat sirkuit sihirnya menyala hijau terang, mulai dari ujung wajahnya hingga tepi sayap bening, lalu ke ujung jari-jemarinya yang berada di dawai busur. Panah berbentuk angin—elemen yang tidak terlihat, mulai muncul di antara dawai dan muka badan panah Fiore.

"Bernyanyilah, angin. Putus musik sumbang itu dengan geloramu." bisiknya.

Tembakan demi tembakan Nymph tidak diindahkan Fiore yang berpusat untuk mengarahkan segala kekuatannya dalam satu panah itu—panah yang lebih tajam dari tombak, lebih kuat dari pedang.

Perlahan, sayap yang membawanya pun menghilang, seiring dengan sirkuit sihirnya lenyap dari kulitnya, sedikit demi sedikit, hingga seluruhnya berkumpul pada panah yang berpendar terang, mengusir gelap dari langit badai berpetir, menafikan hujan.

"Gungnir."

Di saat yang sama juga, sang pendawai menitikkan air mata ketika sosoknya kandas, lepas bersama hentakan jarinya yang memetik agar panah itu pergi. Cahaya, es, angin, segalanya berkondensasi untuk satu serangan itu, dentuman besar terjadi ketika dua kutub kekuatan bertemu, seakan langit pun terbelah dan daratan pun terpecah.

"Maafkan aku, Ann—Kelas Sembilan."

Belum. Belum berakhir. Belum.

Alicia berusaha bangkit. Berdiri. Persetan dengan rasa sakit akibat ledakan atau apa pun itu juga!

Dia berdiri dari puing-puing yang menutup tubuhnya, mengumpat saat tubuhnya berteriak nyeri. Pasti ada lebam—tapi bukan itu fokus Alicia sekarang!

Alicia tertatih mencari pedangnya, untungnya pedang itu tidak jauh darinya dan dia selalu memegangnya erat-erat, sesuai anjuran Tuan Putri yang tidak pernah melepas pedang apa pun yang terjadi. Alicia mengambil napas panjang, pandangannya yang buram perlahan jernih, dan dia akhirnya bisa berjalan dengan benar, mendapati Cosmo Ostina—ya, Cosmo Ostina, bukan cuma gedung akademik saja—kini seperti ladang terbuka dengan reruntuhan gedung menyertainya.

Mereka tidak akan selamat dari ledakan energi itu bila bukan karena Nona Marcus, sihir Undine, dan kendalinya pada garis ley. Lagi, mereka tentu sebagai sekedar manusia, terpelanting seperti itu setelah mendapat serangan langsung, mereka pastinya tetap terluka.

Alicia menengadah, langit berpetir di atas kepalanya mendadak tenang. Tidak ada lagi petir, walau hujan tetap turun, seakan langit menangis untuk bumi. Dia melihat di langit ada seberkas cahaya yang kemudian menghilang, tapi air yang membasahi wajahnya seakan membuat Alicia tertegun, seperti dia diharuskan untuk tetap menatap langit tanpa berkedip.

"—Lena." Alicia tersentak. Tersadar bahwa satu orang itulah yang memastikan mereka semua bisa selamat dengan mengaktifkan pemicu sihir Nona Marcus. Dia segera berlari, mencari dari puing ke puing. "Lena! Karen!"

Tidak jauh dari tempat yang dikira Alicia adalah gedung akademik, dia melihat seonggok Sharon Tristania. Pakaian seragam yang dikenakannya compang-camping, tapi masih ada tanda-tanda boneka itu berdiri. Alicia pun segera menghadapinya, menunjukkan bilah pedangnya tepat di depan muka dengan tegar.

"Alicia ...?" suara lemah memanggil tidak jauh dari tempat itu, dan sejurus kemudian Sharon berdiri. Alicia segera menendang Sharon mundur tepat di perutnya. Tubuh boneka itu menggeram, seakan barulah saat itu dia merasakan sakit padahal terlihat secara fisik kondisinya sudah tidak karuan.

"Kamu nggak apa-apa, Len—"

Napas Alicia tercekat. Nadia, yang perlu menyeret kakinya untuk berjalan, lalu Celia yang lukanya terbuka, membopong wanita muda berambut hitam itu bersama mereka. Val tidak baik-baik saja, tapi dia mengangkat kepalanya, tersenyum.

Alicia menatap Val dengan penuh kengerian, mendapati wajahnya babak belur, dan utamanya bercak darah di bagian muka sebelah kanan. Yang tersisa dari mata Val hanyalah sebelah kiri, dan Val memaksakan senyumnya saat melihat Alicia begitu murka.

"... Nadia." Alicia menggertakkan giginya. "Kemana mata Lena?"

Val tidak menjawabnya, Nadia pun hanya menggelengkan kepala, sementara Ceia tertunduk.

Alicia seperti melihat merah di matanya ketika pedangnya terhunus, tujuannya cuma satu: boneka di belakangnya.

Sharon, tubuh itu seperti merasakan bahaya dan sudah hendak mengarahkan tongkatnya ke arah Alicia yang menyeruduk tubuh Sharon sampai mereka berdua terbanting ke arah berlawanan. Sharon berkelit, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Alicia yang mulai memitingnya.

Dia sudah mengeluarkan penyeteman nada yang diarahkan pada Alicia, namun Alicia menatap Sharon nyalang, mata pedangnya terhunus menembus pertahanan yang dibuat oleh sang pengguna teknik dirigen.

Alicia Curtis tidak menyangka kalau pertama kalinya dia melihat nada, memutus nada itu, juga menggunakan pedangnya sekuat tenaga, adalah untuk memutus lengan seseorang. Darah menciprat ke arah wajah Alicia sesaat tangan yang melindungi wajah boneka itu terlepas sempurna dari lengannya.

'Sharon' pun melolong saat tangannya putus, lalu dengan pedangnya lagi, dia memastikan 'Sharon' tidak bisa memegang atau menggunakan tongkatnya, 'memutus' nada tongkat itu dengan mata pedangnya.

Geram yang menguasainya belum juga padam. Alicia melempar pedangnya, kini dia menarik kerah 'Sharon' dan mulai menghujaninya dengan bogem mentah. Tinju demi tinju terus dilayangkan Alicia sampai kepalan tangannya turut terluka, dan wajah boneka itu semakin tidak berbentuk lagi.

"Kembalikan—" teriaknya. "Kembalikan mata Lena, iblis jelmaan Peri! Sialan!"

"Alicia, hentikan! Oi, Alicia!"

Kalau bukan Val yang berteriak, memintanya berhenti, Alicia yakin dia akan memukul boneka itu sampai dia puas, walau misal nyawa di 'boneka' itu masih ada sekali pun.

Val, dibantu dengan Nadia yang membantu mengarahkan tubuh sebelah kanannya, menarik Alicia sebelum dia menghajar 'Sharon' lebih lama lagi.

"Sudah, Alicia. Sudah." sahutnya. "Ayo pergi."

Aurora tidak lagi muncul, begitu juga petir yang menyusul, tapi hujan tidaklah berhenti di Aira selepas itu.

Sementara penduduk Aira tenggelam dalam mimpi indah, tanah terisak pilu, dan langit terus menangis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro