Chapter 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa tahun yang lalu, ada sebuah kejadian yang cukup menggemparkan terjadi di seantero Yunani.

Para pendeta dan orang-orang yang pernah menjadi pendeta di kuil para dewa mendadak hilang satu per satu tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Tak hanya itu, tempat, waktu, bahkan jumlah orang yang hilang pun tidak pasti. Sejauh ini ada satu kejadian yang memakan empat orang dalam satu waktu ditempat yang berbeda-beda.

Hal ini tentu mengundang kepanikan orang banyak. Sebagai makhluk yang masih bergantung pada dewa, mereka tak hentinya berdoa agar dewa membantu mereka, baik secara langsung maupun dengan mengirim utusan.

Doa mereka seakan terjawab ketika pendeta agung Apollo---Pythia, meramalkan bahwa pada suatu malam, saat bulan separuh muncul di langit malam, petunjuk dan kunci untuk mengakhiri teror ini akan muncul. Dan pada saat itu, selaku raja para dewa, Zeus harus ikut berperan dengan memberikan kekuatannya.

Ramalan tersebut tak dapat dibantahkan lagi merupakan sebuah berita baik. Namun, sang pendeta Apollo melanjutkan ramalannya---yang bunyinya lebih mirip sebuah peringatan.

"Malam itu, akan muncul 'dua kunci' yang mewakili sisi terang dan gelap dari bulan.

Tapi, sebesar apapun kalian mengutuk 'sisi gelap' itu, jangan sekalipun mencoba melupakan, menghilangkan atau menghancurkannya."

Dan benar saja. Pada malam dimana hanya setengah bagian bulan yang memantulkan cahaya, Leda---ratu Sparta, melahirkan sepasang anak kembar.

Castor dan Pollux, itulah nama yang diberikan oleh Leda. Kelahiran keduanya disambut dengan sukacita oleh seluruh rakyat Sparta bahkan mungkin seluruh Yunani.

Oh, ralat sedikit---seluruh rakyat Sparta, Yunani dan para dewa yang ada dipuncak tertinggi Gunung Olympus.

Sedikit berbeda dengan yang lainnya, mereka adalah dewa yang lahir dari rahim seorang manusia, bukan manusia setengah dewa. Keduanya diangkat menjadi dewa oleh Zeus sesaat setelah mereka terlahir ke dunia.

Kelahiran mereka yang diberkati para dewa membuat rakyat melihat mereka sebagai sosok yang bersinar---menyilaukan bahkan---di mata mereka, semakin meyakinkan mereka bahwa Castor dan Pollux tak salah lagi merupakan sepasang kunci yang akan membebaskan manusia dari belenggu ketidakberdayaan mereka.

Dengan kehidupan yang begitu bercahaya itu, orang-orang perlahan mulai melupakan peringatan dari sang pendeta agung Apollo.

Tentang sisi gelap yang dimaksud dalam ramalannya.

***

C h a p t e r  2
―Voorpret―

***

Entah sudah berapa lama sepasang netra ametis itu menatap lurus kearah cermin dihadapannya, melihat sosoknya yang terpantul diatas kepingan perunggu yang telah disulap oleh tangan-tangan telaten para perioikoi itu dengan tatapan yang tak dapat dijelaskan.

Setelah dirasa cukup puas melihat bayangannya, Pollux menundukkan kepala. Pandangan serta perhatiannya kini tertuju pada sebuah boneka dari terakota yang sedari tadi ia pegang.

Jemarinya menggerak-gerakkan tangan boneka dengan perlahan, khawatir jika digerakkan terlalu kasar barang sedikit saja benda itu akan rusak.

Akhirnya hari ini datang juga.

Pollux mengambil napas dalam-dalam sebelum mengembuskan napasnya dengan sedikit kasar.

Hari ini merupakan hari ulang tahun dirinya dan kakak kembarnya, Castor. Pada tahun-tahun sebelumnya, hari ini disambut oleh si gadis dengan perasaan riang dan antusiasme yang tidak dapat ia bendung.

Akan tetapi, tahun ini sedikit berbeda.

Bukan, Pollux bukan tidak senang. Bohong rasanya jika dikatakan Pollux tidak senang, namun alih-alih dengan antusiasme, rasa senang itu kali ini disertai oleh rasa takut dan cemas yang terus menghantuinya sejak kemarin malam.

Hal itu bukan tanpa alasan, Pollux menjadi seperti ini karena satu hal.

Tahun ini, dirinya dan Castor genap berusia empat belas tahun. Alasan yang cukup sederhana, namun sangat berarti bagi Pollux serta anak-anak perempuan kebanyakan.

Seorang anak perempuan akan dicap sudah dewasa dan siap menikah ketika mereka menginjak usia empat belas tahun. Berbeda dengan anak laki-laki yang baru memasuki usia siap menikah ketika mereka berkepala dua.

Ada sebuah tradisi dimana ketika anak perempuan menginjak usia dewasa, mereka akan mempersembahkan mainan semasa kecil mereka kepada Artemis dengan tujuan agar mereka dapat mengandung serta melahirkan keturunan yang sehat dan kuat.

"Menikah, ya..."

Masih terpaku dengan boneka ditangannya, pikiran Pollux melayang kemana-mana.

Boneka ini adalah mainan yang akan ia persembahkan pada dewi Artemis. Pollux tidak ingat ia mempunyai benda ini sejak kapan, tapi ia ingat bahwa benda ini adalah pemberian dari Castor.

Sedikit tidak rela memang, tapi mau bagaimana lagi, itulah tradisinya. Meski dirinya dan sang kakak adalah dewa, mereka diperintahkan untuk berperilaku layaknya manusia, maka dari itu mereka juga harus melakukan segala jenis tradisi yang dilakukan manusia untuk dipersembahkan kepada para dewa.

Tapi ada satu pembahasan lagi yang membuat Pollux semakin gugup kala ia mengingatnya.

Setelah ia melepaskan masa kanak-kanaknya, seperti yang telah ditetapkan dalam tradisi, ia akan menikah. Sang ayah, Raja Tyndareus telah menjodohkan Pollux sejak jauh-jauh hari dengan seorang pangeran dari Messenia---yang sayangnya, tidak Pollux kenal cukup baik.

Untuk kesekian kalinya, Pollux mengambil napas dalam-dalam berusaha untuk mengusir rasa cemas dan gugupnya.

Bersamaan dengan itu, telinganya mendengar sebuah tawa lirih yang sukses membuat Pollux menoleh ke arah datangnya suara.

"Selamat siang tuan putri~"

Meski nampak tak terlalu jelas karena mereka berdiri membelakangi cahaya, Pollux dapat mengenali siapa sosok---dua sosok, lebih tepatnya---yang tengah berdiri diambang pintu kamarnya itu dengan cukup mudah.

Salah satu diantara mereka adalah seorang pemuda yang amat identik dengan Pollux. Ia memiliki wajah cukup rupawan walau nampak tidak bersahabat, rambutnya berwarna pirang keemasan dihiasi mahkota berbentuk dedaunan yang melingkari kepala, matanya terkesan tajam dengan iris berwarna ametis, serta kulit yang bersih.

Satu orang lagi adalah seorang gadis berambut hitam yang dikepang cukup rumit dan bagian depan rambutnya hampir menutupi mata sebelah kiri, wajahnya yang sedikit kotor itu dihiasi senyum cerah yang membuat matanya tersembunyi dibalik kelopak mata.

"Selamat siang tuan putri~" si gadis mengulangi kalimat yang ia lontarkan beberapa saat yang lalu dengan intonasi jahil, sukses membuat Pollux terkekeh geli.

"Sudah kubilang tidak usah memanggilku putri, Eu. Itu membuatku sedikit malu," kata Pollux.

Euthalia---atau yang akrab disapa Eu, mengulas sebuah cengiran lebar sementara Castor hanya bisa mengembuskan napas lelah.

"Ayo masuklah Kak, Eu. Tidak enak jika kalian berdiri disana," titah Pollux.

Tanpa berlama-lama lagi, Castor dan Eu segera berjalan mendekati Pollux.

Akan tetapi begitu mereka berjalan semakin dekat, senyum Pollux perlahan memudar tergantikan oleh mimik muka penuh selidik ketika matanya melihat keadaan lengan Eu yang dipenuhi oleh luka gores dan lebam.

Sedetik kemudian, pandangan si gadis pirang itu tertuju pada Castor yang balas menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Merindukanku?"

Masih dengan posisi duduk didepan cermin dan tatapan yang terkunci pada Castor, Pollux menarik Eu kedalam pelukannya.

"Kau tidak menjahilinya kan Kak?" Pollux memicingkan mata, menatap kakak kembarnya semakin curiga. "Dan tolong gunakan kalimat yang tidak membuat orang lain salah paham," Pollux menambahkan.

Mata Castor berkedip beberapa kali, terlihat tidak percaya dengan apa yang baru saja Pollux katakan padanya. Pollux mencurigainya? Yang benar saja.

Castor berdecak sebal. "Enak saja. Keadaannya sudah begitu malah lebih parah saat dia datang kemari."

Pollux sontak mengalihkan pandangannya pada gadis dipelukannya. "Benarkah itu, Eu?"

Eu terkekeh, sedikit salah tingkah lalu mengangguk. "Casto---maksudku, pangeran mengatakan yang sebenarnya," jawabnya sambil melirik Castor dengan tatapan jahil.

Castor mengerang. "Aku tidak suka nada bicara dan tatapanmu itu."

"Lalu, darimana kau mendapatkan luka ini?" Pollux kembali bertanya tanpa mengindahkan kata-kata Castor.

"Tadi pagi saat aku mau kemari, kambing yang mau digembalakan Makalios lepas satu ekor. Jadilah aku dan Adele ikut membantu menangkap kambing itu tapi..." Eu menggantungkan ucapannya dan mengalihkan pandangannya dengan bibir yang membentuk sebuah senyuman kikuk.

"Kami berhasil menangkapnya, tapi kambing itu juga berhasil menyerudukku," lanjut Eu.

Pollux meringis. "Kedengarannya sakit sekali."

Eu menggeleng pelan. "Ini tidak sakit, kok. Tapi aku kaget sekali tadi."

"Tidak sakit? Omong kosong. Kau itu manusia, dua---tidak, bahkan sekali lagi kau mengalami hal yang sama bisa saja kau langsung pergi menemui Hades," tukas Castor.

"Kakak..." Pollux mengembuskan napas panjang.

Baru saja Castor hendak kembali buka suara, Eu mengatupkan kedua tangan hingga menimbulkan suara plak yang cukup keras untuk mengalihkan pembicaraan sekaligus melerai si kembar sebelum urusannya bertambah panjang.

"Sudah, sudah. Mari kita akhiri pembicaraan tentangku dan si kambing, sekarang tuan putri harus segera bersiap untuk ulang tahun dan upacara kedewasaannya!"

***

Bau harum bunga langsung menggelitik hidung Eu dan Pollux begitu mereka memasuki pemandian istana. Aroma yang berasal dari air kolam yang telah dicampuri minyak wangi itu tidak terlalu menyengat tapi juga tidak terlalu samar, sangat pas hingga rasanya dapat menenangkan jiwa dan raga.

Seolah tak membiarkan waktu kembali terbuang, beberapa pelayan langsung menghampiri Pollux, membantu si gadis menanggalkan tunik yang ia kenakan lalu menuntunnya untuk berendam didalam kolam yang ada ditengah ruangan.

Eu sendiri langsung bergabung dengan para pelayan yang menyiapkan chiton bersih, kosmetik, sandal, persembahan untuk Artemis nanti, dan sebangsanya.

Walau hanya berstatus pekerja serabutan yang sering membantu di istana---dan bukan pelayan tetap, Eu sudah sangat hafal dengan bagaimana dan apa-apa yang harus dipersiapkan ketika menyambut perayaan seperti saat ini.

Bahkan susunan acara saja rasanya Eu sudah hafal diluar kepala.

Tapi berhubung sekarang si gadis menginjak usia empat belas tahun, perayaan tahun ini sedikit berbeda.

Eu tidak tahu informasi yang ia dapat dari pelayan lain itu dapat otaknya olah dengan benar, tapi semoga kesimpulannya ini tidak melenceng terlalu jauh.

Saat matahari mulai terbenam, mereka akan berjalan dengan iring-iringan menuju kuil Artemis, di sana mereka akan berdoa untuk masa depan si anak gadis. Lalu, sepulang mereka dari kuil Artemis, barulah pesta yang sebenarnya dimulai.

Istana akan dibuka untuk orang banyak, mempersilahkan mereka untuk ikut menikmati perjamuan serta pertunjukan tari---tapi Eu tidak tahu apakah para helot juga akan mendapat perlakuan yang sama apa tidak.

Sebagai orang yang rutin datang ke pesta itu, Eu amat menyukai tarian yang dipertunjukkan oleh Castor dan Pollux, terlebih ia juga kerap diajak ikut oleh keduanya---hanya Pollux lebih tepatnya---untuk ikut berdansa, hingga sadar tidak sadar Eu mulai suka untuk berdansa.

"Nak, bisa tolong aku sebentar disini?"

"A-ah, baik!"

Suara dari salah satu pelayan sukses menarik Eu dari lamunannya. Sambil sedikit mengangkat tunik yang ia kenakan, Euthalia menggerakkan kakinya dengan hati-hati diatas lantai yang licin, mendekati si pelayan.

(Tbc)

Untuk sekarang ga bisa banyak-banyak dulu, jadi ku kasih bonus visualisasi Euthalia ya (◍•ᴗ•◍)
/JauhkananakinidariBartholomew/

Oh iya, sedikit lagi.

Perioikoi - Sebutan atau kasta para pengrajin di Sparta.

Helot - Sebutan untuk budak di Sparta. Katanya, jumlah helot ini lebih banyak dari orang-orang asli Sparta.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro