XXI. | Duel Harga Diri, Permutasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gegap gempita di hari itu, ketika semua orang berbaur dari segala penjuru untuk menyaksikan perhelatan akbar, terasa asing bagi mereka yang menjadi petarung di atas arena.

Suasana di Rumah Pohon pun tegang, namun Nadia menyatakan bahwa sebaiknya mereka tidak sering bertemu dulu agar tidak ada yang merasa tertekan. Itu adalah pilihan yang tepat, karena mereka pun tidak tahu apa yang tengah dipikirkan Kelompok Belajar Avalon, sama dengan bagaimana mereka tidak mengetahui apa yang tengah dipikirkan skuadron Glacialis. Dengan itu juga mereka tidak mencoba menerka masing-masing dan nantinya segalanya akan dibuka di medan tarung.

"Hei lihat, ada acara khusus katanya."

"Oh, ini, ya ... Duel Harga Diri? Lawannya bukan dari Ostina?"

"Haha, acara keroyokan di depan umum? Kasihan sekali lawannya."

Bahkan, mulut-mulut pendatang pun sama pedasnya dengan mereka yang ada di Cosmo Ostina, alih-alih sudah mendarah daging pada mereka melihat orang luar sebagai sosok yang begitu teralienasi, bukan bagian dari mereka. Berita mengalir dengan cepat, dan jumlah penonton yang berbondong-bondong ke arena tujuan cukup banyak.

Sesuai perkiraan mereka, Sharon Tristania akan berhadapan dengan Alena Valerian. Pertandingan itu adalah pertandingan pembuka untuk siang ini di arena yang sudah dikondisikan demi 'Duel Harga Diri' ini.

Val memeriksa pistolnya berulang-ulang. Fiore tahu dia gundah. Val yang katanya akan diturunkan di awal, segera ditemani Fiore ke tempat persiapan yang hanya diperuntukkan oleh orang yang hendak bertarung di arena dan seorang wakil. Karen dan Alicia ada di tribun menonton, Fiore akan mengamati pertarungan dari lokasi ini sambil menyemangati sang ketua kelas.

Val menghela napas panjang, "Kamu ingat saat Battle Royale, kepala skuadron?"

Kala itu, Fiore hanya berfokus pada dirinya sendiri dan tugas, dia menganggap Kelas Sembilan adalah angin lalu, batu loncatannya untuk menyelesaikan misi pribadi. Saat itu, Val ditunjuk menjadi ketua kelas untuk kelas mereka tepat sebelum Battle Royale dilangsungkan. Ketika itu juga, Val sudah cukup peduli dengan mereka, memeriksa kelengkapan mereka layaknya ketua kelas yang bertanggung jawab.

Pada akhirnya, karena Instruktur Faye, salah satu Instruktur tarung di Dresden melihat kalau ketua kelas Tiga dan Sembilan memakai pistol, mereka disandingkan. Val saat itu terlihat sangat panik.

Fiore tidak mengerti soal persenjataan seperti pedang dan pistol, komentar anak kelas mereka-lah yang membuat Fiore jadi memerhatikan bagaimana mereka bertarung. Saat itu Blair memuji kalau Val cukup gesit, walau Val akhirnya kalah karena menurut Hilde kacamatanya retak.

"Aku tidak mengerti soal senjata api, tapi saat itu pun aku merasa kamu sudah luar biasa." ucap Fiore.

Val mengetes karet pengaman di kacamata yang melingkari kepalanya. "Begitukah? Aku dapat pujian dari pengguna sihir terkuat Kelas Sembilan?"

Fiore mendengus, "Apa sih, kalian terus-terusan menggodaku."

Val tersenyum, "Anggap itu pujian, Alba." dia melihat ke badan pistolnya. "Aku belajar dari Alicia untuk lebih bersantai, tapi aku tetap tidak bisa sesantai kalian."

Fiore bersedekap, "Kurasa aku tetap menang kalau urusan 'terlalu serius' deh."

Gadis berambut hitam itu tergelak, "Benar juga. Aku tentu baru sadar sekarang, di balik sikap kalian, kalian sama sepertiku—sama-sama punya sesuatu yang dikhawatirkan, besar atau kecil."

Fiore menatap Val lamat-lamat. Dia menghitung peluru di pistol dan juga di magasin yang dia siapkan sekali lagi sebelum mengangguk mantap. Hitung mundur di tengah arena yang terpampang di tulisan serupa asap menunjukkan waktu lima menit dengan arena masih disiapkan. Penonton sudah memenuhi tribun dan lokasi pantau yang terletak di standing area maupun di pojok-pojok sayap arena.

"Karena kamu sudah nggak sepanik dulu, apa kamu bisa melihat kemungkinan menang?" tanya Fiore, mencoba mengalihkan konsentrasi Val dari mencoba merasakan ganasnya arena.

"Aku tidak yakin menang, empat puluh persen pun tidak." Val menjawab dengan senyum. "Sharon cukup hati-hati, dan kelemahanku di serangan jarak pendek mungkin akan dia sadari di dalam arena."

"Begitu ..." Fiore menundukkan kepala sejenak. "Lalu apa yang akan kamu pasrahkan? Kita nggak ada bahas ini, 'kan?"

"Yah, soalnya ... relatif? Aku pun tidak ingin tahu andaikan kalian ingin memasrahkan sesuatu pribadi," Val menggaruk tengkuknya. "Aku akan menyerahkan pistolku kalau aku kalah."

Fiore membeliak, lagi melihat kesigapan ketua kelas mereka, Fiore tidak mempertanyakan keputusannya. Mungkin sepele, dalam artian bisa saja Fiore membuat senjata baru, tapi bagi seorang yang memakai senjata, menyerahkan pedang, atau dalam hal ini pistol, sama saja seperti menyerahkan sebagian hidupnya. Fiore tidak tahu andaikata Val sama dengan mereka para praktisi pedang di kelas mereka kalau soal pedang, tapi Fiore bisa melihat bahwa Val sangat mencintai senjatanya itu.

"Nah, sudah sebentar lagi," Val merapikan kerah seragam putihnya dan menepuk pipinya dua kali. "Aku berangkat, kepala skuadron."

Val masih saja mencoba mencairkan suasana dengan memberi Fiore hormat ala militer.



Riuh-ramai menggema di arena ketika dua kontestan maju dari wilayah berseberangan. Mereka berdua menghadap ke sebuah timbangan besar yang menyaksikan perhelatan mereka, dengan hakim berdiri di atas timbangan itu: kepala kemahasiswaan Marcus Lowell. Beliau membuka Duel Harga Diri itu dengan membacakan peraturan singkat yang harus dipatuhi kedua belah pihak.

Sharon Tristania berdiri di hadapan Alena Valerian dengan ekspresi gugup. Val menampilkan sikap hormat dan berdiri di posisi istirahat sembari mendengarkan Marcus Lowell membacakan peraturan dan memperkenalkan kedua peserta duel.

Pertarungan itu akan dilaksanakan selama delapan menit. Senjata apa saja diperbolehkan, bahkan melukai lawan jika diperlukan. Pertarungan hanya akan berakhir jika salah satu pihak menyerah atau waktu pertarungan habis. Bila salah satu pihak dianggap tidak dapat melanjutkan pertarungan, keputusan diserahkan bagi pihak yang masih berdiri.

"Yang menentukan jaminan akan diundi dengan koin ini. Silakan kalian memilih."

Marcus Lowell lalu melempar koin emas di tangannya, tampil sisi ekor sebagai pemenangnya. Sharon yang memilih apa yang akan diserahkan sebagai jaminan.

"Saya akan menyerahkan tongkat saya."

Ungkapan itu disambut dengan pekikan terkejut penonton. Sepertinya itu setara dengan menyerahkan sihirnya sendiri, atau sejenis itu. Marcus pun menandai tongkat Sharon.

"Saya akan menyerahkan pistol saya, kalau begitu."

Sesuai dengan apa yang Val ucapkan barusan, dia memasrahkan pistolnya. Marcus menandai pistol tersebut dan timbangan besar di dekat mereka berpendar hijau, menunjukkan hitungan mundur dari delapan menit.

"Duel Harga Diri pertama, Alena Valerian v. Sharon Tristania, mulai!"

Yang Val lakukan pertama adalah melompat mendekat ke arah Sharon, yang sudah mulai melayangkan serangannya ke arah sang perwira muda. Val menghindari serangan itu, berguling menjauh, sebelum dia kembali mencoba mendekati Sharon.

Ketika ada jeda di saat Sharon melayangkan lucutan demi lucutan, Val mengeluarkan pistolnya, menembakkan serangan pertama.

"Spark."

Peluru itu meledak di antara mereka sebagai lonjakan cahaya yang menyilaukan. Sharon segera menunduk, melindungi dagunya ketika Val sudah maju untuk melayangkan pukulan ke arah wajah. Penonton mulai bersorak.

Sharon sempat kelimpungan sejenak karena tinju Val yang mendadak, namun dengan cepat dia berhasil kembali pada ritmenya untuk memanggil panah sihir yang ditunjukkan ke arah Val. Berkas-berkas air itu tidak terelakkan, tapi Val tetap mengeliminasi jarak mereka untuk sekedar melayangkan pukulan, tendangan, tapi tidak menembak dari jarak dekat.

Fiore melihat itu dengan terkagum-kagum.

Val menderita rabun dekat, pistol laras pendek mungkin bukan 'bagaimana' seharusnya dia memilih cara bertarung. Akan tetapi, penguasaannya dalam pertarungan jarak dekat dan memilih untuk tidak bertumpu pada penggunaan pistolnya, selain karena mereka memutuskan untuk tidak menonjol, Val sudah berhasil menipu mereka yang melihat.

Tendangan kali ini berhasil mendobrak pertahanan Sharon, membuatnya tersungkur di tanah. Val menodongkan pistolnya ke arah bawah, lagi Sharon belum menyerah. Dia melompat lagi, mengandalkan momentum untuk memfokuskan sihirnya lagi, serangan cepat dan banyak - panah sihir, ledakan-ledakan kecil, bilah asap, Val mengantisipasi cepat dan menyarangkan pukulan demi pukulan lagi.

Sharon berhasil menghindari tendangan Val, dia lalu mengarahkan tembakan sihirnya ke arah wajah Val, mengenai kacamata dan pelipisnya. Kacamata itu meletup dan hancur sebagian, lepas dari wajahnya dan berhambur di tanah bersamaan dengan darah yang mengalir.

"Lena!"

Lagi waktu belum berhenti dan kedua pihak tidak menyerah. Val mengabaikan lukanya dan tetap maju tanpa kacamatanya. Sharon menggertakkan giginya, mundur ketika serangan Val semakin menghujaninya.

"Blast."

Tepat ketika Sharon berkilah, Val melancarkan tembakan yang menghempas mereka berdua ke arah berlawanan. Sharon terbatuk ketika dia terlempar ke sisi seberang, sementara Val masih berdiri, mengisi pelurunya lagi dan sudah hendak melayangkan tembakan berikutnya.

"Reconchesta, impresario!" / "Shatter."

Satu tembakan menyebar, satu lonjakan energi yang membesar dan menelan. Kedua energi sihir itu bertemu di tengah mereka sebagai sebuah dentuman, dan Val sekedar menyaksikan pelurunya 'ditelan' oleh energi yang menyedot, lalu tanah pun bergolak ketika dua energi berbeda konsentrasi itu bertemu.

Suara peluit tanda pertandingan usai berbunyi, lagi hening meruak di arena yang semula bising, alih-alih suara sudah dirampas oleh ledakan yang membuat tanah bergetar. Val menyeka darah dari pipinya, tetap berdiri di kedua kakinya sambil menurunkan pistolnya, sementara Sharon yang napasnya memburu bersimpuh dengan tongkatnya turun.

"Pemenang, menurut keputusan Hakim, Sharon Tristania!"

Riuh tepuk tangan mengisi arena itu, kemudian sunyi kembali menjelang ketika Val menyerahkan pistolnya ke sisi timbangan yang ada di dekatnya. Ia mendekati Sharon yang masih bersimpuh, mencoba mengulurkan tangannya pada Sharon, tapi Sharon menolak tangan itu dan segera berlari menjauhi Val.

Mereka yang mungkin sadar apa yang sebenarnya sudah terjadi mempertanyakan energi itu—seberkas sihir yang menelan energi, bukan melepaskan energi.

Val memegang pelipisnya yang masih bersimbah darah, mengerjap kebingungan, lagi dirinya yang tidak mengetahui sihir pun merasa ada yang ganjil dari sebuah kejadian sepersekian detik tersebut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro